Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Temu Pembaca Tabloid Suara Islam: Singkirkan Gubernur Zalim!

$
0
0
Foto Bersama Pembicara: Nurdiati Akma, Ratna Sarumpaet, Pipiet Senja

Jakarta, 25 September 2016
    Bertempat di Aula Masjid Baiturrahman Saharjo 100, Tabloid Suara Islam menyelenggarakan temu pembaca. "Bersatu Menangkan Gubernur Muslim" bersama GMJ, AMJU dan Majelis Taqorub Ilallah. Demikian tema diskusi pada siang, bada zuhur dan makan siang.
Pada kesempatan ini dihadiri oleh para tokoh dari berbagai elemen organisasi, baik sebagai perwakilan maupun individu. Tampil para pembicara yaitu;  Jamran, Ratna Sarumpaet, Ustazah Nurdiati Akma, Pipiet Senja dan Yeni Biki, kakak almarhum Amir Biki. Host: KH. Muhammad al Khaththath, Pemred Suara Islam.
“Kita sudah mendapatkan dua pasangan calon Gubernur DKI. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Tidak perlu saling menjelekkan dan mengungkap kelemahan masing-masing. Jika memiliki pemimpin Muslim, kita bisa lebih mudah diajak membangun bangsa. Tidak perlu ada istilah SARA segala. Jadi, yang oenting kita harus pilih pemimpin Muslim! Sepakat, ya, semuanya?” seru Jamran mengawali diskusi penuh semangat, sehingga hadirin terbawa aura semangat perjuangannya.
Ratna Sarumpaet yang telah berpengalaman di Senayan, mengemukakan pendapatnya. “Kita harus kembali kepada UUD ‘45. Ini semuanya sudah diamandemen, sudah dilolosi sampai dampaknya kacau-balau begini. Jika kita tidak memperbaiki sistem, semuanya tidak akan  pernah beres!”
Ratna Sarumpaet pun menyatakan kegeraman dan keprihatinannya terhadap korban gusuran di berbagai lokasi di Jakarta. "Apakah ada yang memberitakan media Nasional tentang Balita yang tewas, jatuh dari lantai empat di Rusunawa yang dibangun seenaknya itu? Tidak ada!"
Ustadah Nurdiati Akma berbagi sekilas pengalaman sebagai Caleg, dua kali mencalonkan dan gagal karena tidak ikut mengawal hasil pemungutan suara sampa tingkat Kabupaten. Seorang petugas KPUD menyesalinya dan mengatakan, “Coba Ustadah kasih 30 juta saja, semuanya akan beres seperti Caleg lainnya!”

Jamran, Ratna Sarumpaet, Pipiet Senja dan KH. Muhammad al Khathathath

Yeni Biki, meskipun usianya sudah sepuh, suaranya lantang menyuarakan kegelisahan dan kegeramannya dengan situasi politik di wilayahnya. “Sekarang semakin banyak saja tokoh masyarakat yang tidak tahu tatakrama. Seolah-olah semuanya berorientasi kepada keuntungan pribadi, dunia saja yang dikejar. Pilihlah pemimpin Muslim yang amanah. Jangan pikih pemimpin kafir dan zalim! Allahu Akbaaar!”
Lain dengan Pipiet Senja, tidak banyak menyatakan opini tentang politik Indonesia. Ia mengaku bukan aktivis perempuan, melainkan hanya seorang seniman yang lebih banyak berjuang mendampingi perempuan di kalangan TKI di perantauan. Ia minta izin untuk membacakan puisi perlawanan, Suara Kami Adalah Semesta Amarah.
Acara ditutup dengan kesepakatan untuk revolusi dimulai dari keluarga sendiri, mengubah cara pandang,, cara hidup agar lebih baik. Terutama untuk PILKADA DKI 2017, semua sepakat harus menyingkirkan Gubernur Zalim, menggantinya dengan Gubernur Muslim. Titik! (Jakarta, Pipiet Senja)
@@@



Aksi Bela Islam 1410: Kang Suhe

$
0
0



Aksi Bela Islam 1410
Kang Suhe


Hari ini sangat berbeda dengan biasanya. Perkejaan kantor dengan sangat cepat dan sangat terburu-buru segera saya selesaikan. Bukan karena target atau deadline yang sudah dekat, tapi karena hari ini adalah saat yang ditunggu-tunggu bagi umat Islam di Jakarta khususnya.
Hari ini adalah saat yang saya tunggu untuk sebuah perjuangan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qu’ran. Hari ini adalah saat yang saya rindu selama hampir 18 tahun tidak mengikuti longmarch. Terakhir longmarch pada tahun 1998 untuk menurunkan rezim Suharto.
Hari ini adalah Jumat, 14 Oktober 2016 aksi damai umat Islam yang kita sebut sebagai aksi bela Islam terhadap Al Quran. Aksi bela Islam ini digagas oleh Front Pembela Islam (FPI) dalam menegakkan keadilan atas kasus penistaan agama yang telah dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama, lebih sering dipanggil dengan sebutan ahok.
Selesai sudah semua pekerjaan kantor hari ini saat jam tepat menunjukkan angka 11:00  siang menjelang shalat Jumat tiba. Kantor saya yang berlokasi di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, jauh dari lokasi aksi bela Islam, membuat saya sesegera mungkin beranjak dari kantor menuju Masjid Istiqlal. Saya bergegas mengisi form izin meninggalkan pekerjaan untuk alasan acara keluarga. Benar, ini urusan keluarga seakidah, maksudya.
Dalam keadaaan sudah berwudhu saya langsung order ojek onlinemenuju Masjid Istiqlal. Mobil sengaja saya tinggal di parkiran kantor mengingat waktu Jumatan sudah dekat. Dalam perjalanan ke Istiqlal, saya minta pengemudi ojek agak cepat untuk bisa mengejar sholat Jumat. Akhirnya tiba di depan Masjid Istiqlal tepat pada pukul 11:50.
Kondisi Istiqlal sudah sangat penuh di lantai bawah. Saya pun naik ke lantai 1 dan terlihat sangat penuh oleh jamaah. Diarahakan oleh petugas Masjid, saya pun langsung menuju lantai 2. Kondisi penuh juga terlihat di lantai 2 . Karena postur saya yang kecil mungil, saya masih bisa merapat ke shaf yang longgar. Saya hanya bisa mendengarkan sisa khutbah beberapa menit saja, muadzin pun langsung melakukan iqomat pertanda khutbah selesai dan sholat jumat akan segera dimulai.
Bada sholat Jumat, pukul 12:55 saya dan jamaah lainnya langsung turun menuju lantai bawah, membentuk barisan yang dikomandokan langsung oleh Habib Rizieq, Imam Besar FPI. Padatnya jamaah Istiqlal membuat proses turun tangga Masjid  makan waktu hingga 30 menit.
Di pelataran masjid, saya melihat barisan yang sudah siap longmarch.Saya pun akhirnya hanya sempatkan makan sedikit gorengan sebagai pengganti makan siang. Karena barisan longmarch sudah bersiap untuk berajalan menuju kantor Bareskrim di Gedung Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Gema takbir, tahlil, dan tahmid bergemuruh seiring dengan langkah para jamaah meninggalkan area masjid istiqlal melewati depan Gereja Kathedral. Dengan langkah yang penuh ghiroh membela kalam Allah, saya dan seluruh jamaah bergerak menuju depan Gedung Kementrian Perikanan dan Kelautan.
Saya berusaha terus berjalan agak cepat untuk mendekati mobil komando yang berada jauh di depan. Saya ingin terus mendekat dengan para ulama yang berada di atas mobil komando. Jumlah ribuan massa yang berjalan membuat saya ekstra tenaga dan ekstra keringat, berusaha dapat berada di barisan depan bersama para ulama. Dari kejauhan mobil komando semakin terlihat, dan akhirnya saya pun dapat mendekat.
Subhanallah! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
 Lantang suaranya mencerminkan isi hati dan keberaniannya dalam menegakkan kebenaran. Kepalan tangannya menambah semangat jamaah untuk terus bergerak maju memperjuangkan keadilan.
Habib Rizieq, dialah sosok sentral dalam aksi bela Islam ini. Keringatnya yang terus mengucur dari keningnya meneteskan semangat jihad untuk para pengikutnya. Teriakan takbir menggetarkan sorban putih yang mengikat kepalanya. Sontak jamaah menyambutnya dengan teriakan; Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Mobil komando sudah berada tepat di depan Gedung Kementrian Kelautan dan Perikanan, kantor sementara Bareskrim Polri. Komando Habib Rizieq meminta mobil untuk berhenti. Saya sempatkan untuk bisa naik ke separator busway, untuk bisa mengambil gambar ratusan ribu massa yang ikut berhenti seiring komando dari Habib.
Barisan massa sejauh mata memandangberwar na putih yang memenuhi jalanan Ibu Kota. Allahu Akbar. Saya takjub melihat massa begitu banyaknya. Kaki gemetar karena baru kali ini saya melihat massa aksi sebegitu besarnya. Saya pun turun dari separator busway, sudah mendapatkan beberapa foto yang bagus untuk dokumentasi pribadi. Saya terdiam sejenak masih setengah percaya dengan pemandangan di hadapan mata.
“Ada apa ini?” tanya saya dalam hati, melihat ke kanan dan kiri, serta menoleh ke belakang tempat saya berdiri.
Tampaklah Bunda Ratna Sarumpaet. Saya menyapa dan cium tangannya.
“Hey, dengan siapa kamu?” sapa Bunda Ratna.
“Saya sendirian, Bun,” jawab saya sambil meminta untuk foto selfi dengan Bunda Ratna.
Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar. Takbir terus menggelegar di jalanan depan gedung Bareskrim. Dengan suara penuh semangat, Habib meminta tokoh reformasi kita, Bapak Amin Rais agar naik ke mobil komando untuk memberikan orasinya.
Saya baru menyadari bahwa di antara ribuan massa, ada Bapak Amin Rais yang sudah hampir 18 tahun tidak turun dalam parlemen jalanan. Saya jadi teringat era perjuangan 98, ketika melihat sosoknya berdiri di atas mobil komando. Allahu Akbar. Dalam hati kecil saya bertanya, “Akankah peristiwa pergerakan 98 terulang kembali?”
Terucap lirih bergetar dari bibir ini, “Ini lebih dahsyat daripada perjuangan 98. Ya, lihatlah! Jumlah massa saat ini jauh lebih besar daripada aksi reformasi 98. Ya Allah, berikan kami kekuatan dalam pergerakan ini.”
Sebagian ulama sedang bernegosiasi dengan Kabareskrim di dalam gedung. Mereka sedang menyuarakan aspirasi umat Islam meminta Bareskrim Polri, segera menindaklanjuti kasus penistaan agama yang telah dilakukan oleh Ahok.Tuntutan atas perlakuan hukum yang adil menjadi dasar perjuangan pada aksi damai ini.
Setelah hampir kurang dari 2 (dua) jam bernegosiasi di dalam gedung, sebagian ulama keluar gedung ditemani Kabareskrim. Mereka meminta Kabareskrim agar naik mobil komando untuk memberikan orasi terkait komitmennya dalam menindaklanjuti kasus penistaan agama oleh Ahok. Pada orasinya, Kabareskrim meminta para peserta aksi untuk tetap bersabar. Karena komitmen Polri akan melakukan pemerikasaan lebih lanjut terhadap Ahok. Peserta aksi kembali bertakbir ketika mendengar orasi dari Kabareskrim. Allahu Akbar!
“Semoga komitmennya benar adanya,” suara dalam hati saya.
Kemudian barisan aksi damai meneruskan pergerakan menuju Balaikota. Habib Rizieq terus memberikan semangat kepada peserta aksi dengan lantunan sholawat, zikir, dan teriakan lantang untuk tangkap Ahok. Barisan kembali bergerak dengan langkah gemuruh, seperti langkah para prajurit perang di medan peperangan.
Jarak antara gedung Bareskrim dan kantor Balaikota yang tidak terlalu jauh. Puluhan wartawan media cetak dan elektronik sudah menyambut kedatangan para ulama, dan peserta aksi tepat di depan pintu gerbang Balaikota. Habib Rizieq meminta mobil komando berhenti. Habib juga meminta kepada seluruh peserta aksi untuk duduk di aspal mencegah provokasi-provokasi.
Namun apa yang terjadi saat peserta aksi mulai duduk, suara musik keras dari dalam halaman Balaikota membuat geger. Peserta aksi pun berdiri bermaksud meredam suara bising musik keras tersebut. Segelintir orang menyebut bahwa musik keras berasal dari mobil barakuda.
Suara rusuh gemuruh pecah dari barisan jamaah, mereka meluapkan kemarahan kepada oknum petugas yang ada di dalam halaman Balaikota. Spontan Habib Rizieq bersuara keras meredam reaksi para peserta aksi.
“Jangan terprovokasi, tenang, duduk, jangan terprovokasi. Takbir!” reaksi Habib untuk menenangkan massa.
Gemuruh takbir menggema di depan Balaikota menyambut seruan Habib
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” teriak para peserta aksi.
Massa pun kembali duduk menuruti perintah Habib
Namu, belum berselang 2 (dua) menit, suara musik kembali menggelegar lebih kencang dari sumber suara yang sama.
“Musik ajep-ajep, setaaaan!” entah siapa yang berteriak.
“Berhenti, weeei, berhenti musiiiik!” teriak lainnya.
Habib kembali menenangkan jamaah agar tetap duduk. Habib juga meminta kepada oknum petugas yang ada di dalam halaman Balaikota, agar berhenti membunyikan musik. Alhamdulillah, massa yang terus-menerus bertakbir tidak terprovokasi. Aksi pun dapat berjalan lancar.
Pada sesi akhir ini Habib Rizieq berorasi menuntut polisi, agar mengadili Ahok sang penista agama. Kapolda Metro Jaya, M. Iriawan ikut berorasi dengan para ulama di atas mobil komando. Kapolda meminta peserta aksi untuk tetap mempercayakan petugas dalam menangani kasus penistaan ini. Kapolda berjanji akan menjalankan proses hukum demi tegaknya keadilan di negeri ini.
Turut serta dalam orasi tersebut adalah Pangdam Jaya, Teddy L, yang juga mendukung aspirasi peserta aksi, agar bersama mengawal tegaknya hukum di Republik Indonesia. Kapolda dan Pangdam Jaya berterima kasih kepada peserta aksi yang telah melakukan aksi bela Islam dengan damai.
Aksi Bela Islam ini ditutup dengan shalat ashar berjamaah di sepanjang ruas jalan depan Balaikota. Menjelang shalat ashar, Ustad Bachtiar Nasir mengingatkan kepada para peserta aksi, apabila kasus penistaan agama oleh Ahok tidak ditindaklanjuti oleh polisi, maka akan ada aksi lanjutan dengan jumlah massa yang bisa 10 kali lipat jumlahnya.
“Saudara-saudaraku, bawalah 10 orang setiap peserta aksi yang hadir kali ini. Bagaimana, apakah kawan-kawan siap berjihaaaad?”
“Siaaaap!”
“Takbiiiiir!”
“Allahu Akbaaar!”(Jakarta, Oktober 2016)


@@@

Article 1

Spirit 212

$
0
0


212
Pipiet Senja


Ceritanya kami di bagian belakang mimbar, serius sudah sangat geram dengan si reporter Metrotipu. Dia dengan bangga mewartakan peserta hanya sekitar 5000, preeeet sangat!
Si tukang tipu masih cengengesan, tapi saat massa mulai protes keras dengan teriakan lantan; “Tipuuu, tipuuu, Metrotipuuuu! Usiiiiir!”
Si tukang tipu buru-buru meralat, “….sekitar 50 ribu peserta aksi….”
Rekanku, Naila Alba teriak lantang sambil bawa TOA yang diambilnya entah punya siapa. “Helooooow! Ini sudah jutaaan!”
Si tukang tipu eteteran saat massa merangsek, kemudian mengusirnya agar keluar dari dalam barikade ploisi. Ia masih berusaha eksis di depan kamera yang diarahkan oleh rekannya.
Namun massa semakin meransek, sehingga si tukang tipu tampak dikerubuti. Ada peserta yang mengacung-acungkan jari ke bawah di belakang kepalanya. Ada juga ibu-ibu yang teriak-teriak terus, “Metritipuuuuu, penipuuuu!”
Ketika ada yang sudah gemas sekali hendak menyemburkan air aqua, kami dari barisan WNKRI serentak mencegahnya.
“Jangan, jangan melakukan kekerasan!”
“Iya, nanti mereka semakin memelintir berita!”
Suasananya mendadak sangat heboh!
Ujungnya si tukang tipu mengalah, begerak ke belakang, agaknya mau minta perlindungan dari barikade polisi. Massa mengaraknya keluar barikade, mengiringinya dengan takbir dan sholawatan.
Menegangkan sekaligus mengharukan, gumamku membatin.
Beberapa saat lamanya massa kembali tenang, berusaha ikut menyimak apapun yang disuarakan oleh komando dari atas panggung. Namun, kami yang mendapat tempat di belakang, tepat berhadapan dengan barikade polisi, melihat si tukang tipu kembali beraksi. Ceritanya siaran langsung dengan pelintiran beritanya, seperti kebiasaannya.
Dia tidak tahu, atau memang tahu tetapi tak peduli, kalau sebagian dari kami masih punya sinyal. Meskipun sejak aksi Bela Islam 1, 2, sinyal raib entah ke mana. Melalui ponsel canggih sebagian dari kami bisa memantau siaran Nasional termasuk Metrotipu.
“Helooow, lihaaat ini! Dia bilang mendapat kekerasan dari peserta aksi 212, ditendang, dipukuli ramai-ramai dan diguyur air…”
“Astaghfirullah….”
“Sungguh tukang fitnah!”
Tiba-tiba ada yang berteiak lantang dari belakang barisan kami.
“Ada yang berani lawan si tukang tipu dari sini?”
Entah kekuatan apa yang membuatku serentak bangkit dari atas sajadah, menyambut tantangannya. “Siapa takuuuut?” sambutku seraya merangsek ke depan barikade kawat-kawat berduri.
Ada marka-marka beton, jadi saya nekad menaikinya dan berdiri, emudian tanpa pikir panjang lagi saya mulai teriak lantang: “Weeeei, Metrotipuuuuu!”
“Kalian tidak berhak berada di sini, tahuuu!”
“Metrotipu, tukang bohoooong!”
“Metrotipu, tukang pelintir berita!”
“Metrotipu, tukang fitnaaaah!”
Berhenti sebentar, jantung terasa senut-senut euy,
Tapi masih kuat, alhasil; lanjuuut!
“Boikot Metrotipuuuuu!”
“Ganyang Metrotipuuu!”
“Kalian tidak berhak berada di sini, tahuuu!”
Sekilas saya tengok si tukang tipu dan rekannya tak urung tertarik juga melihat kelakuan si Manini ini. Entah, apakah mereka mengambil adegan yang dibilang seorang muridku dari Taiwan sebagai; aksi paling nekad dan sangat berani sekaligus, tak masuk di otak gw!
Hihi, sabodo teuing, ah!
Saya menghela napas dalam-dalam, sekilas tampak anak-anak muda dari barisan Mualaf Center Indonesia bertakbir, menyemagati si Manini. Allahu Akbar!
Satu teriakan lagi, oke, Beib!
“Metrotipuuuuu, helooooow! Kalian tidak berhak berada di sini, tahuuuuu!”
Kali ini napas saya habis rasanya, dada sesak. Bergegas saya turun dari marka, dibantu seorang anak muda, memegangi tanganku kuat-kuat.
“Kereeeen, Bunda, kereeeen!” decaknya menatap wajahku yang pastinya sudah memucat seperti mayat.
Saya mengangguk, masih sempat berkata; “Allahu Akbaaaar! Merdekaaa!”
Setelah itu saya  kembali ke barisan rombongan, duduk di atas sajadah, tanganku cekatan mengambil tabung oksigen mini dari tas gendong. Lantas memanfaatkannya sehingga dada serasa lapang.
Tidak mengira, ternyata ada yang sempat merekam kelakuan si Manini. Kemudin menyebarkannya di medsos, bahkan menjadi viral, dan menangguk like sekitar duapuluh ribuan, ampuuuunlah!
Jakarta, Monas, 2 Desember 2016

@@@

Kabarkan Kepada Dunia: Saya Masih Hidup!

$
0
0


Kembang Kamboja Berguguran
Pipiet Senja
Suatu siang di sebuah rumah sakit, Jakarta. Mamay, remaja 15-an, seketika meletakkan buku yang sedang dibacanya. Didengarnya pasien di sebelahnya menangis. Ia merasa tersentuh, seketika turun dari ranjang, kemudian dihampirinya pasien yang datang seminggu lalu itu.
Beberapa jenak ia pandangi tubuh pasien itu. Sangat kurus hingga tulang-tulang dadanya terlihat jelas, pipinya tirus dan bibirnya bersemu keunguan. Usianya setahun lebih muda dari dirinya. Selama ini ia lebih banyak berdiam diri. Lebih sering bersembunyi di balik perlindungan ibunya. Satu-satunya orang yang setia mendampinginya.
“Kenapa nangis? Ada yang sakit?” Mamay sambil membetulkan jilbab kaosnya yang miring kiri-kanan. Ia mengintip wajah Maria yang ditutupi sebelah tangannya. Remaja yang berasal dari Ambon itu tak menyahut. Mamay lebih mendekatinya, pelan disentuhnya tangan Maria. Mau tak mau Maria memperlihatkan wajahnya yang penuh air mata.
“Sekarang…, beta seng punya kawan,” lirih remaja berkulit gelap, dan berambut kribo itu terdengar parau.
“Begitu, ya,” Mamay menyentuh pergelangan tangannya.
“Iya! Jauh-jauh beta dibawa ke Jakarta cuma untuk diopname. Tapi tadi Mama beta pamit. Katanya Mama musti pulang dulu ke Ambon. Harus cari tambahan biaya operasi beta…, hiiikkksss!”
Maria menangis lagi, lebih parah dari sebelumnya. Mamay ikut merasakan kesedihannya. Saat datang Maria didorong ke kamar kelas menengah, pindahan dari ruang ICCU. Direncanakan untuk operasi jantung. Konon harus menunggu dokternya yang sedang konferensi di Jerman.
“Jangan nangis terus. Nanti jantungmu tambah sakit, sudah, ya,” bujuk Mamay.
Maria coba menghentikan tangisnya, menyusut air matanya dengan ujung selimut. Lalu ia menatap wajah Mamay lurus-lurus. Pasti dia heran, seperti lainnya, bila menyadari wajah Mamay yang kuning. Bahkan matanya pun bersemu kuning. Maklum, pasien thallassaemia dengan komplikasi lever.
“Kamu sakit apa…, Mamay?” tanyanya mulai tergerak memperhatikan teman sekamar. Sekilas ekor matanya melihat nama yang tertulis di botol susu kacang kedelai yang terletak di atas lemari kecil bagian Mamay.
Anak ini sering membuatnya berdecak kagum. Mamay jarang dikunjungi keluarganya, selain seorang perwira yang saban pagi mengantarkan sesuatu untuknya. Biasanya hanya sebentar, karena ayahnya itu harus segera pergi ke tempat tugasnya di Kodam Jaya.
“Thallassaemia…”
“Apa itu?”
“Kelainan darah bawaan. Aku harus ditransfusi darah saban minggu.”
“Sejak kapan begitu?”
Maria kini bangkit dan duduk menghadapinya, makin tertarik agaknya.
“Kata Umi sih sejak bayi.”
Maria tersentak dan matanya yang basah membelalak lebar.
“Ambooooi! Kalau sejak bayi kamu sudah ditransfusi, berapa banyak darah orang yang pernah kamu hisap? Macam drakula saja…, hihihi!”
Tiba-tiba remaja Ambon itu tertawa lucu. Menuding-nuding wajah Mamay.
“Eeeh, iya…, hihihi!”
Mamay ikut geli mendengar suara cekikik dari bibir ungu itu.
“Penyakit kok aneh-aneh saja!” dengusnya kemudian, terdengar gemas.
“Iya… Bukan drakula, tapi drakuli,” ralat Mamay.
“Kenapa bisa begitu?” Maria menatapnya ingin tahu.
“Karena aku cewek, bukan cowok!”
“Eeh, iya, iya…, hihihi!”
“Naah, begitu dong. Mendingan juga ketawa, ya? Hihihi….”
“Iya, iya, hihihi….” Untuk beberapa detik keduanya berhihihi.
“Aku juga sama seng punya kawan. Tapi aku mah da nggak mau nangis atuh, aaah… Repot kalo nangis mah da. Coba sajah, sudah kesel, nyesek lagi dadanya, yah? Hiih, mending juga ketawa atuh, riang gembira, having fun sajaaaah, bahasa gaulnya mah. Betul gak, yaah?” ceracau Mamay dengan logat sundanya yang kental.
Mendengar logat yang aneh dan lucu begitu seketika Maria tertawa ngakak. Benar-benar ngakak tergugu. Air matanya sampai keluar lagi. Kali ini bukan tangis melainkan geli dan lucu.
“Kamu ini…, lucu sekali!” tudingnya pula menepuk pelan pipi si Muka Kuning.
“Iyah atuh, aku mah da lucu. Kata orang-orang juga aku ini teh, yah, suka melucu, ngebodor begitu. Mestinya mah aku jadi bodor sajah barangkali, yah? Kayak Sule, biar jadi orang kaya…, hehehe!”
Kembali Maria ngakak hebat. Mamay jadi takut juga. Gimana coba kalo mendadak kumat penyakitnya, pikirnya.
“Sudah kenyang ketawanya?” tanya Mamay waktu Maria berhenti ketawa.
“Eeeh, iya, sudah dulu, sudah!”
Maria menyambar gelasnya, dan meminum air putih itu dengan nikmat. Taapp! Sepasang mata bersitatap. Tangan keduanya sudah saling menggenggam. Duduk di pinggir ranjang. Mata mereka menembus kain gordeng, menyapu pemandangan di luar sana. Suwung, saatnya pasien tidur siang.
@@@
“Lihat itu!” Maria menunjuk keluar jendela kamar.
“Hmmm…” Mamay menyahut enggan, tanpa melepaskan novelnya.
Dari celah-celah kain gordeng mereka bisa melihat nuansa petamanan rumah sakit. Taman bunga, rumput Jepang, tanaman kembang kertas berselang-seling dengan pohon beringin dan bunga kemboja. Lapangan rumput itu sering digunakan untuk olah raga para pegawai dan tentara. Di sebelah ujung sana ada bangsal khusus untuk pasien sakit jiwa dan saraf.
“Apa kita boleh ke sana?” usik Maria pula.
“Kalo kita kuat, kenapa nggak?”
Bosan juga membaca melulu, pikirnya. Mamay turun dari ranjang, lalu membantu Maria untuk mengikuti jejaknya. Beberapa jenak mereka berdiri di samping gorden jendela sambil terdiam. Mata keduanya sama menatap nuansa alam di luar sana.
Duhai, kebebasan dan kesehatan, jerit Mamay mengawang langit.
“Kamu pernah pigi ke sana, Mamay?”
“Eeeh, belum pernah. Nggak ada temen sih. Kalo sendirian keluyuran ke sana mah, aah! Takut, nanti disangka pasien gila bagaimana atuh, apanan jadi berabe?”
Maria seketika menuding ke arah blok 13.
“Psst, lihat! Ada cewek berdiri dekat tiang tuh!”
Mamay mengikuti telunjuk Maria. Benar saja, ada sosok tinggi kerempeng dalam posisi aneh. Kaki kiri diangkat, tangan dua-duanya direntangkan seperti hendak terbang. Sementara kepalanya didongakkan ke langit.
“Kayak burung bangau di tengah sawah saja, ya?” gumam Mamay.
“Kita tengok ke sana, ayo!” Maria mendadak semangat sekali.
“Eee, apa kamu sudah sehat? Memang nggak apa-apa kalo kita ke luar?”
Mamay bimbang. Soalnya, baru kemarin oksigen dan infusan Maria dilepas. Bahkan makanannya pun masih banyak pantangan. Tak boleh makan daging dan tanpa garam. Tapi melihat semangat barunya, duh!
“Ayolah, kenapa nggak?” ujarnya sambil menyambar jilbab kaos di belakang bantal, dan mengenakannya cepat-cepat.
“Nikmatnya kalau kita di luar, hmmm!”
Maria berdecak nikmat begitu mereka sukses menyelinap keluar kamar. Melangkah pelan-pelan, menyusuri koridor menuju blok 13. Saat-saat begini pasien sedang tidur siang, dan para perawat tengah sibuk alih tugas.
Begitu hanya beberapa langkah dari sosok aneh itu, keduanya langsung tersentak kaget. Ternyata sosok itu bukan cewek, tapi, apaan tuh?
“Bencong, ya?!”
Maria berbisik sambil mencekal pergelangan Mamay kuat-kuat. Napasnya agak tersengal. Tapi semangat tualangnya kian menggebu.
“Coba tanya, kerja apa dia di situ?”
Mamay meliriknya sambil ketawa. “Yeee…, kenapa kamu teh jadi main perintah begitu?”
“Ayolah, Kawaaan!” desaknya.
Takut-takut Mamay mengintip kegiatan si Bango. “Iiih, gimana kalo dia ngamuk?”
Maria mencibir. “Ugh, kamu ini bagaimana? Belum dicoba sudah takut!”
Mamay merasa tertantang dan mendekati si Bango.
“Mbak, eeh, Maaas… Punten, aeh, maaf, ini teh lagi apa yah?”
“Ugh, jangan ganggu!” sergahnya galak tanpa merubah posisi jurus bango terbangnya.
Maria tiba-tiba mengikik. Mamay mengikuti arah pandangnya. Dan menghunjam di bagian selangkangan si Bango.
“Astaghfirullah! Apa-apaan itu?” sentaknya kaget sekali.
Buru-buru dia buang muka. Maria malah makin geli.
“Anunya ikut dijemur, ya Maaaas?” goda Maria.
Mamay mulai cemas, ditariknya lengan Maria. “Yeeeh… jangan begitu atuh! Ayolah, cepat kita pergi! Nanti ngamuk! Bagaimana?”
Maria menurut, balik kanan sambil menahan tawanya. Mereka baru beranjak beberapa langkah, saat si Bango berjingkrak meloncat. Dan menghambur ke arah kedua remaja itu. Dalam sekejap dia sudah berhadapan dengan Maria. Frontal!
Mula-mula dia hanya berkacak pinggang, lalu kedua kakinya dikangkangkan. Wooow, wooow…, syeraaam!
“Ituuuu…, iiiiyyy!” seru Mamay dan Maria ngeri.
“Aduuuh, beta takuuut!” Maria menggelayut di lengan Mamay kuat-kuat.
Si Bango malah eksyen. Sepasang matanya yang merah melotot, ditujukan ke arah Maria. “Tukaaar, ayooo, tukaaar!” tuntut si Bango.
Maria makin takut. Ini betul-betul horooor!
“Tukar apa?” Mamay mencoba mengalihkan perhatian si Bango.
Jadi takut macam-macam. Takut kegilaan orang itu. Takut jantung Maria kumat. Takut disalahkan, aaargh!
“Tolooong! Susteeer, Dokteeer, tolooong!” Mamay berteriak-teriak, melambai ke arah rombongan yang baru masuk dari gerbang belakang. Serentak beberapa orang bergerak ke arah mereka. Sementara si Bango malah semakin panasss!
“Aduuuh…!” Maria menggeloso sambil memegangi tiang koridor.
“Tukaaar, ayoooo!” cecarnya tanpa ampun. Waaah, pasien sakit jiwa itu sudah jongkok di depan Maria. Tangannya bahkan mulai eksyen pula. Meraba-raba tubuh Maria. Melihat hal itu Mamay semakin ngeri. Rasanya ingin terbang saja meninggalkan tempat itu. Tapi kan kasihan Maria!
“Bapak Tentaraaaa! Tolooong!” Mamay terus berteriak histeris.
“Maaaaaay! Beta seng mau ditukar sama dorang!” seru Maria.
Tiba juga seorang perawat pria, selang kemudian diikuti tiga orang rekannya. Mereka rame-rame menarik si Bango, menjauhi kedua remaja itu.
“Kalian jahaaat! Jahaaat! Aku mau operasi kelamiiin…!” Si Bango menceracau riuh saat digelandang kembali ke blok 13. Mamay dan Maria pun digelandang balik ke ruang perawatan. Tak urung suasananya menjadi heboh.
“Lain kali kalau mau jalan-jalan, bilang dulu, ya, Nona-nona manis?” kata Suster Ika Nurika. Para perawat segera sibuk menyambungkan selang oksigen kembali ke hidung Maria. Memeriksa jantungnya dengan alat perekam.
Sementara Mamay duduk mencangkung di ranjangnya. Gemetar dan merasa bersalah.
“Sudahlah, Kawan!” kata Maria setelah para suster meninggalkan kamar mereka.
Mamay menengadah dan menatap wajah sobat Ambon nan manise.
“Kamu nggak apa-apa, Maria?” tanyanya masih cemas, buru-buru turun dari ranjang dan menghampirinya.
“Beta seng apa-apa…. Amboi, beta suka main-main macam tadi. Lain kali kita ulang lagi, ya May?”
“Begitu ya, hihi….”
“Iya begitu saja, hihi…” Keduanya pun tertawa geli, mengenang lagi kronologi peristiwa siang itu. Belakangan mereka mengetahui kisah si Bango. Konon, dia putra bungsu petinggi militer. Sudah lama dia gandrung untuk alih kelamin. Kepingin sempurna menjadi perempuan. Tapi ortunya sangat menentang. Bahkan lebih suka sang anak masuk rumah sakit jiwa daripada dioperasi kelamin.
“Kok ada ortu yang begitu itu, yah?” tanggap Mamay lugu.
“           Prestise, prestiselah!” Maria mengomentari kisah yang dituturkan seorang pegawai rumah sakit itu.
@@@
“Panggil aku Meta!” Seorang remaja berperawakan tinggi kerempeng, memperkenalkan diri sebagai pasien baru. “Umurku pasti lebih tua dari kalian….”
“Beta kelas dua SMP,” tukas Maria.
“Kalo aku mah, euh, kelas tiga,” Mamay menyambung.
“Aku kelas dua SMA. Tapi badanku lebih kerempeng dari kalian, ya?”
“Yaap!” sahut Mamay dan Maria.
Maria dan Mamay serentak memperhatikan perawakan dara hitam manis itu. Sungguh kerempeng, seperti kurang gizi saja. Tulang-tulang dada dan bahunya menonjol. Jelas jauh lebih kurus daripada Maria!
“Paru-paruku bermasalah,” akunya polos. Belakangan mereka tahu juga, Meta mengidap kanker paru-paru, stadium lanjut. Meskipun begitu pembawaan Meta yang periang, lincah dan bersemangat membuat hati siapapun hangat.
Sejak ada Meta suasanana menjadi lebih cerah. Meta mahir dalam berbagai permainan. Mulai dari monopoli, domino, gaple, tebak-tebakan sampai catur dan game online dengan laptop mininya. Bertiga sering asyik main sampai larut malam.Terutama kalau tak ada yang datang membesuk. Atau saat-saat liburan, manakala para perawat longgar mengawasi.
Kebersamaan mereka telah lebih sebulan. Persahabatan yang kental, lahir dari perasaan senasib dalam kesakitan dan dukacita. Sering saling berbagi dalam rasa sakit, kecewa bahkan putus asa. Seperti yang terjadi malam itu.
“Tahu nggak! Aku ini sebentar lagi akan menghadap Ilahi Rob!” cetus Meta tiba-tiba di tengah keasyikan main monopoli.
“Berita basi tuh! Kita juga calon mayat da atuh! Ya kan, Maria?” tukas Mamay sarkastik. Ia mengerling Maria yang kian hari tampak makin kurus. Bibirnya pun makin membiru-ungu. Maria tengadah dan mengangguk jujur.
“Begitulah. Kami pun sudah dinyatakan tak punya harapan hidup lagi,” sahut Maria kalem. Meta memandangi wajah mereka bergantian seakan tak percaya.
“Kayaknya pergi lebih baik. Tinimbang banyak nyusahin orang tua dan adik-adik, ya kan?” Mamay seketika terdengar serius, sekaligus pasrah.
Ia berjuang keras untuk menerima kenyataan hidupnya. Melihat derita Umi dan adik-adiknya yang enam orang. Ayah yang harus berbagi perhatian antara tugas negara dengan mencari darah, mengantar makanan, menebus obat putri sulungnya.
Duhai, kesakitan! Apalagi yang harus dilakukannya selain pasrah?
“Iya, beta pun pilih jalan itu. Kasihan Mama kalau harus lebih lama lagi ikut susah,” dukung Maria.
Meta terdiam dan menekurkan wajahnya dalam-dalam. Hotel-hotel dan properti yang telah diperolehnya dalam permainan monopoli, seperti biasa selalu paling banyak. Ini hanya sebuah permainan!
“Kalian ini…, pecundaaang!” sergah Meta tiba-tiba lantang.
Maria seperti biasa lekas sekali kaget. Kali ini hanya sebentar. Kelihatannya dia mulai terbiasa dengan kelakuan Meta yang kadang mengejutkan.
“Kebiasaan amat sih? Kasihan kan Maria!” protes Mamay, memelototi Meta.
“Kalian memang dua pecundang menyedihkan! Menyebalkan! Mengerikaaan!” cerocos Meta tanpa ampun. Digebraknya papan monopoli. Permainan seru pun berantakan sudah!
Meta loncat dari ranjang Maria yang selalu dimanfaatkan untuk bermain bertiga.
“Hei, heei…, mau ke mana?” seru Mamay.
“Auk, ah, elaaap!” sahut Meta terdengar penuh amarah.
Mamay pun loncat dan mengejarnya ke luar kamar. Diikuti oleh Maria yang tak sudi ditinggalkan sendirian. Masih ramai, ini malam Minggu banyak orang menunggu. Tapi Meta memilih tempat di bawah jendela kamar mereka. Senyap, tak ada orang lalu-lalang. Beberapa saat tak ada yang berbicara. Bertiga duduk di teras, memandangi cakrawala yang memamerkan langit biru bening. Sepotong musim kering yang panjang baru saja berlalu.
Bangunan blok 13 tampak samar-samar dilingkupi cahaya rembulan empat belas. Lamat-lamat terdengar jeritan penghuninya. Melolong-lolong dan saling menyahut. Demikian yang selalu diperdengarkan dari arah blok khusus itu.
“Mending kayak mereka, ya? Gak perlu mikir,” cetus Meta tiba-tiba membuyarkan senyap di antara mereka. Tak ada yang menyahut.
“Kalian ini memang betul-betul….”
“Jangan lanjutkan, Meta, tolong…,” Mamay memelas.
“Kalau bukan pecundang, apa coba?”
“Damai, damailah kita sama takdir, yeah?” Maria menukas.
“Iya, kita ini orang beragama. Pasrah sajalah! Memangnya mau apalagi?”
“Sudahlah, ayo balik!” Maria menggamit tangan Mamay. Keduanya seketika balik kanan, meninggalkan Meta yang terperangah.
@@@
Hari-hari berikutnya dilalui mereka dalam kemuraman yang kian mengental. Maria semakin sering kumat, sehingga bolak-balik diangkut ke ruangan ICCU. Mamanya belum kembali dari Ambon. Kaum familinya tak seorang pun yang muncul.
Meta mulai menjalani kemoterapi dengan berbagai ekses mengenaskan yang diperlihatkannya. Kadang ia mau ditemani neneknya, satu-satunya orang yang masih memedulikan dirinya. Namun, ia lebih sering minta dibiarkan menanggung deritanya sendirian. Sang nenek terpaksa meninggalkannya sambil bercucuran air mata.
Sementara Mamay masih bolak-balik menjalani berbagai pemeriksaan. Mulai dari yang ringan seperti diambil darah, hingga yang menyakitkan diambil cairan sumsum tulang. Ia sering merasa dirinya sebagai riset dan percobaan para dokter.
Kamar mereka terasa muram dan sendu. Tak ada lagi tawa canda, main tebak-tebakan atau suara cekikikan. Terbang terbawa angin kesakitan yang tiada ujung, tak tahu kapan berakhir. Dan bayang-bayang kematian itu serasa kian mendekat. Siap menyergap!
Petang itu, manakala tak ada yang membesuk. Meta mengajak Mamay ke ICCU. Kali ini mendapat restu dari Suster Ika Nurika. Bahkan diantar sampai tujuan, dibiarkan untuk menyelesaikan uneg-uneg. Demikian istilah Mamay sebagai dalih saat minta izin.
Berdiri di belakang jendela kaca, lama keduanya hanya tertegun-tegun. Dua pasang mata mengarah lurus-lurus ke atas ranjang Maria. Letaknya tepat di samping jendela kaca. Maria sungguh tak berdaya. Alat-alat penyambung kehidupan bak mengeroyok tubuhnya yang ringkih dan seperti menciut.
“Apa kita boleh masuk?” bisik Mamay, merasakan dadanya sesak. Air bening mulai merembes dari sudut-sudut matanya.
“Kenapa nggak, ayooo!” sentak Meta seperti biasa gampang terkompori. Mamay merasakan tangannya dihela kuat.
Blaaasss…, tahu-tahu mereka sudah masuk ke dalam ruangan full AC itu!
“Hei, mau apa kalian?” seorang suster tersentak menjegal langkah mereka.
“Mau nengok sobat kami, boleh kan?” sergah Meta cuek.
“Tapi kalian…, pasien kan?”
“Sudahlah, biarkan mereka, Dik Titin!” Ups, Suster Ika Nurika sudah balik dari laboratorium agaknya.
“Ooh, pasien Ceu Ika?” Suster Titin melembut. “Tapi ganti baju dulu, ya!”
Kedua remaja itu menurut, mengenakan baju khusus warna hijau pupus. “Pssst, ayo ngomong, May.” Meta berbisik saat mereka sudah berada di samping ranjang Maria.
“Iya, iiih! Tapi ngomong apa atuh?” Mamay menyentuh tangan Maria. Dingin. Air bening mulai merembes di pipi-pipinya yang pucat.
“Trus, ngomong teruus…,” bisik Meta lagi, sama mulai menderaikan air mata pilunya.
“Apa kamu bisa dengar kami, Maria?” sapa Mamay. Tak ada reaksi. Hanya alunan napas satu-satu, begitu lembut dan semayup.
“Dengarkan saja omongan kami, ya?” tukas Meta sekuat daya menahan air matanya. Ia mengambil jari-jemari Maria dan menggenggamnya erat-erat. Seolah ia ingin mengalirkan hawa kehidupan, kehangatan dan uluran persahabatan yang telah mereka pupuk dalam dua bulan terakhir. Mamay mengikuti jejaknya.
Maka, dalam sekejap jari-jemari ketiganya telah lekat menyatu.
“Begini, Maria sayang,” Meta mengawali curhatnya. “Aku sudah dikemo sekali. Kamu nggak sempat lihat aku muntah-muntah, maboook! Kasihan Mamay, ikut mual dan ikut muntah…. Mmm, giliran kamu, May!”
“Dokter sarankan, limpaku harus diangkat secepatnya,” sambung Mamay. “Sudah gede banget sih. Katanya S 4, hihihi…. Kayak gelar sarjana saja, yah?”
“Pssst, Maria, dengarkan baik-baik, ya!” sambar Meta lagi. “Kamu harus kuat! Biar bisa keluar lagi dari ruangan ini. Bener nih, sehat lagi, ya? Nanti kuberikan kotak musik Balerina itu buatmu. Sueeer!”
Sementara air mata kedua dara itu terus-menerus berbuncah ruah.
“Aku yakin dan percaya dengan semangatmu, Maria! Kan kamu harus ketemu Mamamu…. Kalo kamu keluar dari ruangan ini, aku akan berikan semua koleksi buku harian dan novel Islami milikku itu. Asliii!”
“Yeee…, tapi dia kan noni!” Meta mengingatkan, mengusap air matanya yang meleleh hebat di pipinya, sebagian membasahi tangan sahabat tercinta. “Jangan maksa deh, ah!”
“Eh, iyah, yah…. Tapi, selama ini Maria senang kok baca novel Islami?”
“Itu kan lantaran gak ada bacaan lagi!”
“Gak lah, wong dia juga punya majalah kok….”
“Iya, tapi itu majalah lama, taaa-huuu!”
“Pokoknya….” Meta mulai main pelotot. Mamay juga tak mau kalah. Balas melotot, meski air bening masih jua mengalir deras dari sudut mata keduanya.
“Ka-li-aaan…, ba-ku han-tam lagi?” Sekonyong ada gumam meruyak. Meta dan Mamay seketika terdiam, tangis pun mendadak berhenti. Serentak keduanya mengalihkan pandang ke wajah Maria. Sepasang mata sembab itu terbuka. Bibirnya yang keunguan menyungging senyum tipis.
“Mariaaaa…!” seru keduanya tertahan.
Betapa ingin Mamay dan Meta memeluknya kuat-kuat. Tapi kabel-kabel yang mengeroyok di atas tubuh kecil itu, membuat keduanya mengurungkan niat. Mereka hanya bisa lebih mendekat, lebih erat menggenggam telapak tangannya.
Masih kelewat dingin, kesah Mamay dalam hati.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Mamay, kembali menitikkan air mata.
“Nanti, kalau beta pergi lebih dulu….”
“Pssst, jangan bilang begitu!” tukas Meta, sama menitikkan air mata.
“Tapi beta harus bilang….” Maria berjuang keras untuk mengucapkan kata demi katanya. Air mata kian buncah di pipi Meta dan Mamay. “Kalau beta pergi sambil senyum, tolong bilang Mama, ya…. Beta sudah bahagia dan damai di sana….”
Di bawah kesaksian dua sahabatnya, sesungging senyum memang kemudian meleret di bibir bersemu ungu itu. Selamat jalan, Saudariku sayang!
Pagi itu, hari Minggu yang kelabu. Hujan bulan Desember senantiasa mengguyur sepanjang malam. Kini tinggal gerimis yang masih renyai. Berdiri di koridor seberang kamar jenazah, Mamay dan Meta bungkam seribu bahasa. Mereka tahu diri, tak mungkin lebih mendekat lagi. Suster Ika Nurika menggenggam telapak tangan keduanya erat-erat.
Rombongan jemaah gereja telah mengangkut kereta jenazah Maria. Mama Maria lungkrah dan nyaris pingsan, digandeng oleh dua orang ibu. Tak tampak sosok ayah yang pernah diperlihatkan Maria melalui potretnya. Maria pernah curhat, tentang ayah yang tak bisa menerima kenyataan putri semata wayangnya penyakitan. Ujung-ujungnya lelaki itu merasa tak tahan, pergi meninggalkan keluarganya. Entahlah!
Ambulans mulai bergerak meninggalkan kawasan rumah sakit. Suara sirine menggaung dan terdengar amat memilukan. Seolah-olah mengingatkan bahwa suatu saat prosesi seperti ini akan menimpa siapa pun, tanpa ampun!
“Sudah, ya? Kita balik, yuuuk?” Suara lembut Suster Ika Nurika memecahkan hening yang mengapung. Tak ada yang berkata-kata selain anggukan lemah. Mamay mencoba mencari sesuatu di cakrawala di atas kepalanya. Sesuatu yang bisa melegakan rongga dadanya.
Tidak, tak ada sesuatu apapun kecuali; pasrah lilahitaala! (Revisi,2017, Pekanbaru)
@@@




Duet Asshohwah & Babussalam: Bintang Bintang Pesantren

$
0
0

Bintang Bintang Pesantren

 





Prolog
Buku kumpulan kisah inspirasi dari dua pesantren ini masih dalam proses penyuntingan. Untuk menyemangati, tidak masalah jika kita pamerkan sekaligus promosikan di medsos sekarang. Berharap akan semakin banyak bermunculan penulis Islami dari basicnya, yakni pesantren.

Lombok, 15 Pebruari 2017

Tiba di Bandara Praya Lombok pukul 19.45, sudah ditunggu oleh Umi Kulsum beserta seorang Ustadah dan sopir. Selalu kangen setiap kali melihat sosok Muslimah berasal dari Garut ini. Jumpa dan kenalan pertama kali dulu sekali, 2005, ketika aku diundang ICMI ke Mesir bersama Gola Gong, Irwan Kelana dan Fauzil Adhim.

“Teteh mah tampak awet muda, rasanya seperti sama saja ketika kita ketemu terakhir kali,” sambutnya ramah saat memelukku dengan hangat. Kemudian memperkenalkan akhwat di sebelahnya, dan menyilakan Mas Man membawakan koperku.

“Kan belum lama juga Teteh dari Lombok,” komentarku. “Bawa janji harus kembali untuk mencetak karya santri Asshohwah.”
“Iya, Teteh, sok atuh kapan mau menerbitkan buku santri Asshohwah?”
“Pulang dari sini, insya Allah, sekarang sudah ada sponsornya.”

Kangenan dilanjutkan dalam kendaraan, kami bergerak menuju villa yang telah disediakan, milik sahabat pimpinan Asshohwah, Kyai Taesir. Tiap kali jumpa ibu muda sebaya anakku ini, kerap kuingin menggodanya tentang poligami. Namun, seperti saat-saat sebalumnya si Geulis nan solehah hanya senyum-senum ikhlas.

Sesi pertama kelas menulis dariku dimulai keesokan hari, 16 Pebruari 2017. Aku dibuat terperangah takjub dengan pemandangan di tengah pesawahan masyarakat Biletepung.

Bangunan pontren Asshohwah telah berubah sangat pesat. Masjid Utsman Bn Affan berdiri dengan megahnya. Bangunan untuk Asrama Putri pun sudah tampak. Sementara bakal Asrama Putra masih berupa tiang-tiang pancang di seberang Masjid.

“Masya Allah, ini sudah tampak sekali akan menjadi megah dan gagah pesantrennya,” komentarku. “Setiap kali singgah ke sini ada saja perkembangan yang membanggakan. Semoga berlahiran terus para mujahid Islam dari sini.”

Umi Kulsum mengaminkan harapan dan doaku. “Silakan, Teteh, para santri sdah menunggu,” ujarnya seraya menggamit tanganku memasuki Masjid Utsman Bin Affan.

Tampaklah wajah-wajah generasi harapan bangsa di masa depan yang sudah siap menerima transfer ilmu. Kebanyakan santri setingkat SMP dan SMA. Ada juga barisan ustad dan ustadah di tengah mereka. Acara dibuka oleh Kyai Taesir, dilanjutkan dengan pembacaan kalam Ilahi seorang santri bersuara merdu sekali. Kepala Sekolah SMA Asshohwah, Ustad Akhyar memberi pengarahan kepada santri dan menyilakanku untuk memulai kelas menulis.

Pada kesempatan kali ini aku bisa mendapatkan akses internet dari ponselku. Wifi-nya belum terpasang agaknya. Menurut Ustad Akhyar, mereka sudah lama juga mengajukan pemasangan Indovision. Namun hingga saat itu belum juga terpasang, tidak jelas kendalanya di mana.

“Mari kita mulai tangkap semangat untuk maju bersama,” seruku mulai  menyemangati hadirin. “Agar lebih semangat kita senam otak dulu, ya. Setuju?”
“Setujuuuuu!” sambut para santri.

Begitulah biasanya kuawali dengan motivasi ala si Manini. Selanjutnya kelas menulis berlangsung dengan pemberian materi, kiat-kiat menulis pun ala si Manini. Manini panggilan kesayangan murid-muridku di pelosok Tanah Air dan mancanegara. Tidak ada teori-teori sastra, sebab aku bukan jebolan akademisi, melainkan penulis otodidak yang terlahir dan berkembang sesuai zaman.

Dilanjutkan dengan sesi Dialog Interaktif, kemudian praktek menulis. Setelah dikumpulkan, diambil 3 terbaik dan diberi hadiah novel karyaku. Sudah dijadwalkan kelas menulis lanjutan, Sabtu, 18 Pebruari 2017. Romel pakar Blogging-Media dan sponsor Mandiri Amal Insani akan memberikan materi sesuai kapasitasnya masing-masing.

Sesungguhnya banyak juga tulisan anak-anak yang bagus, menginspirasi dengan ciri khas dan aura pesantren di kawasan Lombok. Namun karena format dan ketebalan untuk bukunya sudah diperhitungkan sesuai budget, maka, ndilalah!

Dari dua pesantren yakni; Asshohwah Al Islamiyah-Lombok dan Babussalam-Pekanbaru, sebuah buku kumpulan kisah inspirasi Bintang Bintang Pesantren, aku sunting dalam dua pekan. Sebab ada jarak waktu sebulan antara kelas menulis sesi pertama di Lombok dengan kelas menulis kedua di Pekanbaru.

Adapun sesi kedua kelas menulis di pesantren Babussalam-Pekanbaru diselenggarakan pada 26 Maret 2017. Ini pertama kalinya aku singgahi. Namun, ternyata Kepala SMA IT Babussalam, Ustad Imran Effendi sekampung dengan ayah anak-anak di Padang Lawas, Tapanuli Selatan.

Seketika keakraban persaudaraan sesama asal halak hitapun terjalin uniknya. Padahal aku asli Sunda, tetapi demi ukhuwah bisa mengimbanginya dengan celetukan-celetukanku gaya halak hita.

“Jadi,” kataku dengan nada serius sekali. “Contoh pembukaan paragraf pertama sebuah cerpen sbb; Telah lahir bayi tanpa tulang. Bayi perempuan, beratnya 2,8 kilo, sehat dan cantik. Bayi ini memang hanya ditunggui oleh ayah dia, opung dia, tanpa tulang dia. Karena si tulang sedang sibuk narik metromini. Horas bah!”

Geeeerrr saja, hadirin terbahak-bahak dengan lontaran candaanku. Pak Kepsek yang sempat keluar sebentar, balik masuk ruangan, kusambut dengan: “Alhamdulillah, sekarang Tulang pun sudah kembali bergabung….”

Semakin ger-geranlah suasana ruang kelas menulis siang itu.
Baiklah, singkat cerita, inilah buku hasil kelas menulis di dua pesantren. Menyajikan 20 kisah inspirasi, ditambah pengantar, sekapur sirih, prolog serta epilog. Tidak terlalu sulit saat menyuntingnya, hanya sedikit menambahkan, tepatnya merevisi rasa bahasa, lokasi dan pengaturan paragraf. Untuk pemula semua tulisan di buku ini sudah lebih dari cukup. 

Berharap kelak akan menjadi para penulis mumpuni dengan ilmu yang mereka miliki. Mahir melahirkan karya yang berrmuatan dakwah bl qolam, bernapaskan Islami. Sebagai karya yang dapat menjawab tantangan zaman, menyeimbangkan buku-buku yang ditulis oleh mereka pembenci Islam. Mereka yang sering menyudutkan Islam dengan karya-karya menyesatkan.

Mari, kita gelorakan semangat Islam dalam sastra dan literasi Indonesia. Bahwa Islam itu Indah dan Rahmatan lil Alamin. Sepakat?
Takbir!
Allahu Akbar! (Pipiet Senja, Pekanbaru, Maret 2017)

@@@

Nukilan Novel Imperium: Pipiet Senja

$
0
0

Ilustrasi dari Google

Badai topan delapan telah usai. Langit kembali biru bening, angin lembut membelah jalanan Sau Mau Ping. Dua sosok muda itu melesat  melalui taman-taman luas dan indah. Sau Mau Ping memang terkenal dengan taman dan penghijauannya.
Apabila musim panas akan tampak banyak lansia berkeliaran di taman yang difasilitasi peralatan olah raga, toalet yang nyaman dan bersih, bahkan ada spa dan sauna. Semuanya gratis!
“Benar-benar keren tempat ini. Cocoknya buat kaum lansia,” gumam King, masih terengah-engah mengejar bayangan Lee yang terus mendahuluinya.
Sesungguhnya ia nyaris berhasil melampaui Lee di penghujung taman itu. Namun, seketika matanya melihat sosok perempuan berbusana Muslimah dengan jilbab ungu. Perempuan itu sedang duduk di bangku seperti melamun, seorang diri. Tatapan matanya dilayangkan ke kejauhan, mungkin ke balik kerimbunan pohonan, mungkin juga ke batas cakrawala.
Dalam sekejap King menghentikan gerakannya, mengawasi sosok paro baya itu dari kejauhan. King serasa pernah melihat sosok itu, wajah yang menguar dukalara itu, tetapi ia sama sekali tak ingat. Entah di mana?
Betapa ingin ia menghampirinya, namun kaki-kakinya malah seolah terpacak kaku di tempatnya. Sedetik perempuan paro baya itu menoleh ke arahnya, detik kemudian ia beragak bangkit dan berseru: “Naaaaak! Rajaaaa!”
Namun, seorang perempuan sebayanya telah berdiri di hadapannya. Menggaetnya, seperti setengah memaksa membawanya pergi dari taman.
“Apa?” King merasakan tubuhnya seketika menggigil hebat.
Matanya tak lepas dari sosok berjilbab ungu itu. Sebagaimana perempuan itupun masih menoleh ke arahnya, memandanginya tak lepas-lepasnya.
Oh, mengapa dia tidak berhenti saja?
Lee telah berada di sampingnya. “Ayo, lanjutkan! Masih satu blok lagi!”
“Aku…, itu seperti kukenal,” desis King dengan bibir menggeletar.
Lee memandanginya keheranan. Sejenak ia pun mengikuti arah pandangan  mata King. Tetapi, ia merasa tak melihat sesuatu yang patut dicurigai. Tidak ada sosok para geng triad, tidak ada. Ini kawasan aman!
“Ada apa, King?”
“Ehhhrrr, tidak, tidak apa-apa,” akhirnya King menyerah dengan rasa sakit di kepala yang mendadak menyerangnya. “Hanya kepalaku ini, kepalaku, aduh!”
Lee  menyangga tubuh di sebelahnya agar tidak ambruk.
“Waduh, mau pingsan, ya? Jangan di sini, nanti saja di rumahku,” katanya masih mengajaknya bercanda.
Lee tidak menyangka, ternyata sosok di sebelahnya sungguh serius mendadak ambruk!
Beberapa orang yang mengenalinya segera memberi bantuan.
“Bawa ke klinik kami, ayo, cepaaat!” perintah Lee.
“Iya, dokter, kami akan mengangkutnya,” ujar seorang lelaki berperawakan tinggi kekar.
“Silakan dokter jalan duluan,” sambung temannya yang segera sibuk, ikut menggotong tubuh anak muda yang ambruk di taman itu.

@@@

Kisah Chacha: Karya Santri Babussalam

$
0
0



Ilustrasi Kover Novel Pipiet Senja


Kisah Chacha
Ryma Fauzana

“Kenapa datangjua, ya?” gumam Chaca saat terbangun dari tidurnya yang lelap.
Malas-malsan ia menguap dan mulai duduk. Padahal enaknya melanjutkan tidur, berselimut kembali.
Kamu sudah bangun, Chaha sayang?” panggilan ibunya dari luar kamar.
“Sebentar, Ma!”

Hari ini Chacha harus mendaftar ke SMA Babussalam yang berasrama. Hari-hari selanjutnya ia harus tinggal di asrama bersama teman-temannya.
“Huh, sungguh menyebalkan!” sungutnya sebal.

Sejak sebulan lalu ia sudah menyatakan keberatan kepada orang tuanya. Ia tak mau masuk sekolah berasrama. Tidak, tidak, tidaaaak!
“Chacha tidak mau sekolah di sana, Ma, Pa!”
“Nak, itu sekolah bagus sekali. Terkenal sudah banyak meraih kejuaraan-kejuaraan bahkan tingkat Nasiona.”
“Iya, Nak,” tambah ayahnya. “Di sama kamu akan banyak teman. Bergaul dengan teman-teman perempuan.”

“Jangan gaulnya dngan anak laki-laki saja.”
“Di Pesantren itu kamu akan berubah, percayalah!”
“Berubah menjadi anak yang baik, shalehah.”

Chacha membiarkan orang tanya saling menyahut, menyemangati dan memberi pengertian. Ia bergeming dengan kepusannya sendiri.
“Pokoknya, Chacha tak mau sekolah di Babussalam. Titik!”
“Terserah!” Papa mulai kesal dan bernada tinggi. “Kalau tak mau sekolah d sana, kamu tidak akan sekolah di mana pun.”

“Haaaah”
“Ya, homeschooling saja!”
“Demikian keputusan kami. Habis perkara!” Papa mengakhiri perdebatan.
“Yaaaa, kalian ini,” gerutu Chacha. “Segitunya sama anak semata wayang?”
“Tapi dripada homeschooling, hiiiiy, amit-amit! Mending menurut sajalah,” pikir Chacha kemudian. Terbayang dirinya hanya sendirian dengan seorang pembimbing?

Sekarang Chacha si anak manja semata wayang sudah berdiri di parkiran mobil kawasan Babussalam. Nah, ihatlah!
“Sementara kami ke ruang guru untuk urus pendaftaran dan administrasi,” ujar Papa. “Kamu bisa lihat-lihat suasananya, ya Cha.”

“Boleh sendirian?” Chacha menatap Mama dan Papa.
“Iya, kurasa boleh saja. Ayo, sana, temui teman baru,” kata Mama.
Chacha mulai berjalan sendirian, melihat-lihat suasana sekolah yang akan dihuninya mulai bulan depan. Seketika ia teringat gengnya di sekolah lama. Nathan, Dilan dan Rey.

Sejak kelas satu mereka bersahabat erat. Mereka melakukan segala macam kegiatan bersama. Taekwondo, atletik, tenis, renang, futsal bahkan relly GP. Maklum, gengnya semua anak cowok!
“Kamu semakin seperti cowok kalau temanmu hanya cowok,” protes Mama.
“Biarlah begini!” sahut Chacha tak peduli.
“Kalau sudah lulus nanti, kamu harus sekolah berasrama,” vonis Papa.
“Tidak, tidak, tidak maaaaau!” teriak Chacha ketika itu.

Namun, akhirnya ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada gengnya.  Mereka bertemu di kafe favorit.
“Aku tak mau homeschooling. Bisa sinting aku kalau tak punya teman,” kilah Chacha di hadapan gengnya.
“Hmm, ada baiknya kamu ikuti  keinginan orang tua,” ujar Nathan yang belum lama kecelakaan, tabrakan saat relly GP. Sejak itu kelakuannya memang agak berubah. Setidaknya ia selalu menolak untuk ngebut dan ugal-ugalan lagi.

“Iya juga sih,” dukung Dilan. “Aku kapok selalu bangkang kepada Mama. Mana aku hanya punya Mama seorang,” kesah Dilan.
Maklum, ayah Dilan meninggalkannya entah kemana, sejak ia masih bayi.
“Kamu bagaimana?” tanya Chacha gantian menatap Rey.

Rey garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Wajahnya yang ganteng memikat setiap gadis yang melintas d sekitar mereka. Belakangan ia mulai serius terjun ke dunia entertainment. Ia menjadi bintang iklan produk baju remaja yang sedang trendy.

“Sepertinya aku tak punya saran. Aku lagi fokus mau ke Jakarta,” akhirnya Rey mengucapkan selamat tinggal juga kepada mereka.
“Kurasa aku jadi ikut Mama ke Belanda saja. Hidup di Indonesia semakin susah, kata Mama,” keluh Nathan menyerah.
Gengnya memang sudah berakhir!

“Selamat tinggal masa-masa kacau dan galau di SMP,’ gumam Chacha saat
berpisah dengan gengnya.
“Ha, kamu santri baru, ya?” sapa seorang anak sebayanya dengan senyum manis dan sepasang lesung pipit di pipi-pipinya.
“Ya, begitulah,” sahut Chacha.

“Kenalan, ya, namaku Fatirah,” sambungnya tetap ramah dan murah senyum.
            Dalam sekejap Chacha merasa tertarik untuk mengenal lebih jauh.
Chacha menerima uluran tangannya. “Panggil aku Chacha saja.”
“Ayo, aku temani untuk lihat-lihat sekitar sekilah,” ajaknya pula tulus.

Mereka berkeliling di sekitar sekolah. Banyak tanaman dan bunga warna warni, indah dan segar hawanya. Di kawasan ini diterapkan disiplin untuk sama ramah lingkungan. Tak boleh buang sampah sembarangan. Tong sampah sudah tersedia di berbagai sudut. Keran dan selang air pun tersedia di mana-mana agar mudah menyirami tanaman.

“Sejak kapan kamu tinggal di sini?”
“Sejak kecil.”
“Hah?”
“Nanti kuceritakan. Sekarang kita ke kantin, ayo Chacha,” ajak remaja berbusana Muslimah itu ketika sudah berkeliling. “Cari minuman segar, ya?”

“Tapi aku tidak bawa uang.”
“Jangan kuatir. Aku  yang jualan minuman segar di kantin. Kali ini gratis!”
“Hah?”

Belakangan Chacha tahu juga identitasnya. Fatirah anak asuh Ibu Kantin. Ia dibawa Ibu Kantin saat masih kecil dari kawasan bencana alam di Jambi. Keluarganya semua tewas dalam bencana alam itu.
“Serius, kamu tidak punya orang tua lagi?” tanya Chacha penasaran.

“Orang tua kandung tidak ada, tetapi aku puya orang tua asuh. Mereka memperlakukanku dengan baik sekali. Seperti anak mereka sendiri,” jelas Fatirah dengan mata berbnar-binar, bahagia.
Chacha tertegun. Di hadapannya ada seorang anak sebaya dirinya, sudah tak punya keluarga. Namun, ia tampak berbahagia. Bukankah seharusnya ia pemurung, mengenang nasibnya yang malang itu?
“Tentu saja kita harus bersyukur, Chacha.”

“Oh, ya, bersyukur!”
Itulah kunci kebahagiaan, pikir Chacha.
“Segar! Terima kasih, ya Fati, minumannya sungguh menyegarkan. Rasanya hati dan pikiranku langsung kinclong,” puji Chacha tulus.

“Semoga kerasan tinggal di sini,” kata Ibu Kantin, yakni ibu asuh Fatirah dan beberapa anak lainnya.
Alhasil, ada subsidi silang di sekolah ini. Bagi mereka yang mampu dipatok uang masuk lumayan tinggi. Namun, bagi anak tak  mampu digratiskan semuanya. Tanpa ia sadari, pertemuan ini telah memberinya satu pelajaran sangat berharga. Terutama tentang makna bersyukur.

“Fatirah dan teman-teman dhuafa bisa bertahan di sini berkat para dermawan yang rutin menyetor sumbangan. Kalau Lebaran kami juga berlimpah kebahagiaan. Menikmati zakat para donator,” kisah Ibu Kantin panjang lebar tentang kehidupan Fatirah dan teman-teman senasib.

Sepanjang jalan menuju ke kantor, Chacha merenungkan semua cerita tentang kebahagiaan dan berkahnya tinggal di kawasan Babssalam. Baru menyadari bahwa selama ini hidupnya aman-aman saja, sejahtera dan berkeimpahan kemanjaan.
Tetapi, mengapa dirinya tidak bersyukur?

Oh, ya, tentu saja sebab selama ini ia terbawa arus pergaulan yang tidak benar. Nathan, Dilan, Rey dan teman lainnya. Mereka lebih suka mengajaknya hura-hura, menganggap ringan semuanya.
Ya Allah, pastinya itu dosa, ya Tuhan, bisiknya kini dalam  hati.
“Bagaimana, Nak? Sudah lihat-lihat?” Mama menanyai kesannya.
“Iya, Ma, aku suka suasananya,” kata Chacha jujur.
“Sudah punya teman?” selidk Papa.
“Pasti belumlah, Pa,” kata Mama.

“Yeeeeh, siapa bilang? Aku sudah punya teman baik. Namanya Fatirah. Keren anaknya, Ma, Pa. Meskipun dia sudah yatim-piatu, korban benccana alam, tampaknya bahagia saja,” ceracau Chacha dalam nada riang.

Papa dan Mama saling pandang. Hampir tak percaya mereka akhirnya bisa melihat Chacha tampak riang dalam tempo relatif singkat.
“Sering-sering tengok aku, ya Pa, Ma?” pinta Chacha sebelum melepas orang tuanya pulang.
“Kelas baru akan dimulai awal bulan. Selama itu kamu bisa pengenalan lingkungan sekolah,” jelas Papa.

“Kalau ada apa-apa, minta Pembina hubungi kami, ya Nak,” pesan Mama.
Betapa sedih sesungguhnya hati Chacha. Seumur-umur ia tak pernah berjauhan dengan orang tua. Ke mana-mana ia selalu ikut mereka. Mama dan Papa dinas ke mancanegara pun pasti dibawanya serta. Sekarang ia harus berjauhan dengan Mama dan Papa.

Namun, sebelum terjebak dengan perasaan sedihnya, sosok Fatirah kembali mendatanginya. “Sudah beres semua urusan?” tanyanya ramah.
“Sudah.”
“Ayo, kuantar kamu ke Asrama kita,” ajaknya.

Sesampai di pintu gerbang Asrama Putri, anak-anak baru harus diperiksa barang bawaannya. Satu per satu mereka menyodorkan koper masing-masing. Beberapa senior melakukan tugas, memeriksa isi koper dengan cermat.

“Tablet ini tak oleh dibawa ke kamar. Kami ambil, nanti minta dibawa orang tuamu, ya,” ujar seorang senior.
Hati Chacha langsung menciut. Tablet kesayangan, selamat tinggal!
Rupanya aku memang harus hijrah, pikirnya.
“Nah, kita sekamar di Aisyah,” cetus Fatirah.

“Baguslah,” komentar Chacha masih merasakan sesuatu yang hilamg dari dalam dadanya. “Kuharap kamu mau mengajariku menjadi seorang santri yang baik di sini.”
“Insya Allah,” tawa Fatirah renyah.

Ada lima ranjang bertingkat di kamar bernama Aisyah. Penghuninya ada 10 orang, tetapi yang sudah datang baru separuhnya. Fatirah mengajak Chacha memilih ranjang mereka.
“Aku suka di dekat jendela. Serasa tersambung dengan dunia luar,” gumam Chacha.
“Baik, kita ambil tempat tidur yang ini,” kata Fatirah menyetujuinya.
Fatirah membantunya memasukkan barang ke lemari. Mujurlah, Chacha menuruti saran Mama agar tidak bawa banyak baju. Lemarinya mungil, hanya cukup untuk beberapa baju saja.
“Baju-bajuku bisa ditaruh di lemari Kantin. Jadi, kamu bisa pakai lemari ini sendiri.”
“Oh, jangan. Ini sudah cukup. Bagian atas untukku, ya?”

Aku harus mulai beradaptasi dan mensyukuri kondisi apapun di sini, pikir Chacha.
Ia merasa ketinggalan banyak hal oleh Fatirah. Bayangkan, dalam kondisi serba terbatas, Fatirah ternyata telah meraih berbagai prestasi. Tiap tahun peringkat satu, sering mewakili berbagai lomba dan Olimpiade Sans.

Lantas, apa yang telah kamu peroleh selama ini, Chacha? Semua hobi dan kegiatan selama ini bersama gengnya, tak ada yang menghasilkan. Hanya kesenangan, hura-hura belaka. Tak pernah ada piala, trophy dan sebagangsanya. Malah beberapa kali ia nyaris celaka akibat ngebut.
Gengnya memang gila-gilaan. Masih SMP sudah berani bawa mobil sendiri. Tanpa SIM, tanpa STNK, mereka gantian ngebut di jalanan protokol. Astaghfirullahal adziiiim, gumamnya kini berulang kali mengucapkan permohonan ampunan kepada Sang Pencipta.

Malam itu untuk pertama kali dalam hidupnya, Chacha merasakan suasana sebuah pesantren. Ia menemukan satu hal yang sangat terasa dan berbeda, yaitu kebersamaan. Ya, semuanya dilakukan secara berjamaah.

Ibadah bersama, sholat, mengaji, sholawatan, bahkan makan pun berjamaah. Semua kebagian secara merata. Tak ada yang heboh karena tidak kebagian jatah. Semua kebagan jatahnya masing-masing.
Ia pun bisa tidur dengan lelap. Ketika terbangun dinihari, ada kenyamanan dan kelapangan dalam dadanya. Rasanya segela kesedihan itu telah meruap dari hatinya.

“Semangaaaat!” serunya takpa sadar membangunkan teman sekamar.
“Ya, semangaat!” sahut tean-teman sekamar kompak.
Azan memanggil anak-anak unutuk sholat Subuh di Masjid. Usai sholat, Chacha pun mendapat teman-teman baru. Baik kakak kelas maupun anak seangkatan. Kembali ke kamar, segera menyiapkan diri untuk menjalani Pengenalan Lingkungan Sekolah. Orientasi, istilahnya kalau di sekolah negeri.

Usai sudah masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Mereka mulai belajar di kelas. Chaha memilih kelas IPS, karena sangat menyukai semua mata pelajarannya, terutama bahasa asing.
“Apa cita-citamu, Fatirah?” tanya Chacha saat mereka berada di ruang Lab Komputer.
“Programer komputer seperti senior Reyna yang sekarang sekolah di Jepang.”
“Oya, dapat bea-siswakah dia?”

“Iya, Kakak Reyna anak Duri itu memang hebat. Selalu peringkat satu dan hafizah pula.”
“Apa itu hafizah?” Chacha mengerutkan kening.
“Penghafal Al Quran perempuan.”
“Oh, apa kamu juga menghafal Al Quran?”
“Tentu, semua santri d sini diwajibkan belajar Al Quran.”

“Waduuuh!” seru Chacha terkejut. “Aku hanya pernah belajar juzama waktu di SD. Wajib, ya, bagaimana ini?”
“Janan panik, tenang saja. Kita bisa belajar mengaji bersama. Kamu anak pintar juga.”
“Hanya sesekali peringkat pertama.”
“Nah! Artinya banyak kesempatan untukmu, oke?” Fatirah menyemangatinya.
“Berapa anyak hafalan Al Quranmu, Fatirah?”

“Baru 25 Juz….”
“Memangnya semua ada berapa juz?”
Fatirah menatapnya keheranan. “Kamu tidak tahu?”
“Maaf, selama ini aku memang tidak mengaji,” ujar Chacha polos. “Orang tuaku juga tidak pernah mengajariku mengaji.”
“Semuanya 30 juz.”
“Artinya kamu tinggal 5 juz lagi? Aiiiih, sejak kapan mulai menghafal Al Quran?”

“Sejak kecil mengaji, tetapi serius menghafal baru kelas satu SMP. Nah, itu juga gara-gara lihat Kak Reyna yang berhasil juara MTQ tingkat Kabupaten.”
Kapala Chacha langsung serasa dipukul palu. Bagaimama dirinya bisa hafal Al Quran? Kalau seumur ini, 15 tahun, mengajinya masih terbata-bata karena tak pernah dipraktekkan?
“Tenang saja, itu Nek Aish yang suka bantu-bantu di dapur pesantren, umurnya sudah lansia. Belum lama beliau datang  sini. Kepingin menghafal Al Quran. Tahu tak, Cha, dalam setahun ini dia sudah menghafal 10 juz.”

“Masya Allah, adaha sudah nenek?”
“Makanya, niat, niat itulah yang penting.”
“Baik, niat, kucatat dalam memoriku!” janji Chacha.

“Ada cara cepat menghafal Al Quran. Aku punya bukunya. Sering dipraktekkan juga dengan teman-teman. Bukunya berjudul Menghafal Al Quran Semudah Tersenyum.”
“Wah, bagus sekali! Boleh, ya, aku ikut gengnya….”
“Gengnya apa?”
“Eh, maksudku teman-temanmu belajar dan menghafal Al Quran.”
“Ayo, siapapun boleh ikut!”

Di LabKom mereka boleh berselancar. Sambil mengerjakan tugas pertamanya, Chacha mengintip status gengnya. Tampaklah Dilan sedang selfiean dengan teman-teman baru di Medan. Nathan entah di mana, statusnya berhenti sebulan yang lalu. Mungkin jadi ikut ibunya ke Belanda. Rey banyak postingan foto debutnya sebagai model iklan professional.

“Psssst, itu temanmu?” bisik Fatirah. “Lihat, itu statusnya siapa yang dimakksud dengan si Anak Kampung nan Malang?”
Sekilas Chacha mencermati status Rey.

“Kasihan anak Kampung nan Malang, akhirnya menyerah djebloskan ke pesantren. Hidupnya sekarang pasti seperti tahanan. Coba nurut kabur bareng gw ke Jakarta. Kereeeen nih, tahu!”
“Dia pernag mengajakmu kabur, ya?” tanya Fatirah.
“Iya, dasar sinting!”

“Kalau begitu, buktkan kepadanya bahwa Chcha bisa lebih keren,lebih hebat dan lebih barokah tinggal d pesantren!”
“Benar sekali. Bantu aku mewujudkannya, ya Fatirah!”

Ya, sejak itulah Chacha memiliki satu tekad dalam dadanya. Bahwa sekolah di pesantren keputusan terbaik untuk dirinya. Bahwa Chacha akan berubah total!

Chacha berjuang keras meraih ketinggalannya. Ia sangat ketat mengatur jadwal mengaji, jadwal menghafal Al Quran, sholat wajib, sholat sunah, puasa Daud. Dari hari ke hari ibadahnya semakin terpelihara dengan baik.

Mengatur ulang tujuan olah raganya pun dilakukannya. Kalau sebelumnya ia bermain bulu tangkis, tenis, atletik sekadar iseng. Kini karena fasilitas di pesantren bagus, ia memanfaatkannya dengan baik. Hingga ia terpilih mewakili sekolahnya untuk atlit panahan. Ia satu-satunya atlit panahan berjilbab mewakili sekolahnya ke tingkat Provnsi.

“Inikah putri kita yang manja dan suka merengek itu, Pa?” Mama memeluknya erat dengan bersimbah air mata saat jumpa di Gedung PON.
“Sini, peluk Papa juga, Nak,” pinta ayahnya dengan mata berkacakaca.

Ini pertemuan mereka yang pertama sejak enam bulan Chacha di pesantren. Chacha sengaja memilih tidak sering bertemu orang tua. Ia hanya menelepon jika sudah rindu sekali. Sudah ditekadkan dalam dadanya. Ia hanya akan berani menjumpai orang tuanya, jika sudah sukses meraih prestasi.

“Ini baru permulaan, Pa, Ma,” bisik Chacha. “Masih banyak yang ingin kuraih. Terutama aku ingin bisa menghafal Al Quran. Membuktikan betapa besar cintaku kepada Islam, cintaku kepada Al Quran….”
“Seberapa besar, Nak?” tanya Papa dan Mama.
“Tak terhingga, Ma, Pa.” (Babusalam, Maret 2017)
@@@



Gerakan Santri Menulis Mahad Daarul Ukhuwwah Malang

$
0
0

                       Santri Mahad Daarul Ukhuwwah, Malang

Mandiri Amal Insani mengadakan Gerakan Santri Menulis di Mahad Daarul Ukhuwwah di Malang, Jawa Timur.. Program ini telah dilaksanakan sejak bulan Maret 2017, menggaet narasumber Pipiet Senja seorang novelis Nasional dan Kang Romel, pakar Blogging.

Kali ini perjalanan dari Jakarta menuju Malang dengan pesawat Sriwijaya. Rombongan terdiri dari Piiet Senja, Ustad Hadi dan Ustad Iwan. Sedangkan Kang Romel dari Bandung denan pesawat transit di Ngurah Rai, lanjut ke Malang.

Rombngan diinapkan di Hotel Ibis, Malang. Esoknya, 6 Juni 2017, sesi Kelas Menulis dan Blogging diawali di aula PPDU, Mahad Daarul Ukhuwwah.

Sesi petama diisi oleh Pipiet Senja, mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 12.00.

Suasananya menjadi meriah, disebabkan Pipiet Senja suka membanyol, sehingga audiens yang tediri dari 100-an santri dan santriyah menjadi tertawa geli.

Karena targetya adalah membuat buku, maka santri diberi tugas praktek menulis langsung.

Sesi kedua diisi oleh Kang Romel pakar blogger dari Bandung, Romeltea.


Api Revolusi di Kampung Nelayan

$
0
0



Anno Jakarta, 2016
Suasana pagi hari di Jakarta Raya dengan nuansa khas Ibukota berawal dari Tugu Monas. Inilah tugu termegah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dibangun pada era Orde Lama. Dirancang spesial oleh Ir. Sukarno sendiri.
Hatta, Sukarno merncang juga untk bangunan Masjid Istiqlal dan Gedung Sarinah. Ketika ia dihadapkan dalam situasi harus memilih; apakah Anda akan membangun Masjid Istiqlal atau Tugu Monas. Ia menjawab tegas; “Saya memilih membangun Tugu Monas.”
“Mengapa?”
“Selagi saya masih hidup, pembangunan Tugu Monas akan terus berjalan. Namun, ketika saya sudah tiada, pembangunannya akan terbengkalai. Sedangkan pembangunan Masjid Istiqlal, biarlah ummat yang akan membangunnya.”
Udara mendung, langit kelabu dengan barisan awan hitam pertanda sebentar lagi hujan. Meskipun demikian di jalanan utama kendaraan sudah berseliweran, tampak ngebut, sampai di kawasan Tol mulai macet.
Gedung-gedung pencakar langit tampak menjulang megah, terkesan angkuh, seakan tak sudi terjamah oleh tangan si miskin. Tak jauh dari bangunan-bangunan megah di kawasan Jakarta Utara ini, ada sebuah perkampungan, warga menyebutnya; Kampung Nelayan.
Asep, seorang anak laki-laki berumur 8 tahun, tampak bersama teman-teman sebaya sedang asyik bermain gundu. Tiba-tiba datang pasukan Satpol dengan berbagai peralatan berat.
Suasananya Kampung Nelayan seketika terasa memanas. Teriakan marah campur dengan suara tangis ketakutan meruap dari pelosok kampung.
“Tidak ada peringatan…..”
“Kami sudah memberi surat peringatan!”
“Kapan?”
“Dua minggu yang lalu!”
“Kami sudah mengajukan keberatan!”
“Tidak bisa!”
“Jangan main bongkarlah, Pak, kasihanilah rakyat….”
“Ini sudah ada perintah bongkar!”
“Teganya ya, teganya?”
”Ayo, gususuuuuur!”
“Jangaaaan!”
“Bongkaaar!”
“Heeei, heeei! Kalian kejaaam!”
Tak membutuhkan waktu lama, seketika warga telah berhadapan secara frontal dengan pasukan Satpol.
Sebagian warga memilih berlarian kesana-kemari, menyelamatkan barang milik mereka. Sebagian lagi memilih bertahan, membentuk barikade. Asep sangat ketakutan, demi dilihatnya suasana di sekitarnya semakin hingar-bingar.
“Lariiiii! Ayo, lariiiii” teriaknya tiba-tiba menyadari bahaya mengintai mereka.
Teman-temannya pun bagaikan baru terbangun dari mimpi, semua tersentak mengikuti gerakan Asep..
“Lariiiiiii!”
“Pulaang!”
“Enyaaak!”
“Babeee!”
“Takuuuuut!
Sementara peralatan berat terus bergerak memasuki kawasan Kampung  Nelayan, siap merubuhkan bangunan-bangunan permanen.
Di dapurnya yang serba sederhana, Hindun, emaknya si Asep, sedang menyiapkan gorengan untuk dijual. Begitu mendengar keriuhan di luar, ia pun tersentak, mendadak mematikan kompornya. Kemudian ia mengintip dari jendela rumah.
Seketika Hindun melirik surat edaran yang menempel di dinding dapur. Isinya memerintahkan warga meninggalkan kawasan Kampung Nelayani karena akan digusur.
“Gila! Hanya dikasih tempo dua minggu?!” gerutunya kesal sekali.
Seketika ia bergegas salin dasternya dengan celana pangsi hitam dan kemeja putih. Ia pun mengenakan jilbab putih, menyambar kain merah putih dasi Pramuka Asep, dan membelitkannya di kepalanya.
Kemudian perempuan berumur 30 tahun itu menyambar sebatang bambu, memasang bendera merah putih di ujungnya. Dengan gagah perkasa ia pun keluar rumah, di tangannya membawa bendera.
Sekilas matanya menancap pada sebuah foto besar yang tergantung di ruang tamu. Inilah foto seorang pejuang ‘45 dengan senjatanya bambu runcing. Sersan Adjat Sudradjat, gugur dalam perang kemerdekaan melawan Belanda. Menurut cerita mendiang ibunya, saat itu nenek sedang mengandung anak bungsu, yaitu emaknya Hindun, Nok Halimah. Beberapa jam pasca melahirkan, Nok Halimah pun menyusul suami tercinta.
Hindun dirawat dan dibesarkan neneknya sejak itu, hingga dinikahkan dengan Abah Sujai, murid Habib Akmal, ayah Habib Akbar. Ketika nenek dan kakeknya meninggal, maka kelarganya di Jakarta hanyalah suami dan anaknya semata wayang.
Hindun menyongsong pasukan Satpol. Tepat di depan sebuah bulldozer, Hindun mengibar-kibarkan bendera merah putih. Ia teriak-teriak lantang, menyuarakan protesnya.
“Woooooi! Ini tanah kami sejak zaman Belanda. Kami menempatinya sampai empat generasi!  Kami punya sertifikatnya!  Mengapa kalian gusur juga?”
Melihat keberanian Hindun, mendadak semua warga tersemangati. Asep berlari menghampiri ibunya, kemudian berdiri di sampingnya. Asep ikut gerak-gerik ibunya, lantas membeo segala teriakan lantang sang ibu.
“Ini tanah kami sejak zaman Belanda. Kami menempatinya sampai empat generasi! Kami punya sertifikatnya! Mengapa kalian gusur juga?”
Sejurus kemudian ibu dan anak itu tak gentar terus melakukan aksinya di depan bulldozer. Satpol kebingungan, mencoba minta bantuan rekannya tak ada yang peduli, semuanya sibuk, akhirnya ia berhenti bergerak.
Sementara itu di bagian depan lawang Kampung Nelayan, Abah Asep dan warga berjibaku. Mereka menghalangi peralatan berat, agar tidak bisa melanjutkan penggusuran. Bentrok antara pasukan Satpol kiriman Penguasa dengan warga miskin di Kampung Nelayan, tak bisa dielakkan.
“Ayo, saudara-saudaraku senasib dan sepenanggunan! Kita harus lawaaaan!” seru Abah Asep, menyemangati warga Kampung Nelayan.
“Ya, lawaaaan!” sambut warga.
“Ini pelanggaran hak azasi kemanusiaan!”
“Benaaaar! Pelanggaran HAM!”
“Jangan takut!”
“Mati syahid lebih baik daripada diam saat dizalimi.”
“Mari, kita berjuang, saudara-saudaraku!”
“Allahu Akbaaaar!”
“Allahu Akbaaaar! Takbiiiiir!”
“Allahu Akbaaar!” sambut semua warga,
Mereka serempak menyuarakan protes dan semakin kompak.
Pasukan Satpol berlapis-lapis telah dirurunkan bersama peralatan berat penggusuran. Mereka tetap bersikeras menjalankan tugas semata. Menurut berita di kemudian hari, tertulis ada 1000 petugas yang diturunkan hari ini. Sementara penghuni Kampung Nelayan hanya 100-an, artinya satu orang diawasi oleh sepuluh petugas!
Abah Asep masih terus menyemangati warga agar melawan. Tiba-tiba ada bongkahan beton menimpa tubuhnya. Ia tak sempat menghindarinya. Lelaki tinggi kurus itu seketika rubuh, tetapi mulutnya masih menyuarakan protesnya. Sebelum rubuh terkapar di tanah, ia masih berteriak lantang: “Allahu Akbaaaaar!”
Tatkala hujan mulai turun, suara warga seketika saling bersahutan, mengabarkan perihal Abah Asep tertimpa bongkahan beton. 
“Wooooooi! Abah Asep ketiban tembooook!” teriakan yang sangat histeris menggema.
“Abah Asep ketiban tembok!” sambung teriakan panik lainnya.
“Saudara-saudaraku, ada yang tewas!”
Kabar itupun sampai di telinga Hindun dan Asep.
“Ayo, Sep, ini pasti berita bohong!” ajak Hindun, mencoba menghibur hatinya sensiri yang mendadak gundah. Firasat buruk seketika menyelusup relung hatinya.
“Kalau bohng buat apa kita ke ssana” dengus Asep, tak paham.
“Pokoknya kita buktikan!”
“Ya, Mak, semoga Abah tidak apa-apa….” Asep menggumam.
Dari kejauhan tampak orang berkerumun. Sesuatu yang mengerikan ada di sana!
Hindun berlari menyeruak massa, menghambur ke arah tumpukan reruntuhan bangunan di bagian depan Kampung Nelayan. Ternyata benar saja, Abah ditemukan telah berlumur darah!
Susah payah Abah Asep berusaha mnyampaikan pesan terakhirnya kepada istrinya. “Maafkan semua kesalahanku, Hindun. Titip si Asep, ya Istriku. Didiklah dia sesuai keyakinan kita.”
“Laa ilahailallah Muhammadarrasulullah….”
Hindun berusaha membimbing suaminya. Abah Asep mengikutinya, terus mengikutinya hingga jantungnya berhenti bedetak.
Abah Asep pun menutup mata, menghembuskan napasnya yang terakhir. Anehnya, Hindun sama sekali tidak menangis. Hanya menundukkan wajahnya, lembut mengecup pelan kening Abah. Kemudian menyedekapkan kedua tangan Abah. Semesta doa ia gelorakan dalam dada.
Detik itulah, Hindun bersumpah untuk melaksanakan wasiat terakhir Abah. Seraya menengadahkan kedua tangannya ke langit, suaranya menggeletar.
“Ya Allahu Robbi, hamba bersumpah, ya Allah! Demi Allah! Hamba akan melaksanakan wasiat suami hamba!”
Hujan turun semakin deras, membasahi wajah perempuan tangguh itu. Demikian pula dengan Asep, sekujur tubuhnya sudah basah kuyup. Ia hanya bisa mnangis sesenggukan memeluk jazad ayah yang disayanginya.
Warga Kampung Nelayan mengeurmuni keluarga kecil yang malang itu. Semua diam membisu. Hujan turun semakin deras dan semakin deras.
Tampak Satpol diam-diam melarikan diri, meninggalkan kawasan Kampung Nelayan. Tak peduli dengan peralatan berat bawaannya.
Nestapa warga Kampung Nelayan luput dari pemberitaan media Nasonal. Namun, di media sosial seperti situs-situs Islam, Facebook, Twitter dan Instagram menjadi viral. Penguasa sudah melewati batas kewajaran seorang pemimpin.
Sosok Penguasa muncul di televisi, memberi statement sbb:
“Nah, catat, ya Itu kan kawasan memang kumuh banget. Kita mau memanusiakan manusia. Kita kasih warga miskin itu tempat di Rusunawa. Gratiiiis loh!  Nah, kurang baik bagaimana kita?”
Reporter televisi swasta memperlihatkan potret Hindun dan anaknya yang sedang menangisi tubuh berlumuran darah.
“Halaaah! Ibu itu lebay, nangis kayak di sinetron saja!” komentar Penguasa enteng sekali.
@@@



Umi Izzah: Al Quran Membuatku Tangguh

$
0
0


Al Quran Membuatku Tangguh
Umi Izzah


Remaja putri berwajah manis dan terkesan penurut ini bernama Aulia Najasyi. Datang ke Mahad Askar Kauny Cibinong berdua saja bersama ibu kandungnya.
“Ayahnya tidak ada,” ujar ibu Aulia saat ditanya nama ayahnya.
“Maksudnya sudah meninggal?” Umi Izzah belum paham.
“Bukan, dia pergi sejak Aulia masih dalam kandungan….”
“Oh, maaf!” Umi Izzah menatap Aulia yang sejak tadi hanya terdiam, sesekali melemparkan senyuman tipisnya.
“Saya banyak kegiatan,” jelas ibu Aulia. “Maklumlah, merangkap sebagai kepala keluarga. Daripada tinggal sendirian di rumah lebih baik dimasukkan pesantren.”
Sejak itulah Aulia tinggal di Mahad skar Kauny Cibinong.
“Aulia suka tnggal di sin?” tanya Umi Izzah setelah beberapa hari berselang.
“Iya, Umi. Banyak teman, aku suka suasana di sini,” sahutnya  sambil tersenyum sumringah.
Aulia termasuk anak yang ceria, mudah bergaul dan rajin membantu teman-teman dekatnya. Hari demi hari dilalui Aulia dengan riang gembira. Betapa tidak, selama itu, ia memang lebih banyak berdua dengan ibunya.
Seingatnya sejak kecil ibunya selalu membawanya ke mana-mana. Dari satu tempat ke tempat lain, dari satu rumah sewa ke rumah sewa lainnya. Dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya.
Ibunya memang seorang yang sibuk sekali. Maklum, ibunya harus mencari nafkah untuk mereka berdua. Macam-macam pekerjaan telah dilakukan oleh ibunya demi menghidupi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari berjualan kue, makanan matang sampai jual buku-buku Islam ke pegajian-pengajian.
“Sekarang kamu sudah lulus Sekolah Dasar,” ujar ibunya suatu saat. “Mau melanjutkan sekolah ke mana, Nak?”
“Terserah Ibu sajalah,” sahut Aulia pasrah.
Ia tahu diri dengan kondisi ekonomi mereka. Ia tidak boleh manja seperti anak-anak lainnya. Sedapat mungkn ia harus membantu ibunya.
“Bagaimana kalau tinggal di pesantren?”
“Peantren, ya, artinya kita akan berjauhan?”
“Demi masa depanmu, Nak,” bujuk ibunya.
“Baiklah, Bu, kalau itu yang terbaik menurut Ibu, aku setuju.”
Sejak lulus SD itulah, akhirnya Aulia benar-benar tinggal di sebuah pesantren. Pesantren yang unik sekali, khusus untuk Menghafal Al Quran dengan metode Master. Menghafal Al Quran Semudah Tersenyum.
Aulia termasuk anak yang agak telat dalam menghafal. Namun, ia sangat rajin dan tekun sekali. Awalnya tidak ada yang berbeda pada Aulia, sama seperti remaja lainnya sehat, ceria. Badannya pun tumbuh dengan baik, tinggi dan berisi.
 Suatu hari Aulia mengeluh sakit.
“Di mana rasa sakitnya, Aulia?”
“Ini, Umi, aku kan lagi mens….”
Aulia sampai berguling-guling menahan rasa sakit di bagian rahimnya.
“Coba dibawa ke dokter kandungan, Bu,” saran Umi Izzah kepada ibunya.
Namun, ibunya hanya membawanya ke Puskesmas dan diperiksa dokter umum saja. Jika sudah diberi obat pereda sakit dan masa menstruasi berlalu, maka Aulia pun tampak sehat kembali. Demikian terus selama berbulan-bulan. Hingga suatu saat kondisinya menjadi parah.
“Apa yang terjadi, Nak?” selidik Umi Izzah, keheranan karena Aulia sering sekali minta pembalut.
“Mensnya terus-terusan, Umi,” lirihnya meringis kesakitan.
“Sudah berapa lama?”
“Sebulan lebih….”
“Ya Allah!” seru Umi Izzah terkejut sekali.
Umi Izzah segera menghubungi ibu Aulia. “Coba periksakan ke dokter spesialis kandungan, Bu,” saran Umi Izzah.
Kali ini ibunya tidak bisa mengelak lagi. Ia pun membawa Aluia ke dokter kandungan.
“Kita harus USG agar diketahui penyebab sakitnya,” kata dokter.
Hasilnya sunggh engkhawatirkan.
“Ini disebabkan ada miom di muut rahim Aulia,” jelas dokter, kemudian memberi resep obat.
Beberapa hari kemudian, rasa sakitnya tidak kunjung berhenti, maka Aulia kembali dibawa ke dokter.
“Ini miomnya semakin membesar. Harus segera dioperasi!”
Aulia tidak paham. Ia menyerahkan semuanya kepada dokter. Maka, operasipun segera dilakukan. Tim dokter sangat terkejut saat operasi berlangsung.
“Ini kanker ganas!”
“Ya, bukan hanya di rahim….”
“Sudah menjalar ke rahim dan usus.”
Ibu Aulia sangat syok mendengar penjelasan dokter.
“Ya Allah, anak sekecil ini sudah kena kanker rahim,” jeritnya dalam hati.
Langt bagaikan rubuh di atas kepalanya!
Saat itu juga ia harus memberi persetujuan tindakan. Ia hanya seorang diri mengurus anaknya. Entah dimanakah gerangan ayah Aulia. Sejak pergi meninggalkan mereka tak ada kabar lagi.
Beruntunglah ia masih memiliki sahabat, ibu-ibu pengajian dan keluarga esar Mahad Askar Kauny. Merekalah yang selalu menyemangati, membangkitkan harapannya di saat dirinya nyaris menyerah.
Operasi Aulia berjalan lancar. Dokter kemudian merujuknya ke rumah sakit Dharmais.
“Pengobatan lanjutan dengan kemoterapi,” kata dokter.
Umi Izzah didampingi Ustad Ahmad sering mengunjunginya.
“Aulia belum tahu kala dirinya kena anker. Ia hanya tahu miomnya sudah dioperasi,” ujar ibunya Aulia.
“Kankernya stadium berapa?”
“Dokter bilang sudah stadium tiga.”
Saat Aulia mengetahui dirinya terkena kanker reaksinya menangis hebat, kemudian marah dan tak mau menerima kenyataan.
Pak Andri, seorang wali santri yang sangat perhatian dan menyayangi Aulia seperti anaknya sendiri. Ia meminta bantuan seorang psikolog untuk mendampingi Aulia.
Aulia mulai tenang, tetapi tampaknya masih tak mau berdamai dengan kondisinya.
“Nak, bboleh teman-teman santri menengokmu?” tanya Pak Andri.
“Boleh bangeeeet!” sambut Aulia senang.
Esoknya Pak Andri membawa rombongan santri Mahad Askar Kauny Cibinong. Mereka secara bergantian menengok Aulia ke ruang perawatannya.
“Kita murojaah, yuuuk!” ajak Aulia tiba-tiba.
“Ayuuuk!” sambut teman-teman santri.
Sungguh, Aulia merindukan suasana kebersamaan di Mahad. Menghafal Al Quran bersama, sholat berjamaah. Makan bareng, tertawa dan canda riang, ah, sungguh masa-masa yang sangat menyenangkan!
Meskipun sambil menahan rasa sakit Aulia berusaha keras membersamai teman-temannya murojaah. Surat Ar Rahman favoritnya dan ingin sekali dihafalnya,. Jangan sampai kehilangan hafalan gara-gara menanggung rasa sakit.
Saat tak tahan lagi dengan rasa sakitnya yang luar biasa, Aulia memejamkan matanya. Ia berusaha keras tetap memasang pendengarannya, menyimak terus suara teman-teman melanjutkan hafalan Al Quran.
Air bening merembes dari sudut-sudut matanya. Menit demi menit berlalu, ayat-ayat suci itu terus terdengar dari mulut teman-temannya. Ada satu aliran ajaib yang memasuki kisi-kisi hati, menerobos ke bilik jantung, menghangatkan dada dan sekujur badannya.
Inilah kekuatan Al Quran!
Ya, ada kekuatan dahsyat yang telah merasuki dirinya, jiwa dan raganya setiap kali mendengar ayat-ayat suci dikumandangkan. Apalagi jika ia megumandangkannya sendiri.
Sejak itulah Aulia kembali memegang kitab sucinya yang mungil dan sempat jauh dari jangkauannya. Ia ingin selalu dekat dengan Al Quran, membacanya, menghafalnya.
Dua tahun berlalu kondisi Aulia mulai stabil. Setidaknya ia masih bisa bertahan. Kemoterapi terus berlangsung, entah sudah memasuki seri ke berapa. Aulia tak ingin menghitungnya.
Konon kankenya sudah menjalar ke hati bahkan otaknya. Aulia tak ingin memikirkan penyakitnya. Ia ingin berdamai dengan kondisinya. Kasihan keada ibunya yang begitu gigih mencarikannya obat, mengharapkan senantiasa kesembuhannya.
“Mohon doakan, ya teman-teman,” tulis Aulia di buku hariannya. “Aku masih ingin menghafal Al Quran. Aku ingin tetap bersyukur dan menikmati apapun kondisiku. Aku tahu kini Al Quran telah membuatku menjadi tangguh.”
Siang itu di sebuah rumah singgah untuk pasien kanker tak jauh dari rumah sakit Dharmais. Tampaklah seorang remaja putri bersandar di atas tumpukan bantal dengan Al Quran di tangannya. Seorang perempuan 45-an menemaninya di sampingnya.
Ya, itulah Aulia yang terus berjuang melawan kanker. Ia baru pulang dikemoterapi. Sudah menjadi kebiasaannya, jika merasakan kesakitan yang luar biasa, ia akan mencari kitab sucinya. Kemudian khusuk membacanya, menghafalnya dan merasakan kekuatan-Nya.
Aulia ingin menghafal Al Quran. Hingga detak jantungnya berhenti.  (Diceritakan oleh Umi Izzah, Mahad Askar Kauny Cibinong)
@@@


Jangan Lupakan Sejarah, Anakku!

$
0
0






Sumedang, 1965

Sejak dinyatakan berpenyakit kuning beberapa waktu ruang gerakku agak terbatas. Ada beberapa famili dan tetangga yang sangat alergi terhadapku. Hingga mereka sampai hati menutup pintu rumahnya. Begitu pula pengaruhnya terhadap pergaulanku. Beberapa anak tak sudi berdekatan denganku.
Ini bersamaan dengan masa-masa PKI. Entah dari mana datangnya kebencian itu. Ada tiga anak perempuan yang paling kuingat sering menyakiti fisikku; Eneng, Eros dan Iyen. Eneng dan Iyen anak gembong PKI. Eros anak Brigadir Jenderal yang juga pendukung berat PKI. Ketiga anak perempuan itu sangat kompak memprovokasi anak-anak, agar membenci dan memusuhi aku.
Tingkah mereka sungguh sering melewati batas kewajaran. Selama berada dalam kelas, tak henti-hentinya mereka merusak konsentrasiku. Melempari aku dengan kapur, batu kerikil atau biji kemiri. Terkadang mereka bergantian menjegal kakiku secara sengaja. Hingga aku terjatuh, hidung menyusut lantai dan berdarah.
Aku masih ingat, Emih berteriak-teriak menantangi bapak si Iyen.
“Hoooy, keluar kamu PKI! Beraninya suruh anak kamu mencelakakan cucuku! Kalau jantan keluaaar, woooi!” Seru mantan anggota Laswi itu dengan keberanian luar biasa.
Lain lagi reaksi Mak dan Eni. Keduanya tamapak lebih banyak bungkam. Pernah aku pergoki Mak sedang mengemasi barang-barang milik Bapak. Ya, segala macam atribut keprajuritan dan buku-buku militer disembunyikan oleh Mak. Termasuk potret-potret ayahku yang semula tergantung di ruang tamu dicopotnya pula. Mak takut sekali ada yang menyambangi rumah kami, mengetahui kalau kami ini keluarga seorang prajurit. Oooh, apa artinya semua ini?
“Mengapa anak-anak itu sangat membenciku, Mak?”
“Sabar, ya Teh. Kamu harus tawakal, kita memang dalam posisi sangat sulit,” Mak mengusap-usap rambutku yang habis dijambaki anak-anak. Mengapa cuma begitu reaksi Mak?
Ya, rasanya penuh dengan misteri!
Kutahu kemudian Emih mendatangi Pak Guru yang mengajar kelas kami. Mengadukan ulah anak-anak nakal itu. Namun, aneh sekali, Pak Guru jelas-jelas tak menggubris pengaduannya. Belakangan diketahui Pak Guru ini juga anteknya PKI.
Suatu hari, begitu bel berdentang tanda pulang, aku langsung keluar kelas, Maksudnya untuk menghindari anak-anak jahil itu. Namun, ternyata Eros dan Eneng sudah berdiri di depan pintu  gerbang. Bukan hanya dua anak itu saja, melainkan hampir seluruh kelas! dimataku anak-anak itu semakin banyak!
Anak-anak itu dipelopori Eros dan Eneng. Kemudian mereka mengarakku, sejak dari pekarangan sekolah sampai sepanjang jalan Empang menuju rumah. Tak ubahnya mengarak seorang penyihir yang akan digantung dan dibakar rame-rame.
Sepanjang jalan itu mereka menzalimi diriku, habis-habisan. Ada yang menjengguti dan menarik-narik kepangku, ada pula yang menggeplak-geplak kepalaku. Sambil teriak-teriak, tertawa-tawa, dan berjingkrak-jingkrak. Menirukan badut dan ondel-ondel.
Oh, Allah…. Aku tak pernah bisa melupakan kejadian hari itu. Tak pernah, sepanjang hayatku masih menempel kuat di memori kenanganku. Entah apa dosaku. Hingga anak-anak itu begitu membenciku. Apakah karena aku penyakitan? Karena aku anak seorang tentara? Cucu seorang ulama NU yang sudah tiada?
Mereka mengejek nama Bapak, Mak, Emih, dan Eni. Mengejek pula mendiang kakekku. Pendeknya, melecehkan orang-orang yang aku sayangi dan yang aku hormati.
Anehnya, orang-orang yang melihat kejadian itu hanya tertawa-tawa geli. Seolah-olah arak-arakan itu sangat kocak. Tontonan gratis yang amat menggelikan.
Tuhanku, kemarahan sudah sampai di ubun-ubun kepala. Tak ada yang membelaku. Aku harus membela diri sendiri!
Entah dari mana kekuatan itu muncul. Beberapa meter sebelum rumah bernomor 34 C itu, aku menghentikan langkah. Air mata yang sejak tadi bercucuran, aku susut habis.
Kemudian, aku menyambangi Eros dan Eneng. Tiba-tiba aku membungkuk, menyeruduk kedua anak bengal itu dengan kepala.
Bruuuak …. Bluuug, gedeblug!
“Aduuuh…sakiiit!” jerit keduanya serempak.
Eros dan Eneng terjengkang. Saling bertindihan. Anak-anak terperangah. Pasti mereka tak pernah mengira aku punya nyali untuk membela diri. Dalam beberapa saat  tak ada yang berani bereaksi.
Seketika tanganku memungut sebuah batu besar. Siap untuk ditimpukkan kepada siapapun …. Huh!
“Lariii!” seru Eros dan Eneng sambil lari terbirit-birit.
Seminggu aku tak berani masuk sekolah. Aku sampai mengira, seumur hidupku takkan pernah kembali ke bangku sekolah. Bapak yang selalu membela, melindungi dan membuatku bangga… entah kapan kembali!
Hampir dua tahun ayahku bertugas ke pedalaman Kalimantan, berlanjut ke Sulawesi. Hatta, demi mengamankan Tanah Air dari gerombolan Kahar Muzakar.
Saat aku kehabisan alasan mendengar pertanyaan orang serumah atas keenggananku masuk sekolah itulah, tiba-tiba terjadi keributan di mana-mana. Anak-anak KAPPI turun ke jalan. Demonstrasi besar-besaran.
Belakangan aku baru tahu ada peristiwa pemberontakan G30S/PKI di Jakarta, tujuh Jenderal dibunuh secara keji. Tentara berhasil mengendalikan keamanan, kemudian terjadi gerakan balas dendam. Imbasnya sangat berpengaruh ke daerah-daerah. Banyak orang yang selama itu suka menjahili, menzalimi para santri, ulama, dan keluarga prajurit, ditemukan telah bergelimpangan di pinggir sungai atau sawah.
Suasana menjadi sangat menegangkan. Mencekaaam nian!
Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Bagaimana rumah keluarga Iyen, Eros dan Eneng habis dijarah massa. Bapak Eros yang Brigjen pasukan Cakrawala itu diberitakan telah ditangkap di Jakarta. Sementara ayah si Iyen dan Eneng digiring oleh massake alun-alun. Kalau tidak segera diamankan oleh tentara entah bagaimana nasibnya. Sejak saat itu, aku pun tak pernah melihat kembali ketiga anak perempuan itu. Raib entah ke mana!
Menghabiskan sisa tahun itu merupakan saat-saat menyenangkan bagiku. Tak ada lagi si penganggu konsentrasi. Prestasiku pun berkembang dengan baik. Di akhir tahun pelajaran, aku mendapat peringkat pertama di kelas empat. Itulah kemenangan pertama dalam hidupku.
Bapak pun kembali ke tengah keluarganya!
Ya, Bapak bersama pasukan Siliwangi kembali dari hutan Sulawesi. Sebagai seorang prajurit, Bapak memang harus mematuhi komando. Bapak kemudian ditugaskan ke Serang sambil melanjutkan pendidikan di sekolah calon perwira di Cimahi.
Kami pun boyongan dan bermukim di kawasan Labuan, Banten. Hanya setahun kami tinggal di kotapantai yang panas dan gersang ini. Tetapi di sini, kami mengalami banyak penderitaan. Aku semakin sering jatuh sakit, rasanya macam-macam penyakit menghinggapiku. Terutama malaria dan penyakit kulit kronis!
Karena terlalu sering jatuh sakit, ada penolakan keras dari dalam diriku, jiwaku, lahir-batinku… Demi Tuhan, aku tak menyukai kota kecil ini!
Maka, kenangan-kenangan melukai yang pernah mampir di hadapan mataku, langsung tersingkir… terpental dari memori otakku!
“Kita akan hijrah ke Jakarta!” kata Bapak suatu hari.
“Horeee!” sambutku dan adik-adik gembira sekali.
Ya, kali ini Bapak ditugaskan ke Ibukota. Kami pun boyongan lagi, sekali ini menuju jantung kotayang sedang bergerak menjadi kotametropolitan. Sejuta mimpi, sejuta harapan bermain-main di benak kami. Jakarta, aduhai, Jakartakota penuh harapan.
Sambutlah kami datang, Jakarta!
@@@


Aulia Najasyi, Al Quran Mempertemukan Kita

$
0
0



Al Quran Mempertemukan Kita
Pipiet Senja

           
Bermula Dari Cinta Al Quran
Sesungguhnya saya dan anak-anak telah lama mengenal sosok Ustad Bobby Herwibowo. Kalau tidak salah, sejak saya aktif ngeblog melalui jainganMultiply, awal 2006. Sahabat Multiply yang tinggal di kawasan Bekasi, yakni Elly Lubis, kemudian menyambungkan saya dengan Ustad Bobby Herwibowo.
“Aku ajak Teteh ke taklimnya di Bambu Apus,” katanya kemudian janjian langsung bertemu di lokasi.
Ternyata malah Elly Lubis datang belakangan, setelah saya diberi waktu untuk sekadar berbagi kisah inspiratif dengan ibu-ibu taklimnya. Mereka memborong buku-buku novel Islami yang sengaja saya bawa.  Alhamdulillah, setidaknya saya bisa memberi anak-anak makan, belanja untuk beberapa hari ke depan. Maklum, saat itu sepulang berhaji,
“Nanti Teteh ikut saja ke acara Askar Kauny di….” Ustad Bobby menyebut nama sebuah hotel brbintang di kawasan Kuningan.
Menghafal Al Quran Semudah Tesenyum, demikian seminarnya. Saat inilah pertama kalinya saya mengenal metode yang dikembangkan oleh alumni Al Azhar, Ustad Bobby Herwibowo.
Betapa ajaib rasanya mendadak bisa menghafal Surah Ar Rahman dalam tempo singkat!

Aulia bersama teman-teman di Mahad Askar Kauny Cibinong


Persahabatan dengan Ustad Bobby ternyata bertahan selama bertahun-tahun kemudian. Saat-saat saya dalam kesulitan ketiadaan dana, menjelang operasi pengangkatan limpa dan kandung empedu. Ia segera mengulurkan bantuan, menyambungkan saya dengan taklim ibu-ibu hingga pengajian para artis. Bahkan berkenan menjadi saksi sekaligus penceramah ketika putriku menikah.
 Mulai Januari 2017, saya kembali merapat dengan Mahad Askar Kauny. Kerja sama mencetak buku Cahaya di Langit Jakarta sebanyak 1000 esplar versi kover dan ada program ikihan yang disertakan di buku kumpulan kisah nyata Aksi 212 ini.
Sebelum itu, ketika saya bingung cari dana utuk cetak buku kumpulan kisah nyata Aksi 212 ini, Ustad Bobby Herwibwo menyambungkan saya dengan Hamba Allah. Demikian, kita sebut saja Hamba Allah, sponsor utama yang tak ingin disebut identitasnya tu. Berkat lobi beliaulah kami pihak penerbit pun akhirya bsa mencetak sebanyak 10 ribu eksemplar.
Menyusul bulan berikutnya menerima jasa penyuntingan sekaligus penerbitan buku HOTS, yaitu kumpulan kisah para HOTSER, penggiat penghafal Al Quran.
Belakangan saya menjadi nomaden alias tidak punya rumah pribadi. Curhatan lagi kepada suami-istri, Ustad Bobby-Ustadah Maya, perihal ini. Maka ditempatkanlah saya di Mahad Askar Kauny Cibinong. Barakallah.
Sejak Juni 2017, saya mulai membuka kelas menulis di Mahad Askar Kauny Cibinong. Targetnya saya harus mengkader para penulis dari para santri yang menuntut ilmu di Mahad Askar Kauny.
Baru bersosialisasi dengan santri Askar Kauny Cibinong, Bojong Gede dan Cinere, ternyata banyak kisah menginspirasi yang telah saya dapatkan. Baik melalui tulisan para santri, maupun curhatanmereka yang suka wara-wiri di depan kamar saya.
Umpamanya tentang Aulia Najasyi. Pertama kali saya dengar namanya disebut oleh Umi Izzah. Saya minta Umi Izzah untuk menuliskan kisahnya melalui WA. Dari hasil tektokan melalui WA itu jadilah tulisan yang saya beri judul: Al Quran Membuatku Tangguh.
Pertama kali jumpa langsung dengan Aulia Najasyi saat Wisuda Akbar. Ia sosok remaja putri yang murah senyum, ramah dan cantik. Kami sempat berbincang beberapa saat di tengah kemeriahan Wisuda Akbar. Kemudian kulihat ia sudah tidak ada di ruangan. Kutemukan ia sedang berbaringan di kamar santri, ditemani ibunya.
Aulia tampak senang sekali ketika kuhadiahkan beberapa buku novel karya saya. Beberapa bulan kemudian, tak lama setelah saya pulang diopname, kudengar Aulia ngedrop.
“Tolonglah, Ustad Hilal, antar saya menengok Aulia,” pintaku kepada Ustad Hilal, saat membuka kelas menulis di Cinere.
“Iya, nanti janjian saja dengan Gema,” ujatnya sebelum berangkat ke kantor pagi itu.




                                    Aulia ketika sehat

Sore itu, 20 September 2017, saya diajak Gema membesuk Aulia di Rumah Sakit Dharmais. Betapa terkejut sekali saya demi melihat kondisinya saat ini. Sosok periang, murah senyum dan cantik itu telah berubah drastis!
Hampir tak bisa mengenalinya lagi, begitu lemah, ringkih, selang oksigen terpasang di wajahnya. Demikian pula berbagai selang infus seakan mengerubuti tubuhnya yang tampak mengecil. Rambutnya yang indah pun telah hilang, plontos akibat ganasnya kanker dan wajib dikemoterapi.
“Sudah dua minggu ngedropnya,” ujar ibu Aulia yang senantiasa mendampinginya selama dua tahun perjuangan putrinya melawan kanker.
Saya duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya yang sangat kurus dan kuku-kuku jarinya bersemu ungu. Pertanda kanker telah merayapi jantung dan paru-paru. Aulia mengeluh sakit kepala hebat. Perawat bilang sudah memberinya morphn sebanyak lima kali per hari.
Ini mengngatkanku pada kondisiku sendiri, pasca pengangkatan limpa dan kandung empedu tahun 2009. Rasa sakit yang luar biasa membuatku terpuruk dalam situasi yang dinyatakan in-comma oleh dokter.
Selama tiga hari tiga malam itulah dokter pun memberiku morphin. Tentu hanya Sang Maha Pengasih jualah yang Maha Tahu, jika saya masih bertahan hingga saat ini.
“Bunda Pipiet, terima kasih sudah menengok,” lirihnya seketika membuka matanya yang sejak tadi terpejam.
Kubisikkan di telinganya agar ia terus menyebut asma-Nya. Ia mengangguk, tak berapa lama kemudian meminta ibunya agar mentayamumkan dirinya.
“Sholat, Ma, sholat,” pintanya lirih dan lemah sekali, tetapi tampak semangatnya masih kuat untuk menunaikan kewajibannya sholat lima waktu. Masya Allah!
Kulihat Aulia begitu tenang, damai dan khusuk sekali saat melakukan sholat Ashar. Tanpa terasa air bening merembes dari sudut-sudut mataku. Kutahankan kepedihan hati ini sedemikian rupa. Kuatir malah mengganggu Aulia dalam kekhusukan menyembah Sang Penciptanya.
Saya menantinya selesai sholat. Sementara Gema, temannya, Omah Iesye dan bibinya Aulia duduk di lantai beralaskan tikar. Tak  berapa lama kemudian, kulihat mata Aulia terpicing kembali. Ia ingin menyampaikan permintaan kepada ibunya. Namun, agaknya sudah sangat sulit bicara.
Maka ibunya mendekatkan wajahnya ke muluttnya, sehingga ia bisa menyampaikan pesan melalui bisikan. Entah apa yang dibisikkannya. Saya menatap ibunya, menanyanya melaluu isyarat tangan.


                                          Aulia senang anak-anak


“Oh, Aulia minta dibacakan sholawat, Bu,” ujar ibu Aulia.
“Ayo, anak-anak, kita shoawatan untuk Aulia,” ajak saya kepada Omah Iesye, Gema dan temannya.
Kami pun membacakan sholawatan Nabi pelan-pelan, nyaris hanya berupa gumam. Sebab kuatir mengganggu kekhusukan Aulia yang fokus bersholawatan. Tampak bibirnya yang pucat pasi menggeletar. Kubayangkan ia sedang menahan rasa sakit menghebat yang menyerang kepalanya. Napasnya tinggal satu-satu, ya Allah!
Sesungguhnya saya ingin tetap berada di samping Aulia, menemani ibunya dan terus-menerus menyemangati Aulia. Namun, Gema dan teman-teman sudah ditunggu agenda lain.
“Manini pamitan dulu, ya Neng, teruslah menyebut asma-Nya,” bisikku di telinga Aulia, kemudian kukecup tangannya sepenuh sayang.
Entah mengapa, seketika ada firasat membisikkan bahwa ini adalah perjumpaan terakhir kami.
Benar saja, dalam kemacetan Ibukota yang luar biassa sore dan malam itu, mobil kami baru sampai rest area saat masuk pesan Ustad Ahmad. Mengabarkan berita dukacita; “Innalilahi wa inna ilaihi rojiun….”
Ketika jumpa ibunya di Cibinong, perempuan 50-an itu berkata: ”Pesan Aulia, semua sumbangan yang sudah masuk, tolong berikan untuk anak-anak Rohingya, Palestina, dan sebagian untuk teman-teman buka puasa.”
Masya Allah, husnul ktiman, ya Ananda Aulia Najasyi. Bahkan dalam kondisi harus merasakan kesakitan luar basa itupun, ternyata engkau masih saja mengingat orang lain. Anak-anak Rohingya, Palestina dan teman-teman penghafal Al Quran.
Kisahmu yang dituliskan oleh Umi Izzah, Al Quran Membuatku Tangguh, sangat menginspirasi. Semoga semangatmu untuk tetap mencintai Al Quran akan menulari ummat. Cinta Al Quran jualah yang menyatukan kita di Mahad Askar Kauny.
Alhasil, buku kumpulan kisah santri Mahad Askar Kauny ini adalah sebagai permulaan.  Semoga akan berlahiran para penulis mumpuni dari kalangan santri, khususnya santri penghafal Al Quran di kalangan Mahad Askar Kauny. Dan berlahiran pula karya-karya hebat dari jari-jemari mereka. (Mahad Askar Kauny Cibinong, September 2017)

                                       Masih muda sudah operasi rahim


@@@

Lawan Rezim Zalim!

$
0
0

Ganyang PKI!



Suara Lantang Lansia
Pipiet Senja

          Pertama kali memutuskan untuk ikut aksi pada usia 60-an begini, yaitu saat memenuhi ajakan sahabatku, Ustad Alfian Tanjung. Aku bergabung dengan grup melalui WA, Barisan Ganyang PKI.
Diam-diam tentu saja dari pengetahuan anak cucu. Kalau bilang-bilang, dipastikan tidak akan diizinkan. Makum, baru keluar dari perawatan ICCU.
Alhasil, ganti baju dengan busana serba putih di jalanan. Biasanya setiap aksi mensyaratkan desscode tertentu.
Dari rumah memang sendirian, tetapi di perjalanan banyak berjumpa peserta aksi. Di kereta pun sudah banyak jamaah yang punya tujuan sama. Aksi Ganyang Komunis, 3 April 2016.
Kebetulan di kereta jumpa anak-anak Taruna Muslim dari Bogor, binaan Ustad Alfian Tanjung. Kami bergerak jalan kaki dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara.
“Foto-foto dulu, ya Manini,” pinta anak-anak cantik berbusana Muslimah serba putih, jilbab merah.
Manini, begitulah gelarku di jagat literasi dan kalangan aktivis perjuangan.
Melihat dan merasakan sendiri bagaimana aura, ghirah perjuangan peserta aksi, tak urung aku terperangah hebat. Apalagi saat menyadari ternyata pesertanya bukan sekadar rombongan melainkan ribuan. Bergetar hebat sekujur tubuh ringkih ini begitu mendengar gema takbir dikumandangkan secara terus-menerus.
“Takbiiiiir!”
“Allahu Akbaaar! Allahu Akbaaar!”
“Aksi bela Islam, aksi bela, aksi bela Islam…. Allah Allahu Akbar!”
Sepanjang jalan kaki, aku bersama rombongan Taruna Muslim tidak jauh dari mobil komando. Tampaklah Habib Rizieq Shihab dan para Habaib. Untuk pertama kalinya aku melihat langsung sosok Ulama Besar Indonesia. Pertama kalinya pula mendengar langsung seruan-seruannya, pencerahannya, doanya dan larik-larik lagu mars perjuangan khas FPI.
“Pak Poliisi, Pak Poisi, bantu kita! Lawan PKI! Ganyang PKI!” demikian dilagukan selang-seling dengan teriakan lantang Habib, tentang bahaya laten komunis. Bahwa PKI gaya baru sudah bangkit. Mereka ingin menghancurkan NKRI, kembali membantai umat Islam!
Kuperhatikan saat itu para polisi yang diturunkan masihlah muda-muda. Mereka melambaikan tangan, tersenyum ramah, menyapa santun. Demikianlah aksi ummat Islam sebelum Pilkada DKI, sebelum terjadi penistaan agama. Yakinlah, Polisi masih bersama ummat!
“Teteh, kami akan masuk ke Istana. Kalau mau Orasi, nanti Iqbal yang atur,” kata Ustad Alfian Tanjung.
Ia mengarahkan putranya, Iqbal, sebelum bergabung dengan perwakilan yang diizinkan masuk ke Istana Negara. Kabarnya tidak ada Presiden, hanya diterima oleh Wapres Jusuf Kalla.
Aku pun patuh antri untuk Orasi. Usai Kivlan Zein, ganti seorang Habib, barulah giliranku. Tak terpikirkan sedikit pun jika kita melakukan Orasi, suatu saat akan menjadi target. Maka, santai dan tenang saja aku teriak-teriak lantang. Ganyang PKI!
Itulah Orasi pertama yang pernah kulakukan di atas mobil komando, milik FPI pula, masya Allah. Kalau teringat lagi saat-saat itu serasa berdetak kencang jantungku yang sudah error ini.
Ternyata ada yang lebih tua lagi umurnya dariku, yaitu; Yeni Biki, kakaknya Amir Biki yang ditembak mati kasus Tanjung Priok di bawah omando LB Moerdani. Dia lebih lantang, lebih semangat tentunya dan sama sekali tanpa teks. Masya Allah, mujahidah sepuh dari Tanjung Priok, dahsyat!
Sejak aksi pertama itulah aku jadi sering diundang oleh berbagai komunitas perjuangan. Bersama WNKRI teiak-teriak lantang; Suara Rakyat Adalah Kita, ngahok, ngahok, preeet.
Bersama Pinky Lady, ibu-ibu dan anak-anak korban reklamasi, aku pun Orasi; Keadialan Untuk Korban Reklamasi; Surat Berdarah Untuk Presiden. Lokasinya di berbagai tempat; depan Istana Negara, Gedung KPK, Gedung MPR/DPR, Tugu Tani, Kedubes Myanmar dan Monas.
Aksi 411, bagiku adalah aksi paling seru dan sangat horror karena ditembaki gas airmata dan kembang api oleh Polisi. Terpisah dari rombongan, jalan sendirian di tengah massa konon berjumlah 2 jutaan. Melihat dari kejauhan bagaimana Habib Rizieq, Arifin Ilham, Fadlan Gramatan, Aa Gym dan para Ulama ditembaki kembang api, gas airmata.
Mereka diperlakukan tak ubahnya bagaikan para kriminal, teroris. Polisi sungguh represif, kejam sekali, teriakku geram nian.
Saat itulah sinyal ponsel kembali kudaatkan setelah beberapa jam menghilang. Melalui FB dan Twitter, anak-anakku menyuarakan kecemasan mereka terhadap si Manini, ibu mereka yang dianggap ringkih, penyakitan sering keluar masuk ICCU.
Anakku sulung menyarankan agar emaknya ini singgah di Mabes Kostrad. Aku memang sudah di Mabes sejak beberapa menit yang lalu. Menunggu situasinya aman. Seorang pajurit muda yang baik hati bahkan menyuguhiku minuman hangat dan cemlan.
“Mama jangan cari-cari matilah, plliiiis,” pinta anakku perempuan.
“Mama cukup berjuang melalui tulisan saja, ya Ma, pliiis,” abangnya ikut pula memohon-mohon.
“Mama lebh memilih mati di jalanan saat aksi melawan rezim zalim daripada mati di ICCU!” jawabanku membuat mereka geleng kepala, tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.
“Aksi 212 yang paling menggetarkan, Anakku,” tulisku di buku harian.
Betapa banyak kejadian yang sarat dengan keajaiban. Sehingga aku memutuskan untuk mengmpulkan kisah nyata dari peserta 212. Begitu usai membukukan dan mencetaknya dengan donasi dari Hamba Allah yang tak ingin disebut identitasnya, terbersit pula untuk bisa mengangkatnya ke layar lebar.
Sejak Maret 2017 bersama Tarmizi Abka, sutradara, berjuang untuk mewujudkan mimpi film spirit 212; Cahaya di Langit Jakarta. Entah kapan bisa menayangkannya di XXI. Bahkan untuk mendapatkan produsernya pun masih terombang-ambng dalam perjuangan tim produksi, bersama Basyirah dan Buni Yan, dkk. Aku yakin dan tetap optimis!
“Berhati-hatilah postingan, Mama,” anakku yang Master IT mengingatkan.
Beberapa kali akun atas namaku di-hacker, tidak bisa diakses bukan karena lupa password-nya. Seperti tudingan seorang TKI, bahwa si Manini banyak cucu, sudah pikun, sudah bau tanah kubur. Sotoy, sok jadi pahlawan. Bikin muak sekali!
Tidak mengapa, silakan saja kalian menghujatku, Emang Gw Pikirin?!
“Perjuangan belum usai, Anakku,” tulisku pula di buku harian.
Aku cermati melalui media sosial, terkesan sekali anak-anak muda bersikap tak peduli. Ke mana coba mahasiswa, apa hanya suka selfiean di Istana? Alhasil, emak-emak dan nenek-nenek yang semakin gencar berjuang. Baik sebagai BEMI, Barisan Emak Muslim Indonesia perang di media sosial, maupun ikut bergerak di setiap ada ajakan Ulama untuk aksi.
Setiap kali hendak pergi aksi, aku tidak lupa menuliskan semacam wasiat di Deskop laptiop. Atau memberi pesan terutama minta doa kepada Zein dan Zia, dua cucu yang sudah besar.
“Demo melulu, Manini, mau sampa kapan?” tanya Zein, cucuku melalui WA. Kini kami berjauhan, tetapi  masih bisa berkomunikasi, jika ibunya mengizinkan.
Aku belum meresspon beberapa saat, sibuk persiapan menuju aksi 299. Perbekalan hanya alakadarnya, dua batang cokelat almond, termos min teh hangat, obat-obatan dan Oxycam. Kutahu makanan dan minman senantiasa berlimpah dan digratiskan di setiap aksi.
“Pasti ada yang mendanai!” tuduh seseorang di beranda FB.
“Ya, tentu saja ada dana yang senantiasa mengalir. Dari Sang Maha Pencipta melalui tangan-tangan ikhlas,” tulisku di kolom komentar.
“Manini, aloooow! Belum jawab, weeei!” Zein mengingatkanku.
“Bentaaar!” sahutku.
“Jangan-jangan Manini kecanduan demo?” komentar anak SD kelas enam itu membuatku tertawa geli.
“Kecanduan, halaaah!”
“Jawab dong, Manini, pliiiis!” tuntut Zein lagi.
“Sampai detak jantung berhenti, Zein,” jawab aku. “Ayo, takbiiiir!”
“Allahu Akbar!”
“Merdeka, Zein!” (Jakarta, 29 September 2017)
@@@



Novel Inspirasi: Para Pencari Keadilan

$
0
0
        •                          Apa yang Ompung Cari, Bah?
        •                                          Pipiet Senja


Bada shalat subuh Rumondang keluar dari biliknya. Hawa dingin segera menyergap wajahnya begitu kakinya menuruni tangga kayu sopo godang1milik kakeknya. Sebuah rumah adat Batak berbentuk panggung tinggi, terbuat dari kayu-kayu jati yang kokoh. Biliknya dari anyaman bambu dengan atap rumbia. Ketika dirinya masih kecil, di bawah panggung itulah sudut favoritnya tempat bermain rumah-rumahan bersama sepupu-sepupunya.
Di kampungnya sopo godang milik Ompung2 terbilang bangunan paling bagus. Sebab Ompung Ni Sahat adalah orang yang sangat kayaraya. Sabak3-nya tak terhitung banyaknya, lumbungnya yang selalu penuh berada di tiap sudut pekarangan dengan luas entah berapa hektar. Belum lagi hewan peliharaannya, kambing, sapi, kerbau, ayam, bebek, angsa dan berbagai jenis burung.
“Guuuk! Guuuk! Guuuk!”
“Nguuuk! Nguuuk! Waaau! Waaau!”
            Monyet-monyet bergelantungan dari pohon yang satu ke pohon lainnya sambil menjerit-jerit riuh.
            “Iiih, bikin halak4  kaget  saja!” gumamnya.
            Rumondang Siregar, dara berumur 16, dengan rambut panjang lebat tersembunyi di balik jilbab kaos berwarna putih. Tubuhnya yang tinggi ramping terbalut dalam stelan baju olah raga.
Dia baru usai Ujian Nasional SMA di Padang Sidempuan, masih harap-harap cemas, apakah nilai-nilainya akan sebagus prestasi sebelumnya atau sebaliknya jeblok? Rasa cemasnya sesungguhnya tidak perlu. Sebab siapapun sudah tahu, Rumondang hampir tiap tahun menyabet peringkat pertama di sekolahnya.
            “Guuuk!
“Nguuk!
“Waau!”
            Ia tersenyum simpul sendiri. ”Kalian itu tak bisa kompak pula rupanya, ya?” katanya sambil memerhatikan makhluk-makhluk lucu yang bergelayutungan tak jauh dari atas kepalanya. Dia sama sekali tidak merasa takut. Sebab sejak kecil dirinya sudah akrab dengan binatang-binatang lucu itu.
            ”Rindu pula rupanya kalian itu sama aku, ya? Hihi, sudah lama juga tak ketemu kita nih. Salah siapa coba? Aku sibuk Ujian Nasional, sementara kalian sibuk bergelantungan terus, ya?” Rumondang terus berceletoh dalam hatinya.
Mulanya dia berjalan santai, menapaki jalan setapak menuju Utara kampungnya. Hanya saat dia melintasi sungai tiba-tiba entah mengapa, bulu romanya meremang. Sepi, senyap dan memang sungguh lengang.
Ke mana saja orang-orang itu? Kan biasanya juga ramai di sungai ini?
“Wuiih! Wuiih….”
Tangannya sibuk menepis-nepiskan rumput ilalang yang menghalangi jalannya. Ilalang setinggi orang dewasa begitu lebat bagai tak bertepi. Namun tubuh ramping itu terus menyelusup di antara ilalang, pepohonan dan semak belukar.
“Ooh, iya, ya…. Ini musim panen raya,” gumamnya membatin.
Rumondang baru teringat kembli percakapannya tadi malam dengan Bou5Taing, saudara perempuan ayahnya.
“Tiap subuh orang sini sudah berangkat ke sabak. Bagaimana dengan kau? Apa kau mau ikut kami besok itu, Butet?” tanya Bou Taing.
“Iya, bantulah kami panen, Butet!” kata Tigor, suami Taing.
            “Maaf, kalau besok aku tak bisa. Aku mau ke kubur Ompungboru7,” sahutnya tegas.
Tak ada yang melarang atau membantah, bahkan tak ada yang berkata-kata lagi. Memang sejak dulu pun sikap mereka selalu begitu. Tak pedulian terhadap dirinya. Biarlah, daripada mendengar omelan dan sumpah serapah BouTaing. Sebab sekalinya angkat bicara, omongan perempuan itu sering amat melukai hatinya.
“Anak Cina itu takkan kerasanlah lama-lama di kampung. Seharusnya kau  tinggal di kotalah itu, Amoy!”
“Pergilah ke keluarga Cina kau itu di Medan!”
Baiklah, anak Cina, katanya tandas. Tanpa tedeng aling-aling. Ibu yang melahirkan dirinya memang seorang wanita keturunan Tionghoa. Wu Siao Lien nama Tionghoanya. Nama pribuminya Maharani Sanjaya.
Cantik jelita wajah ibuku itu dalam potretnya, pikir Rumondang. Ya, dia hanya mengenalnya dalam potretnya. Sebab dia sudah ditinggalkan oleh ibunya sejak berumur setahun. Bukan ditinggalkan ke alam baka, tapi entah pergi ke mana.
            Rumondang takkan melupakan hari-harinya ketika kanak-kanak. Perilaku neneknya dan saudara-saudara ayahnya sering menyakiti perasaannya. Bahkan bukan saja secara batiniah melainkan juga fisiknya. Serasa masih terngiang-ngiang di telinganya omongan Ompungboru.
“Ibu kau itu minggat, Butet!”
“Kalau sudah besar nanti, kau pun akan benci sama ibu macam si Siao Lien itu. Percayalah sama aku!” ujarnya ketika Rumondang kelas enam SD.
“Tapi kenapa, Pung?”
“Si Siao Lien  itu bukan boru8 baik-baik, mengerti?!” cetusnya bernada penuh kegeraman dan kebencian.
“Eh…. Jadi, macam perempuan mana pula ibuku itu, Pung?”
“Pokoknya perempuan tak baiklah Ibu kau itu, Butet!” dengusnya mengulang-ulang, entah untuk ke berapa kalinya.”Dia itu tak bisa diajak hidup sengsara sama suami….”
“Artinya, dulu memang betul orang tuaku itu pernah hidup sengsara di kampung kita, ya Pung?” tukas Rumondang penasaran sekali.
“Hanya sebentar. Tak ada kerjanya pula selain mengurung diri di kamar. Entah bikin apa itu, mengetik?”
“Mengetik, Pung?Mengetik apa? Sebenarnya apa pekerjaan ibuku dulu, Pung?” kejarnya semakin penasaran.
Ini kesempatan baik untuk mengorek perihal orang tuanya. Biasanya tak ada seorang pun yang mau menyinggung perihal mereka. Terutama tentang ibu kandungnya. Seakan-akan telah menjadi tabu, pantangan berat bagi keluarga besar ayahnya.
            “Kurasa dia itu cuma ikut-ikutan anakku saja,” kata perempuan tua itu sambil menumbuk padi dengan kekuatannya yang luar biasa.
Sering Rumondang merasa heran dengan kekuatan fisik yang dimiliki perempuan tua berperawakan tinggi besar itu. Ompungborumengerjakan segalanya seorang diri!
          “Kata  Uda Tigor, ayahku itu seorang seniman, Pung?”
          “Iyalah, betul itu! Sudah jadi seniman terkenal anakku itu sebelum kawin sama si Siao Lien. Orang bilang penyair, begitulah. Gara-gara kawin sama halak Cino, kacau  pulanya hidup anakku itu! Jadi Sampuraga8-lah dia itu. Bah!”
            Tiba-tiba perempuan tua itu berhenti menumbuk. Sepasang matanya dilayangkan ke kejauhan, ke ufuk langit berwarna biru bening. Rumondang sering berpikir, adakah Ompungborupernah merindukan putranya? Anak laki-lakinya semata wayang? Sebab seingatnya, neneknya tak pernah memperlihatkan kerinduannya kepada siapapun. Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, penyokong utama keluarga besarnya sudah menguras seluruh enerjinya.
Namun, kalau untuk urusan sumpah serapah, bah!
Dialah biangnya!
            “Hei, sudahlah jangan mau tahu cerita orang tua kau. Sekarang kau ini kan sudah lama ditinggalkan sama mereka. Kau ini dibuang, Butet. Makanya kau harus bisa menitipkan diri. Jangan banyak main. Sekolah juga tak usahlah tinggi-tinggi. Diam sajalah kau di rumah. Kerja di sabak,mencangkul, panen, menggembala ternak, bantu-bantu aku yang sudah tua ini. Cukuplah begitu kehidupan kau itu, Butet!” ceracaunya tak tertahankan lagi.
            Syukurlah, Sang Maha Pencipta menjemput neneknya tak lama setelah Rumondang lulus SD dan sangat menginginkan melanjutkan sekolah. Neneknya meninggal akibat dehidrasi, muntaber. Tak mau dibawa ke Puskesmas atau dokter. Bahna malas dan kikirnya mengeluarkan isi kocek yang selalu disimpannya dengan sangat telaten di lemari tuanya.
            Memang ada bagusnya bagi Rumondang ditingalkan oleh Ompungboru. Karena perilaku dan keinginan sang nenek sangat berbeda dengan nenek-nenek temannya.
Apabila nenek temannya punya keinginan melihat dan memajukan anak cucu, mengejar cita-cita. Seperti Ompungsi Liani, meskipun sangat miskin, bersikukuh menyekolahkan anak dan cucu ke perguruan tinggi. Dibela-bela walaupun harus berutang sana-sini, menggadaikan bahkan sampai menjual seluruh harta benda.
            “Kalau Ompungboru masih ada, tentu aku takkan bisa sekolah di Sidempuan macam sekarang, ya Pung?” cetus Rumondang ketika diantar oleh kakeknya ke tempat kos di Kabupaten.
Saat itu dia akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMA. Di kampungnya belum ada SMP. Jadi ketika SMP pun dia harus berjalan kaki sepuluh kilometer pulang dan pergi ke Kecamatan.    
            “Iyalah. Aku pun takkan kawin lagi sama si Joruk, bekas teman kau itu,” sahut kakeknya sambil terkekeh.
            Rumondang mesem dan menggoda kakeknya.”Jadi, lebih suka mana, Pung? Saat masih ada Ompungboru atau sekarang?”
            “Ah, macam mana pertanyaan kau itu? Menggoda aku saja, ya?” elaknya tersiup malu, tapi sesaat kemudian dilanjutkannya. ”Tapi Butet, kalau aku pikir-pikir pula, bah! Enakan sekaranglah kita ini, ya Butet? Tak ada lagi tukang sumpah-serapah di rumah. Artinya, dingin kuping bening matalah kita ini. Iya kan, Butet?”
            Rumondang tertawa tergugu melihat kelakuan kakeknya. Belum 40 hari meninggal Ompungboru, ketika Ompung menikah lagi. Joruk, bekas sobat kecilnya, teman bermain di sungai dan mengaji di surau. Tentu saja mulanya tindakan kakeknya itu menjadi gunjingan orang sekampung. Namun, kemudian reda sendiri.
Siapa pula yang berani ganggu-gugat kakeknya? Orang yang paling berkuasa, banyak harta, baik budi, ringan hati dan selalu berbagi dengan masyarakat sekitarnya. Seorang pelopor pendidikan di desa mereka. Karena pernah berkelana ke Malaysia, Makkah, Iran dan Irak.
Biarlah Sang Khalifah punya istri lagi, pikir mereka. Lagipula, memang diwenangkan meski dia ingin punya istri sampai empat sekalipun. Iya kan? Apalagi ini sedang melajang kembali. Siapa pula yang mau kedinginan sendirian, menjelang hari-hari senja dalam hidupnya? Nah, yang penting dia tetap baik hati, selalu ikhlas berbagi hartanya dengan masyarakat.
          Walau mendapat tentangan hebat juga dari anak-anak Ompungboru. Ompungtetap melanjutkan niat dan hasratnya, menikahi remaja belasan sebaya cucunya. Dia merasa sudah cukup adil, membagikan sebagian hartanya dengan anak-anaknya. Hidup masih terus berlanjut baginya. Setelah dua per tiga hidupnya dihabiskan dengan seorang istri nyinyir. Dia masih ingin menikmati sisa-sisa  hidupnya dalam suasana yang sangat berbeda.
“Hmm, OmpungOmpung,” gumam Rumondang sambil mesem-mesemsendiri.
Teringat kembali bagaimana saat kakeknya begitu keras kepala, melaksanakan keinginannya menikahi Joruk. “Tak takut dimusuhi anak-anaknya, tetap berkeras menikahi Joruk. Hm, sebenarnya  alasan apa, ya Ompung itu? Segitu umurnya konon sudah 105 tahun?!”
Ah, tapi meskipun sudah lebih seabad begitu, penampilan kakeknya tampak tegar. Gigi-giginya masih banyak, rapi dan kokoh. Matanya pun masih awas, tanpa kacamata. Perawakannya juga sama sekali tidak bungkuk, apalagi peot. Ompung masih gagah, kuat dan tegar sekali.
Suaranya bila sedang mengajari anak-anak mengaji atau markobar9itu; subhanallah, begitu lantang dan bening!
***




1rumah adat Batak
2kakek atau nenek
3sawah
4orang
5sebutan untuk tante, adik perempuan bapak
7nenek perempuan
8 perempuan
8 nama tokoh legenda Batak kisahnya mirip Malin Kundang
9 berbicara dalam suatu pertemuan adat keluarga

Cahaya di Langit Jakarta

$
0
0


                                               


                                                  Prolog
KH. Habib Rizieq

            Aksi Bela Islam bukan Aksi Anti China dan bukan Aksi Anti Kristen serta bukan juga Aksi SARA, tapi semata-mata merupakan Aksi Anti Penistaan Agama.
Aksi Bela Islam tidak pernah mencaci dan menghina agama apapun, dan tidak pernah juga mencaci dan menghina Tuhan, maupun berhala yang disembah agama mana pun.
Aksi Bela Islam hanya mencaci dan menghina orang yang mencaci dan menghina Al-Qur'an. Aksi Bela Islam adalah Aksi mengagungkan Allah Swt dan memuliakan Rasulullah Saw, serta mensucikan Al-Qur'an dan menjaga kehormatan Islam beserta umatnya, sekaligus merupakan Aksi untuk merajut keharmonisan hubungan antar umat beragama.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! (http://www.habibrizieq.com)

Daftar Isi
I.              Prolog : KH. Habib Rizieq
II.            Pengantar
1.Perang Udara (KH. Bachtiar Nasir)
2.Berkah Karomah Allah Swt (Arifin Ilham)
3.Pesan Menjelang Aksi 212 (KH. Abdullah Gymnastiar)
4.Jangan Terpengaruh Tudingan Teroris (Ratna Sarumpaet)
5. Pengalaman Luar Biasa Aksi Super Damai 212 (Fahira Idris)
6. Buni Yani Adalah Kita (Ramadhani Akrom)
7. Aksi Bela Al Quran (Ustad Felix Siauw)
III. Kisah Inspirasi

8. Aksi Bela Islam 1410 (Kang Suhe)
9. Garis Depan Aksi 411 (Diki Saefurohman)
10.Jakarta Menumpahkan Air Mataku (Elmustian Rachman)
11.Cahaya di Langit Jakarta (Pipiet Senja)
12.Kesaksian Dari Lombok (Kak Wawan)
13.Sayap Malaikat Menaungi Jakarta (Jahar)
14.Penghargaan Untuk Ciamis (Bersama Dakwah)
15.Sajadah, Makanan dan Sampah (Muhammad Abdus Syukur)
16.Merangkak Menuju Monas (Anugerah)
17.Anakku, Bapak di Monas (Iswandi Syahputra)
18.Menyaksi Barisan Ciamis (Denny Suwarja)
19.Catatan Panglima Kafilah Ciamis (H. Nonop Hanafi)
20.Dahsyatnya Kekuatan Al Maidah 51 (KH. Achmad Syafi’i)
21.Membersamai Orangg Tua (Muhammad Luthfi)
22.Semangat Jihad Mengalahkan Usia (KH. Sabrowi Ihsan)
23.Semerbak Harum di Monas (Arik S.Wartono)
24.Di Tengah Serangan Gas Air Mata (Qosim Nurseha Dzulhadi)
25.Ar Razaaq Pun Nyata (Ahya El-Hasyim)
26.Wakaf Rumah Makan (Ganesha)
27.Menjadi Imam Mujahid Ciamis (Joni A. Koto)
28.Hujan Penuh Rahmat (Hamba)
29.Jumpa Mujahid Cilik (Dara Lana Tan)
30.Berkah Dari Langit (Balya Nur)
31.Warta Aksi 411 (Haris Fauzi)
32.Pasca Operasi Ikut Aksi (Tarko M. Fauzi)
33.Aksi yang Selalu Dirindukan (Teddy Snada)
34.Magnetisnya 212 (M. Iqbal Almaududi)
35.Kakek Punya Semangat (Aisyah Vimar Tawakkal)
36.Persembahan Cinta Semangat 212 (Umu Laila Sari)
37.Dengan Tertatih Aku Datang (Mariati Aprilia Harahap)
38.Laskar Akhwat Siap Syahid (Maya Hayati)
39.Adakah Aksi Bela Islam Jilid 4? (Anie Beatrix)
IV. Serba-Serbi Aksi Bela Islam
V. Album Perjuangan 1410, 411 & 212


Stok Terbatas!
Harga hanya 70 ribu sudah Ongkir untuk Jabotabek!

Catatan
Mohon bagi penulis kontributor di buku ini, ereka yang belum mendapatkan bukunya silakan menghubungi Pipiet Senja melalui WA 085669185619
Terima kasih

Kini Engkau Beri Mama Cucu

$
0
0


Haekal 11 bulan

Zidam 22,5 tahun

Add caption
 id 9 tahun, Zein 11 tahun



Keluarga Haekal kini


Engkau  Beri Mama Cucu
Pipiet Senja


Saat kucatat lakon ini, Haekal berumur sembilan tahun, kelas empat SD, selalu peringkat pertama. Anak ini melimpahiku dengan banyak prestasi, kebanggaan  dan kebahagiaan tak teperi.
“Kata dokter, sekarang Mama lagi hamil, Nak,” aku berkata sambil mengusap kepalanya, siang itu sepulang Haekal sekolah.
Anak laki-laki yang nyaris tak pernah membuat ibunya bersusah hati itu mengangkat kepalanya, memandangi wajahku, parat terus ke permukaan perutku dengan sorot mata ingin tahu dan penasaran.
“Iya, Haekal akan punya seorang adik. Bukankan itu menyenangkan, Nak?” ujarku menegaskan.
“Ekal mau punya adik, ya?”
“Iya Nak.” Aku mengulang sambil mencoba menebak-nebak, kira-kira apa yang dipikirkan anak seusianya tentang keberadaan seorang adik. Selama ini aku sudah terfokus terhadap dirinya.
Dia menggaruk-garuk kepalanya, suatu kebiasaan yang sama dengan bapaknya bila pikirannya belum ajeg.
“Eeeh, adiiiik! Waaa, asyiiik!” serunya sesaat kemudian.
Tiba-tiba dia bersorak, meluapkan kegembiraannya sambil berjingkrak-jingkrak, mengacung-acungkan kedua tangannya ke udara. Beberapa jenak dia berputar-putar di sekitarku bagaikan gasing. Sampai kuperingatkan agar tidak terlalu heboh, khawatir mengganggu ompungnya yang sedang rehat di kamarnya.
“Ekal paham kondisi Mama?” aku mulai mengajaknya duduk tenang.
Beginilah caraku kalau ingin mengajaknya membincang suatu masalah. Haekal bukan sekadar seorang anak, bagiku dia bisa menjadi seorang teman, seorang sahabat, seorang pahlawan dan terutama buluh perindu di kala hidupku serasa dalam kehampaan.
“Iyah… Ekal harus bisa lebih mandiri, ya kan?”
“Bagus!”
“Terus?”
“Mama akan banyak minta bantuanmu, gak apa-apa kan, Nak?”
Dia menggeleng cepat sambil ketawa lugas. “Ekal janji mau bantu Mama!” sahutnya mantap.
Sejak itu aku dan anakku berjibaku dalam rangka menyelamatkan kehamilanku kali ini. Dua kali keguguran, sesungguhnya bagiku sangat menyiksa, acapkali aku dihantui perasaan bersalah dan berdosa yang nyaris tak tertanggungkan. Apapun alasan medis, tetaplah membuat lahir-batinku merana apabila mengenangnya.
“Bisa mengantarku hari ini ke rumah sakit, Yang?” pintaku suatu pagi sebelum suami berangkat ke kantor.
Walaupun jawabannya sudah bisa kutebak, tapi aku merasa harus mencobanya lagi. Ini memasuki minggu ke-28, takaran darahku sering di bawah standar ibu hamil, ditambah asma bronchiale dan jantung tidak aman.
Selama ini aku lebih sering pergi seorang diri, kalau agak darurat biasanya terpaksa mengorbankan waktu sekolah Haekal. Ya, anak kecil itulah yang setiap saat menjadi pengawalku paling setia dan tulus.
“Hari ini aku ada urusan! Biasanya juga kamu pergi sendiri atau diantar si Haekal,” cetus suami terdengar tanpa perasaan sama sekali.
“Tapi hari ini aku mungkin harus ditransfusi, menjalani beberapa pemeriksaan…”
“Semuanya kan sudah biasa bagi kamu,” ujarnya seraya meninggalkan uang alakadarnya.
Aku mengatupkan mulut rapat-rapat, menahan gelombang yang membadai dalam dadaku. Dia sudah menjadi seorang dosen tetap di almamaternya. Memang ada sedikit perubahan saat ini, dia mulai memberiku uang belanja per hari. Ini lebih disebabkan keberadaan ibunya, dan seorang keponakan yang tinggal bersama kami.
Sebelumnya untuk keperluan sehari-hari, semuanya saja, harus aku yang mencarinya. Suatu hal yang membuatku mesti bekerja keras, melahirkan karya; menulis, menulis, menulis tanpa terpikirkan lagi tentang nilai-nilainya, ruhnya dan sebagainya.
“Ekal saja yang antar, ya Mama?” tanya anakku ketika usai mandi, mendapatiku sedang tercenung-cenung di depan mesin ketik.
Kebiasaan burukku adalah melamun di depan si Denok, manakala pikiran dan perasaanku terusik. Niscaya Haekal sudah tahu kebiasaanku ini. Kuangkat kepalaku dari mesin ketik, kualihkan ke wajahnya… Oh, Anakku!
Sungguh, meskipun masih bocah, tapi dia telah mengalami banyak peristiwa dalam sejarah kehidupannya. Diperebutkan oleh aku dan suami di pinggir jalan, menyaksikan diriku disiksa habis-habisan oleh suami. Matanya nyaris tersundut rokok bapaknya, ketika kami bertengkar hebat di jalanan. Disiksa habis-habisan saat dia melakukan kesalahan kecil, mengisengi sepupunya, dan itu dianggap dosa besar oleh bapaknya.
Ya Tuhan, Engkau menjadi saksi, bagaimana diriku bermalam-malam membaluri sekujur tubuhnya yang penuh dengan bilur-bilur biru, tapak kekerasan yang keji itu.
Kelak, seiring usia pernikahan kami, saat Haekal memasuki masa remaja; penganiayaan dan penyiksaan itu semakin sering dialaminya. Hanya karena anakku berusaha membelaku dari penganiayaan fisik.
Kekerasan itu berhenti saat anakku kelas dua SMA, menjadi taekwodoin handal di sekolahnya. Dalam hal ini, terus terang aku terpaksa mendukungnya penuh, setidaknya anakku mampu membela dirinya sendiri dari tindak kekerasan bapaknya.
“Gak usahlah, Nak, sekarang kan musim ulangan. Pergilah sekolah. Ini uang sakumu. Kalau Mama belum pulang siang nanti, belilah makan siangmu, ya Nak,” kuselipkan uang tambahan.
Karena yang telah kumasak sejak subuh khusus untuk makan siang bapaknya dan ibu mertuaku; bolgang atau sayuran rebus khas Batak, bandeng goreng dan gule ikan kembung. Sedangkan Haekal tidak suka semuanya itu, biasanya dia lebih sering memilih lauk berupa ceplok telor dan kerupuk.
“Bener Mama gak perlu diantar?” dia memandangiku, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya bahwa ibunya baik-baik saja meskipun harus jalan sendiri.
“Insya Allah, gak apa-apa, doain aja Mama selamat di jalan, ya Nak?”
“Iya atuh da Ekal mah suka doain Mama… Biar Mama selalu sehat, selamat di jalan, selamat pas melahirkan. Nah, Ekal sekolah dulu, ya Ma,” celotehnya seraya mengambil tanganku, kemudian menciumnya dengan sayang.
Aku membalasnya dengan mengusap kepala dan mencium ubun-ubunnya. Dia pun berlalu menembus kebun bambu di depan rumah kami. Aku menghela napas dalam-dalam, merasai aura semangatnya yang merasuki paru-paruku, dan sekujur tubuhku sebagai suatu kekuatan dahsyat.
Beberapa jenak kupandangi sosoknya yang pendek kekar, acapkali mengingatkanku kepada ompungnya, yakni amangboru, bapak mertuaku. Bahkan kaki-kakinya yang agak membengkok pun niscaya diwarisi dari kakeknya itu, Haji Karibun Siregar, seorang guru terpandang di Nagasaribu, Tapanuli Selatan.
Bapak mertuaku meninggal lima hari setelah kelahiran Haekal. Sayang sekali, dia tak sempat melihat perkembangan cucu laki-laki yang sangat dinanti-nantikannya itu. Seandainya masih ada, entah bagaimana perasaannya bila menyaksikan perlakuan kasar dan tak adil yang acapkali ditimpakan putranya itu terhadap cucunya.
“Mau ke mana pula sekarang kamu, Pipiet?” bertanya ibu mertuaku, inangboru.
Dia baru kembali dari rumah abang ipar untuk menagih sewa rumah-rumah petak milik putra sulungnya itu. Letaknya tak berapa jauh dari rumah kami, tapi bila ditempuh dengan berjalan kaki lumayan juga lelahnya. Biasanya kami memilih naik angkot. Ajaibnya, ibu mertuaku yang sudah sepuh, 70-an ini, lebih suka berjalan kaki pulang-pergi dari rumah kami ke rumah anak sulungnya yang sedang tugas di Jerman itu.
“Mau ke rumah sakit, Bou,” belum selesai kalimatku sudah dipintas dengan nada melecehkan dan sinis.
“Bah! Kalau si Pipiet itu selalu ke dokter terus, ya? Kulihat tak ada sakitnya itu!”
Aku tak menyahutinya. Percuma kalau kujelaskan secara rinci kondisiku saat kehamilan begini. Berulang kali, entah, tak terhitung lagi, tampaknya dia tetaplah tidak mengerti. Atau mungkin memang berlagak tak paham dengan kondisi kesehatanku, entahlah!
“Jadi nanti kami kelaparan, ya?” serunya saat aku sudah siap berangkat.
“Aku sudah masak, Bou. Semuanya sudah disiapkan di atas meja makan.”
Dia bergerak menuju ruang tengah, membuka tudung saji, mencermati hasil masakanku; membaui aromanya, memelototi bandeng goreng. Samar-samar dia masih terus menyumpah serapahi diriku, meskipun bayanganku sudah lenyap dari hadapannya.
Aku tidak pernah habis pikir, bagaimana ibu mertuaku begitu sangat antipati terhadap diriku. Acapkali kebenciannya seolah-olah tak tertahankan lagi, diluapkan begitu tanpa tedeng aling-aling, tanpa pernah menenggang rasa sedikit pun. Segala yang kulakukan di matanya tak ada yang benar. Bahkan meskipun tidak bersalah (menurut akal sehatku) tetap saja dia mencelaku, dan melecehkanku. Kini aku mengetahui bahwa sebagian besar keburukan sifat suami diwarisi dari ibunya.
           Hari itu kuawali perjalanan ke Jakarta dengan membaca basmalah, dan tekad membaja sebagai kelanjutan juang demi mempertahankan bayi yang tengah kukandung. Ini masa-masa tersulit, terkait dengan musim jilbab beracun, isu yang dihembuskan oleh pihak yang membenci Islam. Sementara aku belum lama memutuskan untuk menutup aurat dengan busana muslimah, gamis dan jilbab.
“Mending dibuka saja jilbabnya, Bu,” cetus seorang penumpang di angkot menuju terminal Depok.
“Kenapa?”
“Kemarin di Grogol ada ibu-ibu dihajar massa, gara-gara dituding meracuni makanan di warung…”
“Iya, Bu, mana lagi hamil, jalan sendiri ya?” tambah penumpang lain, menatapku dengan iba.
Aku terdiam. Kurasa tak perlu dikomentari, sementara mereka terus saja membincang isu jilbab beracun dengan sangat antusias dan bersemangat. Aku menyimak dan mencermatinya, maka dalam hitungan menit telah kutemukan satu kesan yang sangat tak nyaman. Intinya mereka mempercayai ada golongan Islam ekstrim yang hendak mengacau di Republik ini.
Membawa perasaan tak nyaman itu pula langkahku tetap menuju RSCM. Aku mulai merasai aura permusuhan dari orang-orang di sekitarku. Tatapan curiga, sinis dan ketakutan tersirat di mata mereka begitu berpapasan, atau berdekatan dengan diriku. Kujalani semua pemeriksaan, tes darah, periksa dokter, nebus obat dan permohonan darah untuk ditransfusi esok harinya dalam perasaan was-was.
“Bulan depan kita jadwalkan caesar, ya Bu,” berkata dokter Laila di poliklinik kandungan.
Aku hanya mengangguk, pikiranku langsung dijejali berbagai kemungkinan yang harus kutempuh. Sejauh itu nyaris tak ada bayangannya, sosok yang telah membuat diriku pontang-panting dengan kehamilan ini, termasuk di dalam rancangan mempertahankan bayiku. Aku merasa harus merencanakan dan memutuskan semuanya ini tanpa bergantung kepadanya!
Membawa beban pikiran itulah aku pulang dan menemukan anakku menangis terisak-isak di kebun bambu.
“Apa yang terjadi, Nak?” Kulihat matanya sembab dan menyimpan ketakutan.
Pikiranku langsung mengarah kepada ayahnya, apakah dia pun berani menyiksanya manakala ibu kandungnya ada di rumah?
“Bukan Papa,” bantah anakku seperti bisa menebak pikiranku.
Agaknya kali ini yang bermasalah dengan anakku adalah neneknya. Sesungguhnya anakku ketakutan untuk berterus-terang, tapi setekah kudesak, dan kuyakinkan kepadanya bahwa aku harus mengetahui duduk perkaranya agar bisa membelanya. Anakku akhirnya mau juga berterus terang.
“Mulanya Ompung nanya, kamu itu sayang sama ibu kamu? Ekal bilang, iyalah… Ompung bilang lagi, kenapa harus sayang ibu kamu? Ibu kamu itu halak Sunda… Ekal nanya, emang kenapa kalau orang Sunda? Ompung bilang, halak Sunda itu… sundaaal!”
Mendengar perkataannya itu darahku seketika naik ke ubun-ubun. Ini tak bisa dibiarkan lagi. Masa kepada anak kecil tega-teganya mengatakan hal yang sungguh melecehkan begitu? Detik itu, aku sama sekali tak terpikir, kemungkinan ibu mertuaku sedang punya masalah dengan jiwanya. Mungkin saja dia stres akibat ditinggalkan oleh putra kesayangannya, atau kecewa harus tinggal serumah dengan kami.
Tidak, aku tak terpikirkan ke arah sana. Aku hanya merasa kesal dan kecewa sekali, mengapa anakku diperlakukan sedemikian tak adil oleh neneknya? Hanya karena aku perempuan Sunda? Sungguhkah hanya karena perbedaan etnis? Ataukah ini karena kekecewaannya, tak berhasil menjodohkan putranya dengan perempuan pilihannya di kampung dulu?
“Maaf, Bou… apa maksudnya mengatakan hal yang tidak-tidak kepada cucu Bou?” sesalku saat menghampirinya di ruang tamu.
Sementara dengan lagak acuh tak acuh, dingin dan angkuh yang tak bisa kupahami itu, jari-jemari tuanya mempermainkan biji tasbihnya. Sedetik kemudian dia menengadah, menatapku, masih dengan sorot kebencian. Seolah-olah aku telah merampas seluruh kesenangannya.
“Ha, kalau kamu itu ya Pipiet… percaya saja sama anak kecil?” sergahnya.
“Aku percaya anak kecil tak suka berbohong, terutama anakku!” sahutku menahan kemarahan yang nyaris meledak dalam dadaku.
Tiba-tiba dialah yang lebih dulu meledakkan kemarahan, dan kebenciannya yang terdalam terhadap diriku serta anakku. Dia memintaku agar membawa anakku ke hadapannya. Aku pun mematuhinya, dan tanpa kuduga seketika dia memegang kedua tangan anakku, lalu diguncang-guncangnya dengan kuat sambil berteriak-teriak lantang sekali.
“Dengar, ya Pung! Kalau kamu bersalah, sudah mengadu macam-macam kepada ibu kamu, aku sumpahi kamu, aku kutuk kamu! Supaya kamu menjadi anak bodoh, anak durhaka, tidak selamat dunia dan akhirat…”
Allahu Akbar, aku mengimbanginya dengan menyeru belas kasih kepada Sang Pemegang Keadilan. Kulihat wajah anakku berubah-ubah, antara ketakutan, kengerian dengan keterkejutan luar biasa. Tak tahan lagi kuraih badannya, kupeluk dan kubawa dia cepat-cepat masuk ke kamar.
Di belakang kami suara lantang itu, sumpah-serapah itu masih jua melolong-lolong. Entah apa yang diceracaukannya, entah apa pula yang dihantamkannya ke pintu kamar Apabila aku tak segera menutupnya, niscaya barang itu menghantam kepalaku dengan telak.
Belakangan kutahu bahwa dia menghantamkan lampu senter besar yang tidak bisa menyala di tangannya, sehingga kacanya hancur berkeping-keping, berserakan di lantai, kemudian terinjak oleh kaki-kakinya sendiri…
Ya Tuhan, setan apakah yang telah merasuki ibu suamiku itu?
Kurasai tubuh anakku gemetar dan menggigil dalam pelukanku. Air matanya mulai bercucuran, air mata ketakutan dan kengerian, kutahu itu pasti!
“Mama, apa betul nanti Ekal bakal jadi anak bodoh, anak durhaka, gak selamat dunia dan akhirat?” isaknya terputus-putus.
Aku memeluknya erat-erat, kuciumi kepalanya, kubasahi rambutnya dengan air mata ketakberdayaan. Tidak, aku tak boleh memperlihatkan air mata, kecengengan dan kelemahan di hadapan anakku.
“Tidak, Nak, Cinta, semuanya itu jangan dimasukkan ke hatimu yang putih bersih,” ujarku tegas. “Takkan kubiarkan siapapun menyakiti dirimu, Mama pastikan itu!”
“Tapi Mama, tadi kata Ompung…”
“Duh, maafkan kelemahan Mama. Dengar, ya Nak,” tukasku sambil menengadahkan wajahnya dan menghadapkannya ke wajahku.
“Bagaimana, Mama?”
Tuhanku, Gusti Allah!
Anak ini masih menunggu perkataan yang bisa melapangkan hatinya.
“Sumpah orang yang dipenuhi dengan kebencian gak bakalan mempan, yakinlah itu! Lagipula kamu sama sekali tak bersalah. Pssst, pssst, sudah ya Nak, jangan khawatirkan lagi hal ini.”
“Tapi dada Ekal… ada yang sakit rasanya Ma… di sini nih, Ma, sakiit…” Tangannya menekan-nekan permukaan dadanya, air matanya terus mengucur deras.
“Oh, Nak… tabahlah Cinta…lapangkan hatimu, Anakku…”
Kuraih kembali dia dan kupeluk erat-erat. Dia memang masih menggigil dalam dekapanku. Demi Tuhan, sebagian diriku serasa ingin melabrak ke ruang tamu sana, tapi, tidak!
Jangan pernah terpancing kembali. Tadi aku sudah melakukan kesalahan besar, mematuhinya membawa anakku ke hadapannya. Dan inilah akibatnya, ya Tuhan, ampuni hamba, tolonglah sembuhkan luka hati, luka jiwa anakku, jeritku mengambah jomantara.
“Ada obatnya, Nak… Kita ambil wudhu dan sholat, ayook!” akhirnya aku berkata.
Dia mengangguk dan mematuhiku. Tubuhnya yang imut-imut sempoyongan menuju kamar mandi. Tak berapa lama kemudian kami berdua sudah larut dalam limpahan kasih sayang Ilahi Rob. Ya, hanya kepada Sang Penggenggam kami menyerahkan segalanya. Kutanamkan kepada anakku bahwa apabila kita lurus di jalan kebenaran, niscaya Tuhan akan selalu menerangi langkah kita.
@@@


Catatan Cinta Dari Mekkah - Ennah Khalida

$
0
0


Sinopsis

Catatan Cinta Dari Mekkah berdasarkan kisah nyata Ennah Khalida. Seorang ibu lima anak berasal dari Bekasi. Saat ia mengandung anak kembar, baru mengetahui jika suami punya perempuan lain umurnya lebih tua dan kaya. Ia memutuskan untuk mengizinkan suami menikah lagi, sebab yakin ayah anak-anaknya hanya mencintainya seorang. Ia bahkan meminta restu keluarga besarnya. Keputusannya membuat ibunya syok dan meninggal, sehingga ia disalahkan sebagai penyebab kematian ibunya oleh saudara-saudaranya.
Ternyata lelaki yang selama itu didukung kariernya sejak mahasiswa sampai menjabat manager IT, pasca menikah lagi, menjadi tak peduli akan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah anak-anaknya. Ennah memutuskan untuk menghibahkan suaminya kepada madunya secara penuh dan resmi di Pengadilan Agama.
Membawa luka hatinya dan cintanya kedua yang gagal, Ennah nekad menjadi TKW ke Arab Saudi. Selain untuk mengumpulkan tabungan demi masa depan anak-anak, ia sangat mendambakan menunaikan ibadah umroh dan berhaji. Menurut teman-temannya di Arab, para majikan suka bermurah hati membawa pembantu berumroh kapan pun dan berhaji setahun sekali.
Perjuangan Ennah pun dimulai sebagai penjahit, merangkap pembantu rumah tangga. Sungguh berat tugas-tugas yang harus dilaksanakannya, betapa banyak pula kendala dan dukalara yang harus dihadapinya. Mulai dari dituduh mencuri HP anak majikan, dimusuhi sesama TKW, dicekik majikan hingga dicintai adik majikan. Manakala ia merasa nyaris putus asa, terutama saat menanggung rindu tak tertahankan kepada lima buah hatinya, dua hal saja yang menjadi senjatanya untuk bertahan. Yakni; ikhlas dan sabar! Bagaimana ia mendapatkan kekuatan yang maha dahsyat itu? Dari ayat demi ayat Al Quran yang dihafalkannya tiap malam menjelang tidur.

Jadikan Kekurangan Sebagai Kekuatan, Adikku: Gola Gong!

$
0
0







Jadikan Kekurangn Sebagai Kekuatan, Adikku: Gola Gong!
Oleh Pipiet Senja
Bravo Gong Smash!

Anda kenal Gola Gong sastrawan dan pengelola Rumah Dunia?
Bapaknya Balada Si Roy yang melegenda era 80-an.
Dia menampung anak-anak miskin di Rumah Dunia,
memberdayakan mereka agar bisa berkarya dan hidup layak.
GG Muslim yg sangat peduli kepada para penulis pemula.
Rumah Dunia adalah tempat berkarya dengan santun indah dan Islami.
Mendadak seorang aneh menghina Gola Gong.
Hanya karena lengannya sebelah.

Orang itu kutahu dedengkot yang selalu bela Komunis.
Lihat saja jejak digital dan karyanya yang beraurakan kebencian terhadap Islam.
Sebaliknya sangat memuja tokoh PKI.
Mengaku saja sastrawan, entah mana karyanya yang melegenda.
Sumpah, saya belum pernah menemukannya sebiji pun!

Saat ini jagat Sastra Indonesia memang sudah terpecah belah.
Betapa banyak mereka yang arogan dan anti Islam.
Padahal banyak jua yang tanpa karya membanggakan.
Lihatlah komunitas yang mirip LEKRA itu dikuasai siapa?
Komunitas aneh nyeleneh dikuasai JIL dan komunis!
Saya tidak takut menyuarakan hal in.
Karena memang benar adanya. 

Saya juga tidak perlu sembunyi untuk. Menyuarakan keberpihakan
Begini Saudaraku! 
Seharusnya para penulis Islami bersatu.
Jangan mudah dibeli demi harta duniawi.
Saya hanya ingin mengingatkan sebagai sesama seniman Muslim: Bersatulah!
Sayang sekali malah ada yang merapat dan didukung Syiah. 

Ya Allah!
Kita memang sedang perang. 
Mari kita perkuat barisan dan terus berkarya.
Allahu Akbar!


Jakarta, Sabtu 17 Pebruari 2018

Pipiet Senja: Dunia Miring Miring #2

$
0
0







Dunia Miring Miring #2
(Pipiet Senja)

Pada 9  September 2009, saya menyerah untuk tidak bangkang lagi kepada dokter. Limpa bengkak ukuran S7, memang sudah saatnya diangkat.
Ternyata saat dokter membuka perutku, bukan limpa saja yg wajib diangkat.

Kandung empedu pun sudah tertimbun batu. Dampak sering transfusi sejak umur 9 tahun. Belakangan saat saya sudah membaik dan konsultasi lagi dengan dokter spesialis Bedah ini.

Dia meledek saya, "Sampai aku pikir pikir itu, apa mau bikin apartemen paisen ini, bah?"

Alhasil operasi berubah menjadi pengangkatan dua organ, limpa dan kandung empedu.

Konon memakan waktu 9 jam!

Padahal saat terakhir konsultasi, dokter Bedah dengan ringan bilang, "Tenang saja, sekarang kedokteran sudah serba canggih. Ini mirip operasi amandel lah...."

Dengan berbekal itulah saya menerima. Operasi amandel hanya 10 menit an. Begitu sadar dikasih eskrim. Demikian yg saya lihat saat adik bungsu  umur 5 tahun diangkat amandelnya

Kenyataannya jauh sekali, ibarat bumi dengan langit.

Saya diangkut ke  ICU pasca operasi. 
Berada dalam situasi antara eling dengan sakau, efek morphin.

Belakangan dokter juga bilang, paling lama saya hanya bisa Bertahan 2 tahun saja. Karena pasien Thallasemia tanpa limpa dan kandung empedu akan diserbu berbagai komplikasi.

Inikah yang Namanya Sekarat? 

Aku masih terus berlari, berlari, berlari untuk ke sekian kalinya, tiada pernah sudi henti. Aku melintasi lorong-lorong yang panjang sekali bak tiada berujung. Aku pun melewati lembah, ngarai, jurang kemudian tiba-tiba terperosok di dalamnya, dan sungguh harus berjuang keras untuk bisa kembali ke tempat yang aman. 

Duhai, lelah, lelahnya seolah takkan pernah berkesudah! 
Jangan pernah menyerah, ayo, bangkitlah!
Ada seberkas cahaya yang mengintip malu-malu di lelangitan kalbuku. 
Aku sebagai selembar nyawa tak berharga, maka menggelihat perlahan. Kurentangkan tangan-tangan jasmaniku, sayap-sayap ruhaniku dengan semesta enerji yang masih kumiliki.

“Bagaimana ini, Dok, tensinya belum stabil….”
“Tidak teraba….”
“Tapi HB-nya mulai meningkat, ini sudah 5,2….”
“Setelah ditransfusi sebanyak itu?”
“Iya, Dok….”
“Berapa trombositnya?”
“Mulai naik juga, Dok, sudah 2000-an….”

Oh, itu masih sangat rendah, standar terakhir yang disebut oleh dokter hematologiku dalam kisaran; 150 ribuan!
Nah, sekarang aku harus bangun, haruuuuus!

Beberapa saat lamanya kukumpulkan segenap enerji yang masih kumiliki. Ini sebuah perjuangan dahsyat yang harus kutempuh, di antara rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhku, aku berjuang, berjuang dan berjuang tanpa henti.
Kemudian, enerji itu kusalurkan ke bagian kaki-kakiku yang telah terbebas dari selang infus. Kaki kanan, ayo, bergeraklah!

Aku merasa berhasil mengangkat kakiku, kemudian menghempaskannya kuat-kuat. Seketika seberkas cahaya menerobos melalui kisi-kisi hati, menyergap jantungku, dan menohok langsung memori di kepalaku. Cahaya yang maha indah adalah mengingat kembali keberadaan kita, siapa diri kita, nama kita, dan keluarga kita.
Ya Allah, sungguh!

Aku bisa mengenang kembali dua bintangku, dua belahan jiwaku; Haekal dan Butet. Dan menantuku, ketika ini, Seli serta dua cucuku; Zein dan Zia!
“Janji, ya, janjiiiii….. Mamaniniii!”

Nah, itu sluara Zein yang pernah memintaku berjanji. Agar aku sehat, kemudian mengajak dia jalan-jalan kembali, dan membelikannya mobil-mobilan.
“Yang gedeee bangeeet!” katanya serasa terngiang-ngiang di telingaku.
“Zeiiiin! Ziaaaa!” Kudengar jeritanku sendiri, menggema ke mana-mana.
“Haekaaaal! Buteeeet!” 

Ini juga jeritanku, dan kusadari itu sesungguhnya tidak baik, tidak sopan. Aku telah mengganggu ketenangan siapapun!
Seseorang menepuk-nepuk pipiku agak kuat. “Bu, Bu…, sadar, ya Bu!”
“Iya, Dokter. Aku sadar benar ini. Aku seorang nenek, seorang ibu, pasien kelainan darah bawaan,” aku kembali mengerang dan meracau.
“Dokter, mohon, maafkan aku lahir batin, ya. Mohon ikhlasnya, ya, izinkan anakku datang ke sini, kumohooon….”

Tak ada jawaban, entah berapa lama itu berlangsung. Mereka tak memedulikan permintaanku. Seorang perawat berjanji akan mengabari keluargaku, jika mereka ada di luar ruangan ICU. Namun, aku tak tahu apakah ia melaksanakan janjinya, atau bahkan melupakannya sama sekali.

Otakku terus berputar, mencari akal, bagaimana caranya menarik perhatian dokter. Seorang dokter muda, bukan dokter Kris, entah siapa namanya, tahu-tahu telah berdiri di samping ranjangku. Kurasa ia seangkatan dengan dokter Kris.

“Ibu, jangan hebohan terus dong. Itu tidak baik untuk kondisi Ibu sendiri. Juga sudah mengganggu pasien-pasien lainnya di ICU ini….”
Aku tidak menyahut sampai ia berlalu. Otakku masih terus berputar, terus memikirkan banyak hal, merekam semua hal di sekitarku. Di sini waktu tak bisa kuperkirakan, entah siang entah malam, semuanya tak jauh berbeda. 

Nuansanya senantiasa berbau kesakitan, penderitaan dan kematian. Kutahu, satu demi satu di sebelah-menyebelahku akhirnya menyerah, berjabat tangan dengan sang malaikat maut yang segera membawanya pergi, entah ke mana.

Aku selalu berusaha menanyakan waktu kepada perawat, beberapa kali, tak peduli disebut nyinyir dan cerewet.
“Ini bulan suci bulan Ramadhan, Bu,” kata seorang perawat muda.
“Oya, aku ingat sekarang, terima kasih, Suster.” 

Sesaat aku merasa senang, seperti telah menemukan suatu celah baru. Tentang waktu, lihat saja bagaimana mereka berbuka puasa atau makan sahur. Namun, hanya satu-dua orang saja yang berpuasa di sini. Selebihnya senang sekali bicara tentang makanan sesuka hatinya, kemudian mengajak makan dan minum di ruangan sebelah, tempat mereka rehat.

Mereka, para perawat di sini, ternyata punya kebiasaan yang sama dengan ibu-ibu tetagaku di kampung Cikumpa, yakni; ngerumpi. Kalau sudah kumat ngerumpi, woooow! 
Mulai dari menggunjingkan artis yang selingkuh, Gus Dur yang dirawat di lantai 3, doyan menghilang setiap tengah malam, membandingkan ponsel masing-masing sampai urusan THR.
Suatu saat seorang dokter lelaki, kulihat dengan jelas tagname di dadanya; dokter Hadi, melakukan pemeriksaan sekilas terhadap diriku. 

“Sekarang, apa yang Ibu rasakan?” tanyanya.
Sesungguhnya aku merasa mulai tenang. Mungkin masih dalam pengaruh obat anti nyeri dosis tinggi. Pokoknya, aku merasa “baik-baik” saja, terbebas dari rasa sakit yang merejam sekujur tubuh. 

Namun, entah mengapa, aku iseng menyahut begini; “Semuanya sakit dan pikiranku kacau-balau.”
“Oh, itu biasa, Bu. Namanya juga habis dioperasi besar. Sabar, ya Bu.”

Aku segera mengacungkan tangan kiriku. Telapak tangan dan jari-jemariku yang tertutup perban tampak bulat-bulat, serasa kebas, nyaris tak bisa kurasai sakitnya lagi. 
“Lihat, Dokter, mengapa tangan-tanganku jadi bengkak begini? Aku masih ingat, asalnya tidak seperti ini,” ujarku bernada menggugat.

Ia mencermati tanganku, kaki-kakiku, wajahku kemudian berkata: “Oke, Bu, nanti aku beri obatnya, ya. Biar tidak bengkak-bengkak lagi.”
Tak berapa lama kemudian seorang perawat mendatangiku. Ia membawa tiga spuit berisi tiga macam obat, sekaligus diinjeksikan kepadaku melalui vena. 

“Ini disuntik apa, Suster?”
“Antibiotik dan vitamin C, Bu.”
“Aduuuuh!” seruku tertahan, rasa pedas dan sakit dalam sekejap menyerbu urat-urat nadiku. Hawa panas pun terasa meruap di tenggorokan dan hidungku.
“Maaf, obat apaan sih ini, Suster?” tanyaku penasaran.

“Ibu ini kok cerewet, ya. Tadi kan sudah dikasih tahu….”
“Belum jelas, apa?” buruku mencegahnya pergi.

“Itu tadi, Bu, namanya lasik, antibiotik dan vitamin C. Sudah, ya Bu, masih banyak kerjaan nih!”
Mengapa aku diberi lasik? Setahuku obat itu sering diberikan kepada pasien gagal ginjal yang pernah tetanggaan denganku di lantai 8. Lagipula, aku ini pasien kelainan darah bawaan. Tidak boleh diberi obat sembarangan. Pemberian banyak obat antibiotik malah mentidakibatkan HB-ku hancur!

Ini konspirasi!
Mereka memang tak menyukaiku, hanya karena aku terlalu banyak bertanya, nyinyir dan cerewet. Suka membuat kehebohan dengan jeritan-jeritan, erangan-erangan tak berguna!
Mereka hendak melenyapkan diriku!

Coba, lihatlah, itu dokter Mira, berkasak-kusuk dengan rekan-rekannya. Mereka mengganti catatan-catatan di statusku, ya, menggantinya dengan keterangan yang mengacaukan. Tidak sampai di situ saja, bahkan mereka kemudian menukar statusku dengan status pasien di sebelahku.

Aduh, mereka akan menghilangkan keberadaanku dari tempat ini!
Sejak saat ini, segalanya kembali ngedrop, demikian menurut perasaanku. Takaran darahku bergeming di tataran 5, meskipun entah berapa puluh kantong darah telah ditransfusikan. Trombositku seolah-olah stag di angka 3000.

Sesungguhnya yang paling mencemaskanku adalah tensiku melejit ke angka; 200/120. Bapakku meninggal karena struk, aku anaknya yang sulung, mungkinkah mewarisi “kestrukannya”, ya?
Meskipun demikian, aku masih mencatatnya dalam memori otakku, berbagai hal yang berseliweran di sekitarku. Pasien kanker rahim di seberangku dinyatakan telah “lewat”. Demikian pula pasien kanker otak di sebelahku, menyusul beberapa menit setelahnya.

Sementara pasien lelaki di ujung sana, setiap saat menjerit, mengerang dan mengaduh, lebih hebat daripada yang pernah kulakukan tanpa sadar. Ia terus jua meracau.
“Dokteeeer! Susteeer! Sini, biar kutandatangani di atas segel bermaterai. Aku ini seorang komisaris perusahaan bonafid! Aku mau tawarkan 100 juta, asalkan kalian bisa menghilangkan rasa sakitku ini. Toloong!”

Kurasa takkan ada yang memedulikannya. Karena semua pasien dianggap tidak waras otaknya. Kami, para pasien di ICU ini hanya dianggap sebagai nomer, atau objek separo hidup yang boleh diperlakukan dengan semena-mena. 
Mengapa bisa demikian? Ya, karena pasien dan keluarganya telah menandatangani persetujuan tindakan apapun yang akan diambil oleh tim medis.

Menit demi menit, jam demi jam terus merangkak. Kondisiku dinyatakan dalam istilah medis sebagai pracoma. Namun, otakku terus jua bekerja, berputar, merangkai-rangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Apabila aku sedang tidak kehilangan kesadaran, maka kugemakan zikrullah dalam dadaku. Aku mengulang-ulang bacaan surah pendek, terutama ayat Kursi dan Al Fatihah. 
Anehnya, ada sluara yang sering menyluarakan bahwa aku akan keluar dari situasi jahim ini jika bisa merapal surah Yassin. Maka, aku berjuang keras untuk membaca surah Yassin, meskipun selalu terbalik-balik dan tiada pernah hafal seluruhnya. Detik inilah penyesalanku yang terdalam muncul, mengapa sampai seumurku ini, aku tak mampu menghafal surah Yassin? 

Sungguh, bercucuran air mataku sambil berbaring dalam kesakitan, penyesalan yang pedih-perih, luka maha. Ampunilah hamba yang lemah ini, ya Allah, ampunillah, demikian kugermemangkan perasaan sesal dan permintaan ampun kepada Sang Khalik.

Ada suatu masa di mana diriku terbebas dari siksaan rasa nyeri itu. Tiba-tiba aku mendapati diriku berada di tengah gelombang manusia yang sedang melakukan tawaf di Tanah Suci. Bersama rombongan perdana Smart Hajj Cordova, begitu bahagia rasanya aku bisa berjalan, mengelilingi Kabah. Perasaan itu, kebahagiaan yang memuncak telah menyilih segala siksa, segala pedih-perih pasca operasi.

Subhanallah, nikmatnya tiada tepermanai!
Sayang sekali, saat-saat seperti itu hanya sekejap-sekejap kurasai. Dan aku kembali dilambungkan ke dimensi aneh, lorong-lorong berbau anyir, berbau darah, berbau nanah. 
Seekor naga raksasa siap mengerkah-ngerkah diriku tanpa ampun!

Ini malam kedua pasca operasi. Jam dinding, ya, akhirnya mataku bisa melihat jam dinding menempel di tembok sebelah kananku. Pukul enam sore, kurasa, tampak beberapa perawat masuk ke ruangan rehat. Mungkin mereka hendak berbuka puasa. 

Seketika aku melihat kesibukan luar biasa terjadi di sekitar ranjangku. 
“Hei, hei, apa yang kalian perbuat?” seruku tak dapat menahan rasa terkejut dan ingin tahu.
“Tenang saja, ya Bu. Ibu sudah boleh dilap, iya kan, dokter Mira?” cetus seorang perawat, kutandai ia paling judes di antara semua perawat di ruangan ini. Tanpa menunggu jawabannya. Tiba-tiba ia menggulingkan tubuhku ke arah kanan. 
Gubraaaakkkk!

“Ampun, sakitnya luar biasa!” lengkingku.
“Si ibu ini sudah cerewet, cengeng pula!”
“Aduh, jangan! Aku tak mau dilap! Tak mau diapa-apakan!” seruku tak peduli, mulai merasa panik.
Beberapa menit sebelumnya, dokter cantik, atasannnya dokter Mira mengatakan kepadaku: “Belum boleh banyak bergerak, ya Bu. Ibu baru menjalani bedah umum. Jangan dilap dulu, jangan dipakaikan sabun, parfum. Intinya harus serba suci hama!”

Perawat itu tak memedulikanku. Ia menggosok-gosok punggungku dengan cara yang kasar sekali. Bukan sebab sakit digaruk bengis di punggung yang kurasai, melainkan sakit lain di dalam dada ini. Perlakuan kasar, galak dan tanpa perasaan yang kuterima begini, sungguh melukai hatiku yang terdalam. 

Aku merasa tidak dianggap sebagai sosok manusia yang punya pikiran, harga diri, kehormatan dan martabat.
“Kita sudah baik-baik memperlakukan Ibu. Tapi Ibu malah jahat begitu, ya!” dengusnya serasa mendesir di belakang telingaku.

Sementara tangannya terus jua menggosokkan handuk kecil ke punggungku, semakin kuat tanpa perasaan sama sekali. 
Bahkan naga yang selama ini mengangkang di atas badanku langsung menghilang, entah ke mana. Aku tak tahu lagi, apakah lebih baik dikangkangi seekor naga atau dianiayai seorang perawat.

“Suster, mohon maaf kalau aku ada kekhilafan, ya,” aku mencoba berbaik sangka, bertutur kata dengan santun. “Maafkan juga keluargaku….”
“Sudahlah, Bu, penyesalannya sama sekali tidak berguna. Munafik, tahu!”
Astaghfirullah al adzim, gumamku membatin. Sluaranya terdengar menyimpan kebencian dan antipati yang dalam terhadap diriku. 

“Mengapa membenciku, Suster? Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?”
“Percumalah dikasih tahu, sebentar lagi juga diulang! Sudah, jangan banyak omong lagi, ya!”
“Suster…, jangan zalimi aku, ya, kumohooon….”
“Huh, heboh melulu kerjaannya, capeeee deh!” sahutnya seraya ngeloyor, menjauhiku.
Seorang rekannya dari belakang meja pembatas, sudut jaga perawat, berbicara agak keras: “Ada apalagi tuh si nenek lampir?”

Apa? Dia mengataiku nenek lampir?
“Dia bilang, kita semuanya ini tukang jagal!”
Masya Allah, apa yang dikatakannya Itu?
“Hiiiiih, makin gelow sajah mulutnya!”
“Memangnya dia minta apalagi, Kak?” timpah rekannya yang lain.

“Mau be-a-be, katanya, minta dipompa!”
“Ya wis, biar aku saja!”
Perawat itu mendorong rak kecil berisi obat-obatan dan peralatan medis, seperti jarum, perban, alkohol dan lainnya. Dalam sekejap ia telah berada di sisi kanan ranjangku. Siap melaksanakan hasratnya; menyingkirkan diriku!

“Sudah saatnya minum obat. Tapi sebelum minum obat, harus makan dulu, ya!” ujarnya sambil menyambar semacam gayung kecil terbuat dari almunium, berisi air bening. 
“Nah, ini minum, ya, minum yang banyak! Habiskan, hmm, habiskan!” ceracaunya seraya menarik selang kecil yang menggantung di leherku. 

Ia melakukan semuanya itu seperti seorang peternak memberi minum sapi-sapinya. Persis dan…, byuuuur!
Entah berapa liter air digelontorkan langsung ke lambungku. Dalam hitungan detik aku sudah bisa merasai pengaruhnya. Serasa ada yang runtuh di dadaku, kemudian ambruk, meluncur terus ke bagian bawahku, membarengi rasa sakit luar biasa!
“Allahu Akbaaar…., sakiiiit!” Aku melolong-lolong kesakitan.

Ia tak memedulikanku, tangannya kini menyambar botol obat bernama dulkolax. “Dan ini obatnya, biar gampang buang air besar, oke!” 
Lagi: byuuuur!

Aku terus melolong-lolong, menjeritkan asma-Nya, hingga sluaraku kembali tertelan di tenggorokan, dan hanya bisa mengucap lirih: “Allaaah…. Allaaah….”
Bayangan anak-anakku melintas di tampuk mataku. Haekal dan Butet yg menggedor-gedor pintu ICU. 

Keduanya berteriak-teriak, ya, akhirnya mereka teringat akan ibunya ini. Kudengar dengan jelas, keduanya menyebut-nyebut nama asliku, nama penaku dan sebutan terakhirku di rumah: Manini!

Namun, tiada yang memedulikan mereka. Bahkan ketika seorang perawat senior memberi intruksi, agar nomer 9 diberi morphin lagi, untuk ke-3 kalinya. Sejauh itu tiada pula yang berkenan mengulurkan bantuan untukku.

Maka, aku pun kembali terbang, melayang-layang, merambah jomantara, melintasi rimba raya, membelah samudera luka, penuh dengan darah, penuh dengan nanah. 
Dimanakah gerangan benteng cahayaku, duhai semesta gulita?







Viewing all 195 articles
Browse latest View live