Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Duet Ibu dan Anak: Dunia Tanpa Airmata

$
0
0






Dunia Miring Miring #2
(Pipiet Senja)

Pada 9  September 2009, saya menyerah untuk tidak bangkang lagi kepada dokter.
Limpa bengkak ukuran S7, memang sudah saatnya diangkat.
Ternyata saat dokter membuka perutku, bukan limpa saja yg wajib diangkat.

Kandung empedu pun sudah tertimbun batu. Dampak sering transfusi sejak umur 9 tahun.
Belakangan saat saya sudah membaik dan konsultasi lagi dengan dokter spesialis Bedah ini.

Dia meledek saya, "Sampai aku pikir pikir itu, apa mau bikin apartemen paisen ini, bah?"

Alhasil operasi berubah menjadi pengangkatan dua organ, limpa dan kandung empedu.

Konon memakan waktu 9 jam!

Padahal saat terakhir konsultasi, dokter Bedah dengan ringan mengatakan;
"Tenang saja, sekarang kedokteran sudah serba canggih. Ini mirip operasi amandel lah...."

Dengan berbekal itulah saya menerima. Operasi amandel hanya 10 menitan.
Begitu sadar dikasih eskrim. Demikian yang saya lihat saat adik bungsu  5 tahun diangkat amandelnya.

Kenyataannya jauh sekali, ibarat bumi dengan langit.

Saya diangkut ke  ICU pasca operasi.
Berada dalam situasi antara eling dengan sakau, efek morphin.

Belakangan dokter juga bilang, paling lama saya hanya bisa Bertahan 2 tahun saja.
Karena pasien Thallasemia tanpa limpa dan kandung empedu akan diserbu berbagai komplikasi.

@@@

Inikah yang Namanya Sekarat?

Aku masih terus berlari, berlari, berlari untuk ke sekian kalinya, tiada pernah sudi henti.
Aku melintasi lorong-lorong yang panjang sekali bak tiada berujung.
Aku pun melewati lembah, ngarai, jurang kemudian tiba-tiba terperosok di dalamnya.
Sungguh harus berjuang keras untuk bisa kembali ke tempat yang aman.

Duhai, lelah, lelahnya seolah takkan pernah berkesudah!
Jangan pernah menyerah, ayo, bangkitlah!
Ada seberkas cahaya yang mengintip malu-malu di lelangitan kalbuku.
Aku sebagai selembar nyawa tak berharga, maka menggelihat perlahan.
Kurentangkan tangan-tangan jasmaniku, sayap-sayap ruhaniku dengan semesta enerji yang masih kumiliki.

“Bagaimana ini, Dok, tensinya belum stabil….”
“Tidak teraba….”
“Tapi HB-nya mulai meningkat, ini sudah 5,2….”
“Setelah ditransfusi sebanyak itu?”
“Iya, Dok….”
“Berapa trombositnya?”
“Mulai naik juga, Dok, sudah 2000-an….”

Oh, itu masih sangat rendah, standar terakhir yang disebut oleh dokter hematologiku dalam kisaran;
150 ribuan!
Nah, sekarang aku harus bangun, haruuuuus!

Beberapa saat lamanya kukumpulkan segenap enerji yang masih kumiliki.
Ini sebuah perjuangan dahsyat yang harus kutempuh, di antara rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhku.
Aku berjuang, berjuang dan berjuang tanpa henti.
Kemudian, enerji itu kusalurkan ke bagian kaki-kakiku yang telah terbebas dari selang infus.
Kaki kanan, ayo, bergeraklah!

Aku merasa berhasil mengangkat kakiku, kemudian menghempaskannya kuat-kuat.
Seketika seberkas cahaya menerobos melalui kisi-kisi hati, menyergap jantungku, dan menohok langsung memori di kepalaku. Cahaya yang maha indah adalah mengingat kembali keberadaan kita, siapa diri kita, nama kita, dan keluarga kita.
Ya Allah, sungguh!

Aku bisa mengenang kembali dua bintangku, dua belahan jiwaku; Haekal dan Butet.
Dan menantuku, ketika ini, Seli serta dua cucuku; Zein dan Zia!
“Janji, ya, janjiiiii….. Mamaniniii!”

Nah, itu suara Zein yang pernah memintaku berjanji.
Agar aku sehat, kemudian mengajak dia jalan-jalan kembali, dan membelikannya mobil-mobilan.
“Yang gedeee bangeeet!” katanya serasa terngiang-ngiang di telingaku.
“Zeiiiin! Ziaaaa!” Kudengar jeritanku sendiri, menggema ke mana-mana.
“Haekaaaal! Buteeeet!”

Ini juga jeritanku, dan kusadari itu sesungguhnya tidak baik, tidak sopan.
Aku telah mengganggu ketenangan siapapun!
Seseorang menepuk-nepuk pipiku agak kuat. “Bu, Bu…, sadar, ya Bu!”
“Iya, Dokter. Aku sadar benar ini. Aku seorang nenek, seorang ibu, pasien kelainan darah bawaan.”
Aku kembali mengerang dan meracau.
“Dokter, mohon, maafkan aku lahir batin, ya."
Tampak dokter tak peduli.
"Mohon ikhlasnya, ya, izinkan anakku datang ke sini, kumohooon….”

Tak ada jawaban, entah berapa lama itu berlangsung.
Mereka tak memedulikan permintaanku.
Seorang perawat berjanji akan mengabari keluargaku, jika mereka ada di luar ruangan ICU.
Namun, aku tak tahu apakah ia melaksanakan janjinya, atau bahkan melupakannya sama sekali.

Otakku terus berputar, mencari akal, bagaimana caranya menarik perhatian dokter.
Seorang dokter muda, bukan dokter Kris, entah siapa namanya.
Tahu-tahu telah berdiri di samping ranjangku. Kurasa ia seangkatan dengan dokter Kris.

“Ibu, jangan hebohan terus dong. Itu tidak baik untuk kondisi Ibu sendiri."
Aku tak paham maksudnya. Bukankah aku sudah berusaha mematuhi semuanya?
"Juga sudah mengganggu pasien-pasien lainnya di ICU ini….”
Aku tidak menyahut sampai ia berlalu.
Otakku masih terus berputar, terus memikirkan banyak hal, merekam semua hal di sekitarku.
Di sini waktu tak bisa kuperkirakan, entah siang entah malam, semuanya tak jauh berbeda.

Nuansanya senantiasa berbau kesakitan, penderitaan dan kematian.
Kutahu, satu demi satu di sebelah-menyebelahku akhirnya menyerah,
Mereka berjabat tangan dengan sang malaikat maut yang segera membawanya pergi, entah ke mana.

Aku selalu berusaha menanyakan waktu kepada perawat, beberapa kali.
Tak peduli disebut nyinyir dan cerewet.
“Ini bulan suci bulan Ramadhan, Bu,” kata seorang perawat muda.
“Oya, aku ingat sekarang, terima kasih, Suster.”

Sesaat aku merasa senang, seperti telah menemukan suatu celah baru.
Tentang waktu, lihat saja bagaimana mereka berbuka puasa atau makan sahur.
Namun, hanya satu-dua orang saja yang berpuasa di sini.
Selebihnya senang sekali bicara tentang makanan sesuka hatinya.
Kemudian mengajak makan dan minum di ruangan sebelah, tempat mereka rehat.

Mereka, para perawat di sini, ternyata punya kebiasaan yang sama.
Dengan ibu-ibu tetanggaku di kampung Cikumpa, yakni; ngerumpi.
Kalau sudah kumat ngerumpi, woooow!
Mulai dari menggunjingkan artis yang selingkuh, Gus Dur yang dirawat di lantai 3.
Mendadak doyan menghilang setiap tengah malam.
Membandingkan ponsel masing-masing sampai urusan THR.
Suatu saat seorang dokter lelaki, kulihat dengan jelas tagname di dadanya; dokter Hadi.
Ia melakukan pemeriksaan sekilas terhadap diriku.

“Sekarang, apa yang Ibu rasakan?” tanyanya.
Sesungguhnya aku merasa mulai tenang.
Mungkin masih dalam pengaruh obat anti nyeri dosis tinggi.
Pokoknya, aku merasa “baik-baik” saja, terbebas dari rasa sakit yang merejam sekujur tubuh.

Namun, entah mengapa, aku iseng menyahut begini; “Semuanya sakit dan pikiranku kacau-balau.”
“Oh, itu biasa, Bu. Namanya juga habis dioperasi besar. Sabar, ya Bu.”

Aku segera mengacungkan tangan kiriku.
Telapak tangan dan jari-jemariku yang tertutup perban tampak bulat-bulat.
Serasa kebas, nyaris tak bisa kurasai sakitnya lagi.
“Lihat, Dokter, mengapa tangan-tanganku jadi bengkak begini?"
Dokter Hadi mulai bereaksi,mencermati tanganku.
"Aku masih ingat, asalnya tidak seperti ini,” ujarku bernada menggugat.

Ia serius mencermati tanganku, kaki-kakiku, wajahku kemudian berkata:
“Oke, Bu, nanti aku beri obatnya, ya. Biar tidak bengkak-bengkak lagi.”
Tak berapa lama kemudian seorang perawat mendatangiku.
Ia membawa tiga spuit berisi tiga macam obat, sekaligus diinjeksikan kepadaku melalui vena.

“Ini disuntik apa, Suster?”
“Antibiotik dan vitamin C, Bu.”
“Aduuuuh!” seruku tertahan, rasa pedas dan sakit dalam sekejap menyerbu urat-urat nadiku.
Hawa panas pun terasa meruap di tenggorokan dan hidungku.
“Maaf, obat apaan sih ini, Suster?” tanyaku penasaran.

“Ibu ini kok cerewet, ya. Tadi kan sudah dikasih tahu….”
“Belum jelas, apa?” buruku mencegahnya pergi.

“Itu tadi, Bu, namanya lasik, antibiotik dan vitamin C. Sudah, ya Bu, masih banyak kerjaan nih!”
Mengapa aku diberi lasik?
Setahuku obat itu sering diberikan kepada pasien gagal ginjal.
Dia yang pernah tetanggaan denganku di lantai 8.
Lagipula, aku ini pasien kelainan darah bawaan.
Tidak boleh diberi obat sembarangan.
Pemberian banyak obat antibiotik malah menngakibatkan HB-ku hancur!

Ini konspirasi!
Mereka memang tak menyukaiku, hanya karena aku terlalu banyak bertanya, nyinyir dan cerewet.
Suka membuat kehebohan dengan jeritan-jeritan, erangan-erangan tak berguna!
Mereka hendak melenyapkan diriku!

Coba, lihatlah, itu dokter Mira, berkasak-kusuk dengan rekan-rekannya.
Mereka mengganti catatan-catatan di statusku, ya, menggantinya dengan keterangan yang mengacaukan.
Tidak sampai di situ saja, bahkan mereka kemudian menukar statusku dengan status pasien di sebelahku.

Aduh, mereka akan menghilangkan keberadaanku dari tempat ini!
Sejak saat ini, segalanya kembali ngedrop, demikian menurut perasaanku.
Takaran darahku bergeming di tataran 5, meskipun entah berapa puluh kantong darah telah ditransfusikan. Trombositku seolah-olah stag di angka 3000.

Sesungguhnya yang paling mencemaskanku adalah tensiku melejit ke angka; 200/120.
Bapakku meninggal karena struk, aku anaknya yang sulung, mungkinkah mewarisi “kestrukannya”, ya?
Meskipun demikian, aku masih mencatatnya dalam memori otakku.
Berbagai hal terus saja berseliweran di sekitarku.

Pasien kanker rahim di seberangku dinyatakan telah “lewat”.
Demikian pula pasien kanker otak di sebelahku, menyusul beberapa menit setelahnya.
Sementara pasien lelaki di ujung sana, setiap saat menjerit, mengerang dan mengaduh.
Lebih hebat daripada yang pernah kulakukan tanpa sadar.
Ia terus jua meracau.
“Dokteeeer! Susteeer! Sini, biar kutandatangani di atas segel bermaterai!"
"Aku ini seorang komisaris perusahaan bonafid!"
"Aku mau tawarkan 100 juta, asalkan kalian bisa menghilangkan rasa sakitku ini. Toloong!”

Kurasa takkan ada yang memedulikannya. Karena semua pasien dianggap tidak waras otaknya.
Kami, para pasien di ICU ini hanya dianggap sebagai nomer.
Objek separo hidup yang boleh diperlakukan dengan semena-mena.
Mengapa bisa demikian?
Ya, karena pasien dan keluarganya telah menandatangani persetujuan tindakan apapun.
Yang akan diambil oleh tim medis.

Menit demi menit, jam demi jam terus merangkak.
Kondisiku dinyatakan dalam istilah medis sebagai in-comma.
Namun, otakku terus jua bekerja, berputar, merangkai-rangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Apabila aku sedang tidak kehilangan kesadaran, maka kugemakan zikrullah dalam dadaku.
Aku mengulang-ulang bacaan surah pendek, terutama ayat Kursi dan Al Fatihah.
Anehnya, ada suara yang sering berbisik di telingaku.
Agar aku akan keluar dari situasi jahim ini, maka harus merapal surah Yasin.
Maka, aku berjuang keras untuk membaca surah Yasin.
Meskipun selalu terbalik-balik dan tiada pernah hafal seluruhnya.

Detik inilah penyesalanku yang terdalam muncul,
Mengapa sampai seumurku ini, aku tak mampu menghafal surah Yassin?
Sungguh, bercucuran air mataku sambil berbaring dalam kesakitan,
Penyesalan yang pedih-perih, luka maha.
Ampunilah hamba yang lemah ini, ya Allah, ampunillah....
Demikian kugermemangkan perasaan sesal dan permintaan ampun kepada Sang Khalik.


Ada suatu masa di mana diriku terbebas dari siksaan rasa nyeri itu.
Tiba-tiba aku mendapati diriku berada di tengah gelombang manusia yang sedang melakukan tawaf.
Ya, aku berada di Tanah Suci.
Bersama rombongan perdana Smart Hajj Cordova, 2006.
begitu bahagia rasanya aku bisa berjalan, mengelilingi Kabah.
Perasaan itu, kebahagiaan yang memuncak telah menyilih segala siksa, segala pedih-perih pasca operasi.

Subhanallah, nikmatnya tiada tepermanai!
Sayang sekali, saat-saat seperti itu hanya sekejap-sekejap kurasai.
Dan aku kembali dilambungkan ke dimensi aneh, lorong-lorong berbau anyir, berbau darah, berbau nanah.
Seekor naga raksasa siap mengerkah-ngerkah diriku tanpa ampun!

Ini malam ketiga pasca operasi.
Jam dinding, ya, akhirnya mataku bisa melihat jam dinding menempel di tembok sebelah kananku.
Pukul enam sore, kurasa, tampak beberapa perawat masuk ke ruangan rehat.
Mungkin mereka hendak berbuka puasa.

Seketika aku melihat kesibukan luar biasa terjadi di sekitar ranjangku.
“Hei, hei, apa yang kalian perbuat?” seruku tak dapat menahan rasa terkejut dan ingin tahu.
“Tenang saja, ya Bu. Ibu sudah boleh dilap, iya kan, dokter Mira?” cetus seorang perawat.
Kutandai ia paling judes di antara semua perawat di ruangan ini.
Tanpa menunggu jawabannya.
Tiba-tiba ia menggulingkan tubuhku ke arah kanan.
Gubraaaakkkk!

“Ampun, sakitnya luar biasa!” lengkingku.
“Si ibu ini sudah cerewet, cengeng pula!”
“Aduh, jangan! Aku tak mau dilap! Tak mau diapa-apakan!” seruku tak peduli, mulai merasa panik.
Beberapa menit sebelumnya, dokter cantik, atasannnya dokter Mira mengatakan kepadaku:
“Belum boleh banyak bergerak, ya Bu. Ibu baru menjalani bedah umum."
"Jangan dilap dulu, jangan dipakaikan sabun, parfum. Intinya harus serba suci hama!”

Perawat itu tak memedulikanku.
Ia menggosok-gosok punggungku dengan cara yang kasar sekali.
Bukan sebab sakit digaruk bengis di punggung yang kurasai, melainkan sakit lain di dalam dada ini.
Perlakuan kasar, galak dan tanpa perasaan yang kuterima begini, sungguh melukai hatiku yang terdalam.

Aku merasa tidak dianggap sebagai sosok manusia yang punya pikiran, harga diri, kehormatan dan martabat.
“Kita sudah baik-baik memperlakukan Ibu. Tapi Ibu malah jahat begitu, ya!”
Ia mendengus, serasa mendesir di belakang telingaku.

Sementara tangannya terus jua menggosokkan handuk kecil ke punggungku.
Semakin kuat tanpa perasaan sama sekali.
Bahkan naga yang selama ini mengangkang di atas badanku langsung menghilang, entah ke mana.
Aku tak tahu lagi, apakah lebih baik dikangkangi seekor naga atau dianiayai seorang perawat.

“Suster, mohon maaf kalau aku ada kekhilafan, ya.”
Aku mencoba berbaik sangka, bertutur kata dengan santun. “Maafkan juga keluargaku….”
“Sudahlah, Bu, penyesalannya sama sekali tidak berguna. Munafik, tahu!”
Astaghfirullah al adzim, gumamku membatin.
Suaranya terdengar menyimpan kebencian dan antipati yang dalam terhadap diriku.

“Mengapa membenciku, Suster? Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?”
“Percumalah dikasih tahu, sebentar lagi juga diulang! Sudah, jangan banyak omong lagi, ya!”
“Suster…, jangan zalimi aku, ya, kumohooon….”
“Huh, heboh melulu kerjaannya, capeeee deh!” sahutnya seraya ngeloyor, menjauhiku.
Seorang rekannya dari belakang meja pembatas, sudut jaga perawat, berbicara agak keras:
“Ada apalagi tuh si nenek lampir?”

Apa? Dia mengataiku nenek lampir?
“Dia bilang, kita semuanya ini tukang jagal!”
Masya Allah, apa yang dikatakannya Itu?
“Hiiiiih, makin gelow sajah mulutnya!”
“Memangnya dia minta apalagi, Kak?” timpah rekannya yang lain.

“Mau be-a-be, katanya, minta dipompa!”
“Ya wis, biar aku saja!”
Perawat itu mendorong rak kecil berisi obat-obatan dan peralatan medis.
Seperti jarum, perban, alkohol dan lainnya. Dalam sekejap ia telah berada di sisi kanan ranjangku.
Siap melaksanakan hasratnya; menyingkirkan diriku!

“Sudah saatnya minum obat. Tapi sebelum minum obat, harus makan dulu, ya!”
Sambil menyambar semacam gayung kecil terbuat dari almunium, berisi air bening.
“Nah, ini minum, ya, minum yang banyak! Habiskan, hmm, habiskan!”
Ia meracau sambil menarik selang kecil yang menggantung di leherku.

Ia melakukan semuanya itu seperti seorang peternak memberi minum sapi-sapinya.
Persis dan…, byuuuur!
Entah berapa liter air digelontorkan langsung ke lambungku.
Dalam hitungan detik aku sudah bisa merasai pengaruhnya.
Serasa ada yang runtuh di dadaku, kemudian ambruk.
Meluncur terus ke bagian bawahku, membarengi rasa sakit luar biasa!
“Allahu Akbaaar…., sakiiiit!” Aku melolong-lolong kesakitan.

Ia tak memedulikanku, tangannya kini menyambar botol obat bernama dulkolax.
“Dan ini obatnya, biar gampang buang air besar, oke!”
Lagi: byuuuur!

Aku terus melolong-lolong, menjeritkan asma-Nya.
Sehingga suaraku kembali tertelan di tenggorokan, dan hanya bisa mengucap lirih: “Allaaah…. Allaaah….”
Bayangan anak-anakku melintas di tampuk mataku.
Haekal dan Butet yg menggedor-gedor pintu ICU.

Keduanya berteriak-teriak, ya, akhirnya mereka teringat akan ibunya ini.
Kudengar dengan jelas, keduanya menyebut-nyebut nama asliku.
Nama penaku dan sebutan terakhirku di rumah: Manini!

Namun, tiada yang memedulikan mereka.
Bahkan ketika seorang perawat senior memberi intruksi.
Agar nomer 9 diberi morphin lagi, untuk ke-3 kalinya.
Sejauh itu tiada pula yang berkenan mengulurkan bantuan untukku.

Maka, aku pun kembali terbang, melayang-layang, merambah jomantara.
Aku melintasi rimba raya, membelah samudera luka, penuh dengan darah, penuh dengan nanah.
Dimanakah gerangan benteng cahayaku, duhai semesta gulita?

Note; sudah dibukukan dengan judul Dunia Tanpa Airmata, karya duet dengan putriku, Azimattinur Siregar

Silakan yang berkenan bantu Manini galang dana pengobatan, bisi hubungi WA; 08111581956















Hari Itu 37 Tahun Silam: Engkau Kulahirkan, Anakku

$
0
0

Hari Itu 37 Tahun Silam







Nukilan dari buku Bagaimana Aku Bertahan

Memasuki usia kehamilan 30 minggu.
Untuk kesekian kalinya aku diharuskan menjalani rawat inap, ditransfusi dan perawatan intensif. Sejak minggu sebelumnya suami sudah kuberi tahu tentang hal ini, dan dia menanggapinya dingin, acuh tak acuh. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya sendirian.
Dimulai mencari dananya, karena tak semuanya bisa ditanggung oleh Askes, janji dengan dokter, antri darah di PMI sampai mengupayakan mendapat tempat untuk diopname. Aku lebih banyak melakukannya seorang diri.
Begitu aku telah berhasil mendapatkan semuanya itu, tahu-tahu dia berang sekali bahkan menudingku telah berselingkuh!
“Ya Tuhan, astaghfirullah…” erangku pedih sekali.
“Tak mungkinlah kamu bisa melakukan semuanya itu sendirian, tak mungkin itu! Mengaku sajalah kamu sudah dibantu seseorang. Pasti ayah anak kamu itu, ya kan!” ceracaunya dengan mata memerah dan wajah perseginya sarat dengan aura kebencian tak teperi.
“Demi Allah demi Rasulullah, biarlah aku celaka kalau melakukan perbuatan senista itu,” pekikku tertahan
Dadaku serasa bergolak dan mendidih, perpaduan antara kemarahan terpendam dengan ketakberdayaan. Entah mana yang sanggup kuraih, dan sudut mana yang masih berkenan menerima ikhlas, dan semangat yang masih tersisa dalam dadaku.
Petang itu, aku tetap melanjutkan jadwal transfusi, meskipun dia telah berusaha keras menahanku. Bahkan mengancamku dengan mengataiku; perempuan murahan, ibu tak bermoral dan sebagainya.
“Tidak, ini demi kelanjutan hidup bayiku!” pekikku mencoba mempertahankan sisa-sisa keberanian yang kumiliki.
Antri beberapa jam di PMI Pusat, akhirnya kuperoleh pula lima kantong darah cuci. Menenteng kantong plastik berisi darah, perut keroncongan dengan uang pas-pasan yang tersisa di dompet, kuayun langkah menuju RSCM.
Begitu menaiki penyeberangan, seketika langkahku terhenti tepat di tengah-tengah jembatan. Lama aku tertegun-tegun, sepasang mataku nanar memandangi mobil-mobil berseliweran di bawah kakiku. Tiba-tiba aku merasai seluruh perlakuan tak adil mencuat, membebat sekujur jiwa dan ragaku!
Dari suami, orang tua, saudara, teman-teman, oooh, betapa dunia serasa menjadi kejam!
“Matilah kau, matilah kau!”
“Tak patut kau hidup di dunia ini!”
“Sudah penyakitan, jelek, murahan… matilah kaaaau!”
Demikian seketika terdengar suara-suara menghakimi muncul entah dari dimensi mana. Inilah saat-saat mengerikan dalam hidupku, bahkan aku tak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Apakah aku pun sudah menjadi seorang psikosomatik, seorang skizoprenia? Tiada jawaban!
“Baik, baiklah, kelihatannya aku harus menyerah,” desisku hampa dan putus asa.
Tubuhku terasa sudah ringan, bagaikan melayang-layang, tinggal menyelinap ke lubang di bawah kakiku dan… pluuuung!
Duhai… bila itu kulakukan akan usaikah semuanya?
“Tidak! Bunuh diri takkan menyelesaikan masalahmu, malah akan menambah masalah baru untuk keluargamu!”
Seketika wajah-wajah yang pernah menyayangi diriku pun berkelebatan di tampuk mataku. Wajah ibuku yang lugu hingga banyak rentenir yang memanfaatkannya, wajah bapakku yang tegas dan terkadang terkesan angkuh dengan disiplin militernya, wajah adik-adikku yang tak berdaya… kemiskinan yang masih melilit mereka!
“Kamu masih memiliki harapan, ada sepotong nyawa lain di dalam kandunganmu!”
“Bangkitlah, jangan terpancing jebakan setan dari dasar neraka!”
“Betapa tak tahu berterima kasihnya kamu kalau mengakhiri hidup… bukan hanya satu nyawamu melainkan dua, ingatlah itu!”
“Jangan pernah menjadi pembunuh… anakmu sendiri!”
Wajah bayi mungil, meskipun belum tampak rupanya, tapi sudah kudengar denyut nadinya berulang kali, kulihat perkembangan bentuknya melalui foto ultrasonografi. Dia anakku, belahan jiwaku, kepada siapa kelak aku bisa berbagi dukalara… Deegh!
“Ya Tuhan, aku akan menjadi seorang ibu! Tidak berapa lama, tinggal beberapa pekan lagi!” jeritku dalam hati.          
Seorang ibu sebaya bundaku, seketika berhenti dan menyentuh tanganku, ia menanyai keadaanku; “Neng, kurang sehat ya Neng? Pucat amat, Neng, apa yang bisa Ibu bantu?”
Ada nada cemas di sana, mengingatkan diriku bahwa masih kumiliki pula seorang ibu nun di Cimahi sana.
Tergagap aku menyahut, “Eee, iya, agak pusing… Mau ke rumah sakit, Ibu, bisa tolong aku, ya?”
Aku ingin menangis, tapi masih mampu kutahan. Hanya di dalam hati, tangisku tentu telah melaut, menyamudera, tumpah-ruah dan membasahi relung-relung kalbuku. Entah bagaimana selanjutnya, kurasa memoriku mendadak tertutup rapat di sana. Yang kutahu adalah ibu itu telah lenyap, sementara diriku telah terbaring di ruang rawat inap, dan darah mulai menetes satu demi satu melalui pergelangan tanganku, selang infus mengalirkan darah orang.
Belakangan kutahu dari para perawat, bagaimana ibu itu mengantarku ke ruang perawat sesaat mendengar ceracuanku yang sulit dipahami. Betapa mulia, tanpa pamrih membantu sesama, terima kasih Ibu, siapapun dirimu… Engkau wakil emakku, malaikat penyelamatku!
Petang beranjak malam, baru satu kantong darah yang memasuki tubuhku saat sosok tinggi besar itu muncul, pulang kuliah tak menemukanku di rumah. Dengan dalih bahwa aku telah meninggalkan rumah tanpa izinnya, dia merasa berhak untuk memarahi, memaki-maki dan berakhir dengan diharuskannya sumpah setia dengan saksi Al Quran!
“Nah, sejak sekarang ke mana pun kamu pergi harus atas izinku!” dengusnya seraya meninggalkanku sendirian.
Saat itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai saatnya melahirkan. Aku merasa telah kehilangan segala kepercayaan diriku, takut suatu saat kembali menyerah dan melakukan perbuatan nista; mengakhiri hidupku. Hanya karena tak tahan lagi dengan segala caci-maki, kemarahan dan kebenciannya yang harus kutanggung.
Beberapa jam sebelum melahirkan, kembali peristiwa sumpah setia itu harus kulakoni. Tengah malam, ketika aku mulai merasai keanehan dalam perutku, dia mendatangiku khusus untuk melakukan ritual yang seakan telah menjadi lagu wajib pernikahan kami itu.
“Ini atas nama anak kamu dalam perut itu!” nadanya penuh ancaman. “Bersumpahlah       pula demi dia! Kalau kamu melakukan sumpah palsu, dipastikan kamu dan anak kamu itu takkan selamat dunia akhirat. Bahkan kamu pun pasti takkan bisa melahirkan dengan selamat!”
Kucermati isi ancaman sumpahnya kali ini. Benar saja, dia menuliskan dengan jelas karena memakai spidol; jika aku bersalah niscaya dosanya akan ditanggung oleh diriku dan anakku. Yap, demikianlah istilahnya; anakmu bukan anak kita apalagi anakku!
Kalau ada yang memperhatikan perilaku kami berdua, niscaya akan terheran-heran. Bayangkan saja, tangannya meletakkan kitab suci di atas kepalaku, sementara aku membacakan poin-poin yang telah ditulisinya di atas karton. Air mataku mulai mengering, kupikir, tiada setetes pun air bening yang menitik, membasahi pipi-pipiku malam itu.
“Aku pergi dulu, tak ada yang bisa kulakukan di sini,” ujarnya seraya membawa kembali karton berisikan sumpah mati, sumpah pocong, sebab kepalaku dibebat mukena dan dia menyebutnya demikian.
Aku ingin memintanya tidak pergi, agar mendampingiku karena mulai kurasai pertanda akan melahirkan. Perut mengembung, tak bisa buang air besar, dan sesekali keluar cairan bening dari rahimku.
Namun, tidak, kupikir tak mungkin menahan dirinya berlama-lama lagi di sampingku. Selain sikap dingin, ketakpedulian, dan terutama pancaran kebencian di matanya yang menakutkan itu, sesungguhnya jujur saja; aku mulai merasa nyaman apabila kami berjauhan.
Pukul dua dinihari, aku bangkit dari ranjang dan mendirikan sholat lail. Beberapa saat lamanya kubiarkan seluruh diriku lebur di dalam doa panjang dan zikir tanpa henti. Saat inilah aku menangis berkepanjangan, lama sekali, semuanya kuadukan kepada Sang Khalik. Begitu nikmat kurasai pengaduanku dinihari itu, dalam keyakinan bahwa semua pengaduanku akan sampai ke kuping-Nya. Semua doa yang kuminta akan dimakbulkan-Nya.
“Ya Tuhan, kuserahkan segalanya ke tangan-Mu… Berilah yang terbaik bagi kami, ya Tuhanku yang Maha Menggenggam,” bisikku berulang kali, mengakhiri doa sekali itu.
Usai berkeluh-kesah, curah hati kepada Sang Khalik, aku turun dari ranjang. Entah mengapa, aku merasa tergerak untuk berjalan-jalan dari satu koridor ke koridor lainnya di rumah sakit itu.
Sepotong dinihari yang hening dengan langit bening, sama sekali tiada mendung apalagi kabut. Kuhirup hawa segar kawasan RSCM, kuhirup sepenuhnya agar merasuki dada, jiwa, melindap di sendi-sendi tulangku… Fheeeww!
Tahu-tahu aku sudah berjalan jauh, entah di mana… Ops, kulihat ada tulisan; Ruang Jenazah!
Seketika bau busuk bangkai (manusia) menyergap hidungku. Bergegas kubalikkan langkahku, kakiku nyaris tersandung.
“Ibu kenapa di sini… mau ke mana?” seorang perawat perempuan menyapaku.
“Eeeh, iya nih… nyasar… Ruang rawat inap di mana ya?” balik aku bertanya, linglung.
“IRNA B apa IRNA A?”
“Itu dia… IRNA B lantai enam!”
“Mari kuantar,” ajaknya dengan ramah.
“Eee, gak usah, sudah tahu kok, biar sendirian saja. Terima kasih, terima kasih,” kataku cepat-cepat berlalu, meninggalkannya terbengong.
Diantar.. aarrgghh… yang bener aja!
Bisa-bisa gempar nanti, disangka pasien mau minggat.
Aku kembali ke ruangan perawatanku, sekali ini dadaku sungguh dipenuhi dengan zikrullah, tak henti-hentinya, takkan pernah berhenti, takkan pernah!
Hingga akhir hayatku tiba, hingga ajal menjemput, dengusku.
Pukul enam pagi, ketika dokter dinas malam melakukan pemeriksaan, kontraksi pertama kualami dengan keterkejutan luar biasa.
“Dokter, maaf nih, aku merasa sebentar lagi akan melahirkan,” keluhku sambil menahan rasa sakit, kontraksi perdana bagi calon ibu mana pun, niscaya mengagetkan.
Dokter jaga itu segera melakukan pemeriksaan dalam, kemudian memerintahkan perawat untuk membawaku ke ruang persalinan IRNA A. Sepanjang jalan di atas ranjang itu, kutenangkan diriku semampuku.
“Jangan pernah menyerah, ya Nak, jangan pernah!” pekikku berulang kali sambil mengelus permukaan perutku. “Inilah saatnya kita sama berjibaku, sepakat?”
Mendadak aku teringat akan segala pengorbanan yang pernah dilakukan ibuku untuk diriku. Kubayangkan bagaimana deritanya saat melahirkanku.
“Ya, demikianlah pasti rasanya, sakitnya,” desisku.
Air mataku pun mulai terbit dan berlinangan, bukan karena kesakitan. Lebih disebabkan perasaan bersalah atas segala kesulitan yang kutimbulkan, dan itu harus ditanggung oleh ibuku tercinta.
Sekejap kemudian aku merasa sungguh bisa menikmatinya dan mulai kumaknai keindahan, keberkahan untuk menjadi seorang ibu. Ya, bahkan sebelum peristiwa persalinan itupun, aku telah menikmati anugerah-Nya… Tuhan, terima kasih!
Aku merunduk memandangi kaki-kaki yang membengkak. Kenanganku seketika berbalik kembali ke pekan-pekan sebelumnya. Aku diberi tahu dokter bahwa posisi bayi masih melintang. Sejak mengetahui itu aku segera mempergiat shalat malam dan senam hamil. Menurut Bu Bidan, berlama-lama sujud bisa membalikkan posisi bayi ke posisi normal. Sebulan sudah berlangsung, tetapi posisi bayi masih melintang juga. Mungkin itulah yang membuat limpaku sakit. Karena setiap kali bayinya menendang …. Masya Allah, sakitnya luar biasa!
Sering aku hanya bisa mencucurkan air mata. Menjeritkan asma-Nya, memohon kekuatan dari Sang Pencipta agar diberi kekuatan dan keajaiban demi mempertahankan bayiku.
“Oh, belahan hati belahan jiwa Mama. Marilah kita kerja sama, Anakku,” demikian selalu kupompakan semangat berjuang untuk bayi dalam kandunganku. Aku merasa yakin, dia bisa mendengarku!
Untuk beberapa saat lamanya aku mengajak anakku bercakap-cakap, meskipun dia masih dalam kandungan. Macam-macam yang aku omongkan. Mulai dari membacakan kalimatullah dan tilawah ayat-ayat suci Al-Quran. Kemudian cerita pengalaman  sehari-hari, harapan dan impianku terhadapnya. Mendongenginya, membacakan cerpen atau sinopsis novel yang hendak aku garap. Hingga menanyakan keadaannya di dalam sana.
“Apa kamu harus desak-desakan dengan limpa Mama, ya Nak?”    
“Tolong, Nak …. Jangan tendang sana-sini!”
“Hei, hei! Itu limpa Mama lho, Nak, bukan bola ….”
“Adududuh, nakalnya kamu …. Mau jadi apa sih, kalo gede nanti?”
Untuk mengalihkan rasa sakit, biasanya aku juga akan mengenang kembali saat-saat di-USG. Saat mendengar denyut jantungnya yang pertama kali.  Deg, deg, deg, deeeg… Subhanallah, terdengar indah nian!
“Mana suaminya? Sudah ditandatangani belum formulir persetujuan operasinya?” Dokter Bambang membuyarkan petualangan anganku.
Aku mengulurkan formulir yang dimaksud dokter.
“Ya, sudah ini cukup,” katanya sesaat memperhatikan tanda tangan suamiku.
“Kalau boleh, aku mau menunggu kedatangan orangtua dari Bandung. Jadi, kalaupun mau dioperasi mohon ditunda sampai mereka datang,” pintaku.
Dokter Bambang tidak keberatan. Maka, selama penantian itu aku tetap dirawat gabung. Ternyata orangtuaku baru bisa datang setelah dua minggu kemudian. Anehnya, aku masih dinyatakan bisa bertahan. Caesarnya pun ditunda lagi.
Alasan Mak dan Bapak macam-macam, tetapi aku bisa merasakan keengganan di mata keduanya.
“Enggan kalau ke rumahmu itu. Apalagi sekarang ada mertua perempuanmu yang jelas-jelas tak pernah menyukai kami,” kilah Mak suatu kali saat kudesak. Dalam situasi serba menekan dan menyakitkan itulah aku mempertahankan bayi kami.
Tekanan dari pihak keluarga, kejaran deadline tulisan, dan keuangan yang morat-marit ….
Kalau tidak sering bertahajud, bersabar, dan bertawakal, serta berserah diri kepada-Nya, ampuuun!
Niscaya siapa pun akan ambruk saat itu juga.
Alhamdulillah, aku diberi hidayah agar senantiasa dekat kepada-Nya. Merengkuh kemurahan-Nya dan menggapai ke- Maha Kasihan Ilahi.
“Kita akan caesar minggu depan saja, ya Bu?” kata dokter Bambang setelah selama tiga minggu aku diopname.
“Posisi bayinya sudah berubah ke posisi normal. Sementara ibu juga nggak terlalu merasa kesakitan lagi sekarang,” ujar dokter spesialis kandungan, dokter Laila.
“Beruntung jantung dan paru-paru Ibu tidak mengalami gangguan. Biasanya kami menemukan gangguan jantung untuk kasus seperti Ibu ini,” jelas dokter Kristianto.
Alhamdulillah, aku pun kembali bersujud syukur. Untuk semenatra aku merasa tenang. Menyusuri koridor-koridor rumah sakit setelah shalat subuh, menghirup udara pertamanan di sekitar RSCM.
Pembangunan sedang dilaksanakan besar-besaran di sini. Kobong-kobong tempat tinggal sementara para kuli, pagar-pagar seng yang tinggi-tinggi, dan bakul nasi yang dirubung-rubung para buruh bangunan. Itulah pemandangan yang setiap hari aku lewati.
Terkadang aku berpikir, “Buruh-buruh bangunan yang berdatangan dari pesisir utara itu kebanyakan masih belasan tahun. Seharusnya mereka masih sekoalh di SMP atau SMU. Tetapi tuntutan hidup menerbangkan cita-cita mereka ke tempat ini…”
“Ah, bukankah mereka masih beruntung? Memiliki kebugaran fisik dan kesehatan sempurna?” gumamku pula.
Aku bisa gila kalau tidak mencurahkan gejolak rasa, gelombang nalar yang berseliweran di kalbu dan otak ini. Tetapi, dokter sudah memutuskan dengan tegas tak ada lagi mesin tik. Apalagi minggat-minggat dan mengejar-ngejar honorarium. Jadi, aku mengisi buku harian berlembar-lembar tiap harinya. Sebelumnya, jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan sejumlah naskah yang telah dikirimkan ke pelbagai media.
Sudah saatnya panen raya nih, pikirku.
“Biar Mak saja yang menagih honorariumnya kepada mereka,” usul Bapak suatu kali ketika mampir membesukku.
Terkadang suami mau juga melakukannya. Tetapi, dia sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya. Jadi, akhirnya aku terpaksa membebani Mak dengan pekerjaan ini. Kondisi Mak sedang prima. Dengan senang hati Mak melaksanakan tugasnya.
“Itung-itung jadi manager pemasaran, ya?” katanya sambil tertawa.
Kegemarannya jalan-jalan agaknya terlampiaskan. Sejak saat itu, Mak menjadi wakilku untuk mengejar-ngejar, eeh, menagih honorarium ke redaksi-redaksi yang memuat karyaku.
Saat itulah aku mengenal istilah menodong dan mengijon di dunia kepenulisan. Menodong redaksi, artinya meminta honorariumnya dahulu sebelum naskahnya diterbitkan. Sedangkan mengijon naskah adalah menjanjikan akan menyerahkan naskah dengan tempo tertentu, tetapi honorariumnya diminta lebih dahulu. Itu dua hal yang berbeda. Apa pun itu, tetap saja tujuannya sama, UUD; Ujung-Ujungnya Duit!
Untuk beberapa waktu lamanya Mak menjadi tukang tagih Pipiet Senja. Mungkin karena Mak sangat lugu, memiliki wajah memelas, dan mata lembut sayu. Biasanya segala urusan menjadi lebih gampang. Mak acapkali berhasil menagih honorariumku yang sudah berbulan-bulan sulit diminta.
“Mak sampai menunggu berjam-jam di kantor Anu…”
“Waaah,  untung saja Mbak Susi ada. Jadi ditalangin dulu nih sama Mbak Susi dari koceknya pribadi…”
“Ini dikasih bonus dari Mbak Anu. Katanya buat bingkisan anakmu yang bakal lahir nanti …”
Keberhasilan Mak ditanggapi lain oleh pihak ketiga. Suamiku dikompori, digerecokin. Ujung-ujungnya Mak tersinggung. Minta berhenti jadi debt-colector sulungnya ini. Mak ngambek, pulang ke Cimahi.
Ya Tuhaaaan…. Rasa sakit luar biasa menghajar perutku.
“Aduuuh… Ya Allah, aku tak tahan lagiiii!” seruku, meninggalkan seluruh lautan khayal yang pernah kuarungi.
“Ini kontraksi namanya, Bu. Kenapa baru bilang sekarang? Kan ibu direncanakan untuk dicaesar, bla, bla…”
Aku sudah tak mendengar lagi apa saja yang dikatakannya. Kesibukan segera terjadi di ruangan itu. Infus segera dipasang, selang oksigen pun tersambung ke lubang hidungku. Asmaku dikhawatirkan kambuh mendadak.
Tak berapa lama para perawat dan dokter Bambang membawaku menuju ruang persalinan. Sepanjang perjalanan yang menggunakan lift itu, otakku masih bekerja normal. Aku sempat teringat film seri Dokter Kildare. Sekarang aku mengalaminya sendiri, pikirku. Bukan dalam film dan bukan dalam cerita novel, seperti yang sering aku reka-reka selama ini. Tetapi ini kehidupan dan kenyataan!
“Mana keluarganya?”
“Tidak ada, dok… Pasien sudah lama diopname di IRNA B.”
          “Dengan apa?”
          “Kehamilan pertama, talasemia, spenomegali, asma bronchiale...”
          “Busyet! Sampai seabregan begitu …?”
          “Siapa yang menanganinya?”
          “Dokter Bambang … nah, itu dia!”
          “Ya, ini pasienku … teruskan saja bawa ke kamar satu!”
          Di kamar satu mereka segera memeriksaku. Sudah ada pembukaan. Masih lama. Siapkan darah untuk transfusi!
          “Tapi nggak ada keluarganya nih, Dok?”
          “Ya, usahaka sama kamu dooong …”
          Ketika kontraksinya tak muncul kembali, untuk beberapa saat aku ditinggal sendirian. Ruangan itu memanjang, dibatasi dengan gorden warna hujau daun.
Tiba-tiba hatiku digerayangi rasa takut. Ugh! Bagaimana saat ini kalau Malaikat Maut datang menjemput? Kasihan sekali si Ucok kalau ibunya pergi duluan, ya? Siapa yang bakal mengurusnya? Menyusuinya nanti? Menggendongnya? Membimbingnya saat dia pertama kali bisa melangkah?
          Ya Allah, tolong jangan jemput aku sekarang, jeritku membatin.
          “Astaghfirullahal adziiim…”
          Cepat-cepat aku mengenyahkan pikiran macam-macam dan rasa takut yang kian menyergap itu. Allah, hanya kepada-Mu jua hamba yang papa ini berlindung. Begitu banyak kelalaian dan dosa yang pernah hamba perbuat. Tetapi, begitu banyak nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepada hamba. Ya Allah berilah kesempatan kepada hamba untuk menjadi seorang ibu.
Laailahaila anta subhanaka inni quntumminaldzolimin.
          Air mata bercucuran membasahi pipi. Saat kontraksi kembali, aku teringat lagi Mak tercinta. Oh, beginilah agaknya dahulu Mak saat hendak melahirkan aku. Mak, ampuni dan maafkan segala dosa anakmu ini!
          Lagi-lagi kontraksi. Sepuluh menit sekali, lima menit sekali, tiga menit ….
          “Sekarang saatnya!”
          Para dokter telah merubungiku.
          “Pecahkan saja ketubannya!”
          Inilah jihad seorang ibu. Seluruh semangat juang, energi, pikiran, dan perasaan disatukan sebuah kelahiran. Ketika rasa sakit tak teperi semakin menyergap, mengoyak-ngoyak sekujur tubuh…
Allahu Akbar, Allahu Akbar, pekikku membatin.
Aku sudah pasrah lilahita’ala.
          Ya Allah, Ya Allah!
          Sekonyong-konyong ruangan menjadi hening sesaat. Hingga kemudian… blaaar!
Petir seakan menyambar dan menyeruak di atas kepalaku.
          “Owaaa…. Owaaaa!”
Suara tangis bayi memekakkan telinga memecah keheningan.
          “Bayi laki-laki. Catat waktunya, Suster!”
          “Baik, pukul delapan empat lima, hari Selasa 17 November 1981, dokter!”
          “Lihat nih, Bu, anaknya laki-laki!”
Dokter Laila memperlihatkan makhluk kecil yang telah bersemayam selama 34 minggu itu ke dekat wajahku.
          Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.
Aku masih sempat melihat seraut wajah mungil dan sebuah tanda hitam di pelipis kirinya. Namun, sesaat kemudian aku tak sadarkan diri …
          Tatkala aku kembali siuman, ada rombongan dokter sedang ronda. Ada Prof. Iskandar Wassid, dokter Laila, dokter Bambang beserta dokter kardiologi dan perintalogi. Mereka menyatakan ikut berbahagia. Konon, aku adalah pasien pertama talasemia yang bisa melahirkan secara normal dan memiliki bayi yang sehat, saat itu.
          Kami sudah menyiapkan sebuah nama sejak tahu yang bakal lahir adalah bayi laki-laki. Muhammad Karibun Haekal Siregar, itulah namanya. Selama mengandungnya aku sedang gandrung kisah Nabi Muhammad Saw, ditulis oleh pengarang Mesir bernama Muhammad Haekal.
          Tak dapat aku lukiskan bagaimana bangga dan bahagianya hati ini. Tiada henti-hentinya aku mengucap rasa syukur kepada Ilahi Rabbi.
          Mak adalah orang pertama yang datang menjenguk dan mengazankan putraku. Perasaan seorang ibu tak bisa dipungkiri. Subuh itu Mak berangkat dari Cimahi, langsung menuju rumah sakit. Saat diberi  tahu bahwa aku sudah melahirkan bayi laki-laki, Mak mengaku hampir tak mempercayainya.
          “Deueu… Teteh! Kepingin Mak kasih tahu semua orang waktu menuju ke sini itu. Mak sudah punya cucu laki-laki, dan kali ini dari kamu,” celoteh Mak dengan wajah sumringah.
          Mak  jugalah yang kemudian direpotkan untuk mengurus surat-surat kepindahanku dari ruang persalinan ke ruang Irna A. Kalau tak ada Mak, tak bisa dibayangkan entah bagaimana jadinya aku. Mungkin dibiarkan kedinginan dan menggigil di gang. Tanpa makanan dan selimut yang layak, tak ubahnya seorang gembel tanpa keluarga, tanpa sanak saudara…
          Alasannya, terlalu banyak pasien yang akan melahirkan. Jadi pasien yang sudah selamat melahirkan segera dikeluarkan dari ruangan. Dibiarkan menunggu keluarganya untuk mencarikan kamar rawat.
Ah, Mak, selalu hadir saat anak-anakmu membutuhkan!
Ayah bayiku, lelaki Batak itu baru muncul setelah larut malam. Alasannya, banyak pekerjaan dan sibuk mengurus orangtua di rumah. Saat inilah satu kesadaran utuh muncul, kesadaran tentang posisiku. Baginya, aku mungkin hanya nomer kesekian.
Bapaknya menambahkan nama ayahnya dan marga di antara nama itu. Maka jadilah; Muhammad Karibun Haekal Siregar, sebuah nama yang akan mewarnai setiap doaku di kemudian hari. Sebagaimana nama adiknya dan nama kedua orang tuaku di sepanjang doa-doaku, sepanjang hayat masih dikandung badan.









Cuplikan Skenario: Cahaya di Langit Jakarta

$
0
0




Ide Cerita & Skenario: Pipiet Senja


SCENE 01
Jakarta 2016

ESTABLISHING
Suasana pagi hari di Jakarta Raya dengan nuansa khas Ibukota Tugu Monas. Udara mendung, langit kelabu dengan barisan awan hitam pertanda sebentar lagi hujan.
Meskipun demikian di jalanan Ibukota kendaraan sudah berseliweran, tampak ngebut, sampai di kawasan Tol mulai macet.
Gedung-gedung pencakar langit tampak menjulang megah, angkuh seakan tak sudi terjamah oleh tangan si miskin.
Memasuki perkampungan, suasana hiruk-pikuk penggusuran rumah miskin di kawasan Kampung Nelayan. Penggusuran demi reklamasi pembangunan perumahan mewah. Sekilas ada iklan di televisi Hong Kong dan Taiwan, dijual murah perumahan mewah untuk asing.
CUT TO

SCENE 02
EXT. GANG BUNTU - KAMPUNG NELAYAN – PAGI MENDUNG
CAST: Asep, Emak Asep, Abah Asep, Teman Asep, Tiga Anak Kecil
Figuran Warga Kampung Nelayan, Pasukan Satpol
Asep (10 tahun) bersama teman-teman sebaya sedang asyik bermain.
Mereka bermain gundu, tertawa dan bercanda khas kanak-kanak.

SCENE 02A
Tiba-tiba datang pasukan Satpol dengan berbagai peralatan berat. Mereka memasuki kawasan Kampung Nelayan dengan tampang beringas.

SCENE 02B
Suasananya Kampung Nelayan seketika memanas.
Teriakan marah campur dengan suara tangis ketakutan terdengar.
Warga berhadapan secara frontal dengan pasukan Satpol.

SCENE 02C
Sebagian warga memilih berlarian kesana-kemari, menyelamatkan barang milik mereka. Sebagian lagi memilih bertahan, membentuk barikade.

SCENE 02D
Asep sangat ketakutan, melihat hingar-bingar di sekitar rumahnya.
ASEP:
Lariiiii! Ayo, lariiiiii, lariiii….
(Mengajak teman-teman bermain, lari)
TEMAN ASEP:
Ya, ayo, lari, lariiiii! (Menyahut dengan ketakutan)

SCENE 02E
Sementara peralatan berat terus bergerak memasuki kawasan Kampung
Nelayan, siap akan merubuhkan bangunan.
CUT TO

SCENE 03
INT.  RUMAH ASEP – DAPUR – PAGI MENDUNG
CAST: Emak Asep
Emak Asep (45) sedang menyiapkan gorengan untuk dijual. Tiba-tiba tersentak saat ia mendengar keriuhan di luar. Seketika Emak melirik surat edaran yang menempel di dinding dapur. Isinya Pemberitahuan dari Penguasa, agar warga meninggalkan kawasan Kampung Nelayan karena akan digusur.
EMAK ASEP:
(Menggumam, gundah) Ya Allah….
Hanya dikasih tempo dua minggu?!
Waktu cepat sekali berlalu….

SCENE 03A
Emak bergegas salin dasternya dengan celana pangsi hitam dan kemeja putih. Ia mengenakan jilbab putih, mengikat kain merah putih dasi Pramuka milik Asep, dan membelitkannya di kepalanya.
Kemudian Emak Asep menyambar sebatang bambu, memasang bendera merah putih di ujungnya. Dengan gagah perkasa Emak keluar rumah, membawa bendera.
Musik Mars perjuangan.

SCENE 03B
Syut foto besar yang tergantung di ruang tamu, foto seorang pejuang ‘45 dengan senjatanya bambu runcing. Kakek Emak gugur dalam perang kemerdekaan melawan Belanda.
CUT TO

SCENE 04
EXT. KAMPUNG NELAYAN – PAGI MENDUNG
CAST: Emak Asep, Asep, Figuran Warga, Pasukan Satpol
Emak Asep menyongsong pasukan Satpol. Tepat di depan sebuah bulldozer, Emak mengibar-kibarkan bendera merah putih. Emak teriak-teriak lantang, menyuarakan protesnya.
EMAK ASEP:
Wooooooi!
Ini tanah kami sejak zaman Belanda.
Kami menempatinya sampai empat generasi!
Kami punya sertifikatnya!
Mengapa kalian gusur juga?

Melihat keberanian Emak warga tersemangati. Asep berlari menghampiri Emak, kemudian berdiri di samping Emak. Asep ikut gerak-gerik Emak, lantas membeo segala teriakan lantang Emak.
ASEP:
(Menirukan gerak-gerik Emak, membeo)
Ini tanah kami sejak zaman Belanda.
Kami sudah menempatinya sampai empat generasi!
Kami punya sertifikatnya!  Mengapa kalian gusur juga?

SCENE 04B
Emak dan Asep tak gentar terus melakukan aksinya di depan bulldozer. Satpol kebingungan, minta bantuan rekannya tak ada yang peduli, semuanya sibuk,  akhirnya berhenti bergerak.
CUT TO

SCENE 05
EXT. KAMPUNG NELAYAN BAGIAN DEPAN – PAGI MENDUNG
Cast: Abah Asep, Warga I, Warga II, Warga II, Warga IV, Pasukan Satpol
Abah Asep dan warga berjibaku, menghalangi peralatan berat, agar tidak bisa melanjutkan penggusuran.
Bentrok antara pasukan Satpol kiriman Penguasa dengan warga miskin di Kampung Nelayan, tak bisa dielakkan.
ABAH ASEP:
(Menyemangati warga)
Ayo, saudara-saudaraku; lawaaaan!
Ini pelanggaran hak azasi kemanusiaan!
Jangan takut, Sodara-sodara!
WARGA I:
Benar, siapa takuuuut?!
WARGA II:
Mati syahid lebih baik daripada diam saat dizalimi.

ABAH ASEP:
Mari, kita berjuang, saudara-saudaraku!
Allahu Akbaaaar!
WARGA IV :
(Ikut mengajak warga untuk melawan)
Allahu Akbaaaar! Takbiiiiir!
SEMUA WARGA
(Serempak)
Allahu Akbaaar!

SCENE 05A
Pasukan Satpol berlapis-lapis telah dirurunkan bersama peralatan berat penggusuran. Mereka tetap bersikeras menjalankan tugas semata. Sementara penghuni Kampung Nelayan hanya 100-an.
Situasinya semakin tegang dan rusuh.
CUT TO

SCENE 06
KAWASAN KAMPUNG NELAYAN – SIANG MENDUNG
Cast: Abah,  Asep, Emak Asep, Satpol, Massa Warga
Abah Asep masih terus menyemangati warga agar melawan. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Dia memimpin teman-temannya sesama warga Kampung Nelayan.

SCENE 06A
Tiba-tiba ada bongkahan beton menimpa tubuhnya. Abah Asep rubuh, tetapi mulutnya masih berteriak lantang:
ABAH ASEP:
(Sebelum rubuh terkapar di tanah, teriak lantang)
Allahu Akbaaaaar!

SCENE 06B
Suara warga saling bersahutan, mengabarkan bahwa Abah Asep tertimpa bongkahan beton.  Hujan mendadak turun.
WARGA I
(Berteriak histeris)
Wooooooi!
Abah Asep ketiban tembooook!
BEBERAPA WARGA:
(Histeris, panik)
Abah Asep ketiban tembok!
WARGA II:
Ketiban temboook!
Saudara-saudaraku, ada yang tewas!
Tukang Azan kitaaaa….

SCENE 06C
Emak Asep berlari menyeruak massa, menghambur ke arah tumpukan reruntuhan bangunan di bagian depan Kampung Nelayan.

SCENE 06D
Setelah berlari kencang, akhirnya Emak Asep tiba di lokasi.
Abah ditemukan telah berlumur darah!
Emak meraih kepala Abah yang berlumuran darah, memeluknya dan mendekapnya di pangkuannya. Airmata Emak seketika telah bercampur darah Abah.
Abah Asep memberi pesan kepada Emak.
ABAH ASEP:
(Susah payah berkata-kata)
Maafkan semua kesalahanku….
Titip si Asep….
Didiklah dia sesuai keyakinan kita….
Laa ilahailallah….

Abah Asep menutup matanya, menghembuskan napasnya yang terakhir. Emak Asep sama sekali tidak menangis. Hanya menundukkan wajahnya mengecup pelan kening Abah. Kemudian menyedekapkan kedua tangan Abah. Semesta doa ia gelorakan dalam dada.

SCENE 06F
Sementara hujan turun deras. Detik itulah, Emak bersumpah untuk melaksanakan wasiat terakhir Abah.
EMAK ASEP:
(Menengadahkan kedua tangannya ke langit)
Ya Allahu Robbi….
Hamba bersumpah, ya Allah!
Demi Allah, wallohi!
Aku akan melaksanakan wasiat suamiku….

SCENE 06G
Hujan turun semakin deras, membasahi wajah Emak Asep. Demikian pula Asep sudah basah kuyup. Asep menangis sesenggukan memeluk Emak.

SCENE 06H
Warga Kampung Nelayan mengerumuni keluarga kecil yang malang itu. Semua diam membisu. Hujan turun semakin deras.

SCENE 06I
Di bawah guyuran hujan, tampak Satpol diam-diam melarikan diri, meninggalkan kawasan Kampung Nelayan. Mereka tak peduli dengan peralatan berat bawaannya.
CUT TO

SCENE 07
FLASHES
Nestapa warga Kampung Nelayan luput dari pemberitaan media Nasonal. Namun, di medsos seperti situs-situs Islam, Facebook, Twitter dan Instagram beritanya menjadi viral.
“Abah Asep Korban Kekejaman Penguasa!”
Penguasa sudah melewati batas kewajaran seorang pemimpin,” tulis berbagai akun di media sosial.

SCENE 07B
Sejak saat inilah para Emak seluruh Indonesia, mulai memanfaatkan ponsel untuk menyuarakan keprihatinan, kegeraman dan protes mereka.


Bersambung versi Layar Lebar Cahaya di Langit Jakarta
Mohon doakan, ya sahabat Pipiet Senja

Epilog Pipiet Senja: Cahaya di Langit Baduy

$
0
0


Cahaya di Langit Baduy
(Pipiet Senja)



Cikapek, 15 Juli 2019
Kami, Ustadz Hilal Achmad, Maulana Amaududi, Nik Azizah, Ranus Syaputra dan saya, menuju Cikapek. Tepatnya pukul 09.00, berangkat dari kantor Yayasan Askar Kauny.
“Penasaran seperti apa Pak Haji Adung itu,” cetus saya.
“Sosok bersahaja, tawadhu dan sangat cinta Alquran. Pokoknya beliau seorang Bapak luar biasa buat para santrinya,” jelas Maulana Almaududi.
Sepanjang perjalanan saya mencoba mengorek keterangan anak muda, Guru Ngaji Askar Kauny yang ditugaskan ke pedalaman Banten.
“Beliau baik sekali, pengabdiannya kepada anak-anak terutama, luar biasa. Warga dari pedalaman Baduy yang telah memeluk Islam, dibina dan dibimbingnya dengan seluruh semangat dan dedikasi yang tinggi.”
Banyak lagi kisahnya, termasuk keikhlasannya membangun rumah tinggal untuk Maulana dan istri. Masih secuil kisah Sang Murobi di kawasan Baduy itu. Begitu pikiran saya, sehingga kian penasaran. Ingin jumpa langsung dengan Pak Haji Adung.
Setelah melalui perjalanan yang lumayan jauh, sempat nyasar pula, akhirnya sampailah kami di Cikapek. Ranus Syaputra, sang sopir asli Palembang entah mengapa membuat titik yang keliru di Maps. Bukan Cikapek melainkan Cikeuyeup. Lama juga baru disadari oleh Maulana Almaududi, bahwa kami telah nyasar melenceng jauh dari tujuan semula.
Kendaraan diparkir di daratan agak tinggi. Ada tiga bangunan semacam joglo, terbuat dari tiang-tiang bambu dan dinding anyaman juga dari bambu. Sekilas saja kita sudah bisa menarik kesimpulan. Situasinya sama sekali tidak seperti pondok pesantren.
Setelah sholat Zuhur, menanti beberapa saat, muncul jua sosok pemilik pondok pesantren, entah apa namanya.
“Silakan, silakan kita duduk di sini saja,” ujar lelaki paro baya berbadan sedang dengan sepasang mata elang itu, ramah dan sopan sekali. “Yah, beginilah keadaannya….”
Sosok yang sangat bersahaja itu, Haji Adung. Ia pun menuturkan jalan dakwah sepanjang hayatnya. Ia mengaku datang ke kawasan Cikapek, tak jauh dari pedalamam Baduy 16 tahun yang silam, tepatnya 1993.
“Begitu sampai di kawasan sini, seketika timbul cita-cita dan semangat. Pokoknya harus buka pesantren untuk warga sekitar sini. Rasanya miris lihat warga mualaf, mantan warga Baduy Dalam. Kehidupan mereka sangat sulit. Mereka sudah mengorbankan segalanya demi memeluk Islam. Tetapi nyaris tak ada yang membela mereka,” tuturnya terdengar memendam kepiluan yang mendalam.
Bersama istri solehah, Haji Adung pun berjuang membangun tempat tinggal untuk syiar dakwahnya. Saat itu ia menumpang kepada seorang warga untuk membangun pondok. Selama setahun ia mengajar anak-anak di sekitar desa itu. Kemudian pemilik tanah menjual tanahnya, termasuk bagian yang ditempati Haji Adung.
Tidak patah semangat, ia pun mencari lahan lain untuk pondoknya yang baru. Ia tak memiliki dana tak punya apapun selain semangat dakwah yang senantiasa menggelora dalam jiwa dan raganya.
“Satu hari ada seorang warga yang menawarkan tanahnya. Saya bilang, mau sekali hanya dananya tidak ada. Orang soleh itu menegaskan, silakan saja dibayar nanti kalau sudah ada dananya. Ya Allah, luar biasa satu keajaiban sudah datang. Saya mendatangi guru di Jakarta, seorang Habib. Berkeluh-kesahlah ceritanya. Habib bilang, sabar dan tawakal, banyaklah berdoa. Memohon langsung kepada sang Pemberi.”
Ternyata dengan semesta doa yang dilakukannya, keajaiban demi keajaiban pun berdatangan. Hari itu, ia kedatangan seorang tamu, tepatnya seperti Malaikat. Ia pembawa rezeki-Nya, menyumbangkan dana sebanyak 40 juta. Dengan sumbangan itulah Haji Adung mulai membangun gubuk-gubuk bersahaja. Berawal dengan ukuran 20 kali 20 meter.
“Bangunannya terbuat dari bambu, terbuka tanpa dinding beginilah. Kalau musim hujan, kenalah kita semua,” ujarnya sambil tertawa pahit.
Dari waktu ke waktu santri berdatangan, mengaji kepada Haji Adung dan istri. Tahun demi tahun pun berlalu. Banyak santri, banyak rezeki, ternyata ada juga yang tidak menyukai kiprahnya.
Fitnah pun berseliweran di sekitar Haji Adung. Mulailah difitnah sebagai aliran sesat, teroris, sampai dituduh punya hubungan dengan luar negeri. Karena ia mendapatkan donasi dari Arab Saudi untuk membangun musholah.
Haji Adung terus berjuang, menyebarkan dakwah Islam, membumikan Alquran di kawasan Cikapek.
“Kami tentu saja membutuhkan Guru Ngaji yang bersedia mengabdi di sini. Saya berharap, agar Alquran kembali di hati ummat,” pungkasnya mengakhiri perbincangan kami siang menjelang petang itu.
Beberapa anak kecil menyalami Haji Adung dengan riang gembira.
“Nah, ini anak dari keluarga Baduy. Salam, Nak, salam sama Bu Haji….”
Seraya menyalami anak-anak yang pamitan, seketika terasa ada yang merembes jauh di lubuk hati ini. Betapa semangatnya anak-anak belajar Alquran, memperdalam Islam dari Haji Adung yang berdakwah dengan ikhlas, lillahitaala.  Ya, semua yang dilakukannya karena mencari ridha Allah semata.
Meninggalkan kawasan pondok-pondok bambu petang itu, ada banyak pelajaran yang kami dapatkan. Keteguhan, ketawakalan dan keikhlasan yang dipersembahkan Haji Adung. Sungguh perjuangan panjang yang indah dan penuh keberkahan.
Tampak cahaya Ilahi menyebar di langit Baduy, Semoga rezeki-Nya mengalir dari para donatur melalui Askar Kauny untuk mewujudkan harapan Haji Adung.
@@@



Catatan
_"Inilah kumpulan kisah inspirasi, perjuangan dakwah para Guru Ngaji Askar Kauny. Mereka para pejuang Alquran dari pelosok Tanah Air. Acapkali tanpa sadar airmata merembes saat menyuntingnya. Sungguh sebuah buku dakwah yang sangat indah dan mengharu biru kalbu. Layak dimiliki dan dipatri dalam hati kita semesta kata di dalamnya."_
(Pipiet Senja, Sastrawati Indonesia)

*Lentera untuk Negeri, Untaian Cinta dan Perjuangan Para Guru Ngaji Kauny* berisi 34 kisah menggugah hati. Napak tilas perjuangan dakwah para penyebar Kalam Ilahi dalam mengemban misi mulia.

*Harga ~Rp 100 ribu~!_*
*Diskon 10% selama masa PO 6-17 Agustus 2019!*
*Menjadi Rp 90 ribu*
 (belum termasuk ongkos kirim)
Pembayaran melalui Rek.  Askar Kauny:
BCA 0953911121
Cantumkan kode transaksi xxx di akhir nominal transaksi.
Contoh : Rp 100.0×××
*Pesan sekarang juga!"
Hubungi : 08111581956

Membeli buku ini, berarti Anda turut serta dalam perjuangan Guru Ngaji Askar Kauny yang saat ini berkhidmat mengajar dan mensyiarkan Alquran di pelosok Negeri.
#LenteraUntukNegeri
#GuruNgajiAskarKauny
#AskarKauny
Askar Kauny | Menebar Ilmu Berbagi Manfaat
FB | t | ig | Tele | @AskarKauny
087877221200


Askar Kauny: Menguar Cahaya di Langit Baduy

$
0
0

Askar Kauny: Menguar Cahaya di Langit Baduy














Kampung Cikapek, Leuwidamar, Lebak, 13 Agustus 2010.
Beberapa bulan yang lalu, guru ngaji dikirimkan oleh Askar Kauny ke pondok Nuruniyah pimpinan Haji Adung. Sebuah pondok pesantren yang telah bertahun tahun Haji Adung perjuangkan syiar dakwah, melalui Alquran dan ilmu keislaman di kalangan warga sekitar kampung Cikapek. Belakangan Haji Adung pun menampung mualaf yang meninggalkan keyakinan leluhur mereka di Baduy  dalam.
Askar Kauny bersama pimpinannya Ustad Bobby Herwibowo, Lc, ingin membantu mewujudkan  cita-cita Haji Adung. Dengan program Pembinaan dan Pemberdayaan bukan saja untuk para santrinya, melainkan juga  warga sekitar pondok. Askar Kauny akan bersinergi dengan lembaga dan aparat terkait.
Askar Kauny pun menginisiasikan Program Lentera untuk Negeri berupa Pembinaan dan Pemberdayaan Masyarakat di Kampung Mualaf Baduy pada Selasa (13/08). 
Ditandai dengan peletakkan batu pertama pembangunan Rumah Tahfizh oleh Pimpinan Yayasan Askar Kauny, Ust. Bobby Herwibowo, Lc. Askar Kauny berniat mengembangkan potensi santri, mualaf dan warga yang tinggal di sekitar Kampung Cikapek Desa Lebak Parahiyang, Leuwidamar, Lebak Banten.
“Askar Kauny berkomitmen untuk terus berkhidmat kepada masyarakat melalui Alquran. Menguatkan akidah masyarakat mualaf dengan terus mendekatkan mereka dengan Alquran, mengajarkan baca tulis dan hafal Alquran selain ilmu-ilmu keislaman lainnya adalah jalan yang dapat ditempuh, selain menguatkan ekonomi masyarakatnya,” jelas Ust. Hilal Achmad selaku Direktur Pelaksana Program.
“Di lapangan kita sering menemukan kasus bahwa betapa mudah keimanan seorang atau sekelompok mualaf digoyahkan dengan segenggam beras. Maka, sudah seharusnya kita tidak meninggalkan mualaf begitu saja. Perlu pembinaan dan pemberdayaan. Peran inilah yang akan dilakukan oleh Askar Kauny,” lanjut Ust. Hilal di sela-sela acara.
Tahap awal, Askar Kauny akan membangun Rumah Tahfizh sebagai pusat aktifitas sosial masyarakat Kampung Mualaf. Saat ini Askar Kauny telah memiliki sebanyak 407 Rumah Tahfizh yang tersebar di seluruh Indonesia. Rumah Tahfizh di Kampung Mualaf ini akan menjadi Rumah Tahfizh ke 408.
Selama tiga bulan terakhir Ustad Maulana Maududi sebagai Guru Ngaji Askar Kauny yang berasal dari Bekasi, sudah terjun langsung ke lokasi untuk membantu H. Adung menumbuhkan kecintaan santri dan mualaf Baduy pada Alquran dengan mengajarkan baca, tulis dan hafal Alquran.
Selain Rumah Tahfizh, Askar Kauny juga menaruh perhatian pada ketersediaan sumber air bersih yang selama ini letaknya jauh dari perkampungan. Maka Askar Kauny berencana membangunan sumur yang diperkirakan akan mengebor hingga sedalam 60 meter. Pembuatan sumur ini menjadi program mendesak yang ingin segera diwujudkan.
Program pemberdayaan lainnya yang akan dilaksanakan berupa pembiayaan syariah, selain membangun kawasan peternakan terpadu dan pertanian, untuk mendorong perekonomian masyarakat mualaf Baduy.
Askar Kauny meyakini, kekuatan ekonomi sosial dari lapis terbawah masyarakat akan meningkatkan kekuatan ummat. Maka, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat mualaf Baduy akan menjadi penunjang bangkitnya kekuatan muslim di Baduy khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Dalam kesempatan yang sama Ust. Deny Ibnu Hajar, Direktur Utama Askar Kauny menegaskan keinginan terbesar dari yayasan yang dipimpinnya. “Mualaf merupakan kelompok yang mendapat perhatian serius dalam Islam, bahkan syariat memberikan hak kepada mereka untuk mendapatkan pendayagunaan dana zakat. Mereka perlu mendapatkan bimbingan.” (Pipiet Senja, Cikapek, 13 Agustus 2019)




Pukul 09.00-9 September 2009

$
0
0




Pukul 09.00, 9 September 2009


Rabu, 9 September 2009.
Pukul 07.00 dokter Iin sudah mendatangiku. Ia menanyai kabarku serta kesiapanku untuk diangkut ke OK, demikian mereka menyebut ruang operasi pusat di rumah sakit ini.
“Insya Allah, siap, Dokter,” sahutku.
“Sebentar lagi ada yang jemput Ibu,” ujarnya sesaat memeriksa tensiku; 150/100. “Minum dulu captoprilnya, ya Bu,” sarannya pula yang segera kupatuhi. 
Captropil adalah obat darah tinggi yang sudah kukonsumsi sejak Maret, 2009.
“Sebentar, Dok, tunggu dulu,” cegahku sebelum ia berlalu. ”Aku masih heran nih, Dokter. Mengapa aku tidak jadi ditransfusi sebelum operasi? HB-ku kan hanya 10,4…”
“Loh? Bukannya sudah ditransfusi tadi malam?” Dokter bertubuh kecil mungil itu tampak terkejut, meskipun berusaha sedapat mungkin menyembunyikannya.
Aku bisa melihatnya!
“Belum!” sanggahku, seketika ada yang mengganjal kembali di dada ini.
Padahal, semalam sudah tidak terasa. Aduh, kacau ini!
“Sebetulnya darahnya sudah ada di Bank Darah, tapi dipending, kata suster jaga, nanti saja waktu dioperasi ditransfusinya,” anakku Haekal menjelaskan.
“Oh, kenapa bisa begitu, ya? Sebentar, tadi aku belum cek laporan di statusnya.” Dokter Iin bergegas meninggalkan kami yang terperangah.
“Malah  balik nanya sama kita. Aneh bangeettt!” sungut Haekal.
“Sudahlah, Nak, kita fokuskan saja; berdoa!” cetusku buru-buru memutuskan belenggu kebimbangan yang serasa mulai menjerat, dan sama sekali tidak nyaman.
Kuminta anakku membantuku menurunkan botol infus, agar aku bisa menentengnya ke kamar mandi. Aku ingin wudhu dengan benar, bukan tayamum sebagaimana terpaksa kulakukan dalam 24 jam terakhir. Aku pun mencoba buang hajat yang tak bisa keluar sejak dua hari yang lalu. Ternyata tak bisa juga!
Mengapa mereka tidak menguras perutku dengan garam inggris, seperti pernah diterapkan terhadapku saat akan dikuret dulu? Mereka hanya memintaku untuk tidak makan dan minum dari pukul sebelas. Bahkan diperbolehkan minum sedikit untuk menelan captropil.
Namun, pertanyaan ini hanya muncul sekilas, berlalu begitu saja bersamaan dengan suara-suara yang memintaku agar; siap, siap, siap diangkut!
Aku sempat mengobrak-abrik lemari kecil, ternyata tak kutemukan baju yang pantas, menurut ukuranku. Baju yang bersih, apik, bukan daster batik kumal yang tersisa. Ini daster milik ibuku, mengapa ada di sini? Bahkan benda ini sempat akan kuberikan kepada Bibi Cuci.
“Dokternya sudah datang tuh, Bu!” entah siapa yang mengingatkanku itu.
Duh, sebentar, mana bajuku?
“Iya, Bu, tidak apa-apa, tenang saja. Ditransfusinya nanti pas lagi dioperasi,” kalau yang ini kukenal, suara dokter Indah.
“Nanti jam sembilan kan darahnya sudah ada di PMI Pusat. Cepat diambil sama keluarganya, ya Bu.” Suster Faridah tahu-tahu sudah muncul di hadapanku.
“Boleh aku minta waktu sebentar, ya Suster. Aku mau shalat dulu,” pintaku, setelah tak menemukan baju yang kuharapkan.
Ya, akhirnya hanya daster lusuh milik ibuku itulah yang bisa kukenakan, menggantikan baju tidur yang sudah lepek oleh keringat. Sudahlah, mungkin memang baju seperti inilah yang paling pantas untuk aku pergi operasi, gumamku kecut. Entah mengapa, tak terpikirkan olehku bahwa di ruang operasi kita akan ditelanjangi, paling ditutup selembar kain hijau steril.
Dokter Kris tiba ditemani seorang adik kelasnya. Kutahu itu, karena sebelumnya dokter muda itulah yang mencatat berbagai hal di statusku, melalui wawancara yang tak kenal waktu. Kusinggung sekali lagi, terakhir kalinya kurasa, perihal takaran darahku, dan kapan mereka akan memberiku transfusi darah.
Ia sudah membawa statusku, tentu telah diceknya pula laporan terakhir.
Maka, katanya dengan sangat meyakinkan, “Darahnya sudah bisa diambil jam sembilan. Keluarga Ibu nanti ambil darahnya, dan segera berikan kepada kami, ya Pak.” Haekal cepat mengiyakannya.
Sudahlah, tak perlu mengkhawatirkan apapun lagi!
Tepat pukul 07.20, suster Faridah dan rekannya mengeluarkan ranjangku dari kamar yang telah kuhuni dalam sebulan terakhir itu, diseling sepuluh hari di rumah. Kemudian rekannya mengatakan bahwa ia tak bisa mendampingi suster Faridah, karena ada tugas mengantar pasien lain di-USG.
“Dek, maaf, ya, bisa bantu?” Suster Faridah menanyai kesanggupan anakku.
“Baik, baik, insya Allah aku bantu!”
“Kita akan jalan sama-sama ke OK, Bu,” dokter Kris menjejeri suster Faridah.
Ranjang bersama diriku yang telah pasrah sumerah itu pun didorong dari lantai 8 menuju ruang operasi di bawah. Dengan lift terasa sangat singkat, tahu-tahu sudah keluar dari bangunan A. Kami kemudian menyusuri lorong-lorong, berpapasan dengan orang-orang yang sedang ada urusan di rumah sakit ini.
Ini bulan suci Ramadhan, nanti malam adalah malam Nuzulul Quran, gumamku. Aku masih mengingatnya, dan sama sekali tak sudi kehilangan ingatan setelah dioperasi nanti!
“Kenapa, Ma, melihatin langit melulu?” usik Haekal, agaknya matanya tak pernah lepas dariku, dan memperhatikan segala gerak-gerikku.
“Oh, tidak apa-apa, langitnya cerah, biru bening, sama sekali tidak ada awan,” sahutku, berusaha keras menyembunyikan kegalauan hatiku.
Mungkin saja ini terakhir kalinya aku bisa menatap langit-Mu, ya Allah!
Jangan bersedih, tersenyumlah menghadapi apapun!
Ya, sungguh, aku ingin menikmati saat-saat ini untuk menatap langit dengan segala keindahannya. Aku pun tetap membasuh dadaku, perutku, lambungku, semua organ tubuhku dengan zikrullah.
Tiba di OK, ternyata ada dokumen yang belum disertakan dalam statusku. Suster Faridah segera turun tangan, beberapa saat aku dibiarkan menunggu di depan pintu OK yang terasa dingin dan lembab itu. Waktu yang masih kumiliki ini kumanfaatkan untuk memberi pesan-pesan kepada anakku Haekal.
Agaknya hanya wajah anakku Haekal yang terakhir kulihat sebelum masuk OK. Kulihat pasien-pasien lain diantar oleh rombongan keluarganya, ada acara tangis-tangisan segala. Seakan-akan itulah saat terakhir mereka melihat sang pasien.
“Nak, jadilah seorang khalifah yang baik untuk istri dan anak-anakmu, ya.”
“Ya, Ma….”
“Titip Butet, ya Bang, kalau Mama tidak ada lagi….”
“Iya, Mama, iya….” Wajah yang mirip ayahnya itu tampak menahan kepedihan. Ia melepas kacamatanya, jelas kulihat air matanya menggantung di sana.
“Ada beberapa naskah novel yang belum selesai di laptop Mama. Kalau Mama tidak pulang lagi nanti, tolong, ya, diselesaikan saja sama Abang….”
“Mama, jangan ngomong  begitu. Mama pasti kuat, pasti sehat kembali. Ingat si Zein, si Zia, Ma. Mereka butuh Manini. Sudah, ya Ma, mending zikir lagi.”
“Titip juga Oma, ya, kasihan dia sudah sepuh….”
“Iya, Mama….”
“Titip Tante Rosi dan anak-anaknya….”
“Sudah, Mama jangan banyak pikiran lagi.”
Ketika air mataku hampir tak terbendung lagi, maka cepat-cepat kututup mulutku. Ya, sebaiknya jangan ngomong apapun lagi.
Zikrullah, zikrullah, zikrullah!
Setelah menunggu sekitar 15 menit, suster Faridah kembali dengan dokumen yang dibutuhkan.
“Ini jaminannya, ya Dek. Harus dipegang sama keluarganya, jangan dikasihkan sama mereka. Ini akan dibutuhkan nanti kalau butuh obat waktu dioperasi,” entah apalagi yang dikatakannya kepada anakku Haekal.
Belakangan, kutahu Haekal melupakan pesan itu. Ia tidak memegang jaminan Askes yang sudah disetujui managmen rumah sakit. Ketika petugas OK mengambilnya, ia tak bisa memintanya kembali.
Ketika di ICU dan aku membutuhkan obat-obatan yang selangit harganya, ia pun harus membelinya. Beruntunglah, dana yang dikucurkan oleh Ustadz Bobby Herwibowo dan jamaahnya tersedia di ATM-ku. Entah bagaimana pula jadinya jika kita tidak memiliki persediaan uang yang (seharusnya!) lebih dari cukup.
Aku diminta mengganti baju dengan pakaian khusus pasien yang akan dioperasi. Baru kusadari aku tak melihat lagi sosok dokter Kris dan rekannya. Mungkin mereka sudah masuk lebih dahulu.
Pukul 07.55, namaku dipanggil untuk segera masuk ke ruangan operasi. Kusalami suster Faridah dan sekali lagi kuminta maaf lahir batin, karena telah merepotkannya.
“Ini HP Mama, Nak, titip ya. Oya, ambil dulu, potret Mama, Nak!” pintaku sambil menyerahkan ponsel kepada anakku.
“Mama ini kok sempat-sempatnya,” komentarnya tersipu sebab ditontoni beberapa orang. Namun, tak urung ia mengabadikanku, lengkap dengan baju operasiku, sebagai kenang-kenangan. Jepreeet!
Kemudian Haekal mencium tanganku, aku balas mencium ubun-ubunnya, kutiupkan seluruh napas doa dan restu yang kumiliki untuknya.
Entah mengapa, sempat terlintas lakon kami berdua, saat berpisah dengan ayahnya. Berdua ke mana-mana, sejak ia masih bayi merah sampai empat tahun. Lakon itu, lagu kepedihan itu, seketika berseliweran di tampuk mataku, semuanya bagaikan slide-slide sejarah kehidupan kami.
Kamu benteng hati Mama, Anakku!
“Ayo, Bu, sudah saatnya, ikut aku, ya,” kata seorang perawat, memintaku turun dari ranjang milik lantai 8 itu.
“Ya, Suster, terima kasih.”
Sekilas masih bisa kupandangi wajah anakku yang kusayang. Selamat tinggal, Anakku, semoga kita masih bisa jumpa, gumamku membatin. Kupandangi terus sosoknya hingga pintu itu tertutup, dan aku dibimbing memasuki ruangan dalam. Suster itu memperlakukanku dengan santun dan segala keramahannya. Ia bertanya pula dengan lemah-lembut sekali. Tumben!
Mungkin karena ia sedang berhadapan dengan calon jenazah, ya?
Aku diminta naik ke atas brankar yang sudah mereka sediakan.
“Pindah ke sini, ya Sayang….” Nah, dengarlah!
Siapa coba yang mau memanggil si Manini itu dengan sebutan; Sayang?
Tak berapa lama kemudian, perawat itu menyerahkanku kepada dokter muda yang segera menghampiriku, dan memeriksa statusku dengan cermat.
“Oke, Suster, biar aku ambil alih. Terima kasih, ya Sus,” katanya seolah-olah sedang serah terima barang saja.
“Sama-sama, Dokter, selamat bertugas,” sahutnya sambil lalu, sempat pula menyalamiku dan berkata: ”Semoga lancar dan sukses operasinya, ya Bu….”
Aku terdiam dalam nuansa yang aneh, sehingga tak sempat membalas salam terakhir suster. Aku hanya mengaminkannya di dalam hati.
Dokter muda itu mulai mendorong brankarku, memasuki pintu, dan melintasi lorong, koridor. Rasanya ruangan di sekitar kami semakin hening, senyap dan mencekam. Hanya ada bunyi dengung yang khas, mungkin suara pendingin, entahlah.
Barangkali seperti inilah rasanya pesakitan yang hendak dibawa ke tiang gantungan, pikirku. Mataku terus mencermati suasana di sekitarku. Hawa dingin langsung menyergap, bau obat-obatan pun menyengat hidung. Dinding-dindingnya, aku tak yakin itu terbuat dari tembok, beton ataukah bahan lainnya, pasti kedap suara.
“Ini pasien nomer 3, Dokter, dengan splenektomi-laparaskopi kholelitiasis,” cetusnya tiba-tiba, cukup mengagetkanku yang sedang asyik menerawang.
Apa katanya? Hanya disebut sebagai nomer 3, bukan nama? Mengapa harus begitu? Apa aku ini memang seperti pesakitan, narapidana?
“Langsung saja ke sini, dokter Mira!” seseorang memanggil dengan santainya dari sebuah ruangan.
Brankarku dibawa masuk ke sebuah ruangan yang banyak peralatan canggih. Di sini sudah ada dua orang dokter muda dan dokter Ari. Ya, dialah agaknya yang akan mengepalai tim bedahku.
Ia seorang lelaki muda berumur 30-an, wajahnya persegi dengan model rambut seperti anggota intel. Ia duduk di kursi tinggi, seperti kursi di kafe-kafe, sepenggal perbincangan dengan seorang dokter perempuan masih kuingat jelas; mereka bicara tentang Blackberry dan Facebook!
Para dokter muda, asisten dokter Ari, segera sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang menyiapkan peralatan bedah, ada yang sibuk mengganti selang infusku dan entah apalagi. Pokoknya, serba sibuk!
Kudegar suara dokter Kris. “Ini nanti dikemanakan, dokter Ari?”
Dokter Ari menyahut ringkas, “ICU dong!”
“Kalau begitu, ini tanda tangani dulu, ya Dok. Biar tempatnya di ICU segera diurus sama keluarganya.”
Artinya, mereka begitu yakin bahwa operasi ini akan sukses, pikirku.
Ya, aku akan selamat dan dipindahkan ke ICU untuk beberapa waktu. Setelah kondisiku stabil tentu aku pun akan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Mungkin kembali ke lantai 8. Semudah itukah?
La haola wala quwatta illa billahi aliyyul adziiiim….
Beberapa jenak mereka pun bergantian menanyaiku, masih tak jauh berbeda dengan pertanyaan yang pernah dilontarkan baik oleh dokter Iin maupun dokter Kris. Mereka sempat mendiskusikan penyebab timbunan batu di kandung empeduku. Istilah-istilah kedokteran seketika berseliweran di kupingku.
“Pindah sini, ya Bu. Eh, jangan bergerak! Maksudku, biar saja Ibu tidak perlu bergerak. Biar kita yang melakukannya.”
Aku melanjutkan berzikir dalam hati: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbaaar….”
Mereka mengangkat sepreinya berikut tubuhku dan: “Satu-dua-tigaaaa!”
Maka, aku pun telentang sudah di meja operasi. Dipasangi lagi abocatdi  tangan kanan. Jadi, sekarang sudah ada dua abocat dan selang infus di tubuhku, mungkin salah satunya nanti untuk transfusi.
Aku terus berzikir, kali ini: “Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Rahman, Ya Rahim….”
“Ini kita masukkan obat biusnya, ya Bu,” kata seorang dokter muda, menusukkan spuit jarum ke selang infusan di tangan kananku.
Aku hanya mengangguk, lebih suka memusatkan segenap jiwa dan ragaku untuk zikrullah. “Allah, Allah, Allah….”
Mataku masih bisa merasakan, ada yang melolosi baju operasiku, menggantinya dengan selembar kain putih. Aku juga masih bisa melihat dokter Ari mendekat, dokter lainnya menarik semacam kamera ke arahku. Sementara dua dokter lagi semakin sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Bunyi-bunyi aneh mulai menyergap gendang pendengaranku. Betapa aku ingin merekam semuanya ini, andaikan aku bisa, pikirku. Namun, aku sungguh melupakan satu hal, yakni tidak memberi tahu mereka tentang gigi-gigi palsuku.
Ya, salah siapa coba?
Tak ada seorang pun yang memberi tahu kepadaku tentang hal ini.
















Mengais Rezeki Berdua Anak

$
0
0

Mengais Rezeki Berdua



 Hari demi hari kulakoni takdirku berdua anakku semata wayang, sebagai seorang ibu, seorang janda, seorang penulis, single parent… Telah banyak air mata tertumpah, maka tak ingin lagi kubuang waktu percuma!
Berdua anakku, aku akan mengetuk satu demi satu kantor redaksi, menjajakan karya-karyaku berupa; cerpen, artikel, cerita bersambung dan novelet. Minimal dua kali dalam sebulan, aku melakukan aktivitas serupa itu. Melahirkan karya-karyaku di pavilyun, kemudian menjajakannya ke berbagai media di Bandung dan Jakarta.
Suatu kali telah kupersiapkan keberangkatan ke Jakarta untuk mengantar naskah, sekalian mengambil honor di beberapa kantor redaksi. Saat ini anakku berumur dua setengah tahun, sudah kumasukkan ke sebuah playgroup. Dia mulai bisa membaca meski terbata-bata, menghapal lusinan lagu, dan beberapa surah pendek serta doa singkat.
Di TK Yakap Jaya, Haekal mengembangkan kecerdasan dan kemandiriannya lebih menonjol jika dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Dia bahkan melampaui tingkat kecerdasan anak-anak yang lebih tua dua-tiga tahun. Terbukti dari wawasan pengetahuan yang dimilikinya jauh di atas rata-rata dengan IQ 131.
Dia mudah sekali menghapal berbagai cerita yang pernah kukisahkan setiap malam. Kemudian dia akan menceritakannya kembali dengan bahasanya sendiri, ditambah rekaannya pula. Dia bisa menjawab dengan cepat perkalian 2, 5, 10 dan perkalian angka yang sama umpamanya; 25 X 25, 35 X 35, 45 X 45, 55 X 55 dsbnya. Dia juga hafal sebagian besar cerita pewayangan, Asterix, Deni Manusia Ikan dan mitologi Yunani.
“Bagaimana Teteh, jadi berangkat sekarang?” bertanya adikku Ed yang selalu perhatian. “Kelihatannya dia demam…”
Dia memandangi wajah anakku yang memang tampak memias. Sejak sore memang demamnya tidak turun-turun, meskipun aku telah memberinya obat penurun panas. Aku mengangkat tubuhnya yang telah kubalut baju hangat, kaus kaki tebal dan penutup kepala.
“Yaaah… maunya sih kutinggal, tapi malah nanti merepotkan kalian,” kesahku, mengingat di rumah hanya ada empat adik dan seorang nenek.
Kedua orang tuaku tinggal di rumah adikku En di Cibubur. Sebab bapak masih dinas di Kodam Jaya. Kutahu bapak sedang mengalami kesulitan keuangan, seorang adik kuliah, dua di SMA, dua lagi di SMP. Kutahu pula En telah banyak membantu, bahkan berkorban demi keluarga. Maka, sedapat mungkin aku jangan pula ikut menambah beban orang tua.
“Ayo sini, dijampe dulu sama Um Ed, ya,” hibur adikku sambil menggendong anakku.
Kubiarkan dia menenangkan anakku, sekaligus membantuku menyiapkan susunya. Adikku Ed seorang aktivis Rohis, pengurus remaja masjid Agung dan mushola di belakang rumah kami.
Setelah sholat tahajud, aku pun minta diantar Ed ke jalan raya Tagog untuk mencegat bis ke Jakarta. Ed membawakan keranjang berisi bundelan naskah, yang berbaur dengan baju salin dan susu anakku. Kugendong dan kupeluk erat-erat anakku sambil membisikkan semangat di telinganya.
“Kita akan ke Jakarta, Nak. Sehat, ya Nak sayang, jangan keterusan sakit. Kita akan mencari nafkah untuk makan besok, lusa, lusa, lusa dan lusanya lagi… Pokoknya kita harus semangaaaat!”
Niscaya tiupan semangatku kali ini kacau-balau!
Tapi kulihat wajah anakku menjadi tenang setelah kuminumi sebotol susu. Sesungguhnya hatiku kebat-kebit, diliputi kebimbangan dan was-was. Persediaan susunya tinggal sedikit, hanya untuk satu kali minum lagi. Demikian pula aku tak memiliki obat lagi untuk menurunkan demamnya.
Kondisi keuanganku sungguh pailit, bahkan untuk ongkos pun aku terpaksa harus meminjamnya dari nenekku. Simpananku terkuras untuk pengobatanku beberapa bulan sebelumnya, akibat terlambat ditransfusi kondisiku menjadi parah, malah terjadi komplikasi. Karena tak ada Askes lagi, maka aku harus menanggung seluruh biaya pengobatan itu sendiri.
“Baiklah, kita berangkat sekarang… lahaola wala quwwatta ila billahi aliyyul adzim,” gumamku saat kami meninggalkan rumah.
Kuredam segala keresahan, kusingkirkan semua kekhawatiran itu jauh-jauh. Tak mungkin kuurungkan lagi, mustahil pula menanti terus bantuan dari orang tua.
Tidak, memang harus mencarinya sendiri!
“Nah, itu bisnya, Teteh, hati-hati ya… Jangan lupa banyak zikir dan berdoa,” pesan adikku Ed, menghentikan bis dan menyerahkan keranjang bawaanku kepada kernet.
“Iya, jaga adik-adik dan Emih,” sahutku, Emih adalah nenek kami dari pihak bapak.
Pukul dua dinihari, sekilas kucermati di dalam bis itu hanya diriku yang berjenis kelamin perempuan. Selebihnya kaum laki-laki yang sebagian besar tengah menghisap rokoknya dengan nikmat. Dalam sekejap saja anakku langsung terbatuk-batuk hebat!
Aku segera disibukkan dalam upaya menenangkan anakku, bahkan sebelum sempurna posisi duduk kami. Aku memberinya minum, menggosok dada dan punggungnya dengan minyak kayu putih.
“Mama, apa… Etan bakal mati abak ebek, kayak bapak Etan, ya Ma?” ujar anakku tiba-tiba sesaat batuknya berhenti.
Untuk beberapa jenak mulutku bagaikan mengejang, lidahku mendadak kelu. Di bawah cahaya lampu jalanan yang menyelinap melalui jendela, dan jatuh ke wajah anakku dalam pangkuanku di bangku barisan belakang…
Aku pandangi lekat-lekat wajah mungil yang telah menjadi korban egoisme dan kezaliman bapaknya itu. Selama perpisahan tak sepeser pun yang pernah dikirimkan bapaknya kepada anak ini. Luar biasa!
“Tidak, aku tidak melihat pertanda kematian, tidaaaak!” jeritku dalam hati dan otak yang nyaris mendadak gila.
“Mama… jangan nangis, Etan gak mau nanya apa-apa lagi. Etan janji, Mama, sudah ya…. Ceppp, ceeep,” suara kecil itu di telingaku bagaikan sayatan sembilu, memedihkan kalbu.
Tanganku refleks menghapus butiran bening yang sempat membuncah deras tanpa kusadari. Kurasai pula jari-jemari halus ikut merayapi pipi-pipiku, menghapus segala resah, seluruh dukalara yang menyungkup hati.
“Dengarlah, Nak, Cinta,” bisikku selang kemudian di telinganya. “Mama pastikan, kita akan baik-baik saja dalam perjalanan ini… Tuhan beserta para malaikat-Nya akan memelihara kita, insya Allah!”
Anakku tersenyum senang, walaupun suhu badannya masih panas. Namun, kutahu dia kemudian tertidur lelap dalam pelukanku. Mujurlah, kami mendapatkan bangku kosong di sebelah, jadi aku bisa membaringkan anakku dengan leluasa.
Pukul tujuh pagi kami tiba di terminal Cililitan, kuperiksa keadaan anakku masih tetap seperti saat kami berangkat. Demamnya malah semakin tinggi, aura panas begitu menyengat dari sekujur tubuhnya. Dan dia mulai terdiam, segala keriangan, semua kecerewetannya yang senantiasa menjadi pengobar semangat hidupku itu…
Duh, ke manakah gerangan ceriamu, Anakku, jangan diam saja, jeritku membatin sambil menahan tangis.
“Minum, haus, minum, Ma…” rengeknya tiba-tiba.
“Baik, ini minumlah yang banyak, ya Nak…” kuberikan botol susunya, hanya sekali minum lagi.
Dia meminumnya sampai tandas, jantungku serasa berdebur kencang. Uang yang ada di tangan tinggal untuk minum air putih dan sekali ongkos ke kantor redaksi Selecta.
“Habis Ma… Etan gak mau minum lagi. Nanti Mama nangis, susah deh… Etan mau bobo aja, ya Ma…” ceracaunya, mungkin mengigau tapi masih mencemaskan ibunya.
Aku menggendongnya erat-erat sambil menenteng keranjang. Biasanya anakku tak mau digendong sebab dia tahu bahwa ibunya penyakitan, dan limpanya membengkak. Menyadari ketakberdayaannya dan kepapaan diriku, ada ketakutan yang meruyak batinku.
Ah, jangan pernah menyeraaaah!
Maka kunaiki sebuah mikrolet jurusan Senen, dari situ aku akan mencari kendaraan jurusan Tanah Abang, ke kantor redaksi Selecta Group tujuan utamaku. Sesungguhnya membawa anakku dalam keadaan sakit bukan yang pertama kalinya. Setahun sebelumnya pun kugendong-gendong dia dalam kondisi muntaber. Sempat kejang-kejang, metromininya dibakar massa….
“Saat itu juga kita berhasil selamat kan, Nak,” gumamku di telinganya. “Sekarang pun kita harus selamat. Sabar, ya Nak, sebentar lagi kita akan sampai di kantor sahabat-sahabat Mama…”
Rasa terbakar kemudian meruap dari sekujur tubuh anakku, tatkala kami turun di sebuah halte kawasan Senen. Sempoyongan kugendong anakku menuju warung. Kuminta obat penurun panas, tapi pemilik warung bilang tidak ada. Beberapa jenak otakku berusaha keras untuk mengambil tindakan penjagaan demi keselamatan anakku. Maka kukitarkan pandanganku ke sekeliling kami. Di mana ini? Tiba-tiba aku baru menyadari keberadaan kami…
Oh, Tuhan, bukankah ini di halte seberang kantor ayah anakku? Ya, itulah Departemen tempatnya bekerja!
“Bu, Ibu… Maaf, ganggu sebentar, bisakah saya minta tolong?” tanyaku agak panik kepada seorang ibu berseragam, mengingatkanku akan seragam ayah anakku.
Ibu paro baya itu berhenti dan memandangiku, kemudian dia melirik anak yang kugendong dengan mimik terganggu.
Adaapa? Kamu siapa?” tanyanya ketus.
“Mmm, begini Bu… Ayah anak saya ini pegawai di Departemen yang sama dengan Ibu, saya yakin begitu… Bisakah Ibu bantu saya…”
Tiba-tiba aku tak tahu mau minta bantuan apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh lelaki itu? Lelaki yang selalu menghina, mengasari, melecehkan kehormatan diriku selama menjadi istrinya? Tahu-tahu dia sendiri bermain-main dengan berbagai perempuan nakal saat istrinya sakit, dan sama sekali tidak perlu mengakui itu sebagai suatu kekhilafan? Bahkan ditudingnya diriku sebagai penyebab tindakan zalimnya itu?
“Cepetaaan… mau ngapain sama suami kamu itu?” tanyanya pula semakin ketus dan tidak sabaran.
“Eee, dia bukan suami saya… mantan… tapi jelas dia ayah anak ini,” sahutku tergagap dan kian panik demi menyadari anakku seperti tak berkutik lagi?
Ada seleret senyum sinis di bibir perempuan itu. “Aha, bilang dari tadi kalau kamu cuma jandanya!”
“Iyyaa… sebetulnya…”
Kutelan segala luka yang menghunjam dada.
“Demi anakku… Demi Tuhan, apapun rela kulakukan!” pikirku sambil menggemeretakkan gerahamku.
Aku pun tergesa-gesa mencari secarik kertas di antara bundelan naskah, kemudian kutuliskan pesanku. Intinya meminta keikhlasan lelaki itu agar datang ke halte, ikut membantu kesulitan yang tengah kuhadapi. Kuserahkan kertas agak kumal itu kepada rekan kerja ayah anakku, kuyakin demikian.
“Ya sudah, tunggu saja di sini! Gak janji bisa bantu loh…”
Seharusnya kumaknai kalimatnya itu sebagai suatu penolakan. Namun, entah mengapa otakku mendadak buntu, maka bagaikan orang dungu kunantikan bantuan itu tiba sambil memeluk erat-erat tubuh anakku.
“Minum… Etan mau minum lagi, Ma…” ringik anakku berulang kali. Aku pun berkali-kali bangkit, meninggalkannya sejenak, membelikannya air putih.
Menyadari betapa bolak-baliknya diriku membelikan minuman, pemilik warung itu tergerak hatinya. Dihampirinya kami sambil membawakan seteko air putih, dan sebuah cangkir plastik.
“Kenapa? Anaknya sakit, ya Neng?” tanyanya dengan kesungguhan dan penuh perhatian.
“Eee… iya Bang, demam…” Kurasai benteng pertahanan di susut-sudut matanya nyaris jebol.
“Demam begini memang kudu banyak minum, Neng. Ya sudah, jangan dibayar, minum saja sepuasnya, Neng… Nih, kalau kurang bilang aja lagi, ya Neng. Moga-moga cepet baekan deh,” kata lelaki kurus berbaju kumal dan dekil, tapi kentara sekali keramahan dan ketulusannya membantu sesama.
Setelah satu jam berlalu dan aku menyadari kesia-siaan menanti, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Keajaiban pun terjadi, kondisi anakku mulai membaik dan semakin membaik. Terbukti dari keringat yang mengucur deras, kencing berkali-kali yang kutampoung dalam kantong kresek. Kemudian kulihat wajahnya mulai kemerahan, gerak-geriknya tampak ringan.
“Mama… kita mau ambil honor nih?”
Ya Rob, terima kasih, akhirnya dia mulai lagi cerewet!
“Iya Nak, kita akan ambil honor Mama… Banyak loh nanti uangnya,” sahutku menahan keharuan yang buncah.
“Banyak, ya… kira-kira nantio bisa buat beli buku cerita?”
“Bisa, tentu saja bisa sekali… Makanya, doakan saja biar mereka mau kasih honor Mama itu semuanya…”
“Iya deh, Etan pasti mau doain!”
Tak pernah kusangka, perkataannya itu ternyata dia buktikan dengan tindakan. Begitu kami sampai di kantor redaksi, Jalan Kebon Kacang, dia langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Tanpa bisa kucegah lagi, dia kemudian duduk bersila, tepat di pintu bagian keuangan!
“Bismillahirrohmanirrohiiiiim…”
Surat Al Fatihah pun mengalir dengan fasih dari mulutnya. Usai itu dilanjutkan dengan suratAl Ikhlas…
Ya Tuhan, apa yang dilakukan anakku? Kelakuannya sungguh mengingatkanku kepada santri yang suka berkeliling kampung, meminta sumbangan dari warga…
Dalam hitungan menit para karyawan dari semua ruangan telah berkumpul, kemudian mengerumuni kami berdua. Tak tahan hatiku melihat pemandangan yang mengenaskan itu, kuhampiri anakku dan membangunkannya.
“Pssst, sudah Nak, honornya sebentar lagi dapat kok. Sudah, ya,” bujukku.
Tanpa kuduga pula seketika dia berteriak sambil berjingkrak-jingkrak, menggemaskan sekali.
“Horeeee! Honornya udah dapat! Makasih, makasih, makasiiiih… Ya Alloooooh…”
Bapak Syamsuddin Lubis biasanya akan mengajaknya masuk ke ruangannya. Memberinya banyak cokelat dan makanan kaleng, oleh-oleh dari Singapura atau Malaysia. Dia memanggilnya dengan sebutan; Ucok.
“Kenapa Etan dipanggil Ucok, Ma?” tanyanya ketika kami telah meninggalkan kantor redaksi itu menuju Pasaraya Sarinah.
“Mmm…” Tentu saja aku harus berterus-terang tentang asal-usulnya, pikirku.
“Ya, Ma?” desaknya kulihat matanya ingin tahu.
“Yah, karena ayahmu itu orang Batak bermarga Siregar. Biasanya anak laki-laki Batak itu suka dipanggil Ucok,” sahutku.
“Mmm… gitu, ya Ma… Emang bapak Etan di mana, Ma?”
“Iya… eh, kan lagi kerja di Jakarta…”
“Ini di mana kita, Ma?”
Jakarta…”
“Naaah… ayo kita ketemu bapak Etan, ya Ma, ya?”
Oooh, anakku… kamu tak tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Mulutku terkunci rapat, kupandangi wajahnya yang mulai memperlihatkan bentuk persegi. Ya Tuhan, mengapa begitu miripnya anak ini dengan ayahnya? Seumur hidupku, kurasa, keduanya takkan pernah mampu kulupakan.  Bahkan meskipun segala derita harus kutanggung.
“Dengar, ya Nak Cinta,” aku membungkuk dan mengusap-usap kepalanya. “Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan ketemu bapakmu lagi...”
“Gak sekarang, ya Ma?” pintasnya sambil cengengesan. Aku mengiyakan. “Ooh… ya sudah! Sekarang mah kita jadi beli buku cerita saja, ya Ma, ya? Kan Mama udah dapat honor…”
Sosoknya yang imut-imut itu segera melesat ke rak buku begitu kepalaku mengangguk. Aku geleng-geleng kepala nyaris tak memercayai, rasanya belum lama dia panas, dingin dan menggigil silih berganti dalam pelukanku.
***






Catatan Cinta Ibu dan Anak

$
0
0




Catatan Cinta Ibu dan Anak




Usia anakku tiga tahun setengah ketika kisuh-misuh dalam keluarga besar SM. Arief terjadi. Adikku En bercerai, anaknya semata wayang dititipkan di Cimahi, dan diasuh oleh ibuku. Sementara ayahku sakit-sakitan dan menjelang masa purnawirawan.

“Adikmu mau meniti karier dulu. Kasihan, biar dia melupakan perceraiannya,” berkata ayahku. “Di Jakarta anaknya kurang terurus, kita tak bisa mengandalkan seorang pembantu…”

Tentu saja aku pun ikut prihatin dengan kondisi adikku. Perceraiannya lebih merupakan hasil jebakan dan puncak intrik yang dilakukan oleh istri tua. Tapi keprihatinanku tidak membuatku menyetujui En mengambil sikap untuk menjauhkan anaknya dari dirinya.

“Apa enak hidup terpisah dengan anak semata wayang?” tanyaku saat mendiskusikan situasi yang kami hadapi. Sama menyandang predikat janda, single parent.

“Gak lah, tapi aku kangak bisa konsen kerja kalau harus sambil urus anak,” kilah En. Dia kelihatan tegar dan siap berjuang mempertahankan anaknya… apapun yang terjadi!

“Mengapa tidak kita urus bersama saja anak-anak kita ini?”

“Maksudmu?”

“Kalau Teteh mau mengembangkan karier memang harus pindah ke Jakarta,” tegas En.

Entah siapa yang memulai, tapi yang jelas kemudian aku dan En menjadi lebih kompak. Sehingga aku memutuskan pindah ke Jakarta, menempati rumah yang terletak di sebelah tempat tinggalnya. Ternyata di situlah aku kembali bertemu ayah anakku. Dia tampak kurus, sekilas kelihatan lebih dewasa dan sangat perhatian terhadap Haekal.

Beberapa kali bertemu, aku mulai mempertimbangkan  untuk membuka kesempatan kedua bagi kami bertiga; suami, anak dan diriku. Karuan keputusanku ini membuat adikku En berang sekali.

“Ya sudah, kalau memang gak mau diurus, biar saja hidup mandiri di luar sana!”

“Gak ada yang gratis di dunia ini!”

“Semuanya harus dibeli dengan perjuangan, air mata dan darah!”

Dan banyak lagi perkataannya yang beraroma kapitalis, hitung-menghitung untung dan rugi. Aku tak meladeninya. Yang terpikirkan olehku saat itu adalah bahwa memang sebaik-baiknya seorang anak hidup dengan kedua orang tuanya.

Aku telah merasakan bagaimana berat dan rumitnya melakoni kehidupan menjanda, menanggung beban itu seorang diri. Bahkan belakangan aku pun harus menanggung beban orang tua, ikut membiayai adik-adik dan membayari utang ibuku kepada rentenir.

Beberapa peristiwa urusan sakit dan pengobatanku pun harus kulewati seorang diri, ya, hanya ditemani anakku. Puncak kekecewaanku adalah saat aku sangat membutuhkan biaya untuk berobat, uang yang kutitipkan kepada ibuku ternyata sama sekali tak bisa kuminta kembali. Sehingga berhari-hari aku harus merasakan kesakitan pada limpa, lemas yang tiada terkira, terkapar seorang diri, hanya ditemani anakku yang masih Balita.

“Baiklah, semuanya terserah kepadamu,” berkata ayahku yang tampak mulai lelah, karena harus beberapa kali keluar-masuk rumah sakit dengan penyakitnya, urusan urologi yang sudah kronis.

Sebelum resmi rujuk, aku membawa anakku pindah ke sebuah rumah sewa milik seorang ulama terpandang di Cibubur. Rumah sewa itu berukuran empat kali lima, sebuah kamar, ruang depan, kamar mandi dan tanpa dapur. Beberapa bulan lamanya, di sinilah kami berdua tinggal.

Suatu malam di musim hujan, pukul dua dinihari tiba-tiba air masuk dari lubang-lubang (baru kusadari keberadaannya) di tembok yang menghalangi kamar dengan rumah sebelah. Aku tersentak karena anakku sudah terbangun lebih dulu, kemudian mengguncang-guncang tanganku.

“Mama, kata orang ada banjir,” bisiknya dengan sorot mata ingin tahu dan penasaran.

Samar-samar memang kudengar suara gaduh di luar. Agaknya sungai kecil di belakang kompleks perumahan sewa ini meluap. Aku meloncat dari dipan bertingkat, gegas kunaikkan jagoan kecilku itu ke bagian atas, dan aku berpesan wanti-wanti kepadanya.

“Diam-diam di sini, ya Nak, Cinta…”

“Mama mau ke mana?”

“Mama mau lihat keadaan sebenarnya.”

Tapi akhirnya aku tak sempat lagi melihat-lihat, karena air bagaikan bah menerobos masuk, dalam hitungan menit pun sudah melewati paha. Kuselamatkan barang-barang kami yang tak seberapa. Sesungguhnya yang berharga bagiku hanya mesin ketik, baju, sedikit makanan kering dan buku-buku.

“Mama, itu si Mot Monyet! Duh, basah, kasihan!” seru Haekal menunjuk-nunjuk buku favoritnya, serial Mot Monyet yang sudah mengambang di atas permukaan air.

Aku memungut dan memberikannya sambil kubujuk bahwa buku favoritnya pasti bisa diselamatkan. “Kita akan menjemurnya kalau hari sudah terang, ya Nak.”

“Makasih…” gumamnya seraya memandangi gambar Mot Monyet yang mendelong kosong ke arahnya.

Aku memalingkan wajah dan mulai berpikir keras untuk sebuah penyelamatan, tanpa harus membekaskan luka dalam jiwanya. Sementara di luar hujan semakin deras, air kian meluap memasuki rumah petak kami.

“Lahaola walla quwwata ila billahi aliyyul adziiim…” Maka kusingsingkan lengan baju dan mulai berjibaku.

“Hujan datang, hujan datang, banjirnya. Tuhan, jangan lama-lama hujannya. Jangan lama-lama banjirnya, kasihani Mama, kasihani Ekal, kasihani kami, duaan!” celoteh anakku.

Sementara aku berjibaku menyiuki air, membuangnya ke luar rumah, anakku terus berseru-seru menyemangatiku. Kadang aku mendatanginya, mengingatkan agar tidak berisik, kemudian kubuatkan perahu-perahu dari kertas. Dia mempermainkannya dari atas ranjang tingkat dua itu dengan sapu lidi sebagai pengaitnya.

Dua jam berlalu sudah, hujan masih turun bahkan semakin deras, dan air tetaplah bergeming. Keringat, peluh, banjir dan air mata mulai mengaduk-aduk perasaanku. Inilah saat-saat  paling sengsara yang belum pernah kami alami.

Ketakutanku sesungguhnya lebih disebabkan sebuah tanggung jawab yang harus kupikul, demi menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku harus jujur, sesungguhnya aku merasa takut sekali tak sanggup menunaikan amanah yang telah diberikan Sang Pencipta di pundakku ini; anak!

Pikiranku serasa buntu dan membeku. Lelah lahir, lelah batin. kupandangi wajah mungil yng kini tampak kelelahn pula, sepasang matanya balik menatap sayu ke arahku, tapi mulutnya sudah berhenti mengoceh sejak beberapa saat berselang.

“Sudah ya Ma, sudah, sini, kita doa aja,” ajaknya tiba-tiba.

Di situlah, di atas ranjang tingkat, mengisi waktu menjelang subuh, aku memeluk tubuh kecil sambil mulutku tak putus berzikir dan berdoa.

***



 Seminggu hujan turun terus-menerus, air bagaikan dicurahkan dari langit. Banjir di mana-mana, meluap di kawasan perkampungan belakang kompleks perguruan Islam milik ulama besar itu. Berkali-kali air datang di malam hari, kemudian surut menjelang siang.

Acapkali kami berdua sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah air masuk, atau menyiukinya saat banjir datang. Paling kami hanya memandangi pemandangan ajaib itu dari ranjang bertingkat selama berjam-jam, tak jarang harus menahan rasa haus dan lapar hingga air surut kembali.

Suatu petang yang terbebas dari hujan, saat kami sudah kehabisan bekal, tak ada makanan kering, tak ada beras sebutir pun. Kocek pun kosong sama sekali!

“Mama, gak punya uang lagi, ya?” usik anakku.

Sepanjang hari itu hanya kuberi semangkuk bubur pemberian tetangga, dan beberapa potong kue basah.

“Iya, Nak. Baru besok pagi kita bisa ke kantor redaksi mengambil honor,” sahutku sambil berpikir keras, bagaimana mendapatkan makan untuk mengganjal perutnya malam ini.

“Kenapa besok?”

“Yah, karena naskahnya belum jadi nih.”

Tidak, bukan itu alasannya. Aku tak punya ongkos!

“Oh…” kesahnya mengambang di antara genangan air di bawah kami. Kutahu dia mulai tersiksa dengan bunyi lagu keroncong yang setiap saat diperdengarkan oleh perut kami.

Aku kembali melanjutkan menulis cerita bersambung sambil menekan rasa bersalah yang meruyak. Kulihat sepintas makhluk kecil itu mulai mencari-cari sesuatu untuk melampiaskan pikiran dan perasaannya. Ya, kutahu persis demikian kebiasaannya!

Benar saja, begitu dia berhasil menemukan buku Mot Monyet dan robot-robotan Megaloman, maka dengan cekatan tangannya memainkan si robot.

“Alkisah di jaman sekarang, si Mega lagi musim kebanjiran jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”

Bibirku niscaya mengerimut menahan senyum.

“Emak si Mega lagi sibuk kerja, bikin cerita biar bisa dijual, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”

Bibirku niscaya kian mengerimut, menahan geli.

“Uangnya nanti bakal beli makananan anaknya, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”

Ah, anak ini bisa saja kalau sudah menghibur ibunya, pikirku. Jari-jemariku semakin sibuk ngebut menulis. Tinggal satu bab lagi dan selesai!

“Aduuuh, si Mega sekarang lagi kelaparan… jrek-jrek jrek jrek… duuuh, duuh…”

“Soalnya berhari-hari cuma makan bubur… jrek-jrek jrek-jrek… nnnn… mmm, mmm…”

Dadaku mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak terpengaruh. Jari-jemariku, pikiran dan perasaanku masih berkutat pada ending cerita tentang sebuah keluarga yang berbahagia…

Ya Rob, kuatkan anakku, jeritku mengawang langit. 

“Adduuh… Tuhan… Ekal kepingin makan… Tuhan… di mana makanannya?”

Aku masih melanjutkan menulis, tapi tak ada suara apapun lagi dari sebelahku. Kuhentikan berjibaku dengan si Denok, kulirik dalang jejadianku tersayang yang telah membuat ibunya merasa geli. Ya Tuhan, kenapa anakku, begitu?

Anak itu, buah hatiku tercinta, belahan jiwaku tampak menekuk kedua lututnya, memeluk robotnya erat-erat, sedang buku Mot Monyet sudah terlepas dari tangannya, mengambang di permukaan air yang menggenang di bawah kami.

“Naaak, Cintaaa, maafkan Mama, ya, maafkan Mama!” kuraih dan kupeluk tubuh mungil yang sudah tak tahan rasa laparnya itu erat-erat.

Ada gigilan yang aneh mengalir dari tubuhnya. Ya Tuhan, jangan, jangan biarkan anakku sakit. Jangan saat-saat begini, jangaaan!

Benteng pertahananku pun jebol sudah, air bening meluap dari sudut-sudut mataku, seolah-olah ingin menyaingi air banjir yang telah menggenangi tempat mukim kami selama berhari-hari.

“Ke mana kita, Ma?” lirihnya lemah saat kugendong dia dengan segala kekuatan yang masih kumiliki, tak peduli kusibak air sebatas lutut yang telah membuatku merasa terhalang untuk mencari nafkah lebih keras lagi.

“Pssst, diamlah, Nak. Kita berdoa, kita akan cari makanan,” bisikku di telingaku.

“Siiip!” serunya mengagetkan. “Turunkan Ekal, Ma, nanti limpa Mama sakit lagi,” pintanya pula serius sekali.

Berjalan kaki menembus tanah becek yang tiada terkira, kuperas otakku sedemikian rupa, bagaimana caranya mendapatkan makanan untuk anakku? Nah, ada warung nasi, tapi dari mana uangnya?

“Tunggu dulu di sini sebentar, ya Nak,” kulepaskan genggaman tangannya beberapa meter dari warung nasi itu.

Tanpa banyak tanya, ini sesuatu pengecualian, biasanya sangat cerewet, dia mengangguk, membiarkanku berlalu. Maka, kulempar segala perasaan malu, kudatangi pemilik warung nasi.

“Ibu, Ibu, hmm, maaf, bisa saya minta tolong ya Bu?”

Perempuan paro baya bertubuh subur itu memandangiku. Apakah dia masih mengenaliku? Adabeberapa kali aku membeli makanan ke sini.

“Ya, ada apa?” tanyanya.

“Saya butuh makanan, sebungkus nasi rames, ya Bu. Tapi bayarnya besok, ya Bu. Boleh, ya, Bu, boleh?”

“Ooooh…”

Tidak, kutekan terus rasa malu itu, mumpung tak ada siapapun selain si ibu.

“Ibu kan kenal saya yang nyewa di rumah Ustad Fahri. Nah, ini, kalau gak percaya, mmm, saya jaminkan KTP ini, ya Bu.”

“Oalaaa… Neng, Neng, ya wis… pake jamin-jaminan KTP segala,” tukasnya sambil tersenyum ramah.

“Tapi, saya emang lagi….” Kutelan air mata yang seketika terasa asin, dan berjejalan hendak tumpah berderai dari sudut-sudut mataku.

“Monggo, mau apa saja.. Jangan sungkan-sungkan tho, Neng…”

Begitu sayang Gusti Allah kepada kami, kataku dalam hati. Maka, kujinjing dua bungkus nasi rames lengkap dengan lauknya; ayam goreng dan perkedel.

“Makanannya dapat, ya Ma?” sambut anakku sambil menatap kantong kresek di tanganku lekat-lekat.

Aku mengangguk dengan mata membasah.

“Horeee, asyiiik!” serunya berjingkrak kegirangan.

“Pssst, Alhamdulillah, begitu,” tukasku sangat terharu melihat anakku girang tak terkira.

“Eh, iya, ya, Alhamdulillah wa syukurillah….”

Kami bergandengan tangan kembali ke rumah petak, masih terendam oleh air sungai yang meluap ke mana-mana.

Malam itulah aku memutuskan untuk menyerahkan kembali anakku kepada bapaknya, termasuk diriku. Meskipun harus menanggung nestapa selama puluhan tahun kemudian, disebabkan kecurigaan membuta, paranoid yang sudah berurat dan berakar dalam jiwanya.

***

Habib Bahar Smith yang Saya Kenal

$
0
0

Habib Bahar Bin Smith Bin Ali
Iwan Adi Sucipto Pattiwael


Sosok ulama muda, memiliki kharismatik dan ilmu yang mumpuni. Sering sekali saya menyebutnya sebagai; perpustakaan berjalan. Sungguh, betapa luhur ilmu yang dimilikinya. Ia senantiasa bisa menjawab apapun pertanyaan kami, para tahanan yang mengikuti taklimnya.

Sikapnya yang tegas, mampu mempengaruhi seluruh tahanan yang berada di Rutan Polda Jabar. Sungguh, pengaruh yang dimilikinya sangat besar di dalam tahanan.

Alhasil, karena keberadaannya, sel tahanan seketika berubah menjadi pesantren. Para tahanan pun berubah menjadi santri, jamaah yang taat beribadah.

Habib Bahar bin Smith bin Ali!

Selama saya mengenalnya, suasana keagamaan yang sangat kental dapat dirasakan oleh para tahanan. Kegiatan rutin pengajian digelar, membuat para tahanan merasa nyaman, damai, tentram, bersemangat dan bahagia.

Habib Bahar memberikan kajian tasawuf setiap bada maghib. Dilanjutkan kajian hadits beserta hafalannya setiap bada isya. Keberanian yang ia miliki, mencerminkan kepribadian sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu; Umar Bin Khattab, RA.

Jika bangsa ini ingin menjadi besar dan memiliki martabat serta disegani oleh bangsa-bangsa lain, seharusnya mempunyai karakter para pemimpin seperti itu. Seperti karakter para sahabat Nabi Muhammad SAW. Mereka membantu perjuangan syiar Islam, berdakwah, berani membela kebenaran dan ikhlas berjihad.

Abu Bakar As Shidiq:  Sahabat Nabi yang selalu membenarkan ucapan Nabi dan mengikuti perjuangannya, selalu memberikan nasehat dan arahan yang membuat sejuk, damai, dan tentram di hati.

Umar Bin Khattab: Sahabat Nabi yang pemberani, tegas sikapnya, dan selalu membela apa yang dilakukan oleh Nabi. Membela kebenaran dan siap mati dalam perjuangan.

Ustman Bin Affan: Sahabat Nabi yang kaya raya dan punya sifat dermawan, siap mensedekahkan hartanya untuk perjuangan Nabi di jalan Allah.

Ali Bin Abu Thalib: Sahabat sekaligus menantu Nabi. Ia  menikah dengan putri Nabi, Sayiddah Fatimah Az Zahra. Kecerdasan yang dimilikinya mempunyai konsep brillian, dapat mengatur strategi-strategi di setiap perjuangan perang Nabi melawan bangsa jahilliyah Arab Quraish.

Kepribadian yang dimiliki oleh Habib Bahar, jika boleh saya gambarkan, seperti sifat salah satu sahabat Nabi yaitu; Umar Bin Khattab yang memiliki sifat tegas, berwibawa. Namun, punya sisi lain yang lembut dan sangat perhatian kepada kami para tahanan di Polda Jabar.

Di dalam penjara, saat Habib Bahar memimpin sholat tidak ada satu pun tahanan yang menolaknya. Bagi muslim wajib mengikuti kajian hadits. Dengan kelembutannya ia dapat merangkul semua tahanan. Mereka mengikuti apa yang disampaikan oleh Habib Bahar. Termasuk tahanan bertato yang kami segani di dalam tahanan.

Sosok muda rupawan inipun sangat perhatian, terutama bagi tahanan yang tidak pernah atau jarang dijenguk oleh sanak saudara, keluarganya. Terutamma jika ada yang sakit. Makanan dan obat-obatan selalu ia sediakan. Patutlah, sebab ia masih keturunan langsung sebagai cucu Rasulullah SAW. Tentu saja sifat-sifat mulia kakeknya menurun kepada sosok ini.

Di usia yang masih muda, terkadang kita tidak dapat mengontrol emosi. Ia marah apabila ada hal yang tidak diinginkan, terutama orang yang melecehkan martabat keluarganya, menyinggung perasaan ibu, istri dan anak-anaknya. Mereka yang teah menipu, memanipulasi namanya untuk kepentingan sendiri.

Saya ‘haqul yakin’ semakin bertambahnya usia, Habib Bahar akan memiliki sifat yang lebih sabar, saat menghadapi permasalahan apapun, kecuali kemungkaran.

Bila berhadapan secara langsung, kita akan tahu bagaimana sosok ini yang sesungguhnya. Sungguh, saya mengaguminya, betapa ia pandai merangkai kata-kata dan bait-bait yang indah. Sehingga tiap kali ia berdakwah, semua perkataannya sangat menyentuh kalbu.

Karena kekaguman itu pulalah, ada beberapa lagu yang kami buat bersama. Hingga rekaman di dalam Rutan Polda Jabar. Semua tak lepas demi kecintaan kami kepada Sang Pencipta yakni Allah SWT.

Saya bersyukur dapat berjumpa dengan seorang Habib yang terkenal. Kharismanya dapat merubah suasana di dalam Rutan seperti di pondok pesantren.

Alunan ayat suci Al Qur’an yang berkumandang, berdzikir, dan Asma Ul Husna terus terdengar di setiap blok. Apalagi setiap malam Jumat, kami shalawat Nabi. Ada aneka makanan dan wangi-wangian, suasana lebih nikmat dan khusuk dalam berdoa dan berdzikir.

Ada banya tamunya dari kalangan Habai, Mereka notabene memiliki ilmu yang tinggi dan santri-santrinya yang begitu banyak. Saya banyak belajar dari Habib Bahar, tentang ilmu agama dan kehidupan.

Dari kasus-kasus yang dialaminya justru membuatnya banyak berkarya seperti; kitab-kitab gundul yang bercerita tentang perjalanan Rasulullah SAW dan perjuangan syiar beliau.

Setiap malam saya sering berdiskusi dengan Habib Bahar sampai menjelang subuh. Betapa banyak ilmu yang saya dapatkan, sehingga mampu mengilhami tulisan-tulisan dalam buku ini. Terutama agar lebih mengenal dan dekat dengan Sang Pencipta Allah SWT.

Itulah sosok seorang Habib Bahar yang dianggap sebagian orang keras. Ternyata ia menyimpan kelembutan dan kasih sayang tak teperi. Perjumpaan dengan Ulama muda jenius ini taklah lama, tetapi telah melahirkan ilmu kehidupan bagi diri saya khususnya.

Saya simpulkan sosoknya sebagai berikut :

Bahwa manusia bisa kuat tanpa makan dan minum dalam waktu 3 hari. Namun, hati kita jangan dibiarkan kosong dalam waktu 3 hari itu. Karena akan hampa dan mudah berputus asa dari rahmat Allah. Seharusnya kita hidupkan dengan nilai-nilai ibadah lewat dzikir, ‘tholabul ilmi’, mencari ilmu di jalan Allah, belajar mengkaji Qur’an beserta maknanya.

Begitu tingginya orang yang berilmu dalam beribadah, karena ibadah yang tanpa didasari ilmu maka akan sia-sia.

Bagaimana kita menghormati, menghargai, dan mengikuti jejak para Habaib sebagai cucu Rasulullah SAW, mengikuti sifatnya yang mulia

Menyadari bahwa manusia membutuhkan untuk jasmaninya seperti; makan, minum, sandang, papan, mengumpulkan harta, menikah, dan mempunyai keturunan adalah sunnah. Sedangkan yang utama adalah sentuhan-sentuhan ruhani bagi jiwanya. Agar seimbang dalam menjalani kehidupan, lewat kajian dan dakwah akan menambah keimanan dan ketakwaan kita di sisi Allah SWT.

Banyak ilmu yang saya dapat kadang sulit untuk mempraktekkannya. Sedangkan Habib Bahar mampu membuat syair-syair indah yang dapat menyentuh hati bagi setiap yang membacanya. Lagu yang saya tulis bersamanya, sampai saat ini masih saya ingat syairnya.

“Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Aku dan engkau adalah cinta dan kita disatukan dalam cinta-Nya.”

Saya juga belajar bagaimana caranya mencintai ibundanya, istrinya, dan anak-anaknya. Apalagi setelah punya anak perempuan. Sikap kerasnya, tatkala ada masalah yang harus dihadapi, mulai berkurang dengan kehadiran putrinya.

Pondok pesantren yang beliau dirikan Ponpes Tajul Alawiyyin di Bogor. Banyak dihadiri oleh santri yang merindukannya. Para santri bergantian menjenguk guru di Rutan Polda Jabar. Mereka hadir untuk memberikan semangat, mendoakan kesehatan dan keselamatan guru selama di dalam tahanan. Jika menyaksikan bagaimana kerinduan dan kecintaan para santri, sungguh membuat hati siapapun mengharu biru.

Saya harap kelak kita pun mempunyai pemimpin negeri yang mampu merangkul para Ulama, Kyai, dan Ustadz. Tidaklah dianggap berseberangan cara pandang dan keyakinan.

Semoga Allah jadikan negeri ini, Indonesia yang kita cintai agar damai, bersatu, aman, makmur, dan sejahtera. Allah SWT menyebut sebuah negeri yang aman, damai, makmur yang menjadi impian semua umat, baldatun thoyyibatun warabbun ghaffur.

Al Qur’an menggambarkan ‘Negeri ‘Saba’ yang subur dan makmur di bawah kepemimpinan Raja Daud dan putranya Sulaiman. Penduduknya selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada mereka.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu; dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Kepada mereka dikatakan: Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS, Saba’ : 15).

Untuk mewujudkan negeri impian yang digambarkan dalam Al Qur’an, haruslah dengan perjuangan yang sesungguhnya, diniatkan ikhlas beribadah kepada Allah SWT (Ihlashul Ubudiyyah Lillah). Untuk mewujudkan negeri yang baik penuh dengan ampunan Allah adalah dengan mewujudkan beberapa hal berikut:

Ikhlas menjadi syarat mutlak terwujudnya negeri yang baik. Dengan keikhlasan dalam beribadah, bekerja, berjuang, dan beramal sebagai pertanda sikap syukur. Telah sampai tujuan diciptakannya manusia yaitu mengabdi kepada Allah dengan didasari keikhlasan yang tinggi.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS, Al –Bayyinah : 5)

Akhlak penduduknya yang mulia. Akhlak yang mulia merupakan barometer terwujudnya masyarakat dan bangsa yang baik. Masyarakat yang sejahtera, aman, dan damai hanya dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan, bertolong-menolong bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya. Lepas dari pengaruh setan dan hawa nafsu.

“Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad)

Sifat amanah yang menyebar dan membumi, setiap penduduk negeri, apabila benar-benar menjalankan kewajiban dan amanah yang dipercayakan kepadanya dengan baik. Tidak ada korupsi, suap menyuap, dan pengkhianatan lainnya. Niscaya terwujudlah masyarakat yang baik. Allah SWT melarang perbuatan menyia-nyiakan amanat.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-(Nya) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian. Sedangkan kalian mengetahui.” (QS, Al-Anfal : 27).

Dengan memegang kuat amanah berarti menguatkan tatanan masyarakat. Sebaliknya mengkhianati amanat sama saja dengan menghancurkan peradaban bangsa

Adanya keseimbangan yang indah antara urusan dunia dengan akhirat. Alkisah seorang sahabat berniat beribadah di siang hari dan malam hari, hingga ia berniat menjauhi dunia dan istrinya. Maka seluruh waktu dan jiwanya hanya dihabiskan untuk bertaqarrub kepada Allah.

Tetapi Rasulullah SAW malah melarangnya sambil bersabda: “Aku adalah manusia terbaik, aku makan dan minum tetapi aku juga berpuasa, aku istirahat dan tidur tetapi aku juga mendekati istri, aku bangun menjalankan shalat tetapi aku juga bekerja mencari kehidupan dunia.”

Itulah yang dimaksud menjaga keseimbangan hidup, memperhatikan kemaslahatan akhirat. Tetapi tidak pula memperhatikan kebaikan dunia, bangsa yang baik hanya akan terwujud jika ada kebaikan jasmani dan ruhani

Bertaubat meraih ampunan Allah. Setiap manusia tentu pernah berbuat dosa, tetapi siapa yang bertaubat memohon ampun kepada Allah SWT, pasti Allah akan mengampuni akan mengampuni dosa-dosanya. Ketikan turun QS, Ali ‘Imran 135, Rasulullah bersabda kepada para sahabat,

“Ketahuilah saat ini setan sedunia sedang menangis. Karena setan telah menggoda anak cucu Adam. Tetapi Allah menurunkan ayat yang siapa bertaubat, Allah akan menghapus dosa-dosa mereka.” 

Ibn Mas’ud berkata, bagi orang yang berdosa ayat ini lebih baik dari surga dan isinya, kemudian ia membaca surat yang dimaksudkan: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS, Ali ‘Imran : 135)

Itulah di antara pilar terwujudnya negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun. Mudah-mudahan Indonesia menjadi negeri yang diberikan Allah dan menjadi negeri yang ‘Baldatun Thoyyibatun warabbun Ghaffur’.

Jika mampu tercipta suasana yang aman dan damai di antara Umaro dan Ulama, insya Allah tidak akan terdengar lagi Ulama, Kyai, dan Ustadz yang dianggap ‘berbuat makar terhadap pemerintahan yang sah’ dan ditangkap. Marilah kita duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik bagi negeri dan bangsa yang besar ini. Habib Bahar merupakan ulama muda yang kami hormati dan juga sebagai aset bagi negara dan bangsa.

@@@








Ungu Hariku Jingga Hatiku

$
0
0



Ungu Hariku Jingga Hatiku
Pipiet Senja


Jakarta, Anno 1983
Keadaan pernikahan tidaklah menjadi membaik setelah ada anak. Acapkali aku menangisi anakku, apabila ayahnya tanpa tedeng aling-aling menuduhku, apa yang disebutnya sebagai; melahirkan anak di dalam rumah tanggaku.
Usia 11 bulan anakku ketika aku jatuh sakit dan tetirah di rumah orang tuaku. Ketika pulang kutemukan jejak perselingkuhan yang sangat keji kurasai, dan amat melukai hati keperempuananku. Segala respek, kepercayaan yang begitu kupertahankan atas dirinya, sekaligus senantiasa diagung-agungkan dalam setiap ucapannya; hancur dalam sekejap!
“Jangan ambil keputusan sekarang, dengarkan, dengarkan dulu pembelaanku,” dia sempat meratap, meminta maaf, tapi sama sekali tak pernah mengakui kesalahannya sebagai suatu kekhilafan.
Aku menarik kesimpulan sederhana bahwa dia melakukan semuanya itu dengan segala kesadaran, kesengajaan hanya untuk menghancurkan. Sebuah pernikahan yang memang tanpa pernah dibangun dengan tiang-tiang yang kokoh.
Pengaduan para tetangga tentang keberadaan seorang perempuan saat aku tak berada di rumah, terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan berani-beraninya dia mengakui bahwa perempuan itu adalah adikku dari Medan.
“Ya Tuhan, sejak kapan aku dan keluargaku tinggal di Medan?” raungku hanya tertelan di tenggorokan.
Hanya satu bulan dan itupun atas izinnya aku tetirah dalam kondisi sakit, tanpa pernah dikunjungi apalagi memakai uangnya untuk pengobatanku. Tahu-tahu sudah ada perempuan lain, bahkan sebelumnya melakukan transaksi dengan berbagai perempuan nakal di kawasan Monas. Sebagaimana dia tulis dengan rinci di catatan hariannya, entah sengaja atau tidak, dia menyelipkannya di dinding kamar. Sehingga aku dengan mudah menemukannya dan membacanya dengan perasaan hancur lebur.
Tuhan memang Maha Kasih, diperlihatkannya seluruh rincian catatan harian yang sarat kejalangan, kemesuman dan kehewanannya itu. Demi Allah, dia sangat menikmatinya!
Segala perasaan sayang raib seketika, timbul kebencian dan dendam yang tak teperi, menyelimuti seluruh akal sehatku. Aku menyerahkan urusanku kepada bapakku. Aku kembali ke rumah orang tua, menyerahkan pengayoman anakku kepada mereka, bahkan bukan saja makanan, minuman melainkan juga hidup dan matiku.
Semuanya saja kuserahkan sepenuhnya, urusanku dan anakku kepada keluargaku. Bahkan aku tak tahu menahu bagaimana proses gugat cerai itu berlangsung. Tahu-tahu aku dipanggil beberapa kali ke Pengadilan Agama, tanpa dihadiri ayah anakku, kemudian divonis; talak satu.
Berbulan-bulan diriku tenggelam dalam rasa sakit, lahir dan batin, jiwa dan raga. Kubiarkan keluargaku mengurus diriku, semakin hari semakin tenggelam ke lembah putus asa. Hidupku sempat bagaikan daun kering, melayang-layang tanpa tujuan, hampa. Sampai suatu saat aku terbangun kembali, menemukan anakku sakit keras.
“Anakku, maafkan Mama, Nak,” ratapku penuh penyesalan. “Duhai, buah hatiku, maafkan Mama yang sudah lalai,” kuciumi wajah mungil berusia belasan  bulan.
Ia mengalami demam tinggi berhari-hari tanpa ada yang mengobati selain dikompres dan diobati alakadarnya.
Sekali itu Tuhan menuntun diriku agar sadar kembali, tidak jauh-jauh, melalui ketakberdayaan anakku sendiri. Di rumah tak ada orang tua, adik-adik tak berdaya. Tinggal nenekku yang telah tua dan sakit-sakitan, dan diriku yang masih langlang lingling bagaikan perempuan sinting.
Kujual cincin kawin yang masih kumiliki, dengan itulah kubawa anakku ke dokter spesialis anak. Pulang dari dokter, sambil dipayungi oleh Ed, adik laki-laki kelas satu SMA, aku menyatakan sumpah dalam hati.
“Demi Allah, langit dan bumi akan menjadi saksiku, sejak saat ini hanya akan kufokuskan hidupku demi anakku, ibadahku dan hidup di jalan kebenaran, sesuai syariat yang diajarkan Nabiku Muhammad Saw.”
Sejak saat itulah, kubenahi langkah-langkahku, kutata hidupku berdua anakku. Kami menempati pavilyun yang pernah kubangun sebelum menikah. Namun, tak jarang apabila ada adikku, En, suaminya beserta anak berkunjung, kami berdua akan mengalah menempati setelempap sudut di loteng, berkawan cecurut, tikus dan kecoa yang berseliweran.
Aku menerima segala kondisi yang harus kujalani, sebab ini kesalahanku sendiri, sebagaimana kerap disindirkan ayahku terhadapku. Menyandang status janda sungguh tak mengenakkan bagi perempuan mana pun.  Tak terkecuali diriku, dengan segala ketakberdayaan; penyakitan, sama sekali tidak rupawan dan menawan secara lahiriah.
Anehnya, hari-hariku sempat diwarnai kecurigaan, kecemburuan di antara para perempuan tetangga di kampungku. Mereka mungkin merasa heran dengan kondisiku yang sepintas kilas tampak tenang-tenang saja, berbahagia berdua anakku. 
Aku memang mulai menangguk laba, sebab ada banyak kucuran honor dari dunia kepenulisan. Emas dan berlian mulai menghiasi pergelangan tangan, jari-jemari dan leherku. Mereka tidak pernah tahu bagaimana aku meraih semuanya itu. Bermalam-malam begadang, mengetik, menulis, menulis dan menulis hingga jari-jemariku kebas.
Inilah kondisi yang sangat traumatis dalam sejarah hidupku. Ungu hariku jingga hatiku, mungkin demikianlah judul yang tepat kupilihkan untuk episode hidupku ini.
Suatu hari, ada seorang ibu paro baya sekonyong-konyong mendatangiku, dan memaki-maki diriku tanpa sebab. Setelah usut punya usut ternyata dia salah orang. Tujuannya adalah salah seorang famili yang juga memiliki nama sama, (Etty) dan telah menggoda suaminya.
“Saya Pipiet Senja bukan Etty, Bu,” kataku menahan kemarahan yang nyaris meledak di ubun-ubunku. “Aku memang janda, tapi juga seorang penulis, yakinkan hal itu!”
Bagaimana tidak, dia memaki-maki di depan orang banyak, di tengah pasar tanpa ba-bi-bu lagi. Lusinan nama hewan di kebon binatang, dan semua sebutan beraroma kejalangan dimuntahkan dari mulutnya, ditujukan kepada diriku.
Sungguh perbuatan yang tak termaafkan!
“Mama… angis ya, angis… ngapa Ma? Acit yah, Ma, aciiitnya mana cih?” Haekal, usianya saat itu dua tahun, baru belajar bicara, memandangi wajahku yang niscaya pucat bagaikan mayat.
Aku menunduk, memandangi wajahnya yang fotokopian bapaknya. Seketika aku merasai lagi kepedihan, perasaan terhina, ketakberdayaan, semuanya itu nyaris menguasai diriku.
“Tidak, tidak, jangan pernah menyerah kembali!” jeritku segera mengusir setan pelemah iman.
“Ngapa Mama diem… Mama ga awab Etan ciiih?” gugatnya sambil mengguncang-guncang tanganku, digenggam erat-erat oleh tangannya yang mungil.
Sementara aku belum sempat belanja, jadi kutuntun anakku menyingkir dari tempat yang mendadak bagaikan disaput lautan neraka itu.
“Mama gak sakit, sehat-sehat saja, Nak, lihat nih! Ayo, semuanya, segala setan belau, jin Tomang, siapa takut?!” Aku mengacungkan kedua tinjuku, sehingga mengepal di atas kepalanya.
Seketika dia terkekeh-kekeh menggemaskan. Haekal memang tumbuh dengan sangat baik, jarang sakit dan kecerdasannya sudah terlihat sejak kecil.  Sejak dalam kandungan aku sering mengajaknya bicara, tak peduli dianggap sinting sekalipun. Begitu dia lahir tiap saat pun kuajak bicara. Seakan-akan dia bukan makhluk tak berdaya, aku mendudukkannya sebagai seorang teman, sahabat yang bisa kuajak curah hati.
Mungkin karena itulah Haekal lebih mudah memahami perkataan orang dewasa. Pada usia sebelia itu, perbendaharaan katanya sungguh menakjubkan. Banyak orang terheran-heran dengan gayabicaranya yang lugas, bernas dan cerdas.
“Ini dia anak ambing… nah, atunya agi embu ambing… Mmm, atunya agi sapa, Ma?” tanyanya suatu pagi, ketika kami berjalan menyusuri kebon, sawah dan melintasi sebuah kandang kambing.
Memang ada tiga ekor kambing di dalam kandang itu. Agaknya dia mencermatinya dan ingin menarik kesimpulan sendiri. Langkahku yang sudah agak menjauh, seketika terhenti, kembali berbalik ke arahnya dan menyahut; “Oh, itu bapak kambinglah, Nak…”
Kami kembali melanjutkan langkah, kulihat anakku masih tertegun-tegun, sesekali pandangannya diarahkan lagi ke kandang kambing. Sedangkan jari-jemarinya seperti tengah menghitung-hitung, lalu tiba-tiba dia menunjuk ke arahku, menepuk dadanya, dan menepuk keningnya keras-keras sambil berseru lantang.
“Maaaa! Ambing ada embu, ada bapak… Etan (dia menyebut dirinya demikian) mana bapaknya, Ma?”
“Oooh, bapak Haekal lagi cari kerja di Jakarta, ya Nak,” sahutku sejurus tercengang-cengang, tak pernah menduga akan mendapatkan pertanyaan demikian secepat itu.
“Ohhh… ada bapak Etan, ya Ma, ada…”
“Iya…” Aku masih tergagap bahna terkejut. “Terus, mau nanya apalagi, Nak?”
Sementara dadaku terasa berdebar keras sekali. Bukankah ini belum saatnya?
“Mm, ya dah… ayan agi Ma, ayoooo!” ajaknya sambil menyambar tanganku, seolah-olah telah puas dengan jawaban yang telah lama dicari-cari oleh otaknya yang mungil.
Ya Allah, ada yang runtuh jauh di dalam hatiku. Tak bisa kubayangkan, entah apalagi yang ingin dipertanyakannya kelak, tentang dirinya, tentang bapaknya, tentang keluarganya dari pihak bapaknya. Namun, kemudian kulihat anak itu sudah berlari-lari riang dan penuh sukacita, menyusuri pesawahan. Sebuah lahan favorit kami berdua yang hampir tiap pagi kami susuri, selama beberapa tahun kemudian.
Beberapa waktu kemudian, entah siapa yang mengajarinya, mungkin dia mengingat sekali pernyataan sadis, atau mungkin pula hanya keisengan belaka. Yang jelas, apabila ada yang menanyakan perihal bapaknya, maka demikianlah jawabannya; “Oh, bapak Etan… Ati abak ebek!”1
Binatang yang paling ditakutinya adalah unggas, terutama bebek dan ayam. Suatu kali ada seekor ayam jago menyambar kerupuk, makanan kesukaannya, yang tengah dipegangnya. Anakku berhasil mempertahankan kerupuknya, tapi jidatnya tepat dipatok si jago. Sejak itu dia selalu berusaha menghindari hewan yang bernama ayam, bebek, burung dan angsa.

Sambung


1 Mati ketabrak bebek

Article 2

$
0
0




Contoh Teks Drama

Pementasan drama baik di TV ataupun teater selalu menggunakan panduan berupa teks drama. Melalui skrip ini, para pemain drama berusaha untuk mengikuti alur cerita dan menjiwai karakter yang ia mainkan. Alur cerita juga dituangkan secara mengalir melalui teks drama. Ada banyak sekali contoh teks drama yang bisa dijadikan sebagai referensi, terutama bagi yang sedang berlatih menulis.

Pengertian Drama
Contoh Teks Drama
Drama adalah sebuah karya sastra yang ditulis dalam bentuk percakapan, dialog, atau obrolan yang nantinya akan dipentaskan atau dipertunjukkan di depan banyak orang. Drama biasa juga disebut teater. Teks drama adalah sebuah naskah mengenai jalan cerita sebuah drama yang disiapkan dalam bentuk perbincangan atau obrolan dan gerakan sebagai pedoman pementasan drama. Drama biasanya menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya.

Unsur-Unsur di dalam Drama
Contoh Teks Drama
Untuk bisa memenuhi syarat sebagai sebuah drama yang baik, drama harus memenuhi syarat unsur-unsur drama yaitu sebagai berikut:
a.     Memiliki tema, yaitu ide pokok atau sebuah gagasan yang digunakan dalam drama. Tanpa tema, maka drama tidak akan berjalan dengan baik.
b.     Memiliki alur, yaitu jalan cerita drama sejak mulai hingga drama berakhir. Baik itu alur maju, mundur, maupun alur campuran.
c.     Tokoh yang terdiri dari tokoh utama (protagonis dan antagonis) serta tokoh pendukung.
d.     Watak yaitu perilaku yang diperankan oleh para tokoh dalam drama. Watak terdiri dari 2 jenis yaitu protagonist dan antagonis.
e.     Latar yaitu gambaran tempat, waktu, dan kondisi yang terjadi dalam kisah drama yang sedang berjalan.
f.       Amanat yaitu pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada semua penonton.

Ciri-Ciri Teks Drama
Contoh Teks Drama
Teks drama yang baik selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.     Semua cerita dalam drama harus berbentuk dialog dan memiliki narasi, baik bagi para tokoh ataupun naratornya. Semua ucapan mutlak ditulis dalam bentuk teks.
b.     Obrolan yang ditulis dalam drama tidak menggunakan tanda petik. Karena bukan merupakan kalimat langsung.
c. Naskah drama harus dibekali dengan petunjuk kepada tokoh/pemeran yang bersangkutan. Petunjuk ini biasa ditulis dalam tanda kurung atau memakai format huruf yang berbeda.
d. Naskah petunjuk dalam drama ditulis di atas atau di samping dialog.

Contoh Teks Drama Eksposisi
Contoh Teks Drama
Eksposisi adalah bagian awal dari sebuah naskah drama yang menunjukkan ruang, waktu, karakter, suasana hati, dan tingkat kenyataan drama tersebut. Ada beberapa contoh yang harus diperhatikan ketika menulis bagian eksposisi dalam drama, diantaranya adalah:
a.     Awal sebuah drama berisi informasi/setting yang erat kaitannya dengan informasi latar belakang alur cerita drama tersebut. Eksposisi digunakan untuk mengawali adegan.
b.     Kegunaan eksposisi adalah untuk memulai cerita drama.
c.     Eksposisi berisi insiden yang menggugah pada pertanyaan-pertanyaan dramatik ataupun benang merah cerita drama tersebut.

Contoh Teks Drama Monolog
Contoh Teks Drama
Drama monolog adalah pertunjukan teater yang hanya dimainkan oleh 1 orang saja ataupun dialog bisa saat adegan. Drama monolog ini biasanya dimainkan dalam pertunjukan teater atau seni. Teks drama monolog dibuat sebagai bekal bagi sang aktornya untuk membawakan peran dan mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.
Berikut ini terdapat sebuah contoh teks drama monolog tentang anekdot (kelucuan):

Salah Siapa?
Pagi sekali sebelum mentari terbit, aku sudah sampai sekolah. Tapi gembok masih mengunci pintu kelas. Akhirnya aku hanya duduk-duduk di depan kelas seperti anjing penjaga. Ya Alloh, kalau seperti ini salah siapa? Niat hati ingin datang pagi, tapi masih juga terlambat. Eh, sudah mengira belum bel, tapi akhirnya diberhentikan penjaga gerbang juga. Disuruh belok kanan.
Jadinya setiap pagi harus kena hukuman dulu mencuci mukena, shalat duha, sekalian mengaji. Katanya, biar yang suka telat ini dibukakan mata hati. Esoknya, aku datang pagi-pagi sambil bawa sabun colek. Untuk berjaga-aga siapa tahu ada yang telat. Jadi akan kuberikan sabun colek ini untuk mereka. Akhir-akhir ini aku suka berangkat pagi, agar sabun colekku bermanfaat bagi orang lain.

Contoh Teks Drama Modern
Contoh Teks Drama
Drama modern atau kontemporer adalah jenis pertunjukan yang menunjukkan gambaran kehidupan saat ini dengan berbagai masalah yang muncul. Ada banyak sekali tema drama modern yang bisa dipentaskan baik di TV ataupun pertunjukan seni. Berikut ini salah satu contoh naskah teks drama modern dengan tema komedi ringan.

Penjelasan Karakter
Roy: Pintar, cerdik, pandai berkilah, dan pembohong berat.
Pak Asep: Guru yang tegas dan emosional
Rena: Suka penasaran dan cerewet
Zainal: Tidak terlalu pintar dan menonjol di sekolah.
Ririn: Pintar, rajin, baik hati

Dialog
Di sebuah kelas SMA, hiduplah 4 orang siswa yang sedang bahagia. Namun kondisi berubah ketika mereka mendapatkan kabar bahwa besok akan ujian.
Rena : Eh kalian udah belaja buat ulangan besok?
Roy : Belum
Zainal: Astaga, Innalillahi.
Rena: Apa? Kalau nilai ulangannnya jelek bisa dihukum.
Zainal: Paling-paling hukumannya juga cuma lari keliling lapangan bola 10 kali doang.
Rena : Bukan! Kali ini hukumannya serem, harus ikut pelajaran tambahan setiap pulang sekolah. Kamu sudah belajar Rin? (Melirik ke arah Ririn).
Ririn : Sudah dong, Ririn (sambil menunjuk-nunjuk bangga ke dirinya sendiri).
Singkat cerita, kemudian mereka bertaruh. Siapa yang nilai ujiannya paling besar, maka akan dianggap menang dan bisa memerintah orang yang kalah. Ririn berusaha keras untuk belajar, sedangkan Roy berjuang keras untuk membuat contekan di kertas kecil.
(Saat Ujian)
Pak Asep : Baik anak-anak, silahkan buka lembar soalnya sekarang!
Ririn : Bismillah.
Roy : Soal ini kan gampang sekali. Kalau gini kan gak akan ketahuan. (Sambil menempelkan kertas contekan di pungguh Pak Asep).
Pak Asep : Bapak keluar dulu, ingat jangan nyontek atau bertanya pada temannya ya. Dan satu lagi, jangan ribut. (keluar kelas).
Roy : Rencana B dimulai (menyilangkan kaki dan melihat kertas contekan di atas sepatunya).
Roy : Ah, bukan yang ini (bingung)
Roy : Ah yang ini nih! (sambil mengeluarkan kertas contekan dari dasi).
Roy : Selesai (sambil merebahkan diri di kursi, tersenyum puas sambil melirik teman-temannya yang lain belum selesai mengerjakan).
Akhirnya ulangan selesai, dan Pak Asep membagikan kertas hasil ujian kepada semua siswanya.
Pak Asep : Ini hasil ujian kalian (sambil membagikan kertas).
Ririn : Hore! Nilaiku 85 (tersenyum puas.
Zainal : Hahahaha, aku dapat 65. Lumayan ujian kemarin cuma 60.
Roy : Lhah Pak, kok nilai ujian saya cuma 50?
Pak Asep : Sebab soal nomor 11-20 di balik kertas gak kamu isi.
Roy : Apa? Masih ada soal lagi?
Ririn : Hahahaha, kamu kalah Roy! Dengan ini saya perintahkan kamu gak nyontek lagi waktu ujian! (sambil menunjuk-nunjuk Roy dengan tertawa lepas).
Pak Asep : Apa? Jadi kamu kemarin nyontek? Oke, kalau begitu nilai kamu saya kurangi 5 poin lagi!
Roy : Aduuuh, apes benar aku ini (mengucek-ngucek rambut)
Akhirnya, Roy menyadari kesalahannya dan berjuang keras untuk belajar. Dia tidak pernah menyontek saat ujian lagi.
Contoh Teks Drama Singkat 4 Orang
Contoh Teks Drama
Judul: Pilihan Anak
Tokoh: Ayah, Ibu, Nenek, Ari
Sinopsis
Ari sudah memasuki kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan melanjutkan kuliah. Suatu sore, Ari berbincang-bincang dengan ayah, ibu, dan neneknya di ruang tamu. Mereka menanyakan keputusan Ari untuk memilih jurusan kuliah. Baik sang ayah dan ibu Ari ternyata memiliki pilihan jurusan masing-masing dan tak mau memperhatikan keinginan Ari pribadi.
Dialog
Ayah : Jadi, sudah kamu pikirkan masak-masak kamu mau melanjutkan kuliah di jurusan apa?
Ari : Sudah yah.
Ibu : Jadi, kamu mau kuliah jurusan apa nak? (datang ke ruang tamu sambil menghidangkan teh untuk ayah dan nenek Ari).
Ari : Ari inginnya kuliah jurusan seni.
Ayah : Apa? Kamu ingin kuliah seni? Mau jadi apa nanti kamu setelah lulus kuliah?
Ibu : Iya, kamu mau kerja apa setelah lulus nanti? Kuliah itu jangan cuma cari senangnya saja. Perhatikan juga masa depan kamu nantinya.
Nenek : Kenapa kok Ari ingin kuliah jurusan seni?
Ari : Ari ingin mengembangkan bakat Ari jadi pelukis nek.
Ibu : Itu kan bisa kamu lakukan tanpa harus kuliah. Kamu bisa sering melukis sambil kuliah jurusan yang lain (menampakkkan wajah kesal).
Ayah : Benar kata ibu kamu. Dengarkan itu Ari! Ayah tak mau membiayai kuliah kamu jika kamu memilih jurusan seni. Ayah maunya kamu kuliah jurusan ekonomi.
Ari : Tapi yah…
Ibu : (memotong kata-kata Ari) Sudah, Ibu juga maunya kamu nanti setelah kuliah bisa bekerja di kantor. Lihat sekarang ini, mana ada pelukis yang hidupnya sejahtera?
Nenek : Ayah dan Ibu kamu memang ada benarnya Ari. Pikirkan lagi masak-masak. Jangan sampai kamu menyesal. Soal bakat, kamu bisa mengasahnya di luar jurusan kuliah.
Ayah : Nah, itu dia. Nanti kan kamu bisa ikut kegiatan kampus yang bertema seni.
Ari : Baik ayah, akan Ari pikirkan lagi nanti (menunduk lesu sambil merenung).

Contoh Teks Drama Tradisional
Contoh Teks Drama
Judul: Malin Kundang
Pemain: Malin Kundang, Mande (Ibu Malin Kundang), dan Puteri.
Prolog
Malin Kundang adalah seorang anak yang telah lama merantau meninggalkan tanah kelahirannya. Ia mengembara mengadu nasib demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ia meninggalkan Mande, ibu kandungnya seorang diri di tanah kelahirannya. Singkat cerita, akhirnya Malin Kundang berhasil menikah dengan seorang putri saudagar kaya raya. Ia pun kembali ke tanah kelahirannya bersama sang putri.
Dialog
Malin : Istriku, inilah tanah kelahiranku dulu (sambil menunjuk ke arah daratan dari atas perahu yang bersandar).
Putri : Sungguh indah sekali tanah kelahiran kau ini Kanda.
Mande : (berlari tertatih-tatih setelah mendengar kabar bahwa anaknya sudah sukses dan pulang) Malin! Kau kah itu nak? (berteriak-teriak kegirangan).
Putri : Siapakah wanita tua itu Kanda?
Malin : (menyembunyikan wajah terkejut ketika melihat ibunya berlari ke arah perahu) Kanda tak tahu Dinda. Mungkin itu hanya pengemis yang ingin meminta sedikit sumbangan dari kita saja. Sudah jangan pedulikan lagi dia.
Mande : Malin, ini ibumu nak. Sudah lupakah kau pada ibu yang telah mengandung dan membesarkan kau ini Malin?
Malin : Wahai wanita tua! Jangan sekali-kali kau berani mengaku sebagai ibuku. Enyahlah kau! Ibuku bukan wanita tua renta sepertimu, dan ibuku sudah lama meninggal. Pergi kau dari sini! Jangan sampai kau mengotori kapalku ini! (berteriak emosi sambil menunjuk ke ibunya).
Mande : (mendengar kata-kata anaknya, ia menangis menahan kesedihan) Ya Tuhan, kenapa pula anakku berubah menjadi seperti ini? Apa salahku ini Tuhan? Jika memang ia bukan anakku, maka maafkanlah ia yang telah menghinaku ini. Namun jika ia benar anakku si Malin Kundang, maka hukumlah dia yang telah durhaka itu (sambil menengadahkan tangan memohon kepada Tuhan).
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh, petir datang menggelegar. Badai besar tiba-tiba datang dan kapal Malin Kundang terbalik. Seketika kilat menyambar tubuh Malin dan istrinya. Anehnya, mereka berdua kemudian berubah menjadi batu. Itulah kekuatan doa seorang ibu. Jangan sampai kita menjadi anak yang durhaka kepada kedua orang tua.

Contoh Teks Drama Singkat
Contoh Teks Drama
Judul drama: Impian Masa Depan
Pemain: Toni, Linda, Norman, Ami
Epilog
Suatu ketika, 4 orang sahabat sedang berkumpul untuk membicarakan mengenai rencana mereka di masa depan. Mereka pun terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius.
Dialog
Toni : Nanti kalau kalian misalnya dihadapkan 2 pilihan, kerja di perusahaan besar tapi gajinya kecil, atau kerja di perusahaan kecil tapi gajinya besar. Kalian lebih pilih yang mana?
Linda : Yaa kalau aku pilih yang di perusahaan kecil tapi gajinya besar.
Norman : Aku tak setuju! Lebih baik di perusahaan besar, ya walaupun gajinya kecil. Kalau kita bekerja di perusahaan besar, masa depan kita lebih terjamin pastinya.
Toni : Kalau kamu bagaimana, AmAmi : Kalau aku sih yang penting potensi ke depannya baik. Tak apa-apa sementara gaji kecil, tapi asalkan nanti ke depannya bisa cukup menjanjikan bagiku.
Toni : Itu artinya kamu memilih bekerja di perusahaan besar daripada perusahaan kecil kan? (sambil menunjuk Ami).
Ami : Iya benar!Norman : Kalau kamu sendiri Ton?
Toni : Ya kalau aku kurang lebih sama lah dengan pilihan Ami. Kita kan lihat keberlanjutan nantinya di masa depan. Kalau gaji kita besar, tapi tidak ada keberlanjutan jenjang karirnya, buat apa juga? (menengadahkan tangan sambil menggelengkan kepala).
Norman : Iya benar juga sih kata kamu. Paling penting itu jenjang karir masa depan nanti.
Linda : Iya sepertinya sih pilihan yang paling tepat ya memikirkan efek jangka panjangnya. Buat apa gaji besar tapi hanya sementara. Lagi pula, perusahaan kecil juga lebih rawan bangkrut kan?
Ami : Oke, sekarang kan kita sudah tahu apa efek memilih pekerjaan ke depannya. Jadi nanti waktu kita melamar kerja setelah lulus, kita harus pertimbangkan dulu untung ruginya buat masa depan kita.
Norman dan Toni: Siippp!

Contoh Teks Drama Satu Babak
Contoh Teks Drama
Judul: Kepatuhan pada Orang Tua
Tema: Sosial
Pemain: Tomi, Lisa, Shinta
Sinopsis Drama
Tomi sedang berbincang dengan Lisa di sebuah restoran dekat dengan rumah mereka. Tomi dan Lisa adalah dua orang remaja yang patuh pada orang tuanya masing-masing. Tak lama kemudian, datanglah Shinta yang merupakan sahabat mereka juga. Namun Shinta ini adalah remaja yang tak memperhatikan dan sering membantah perintah orang tuanya.
Dialog
Shinta : Eh kenapa kok kelihatannya lagi serius banget? (berjalan menuju ke arah tempat duduk Tomi dan Lisa sambil memundurkan kursi restoran untuk bersiap duduk juga).
Tomi : Gak ada apa-apa. Cuma si Lisa cerita kalau kemarin dia disuruh ibunya beli kebutuhan rumah. Tapi dia lupa.
Lisa : Iya Shin.
Shinta : Terus? Kenapa masalah gitu saja jadi kaya serius banget buat kamu?
Lisa : Ya iya lah. Kan kasian ibu sudah menunggu di rumah lama, tapi aku justru lupa beli kebutuhan rumah yang dia pesan.
Tomi : Betul itu! Harusnya kamu gak sering lupa dengan perintah orang tua.
Shinta : Halah gitu aja dipikirin. Kalau cuma lupa gitu aja aku lebih sering. Gampang saja, nanti ibu kita juga bisa beli sendiri. Suruh ngantar si ayah kamu aja kan beres.
Tomi : Kok kamu seperti itu sih Shin? Ya sudah seharusnya lah Lisa menyesal, dia kan tidak memperhatikan perintah orang tua.Shinta : Namanya juga lupa, mau gimana lagi. Masa semua perintah orang tua harus kita ikuti? Tidak juga kan? (melirik ke arah Tomi, kemudian berganti ke arah Lisa).
Lisa : Ya harus dong Shin, kalau orang tua sudah menyuruh kita harus laksanakan. Itu kan salah satu bentuk bakti kita pada orang tua yang sudah membesarkan kita dengan susah payah.
Shinta : Ya itu kan tanggung jawab mereka. Kita juga tidak minta dilahirkan di dunia ini kan?
Lisa : (menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang) Astaga Shin, kamu harus merubah sikap kamu! Ingat jangan sampai jadi anak durhaka. Nanti hidup kamu justru bisa susah karena melawan orang tua.
Tomi : Benar! Jangan sekali-kali berani sama orang tua. Jangan sekali-kali kamu berani melawan perintah mereka.
Shinta : Iya-iya. Aku ngerti kok. Aku sadar (merebahkan diri ke kursi).








Contoh Teks Drama Dua Orang
Contoh Teks Drama
Judul: Sahabat
Pemain: Tono dan Lulu
Sinopsis
Seperti biasa, di jam istirahat sekolah, Tono dan Lulu menghabiskan waktu dengan memesan makanan ringan di kantin dan berbincang-bincang. Tapi siang ini ada yang berbeda dengan sikap Lulu. Dia datang ke sekolah dengan wajah sembab seperti habis menangis. Tono pun mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
Dialog
Tono : Lu, kamu tahu gak kenapa ikan hidup di air?
Lulu : Tak tahu (menunjukkan wajah cemberut).
Tono : Lho kok gitu sih? Kamu kenapa wajahnya cemberut terus gitu?
Lulu : Aku ada masalah Ton (sambil memutar-mutar sedotan plastik di gelas minumnya).
Tono : Masalah apa? Cerita dong sama aku, kan kita udah lama jadi teman baik.
Lulu : Sudahlah, ini rumit Ton. Kamu jangan ganggu aku.
Tono : Semua masalah itu rumit Lu. Sudah deh jangan suka menyimpan masalah sendirian. Nantinya kamu malah stres. Apa gunanya ada aku sebagai sahabat kamu kalau kamu mau berbagi cerita aja susah?
Lulu : Sudah seminggu ini orang tuaku tak akur. Mereka sering sekali ribut masalah sepele (tertunduk lesu).
Tono : Memangnya ada masalah apa sampai mereka bertengkar terus?
Lulu : Tak tahu, intinya mereka merasa sudah tidak cocok satu sama lain dan ingin menjauh.
Tono : Sabar ya Lu, semoga semua masalah ini cepat selesai. Kamu berdoa saja semoga mereka cepat berbaikan.
Lulu : Harapannya sih gitu. Tapi sepertinya susah.
Tono : Tidak ada masalah tanpa solusi. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, begitupun masalah yang sedang kamu hadapi. Meskipun ini menyangkut orang tua, pasti ada solusi terbaik yang bisa ditemukan. Kamu berdoa saja semoga masalah ini cepat selesai. Jangan putus asa dulu.
Lulu : Makasih ya Ton. Berkat kamu, masalahku sedikit berkurang. Setidaknya aku lega karena sudah cerita.
Tono : Nah gitu kan enak. Sekarang coba tebak lagi, kenapa ikan hidupnya di air? (sambil menampakkan wajah lucu untuk menghibur Lulu).
Lulu : Sudah takdirnya mungkin (sambil menepuk bahu Tono dan tersenyum).




Contoh Teks Drama Epilog
Contoh Teks Drama
Struktur sebuah teks drama terdiri dari 3 bagian utama yaitu prolog, dialog, dan epilog. Prolog adalah bagian pembuka dari sebuah naskah drama yang menjelaskan sinopsis dan gambaran mengenai latar drama yang akan dimainkan. Dalam prolog ini dijelaskan gambaran cerita, hubungan antar karakter, serta watak dari karakter tersebut.
Dialog adalah keseluruhan percakapan ataupun gerak yang dilakukan oleh para pemeran drama. Dialog ini disusun berdasarkan tema, judul, dan juga jalan cerita yang telah ditentukan oleh penulis. Sedangkan epilog adalah narasi bagian akhir dari sebuah naskah drama. Epilog ini mengandung pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada semua penonton drama tersebut.
Contoh:
Prolog
Deni, Anis, dan Linda adalah sahabat dekat ketika SMA. Namun mereka memilih universitas dan jurusan kuliah yang berbeda. Deni memilih kuliah kedokteran di Jakarta. Anis memilih kuliah jurusan psikologi di Bandung. Sedangkan Linda memilih kuliah jurusan teknik di Yogyakarta. Karena sibuknya kehidupan perkuliahan yang harus mereka jalani, akhirnya mereka tak lagi menjalin komunikasi.
Bertahun-tahun mereka tak berkomunikasi. Hingga suatu saat, Anis memutuskan untuk berlibur ke Yogyakarta dan sekaligus menemui temannya Linda yang bertahun-tahun tak ada kabarnya. Mereka menghabiskan waktu bercengkerama di sebuah cafe dan tanpa sengaja bertemu dengan Deni.
Linda : Kita pesan makanan dulu ya di cafe ini. Tenang saja, makanan disini dijamin enak banget kok.
Anis : Iya, sekalian kita numpang istirahat sebentar. Kakiku udah pegal-pegal nih keliling Malioboro seharian (sambil duduk dan memijat-mijat kakinya di kursi cafe).
Linda : (melambaikan tangan untuk memanggil pelayan cafe) Mas, tolong menunya ya!
Anis : Eh ngomong-ngomong gimana kuliah kamu? Gimana skripsi lancar kan?
Linda : Alhamdulillah lancar, kemarin sudah ujian proposal. Kalau kamu sendiri?
Anis : Aku masih sampai bab 3, habis ini mau ujian proposal kalau dosen sudah setuju.
(pelayan datang membawakan buku menu ke meja Anis dan Linda)
Deni : Silakan kak, ini menunya.
Linda : (mengambil buku menu sambil menoleh ke arah pelayan) Ya Alloh! Deni? Kamu kerja disini? (matanya terbelalak tak percaya).
Anis : (ikut menatap Deni dengan mata terbelalak) Ini benar Deni teman kita waktu SMA kan?
Deni : Linda? Anis? Ya Alloh akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan kalian (mengulurkan tangan untuk bersalaman).
Anis : Kamu kok bisa kerja disini? Bagaimana kuliah kedokterannya?
Deni : Ceritanya panjang Nis, awalnya sih aku percaya diri udah diterima kuliah kedokteran. Tapi pas ditengah jalan, aku malah gak serius belajar dan takut sama darah. Akhirnya ya aku keluar aja dari kampus.
Linda : Oh begitu, sabar ya Den. Siapa tahu nanti kamu justru jadi pengusaha.

Epilog
Akhirnya mereka pun kembali akrab dan saling berbagai nomor kontak terbaru. Deni menyadari bahwa selama ini ia kurang sungguh-sungguh dalam berjuang mengejar mimpinya menjadi dokter. Tapi, Anis dan Linda sebagai sahabatnya tetap mendukung dan menyemangati apapun keputusan Deni. Masih banyak jalan lain menuju kesuksesan di masa depan, asalkan kita mau bersungguh-sungguh.
Contoh teks drama di atas masih bisa dikembangkan lagi sesuai dengan kreativitas penulisnya. Semakin bagus plot dan konflik yang disajikan maka semakin bagus dramanya.



Para Pencari Keadilan; Pipiet Senja

$
0
0

 


Sinopsis

Hatta, Rumondang Siregar adalah satu-satunya Jaksa di Indonesia blasteran Batak-Tionghoa. Sejak bayi ia dalam pengasuhan keluarga besar ayahnya di kawasan Tapanuli Selatan, sementara kedua orang tuanya mengejar karier di Ibukota. Acapkali ia menerima tindak kekerasan dari neneknya. Beruntunglah ia memiliki seorang kakek yang sangat mengasihinya, sehingga membentuk karakter yang mandiri, dan istiqomah sebagai muslimah tangguh.

Ketika ia berhasil menduduki jabatan Jaksa di daerah, segenap pikiran dan upayanya dipusatkan demi memberantas para koruptor. Sepak-terjangnya ternyata membuat gerah para seniornya, maka ia pun ditarik ke Ibukota. 

Di sini ternyata ia harus berhadapan dengan situasi yang tak pernah terbayangkan; mulai dari intrik, isu murahan, sampai fitnah yang keji. Serbuan dan tantangan lawan itu bukan saja dari kalangan sejawat, melainkan juga dari keluarga besar ibunya sendiri, etnis Tionghoa. Bagaimana sepak-terjangnya, saat ia harus berhadapan dengan para sepupu dan pamannya sendiri yang ternyata adalah gembong narkoba? Dan ia pun menjadi korban dalam suatu tragedi pemboman di Mall. Dapatkah ia bangkit dari situasi in-coma yang mengenaskan itu?

Simak dan miliki novel inspirasi yang menggetarkan ini!

“Pipiet Senja seorang perempuan yang konsisten dengan kesederhanaan, baik dalam kehidupan maupun karya-karyanya. Namun, siapa yang bisa menampik bahwa di balik kesederhanaan itu tersimpan suatu kekuatan maha?” Teddy SNADA, penyair, munsyid)

“Saya menemukan keteguhan sekaligus kelembutan yang patut menjadi contoh. Setiap kata yang ditulisnya sarat dengan makna yang tulus, yang hanya bisa keluar dari hati yang tulus pula.“(Arul Khan, penulis, pengelola www.menulisyuk.com)

Bab Satu
Sepotong Pagi Mencari Jatidiri
Bada shalat subuh Rumondang keluar dari biliknya. Hawa dingin segera menyergap wajahnya begitu kakinya menuruni tangga kayu sopo godang1milik kakeknya. Sebuah rumah adat Batak berbentuk panggung tinggi, terbuat dari kayu-kayu jati yang kokoh. Biliknya dari anyaman bambu dengan atap rumbia. Ketika dirinya masih kecil, di bawah panggung itulah sudut favoritnya tempat bermain rumah-rumahan bersama sepupu-sepupunya.
Di kampungnya sopo godang milik Ompung2 terbilang bangunan paling bagus. Sebab Ompung Ni Sahat adalah orang yang sangat kayaraya. Sabak3-nya tak terhitung banyaknya, lumbungnya yang selalu penuh berada di tiap sudut pekarangan dengan luas entah berapa hektar. Belum lagi hewan peliharaannya, kambing, sapi, kerbau, ayam, bebek….
“Guuuk! Guuuk! Guuuk!”

“Nguuuk! Nguuuk! Waaau! Waaau!”

Monyet-monyet bergelantungan dari pohon yang satu ke pohon lainnya sambil menjerit-jerit riuh.

"Iiih, bikin halak4  kaget  saja!” gumamnya.

Rumondang Siregar, seorang gadis berumur 16,  dengan rambut panjang lebat tersembunyi di balik jilbab kaos berwarna putih. Tubuhnya yang tinggi ramping terbalut dalam stelan baju olah raga. Dia baru usai Ebtanas SMU di Padang Sidempuan, masih harap-harap cemas nilai-nilainya akan sebagus prestasi sebelumnya. Rasa cemasnya sesungguhnya tidak perlu. Sebab siapapun sudah tahu, Rumondang hampir tiap tahun menyabet peringkat pertama di sekolahnya.

“Guuuk! Nguuk! Waau!”

            Ia tersenyum simpul sendiri. ”Kalian itu tak bisa kompak pula rupanya, ya?” katanya sambil memerhatikan makhluk-makhluk lucu yang bergelayunan tak jauh dari atas kepalanya. Dia sama sekali tidak merasa takut. Sebab sejak kecil dirinya sudah akrab dengan binatang-binatang lucu itu.

            Rindu pula rupanya kalian itu sama aku, ya? Hihi, sudah lama juga tak ketemu kita nih. Salah siapa coba? Aku sibuk Ebtanas sementara kalian sibuk bergelayunan terus, ya? Rumondang terus berceletoh dalam hatinya.

Mulanya dia berjalan santai, menapaki jalan setapak menuju Utara kampungnya. Hanya saat dia melintasi sungai tiba-tiba entah mengapa bulu romanya meremang. Sepi, senyap dan memang sungguh lengang. Ke mana saja orang-orang itu? Kan biasanya juga ramai di sungai ini?

“Wuiih! Wuiih….”

Tangannya sibuk menepis-nepiskan rumput ilalang yang menghalangi jalannya. Ilalang setinggi orang dewasa begitu lebat bagai tak bertepi. Namun tubuh ramping itu terus menyelusup di antara ilalang, pepohonan dan semak belukar.

“Ooh, iya, ya…. Ini musim panen raya,” gumamnya membatin.

Rumondang baru teringat kembali akan percakapannya tadi malam dengan Bou5Taing, saudara perempuan ayahnya.

“Tiap subuh orang sini sudah berangkat ke sabak. Bagaimana dengan kau? Apa kau mau ikut kami besok itu, Butet?” tanya Bou Taing.

“Iya, bantulah kami panen, Butet!” kata Tigor, suami Taing.

            “Maaf, kalau besok aku tak bisa. Aku mau ke kubur Ompungboru7,” sahutnya tegas. Tak ada yang melarang atau membantah, bahkan tak ada yang berkata-kata lagi. Memang sejak dulu pun sikap mereka selalu begitu. Tak pedulian terhadap dirinya. Biarlah, daripada mendengar omelan dan sumpah serapah BouTaing. Sebab sekalinya bicara, omongan perempuan itu sering amat melukai hatinya.

“Anak Cina itu takkan kerasanlah lama-lama di kampung. Seharusnya kau  tinggal di kotalah itu, Amoy!”

“Pergilah ke keluarga Cina kau itu di Medan!”

Baiklah, anak Cina, katanya tandas. Tanpa tedeng aling-aling. Ibu yang melahirkan dirinya memang seorang wanita keturunan Tionghoa. Wu Siao Lien nama Tionghoanya. Nama pribuminya Maharani Sanjaya. Cantik jelita wajah ibuku itu dalam potretnya, pikir Rumondang. Ya, dia hanya mengenalnya dalam potretnya. Sebab dia sudah ditinggalkan oleh ibunya sejak berumur setahun. Bukan ditinggalkan ke alam baka, tapi entah pergi ke mana.

            Rumondang takkan melupakan hari-harinya ketika kanak-kanak. Perilaku neneknya dan saudara-saudara ayahnya sering menyakiti perasaannya. Bahkan bukan saja secara batiniah melainkan juga fisiknya. Serasa masih terngiang-ngiang di telinganya omongan Ompungboru.

“Ibu kau itu minggat, Butet!”

“Kalau sudah besar nanti, kau pun akan benci sama ibu macam si Siao Lien itu. Percayalah sama aku!” ujarnya ketika Rumondang kelas enam SD.

“Tapi kenapa, Pung?”

“Si Siao Lien  itu bukan boru8 baik-baik, mengerti?!” cetusnya bernada penuh kegeraman dan kebencian.

“Eh…. Jadi, macam perempuan mana pula Ibu aku itu, Pung?”

“Pokoknya perempuan tak baiklah Ibu kau itu, Butet!” dengusnya mengulang-ulang, entah untuk ke berapa kalinya.”Dia itu tak bisa diajak hidup sengsara sama suami….”

“Artinya, dulu memang betul orang tuaku itu pernah hidup sengsara di kampung kita, ya Pung?” tukas Rumondang.

“Hanya sebentar. Tak ada kerjanya pula selain mengurung diri di kamar. Entah bikin apa itu, mengetik…?”

“Mengetik, Pung? Mengetik apa? Sebenarnya apa pekerjaan ibuku dulu, Pung?” Ini kesempatan baik untuk mengorek perihal orang tuanya. Biasanya tak ada seorang pun yang mau menyinggung perihal mereka. Terutama tentang ibu kandungnya. Seakan-akan telah menjadi tabu, pantangan berat bagi keluarga besar ayahnya.

            “Kurasa dia itu cuma ikut-ikutan anakku saja,” kata perempuan tua itu sambil menumbuk padi dengan kekuatannya yang luar biasa. Sering Rumondang merasa heran akan kekuatan fisik yang dimiliki perempuan tua berperawakan tinggi besar itu. Ompungborumengerjakan segalanya seorang diri!

          “Kata  Uda Tigor, ayahku itu seorang seniman, Pung?”

          “Iyalah, betul itu! Sudah jadi seniman terkenal anakku itu sebelum kawin sama si Siao Lien. Orang bilang penyair, begitulah…. Gara-gara kawin sama halak Cino, kacau  pulanya hidup anakku itu! Jadi Sampuraga8-lah dia itu. Bah!”

            Tiba-tiba perempuan tua itu berhenti menumbuk. Sepasang matanya dilayangkan ke kejauhan, ke ufuk langit berwarna biru bening. Rumondang sering berpikir, adakah Ompungborupernah merindukan putranya? Anak laki-lakinya semata wayang? Sebab seingatnya, neneknya tak pernah memperlihatkan kerinduannya kepada siapapun. Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, penyokong utama keluarga besarnya sudah menguras seluruh enerjinya.

Namun, kalau untuk urusan sumpah serapah…. Dialah biangnya!

            “Hei, sudahlah jangan mau tahu cerita orang tua kau. Sekarang kau ini kan sudah lama ditinggal mereka. Kau ini dibuang, Butet. Makanya kau harus bisa menitipkan diri. Jangan banyak main. Sekolah pun usahlah tinggi-tinggi. Diam sajalah kau di rumah. Kerja di sabak, menyangkul, panen, menggembala ternak, bantu-bantu aku…. Cukuplah begitu kehidupan kau itu, Butet!” ceracaunya tak tertahankan lagi.

            Syukurlah, Sang Maha Pencipta menjemput neneknya tak lama setelah Rumondang lulus SD dan sangat menginginkan melanjutkan sekolah. Neneknya meninggal akibat dehidrasi, muntaber. Tak mau dibawa ke Puskesmas atau dokter. Bahna malas dan kikirnya mengeluarkan isi kocek yang selalu disimpannya dengan sangat telaten di lemari tuanya.

            Memang ada bagusnya bagi Rumondang ditingalkan oleh neneknya. Karena perilaku dan keinginan sang nenek sangat berbeda dengan nenek-nenek temannya. Nenek temannya punya keinginan melihat dan memajukan anak cucu, mengejar cita-cita. Seperti Ompungsi Liani, meskipun sangat miskin, bersikukuh menyekolahkan anak dan cucu ke perguruan tinggi. Dibela-bela walau harus berutang sana-sini, menggadaikan bahkan sampai menjual seluruh harta benda.

            “Kalau Ompung perempuan masih ada, tentu aku takkan bisa sekolah di Sidempuan macam sekarang, ya Pung?” cetus Rumondang ketika diantar oleh kakeknya ke tempat kos di Kabupaten.

Saat itu dia akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMU. Di kampungnya belum ada SMP. Jadi ketika SMP pun dia harus berjalan kaki sepuluh kilometer pulang dan pergi ke kecamatan.           

            “Iyalah. Aku pun takkan kawin lagi sama si Joruk, bekas teman kau itu,” sahut kakeknya sambil terkekeh. Rumondang mesem dan menggoda kakeknya.”Jadi, lebih suka mana, Pung? Saat masih ada Ompung perempuan atau sekarang?”

          “Ah, macam mana pertanyaan kau itu? Menggoda aku saja, ya?” elaknya tersiup malu, tapi sesaat kemudian dilanjutkannya. ”Tapi Butet, kalau aku pikir-pikir pula, bah! Enakan sekaranglah kita ini, ya Butet? Tak ada lagi tukang sumpah-serapah di rumah. Artinya, dingin kuping bening matalah kita ini. Iya kan, Butet?”

      Rumondang tertawa tergugu melihat kelakuan kakeknya. Belum 40 hari meninggal Ompung perempuan, ketika Ompung menikah lagi. Joruk, bekas sobat kecilnya, teman bermain di sungai dan mengaji di surau. Tentu saja mulanya tindakan kakeknya ini, menjadi gunjingan orang sekampung. Namun, kemudian reda sendiri.

Siapa pula yang berani ganggu-gugat kakeknya? Orang yang paling berkuasa, banyak harta, baik budi, ringan hati dan selalu berbagi dengan masyarakat sekitarnya. Seorang pelopor pendidikan di desa mereka. Karena pernah berkelana ke Malaysia, Makkah dan Irak.

Biarlah Sang Khalifah punya istri lagi, pikir mereka.

Lagipula, memang diwenangkan meski dia ingin punya istri sampai empat sekalipun. Iya kan? Apalagi ini sedang melajang kembali. Siapa pula yang mau kedinginan sendirian, menjelang hari-hari senja dalam hidupnya? Nah, yang penting dia tetap baik hati, selalu ikhlas berbagi hartanya dengan masyarakat.

          Walau mendapat tentangan hebat juga dari anak-anak Ompung perempuan. Ompungtetap melanjutkan niat dan hasratnya, menikahi remaja belasan sebaya cucunya. Dia merasa sudah cukup adil, membagikan sebagian hartanya dengan anak-anaknya. Hidup akan terus berlanjut baginya. Setelah dua per tiga hidupnya dihabiskan dengan seorang istri nyinyir. Dia masih ingin menikmati sisa-sisa  hidupnya dalam suasana yang sangat berbeda.

“Hmm, OmpungOmpung,” gumam Rumondang sambil mesem-mesem sendiri. Teringat kembali bagaimana saat kakeknya begitu keras kepala, melaksanakan keinginannya menikahi Joruk.

“Tak takut dimusuhi anak-anaknya, tetap berkeras menikahi Joruk. Hm, sebenarnya  alasan apa, ya Ompung itu? Segitu umurnya konon sudah 105 tahun?!”

Ah, tapi meskipun sudah lebih seabad begitu, penampilan kakeknya tampak segar bugar dan kuat. Gigi-giginya masih banyak, rapi dan kokoh. Matanya pun masih awas, tanpa kacamata. Perawakannya juga sama sekali tidak bungkuk, apalagi peot.

Ompung masih gagah, kuat dan tegar sekali. Dan suaranya bila sedang mengajari anak-anak mengaji atau markobar9itu; subhanallah, begitu lantang dan bening!

“He, tunggu!”

Di atas sebuah rambin10bambu. Ada seseorang yang menyapanya lantang. Rumondang merandek dan kehilangan seluruh lamunannya. Di depannya menjulang seorang wanita separuh baya. Dia meletakkan bawaannya berupa sekarung padi, yang semula dijunjung di atas kepalanya. Agaknya hendak dibawa ke poken11. Hari Kemis memang hari pasar di kampung mereka.

“Ya?” Rumondang menatapnya. Peluh bercucuran di sekujur tubuh wanita perkasa itu. Wajahnya yang persegi, wajah khas wanita Batak tampak memerah dan kehitaman. Seraut wajah yang akrab dengan sengatan matahari.

“Cucunya si Ompung Ni Sahat kau ini, ya?” cetusnya sambil tersengal-sengal, berusaha meredakan napasnya.

“Eee, iya…. Siapa, ya?” Rumondang balik bertanya. Dia sungguh mengagumi kekuatan dan kemandirian wanita-wanita perkasa di kampungnya. Termasuk wanita di hadapannya juga mendiang neneknya.

“Alaaah kau ini….” Ditepuknya pipi Rumondang agak keras, hingga gadis itu terkejut. ”Sombong ‘kali, bah!  Aku ini Inangboru kaulah itu, Butet! Si Sagala, ingat kau sama anak sulungku itu kan?”

“Bang Sagala  yang di kampung seberang. itu, ya?”

“Iyalah itu! Masa pula kau lupa sama anakku itu? Calon suami kaulah dia itu, Butet…. Kapan kau datang dari Sidempuan?”

“Eeeh, eeh, tadi malam…,” sahut Rumondang dengan wajah bagai terbakar. Orang tua ini kok tanpa tedeng aling-aling ‘kali, bah! Pake mengaku-aku anaknya calon suamiku segala? Rumondang mendumel dalam hati.

“Sudah lulus kau sekarang, ya Butet?”

“Sudah, eeh, maksudku lagi tunggu pengumumanlah…”

“Kalau kau ini pastilah lulus. Pintar kan kau ini, Butet. Macam Ibu kau itu, cantik dan pintar…. He, mau ke mana memangnya kau ini?”

“Ke kubur Ompung, Bou.”

“Jangan lupa nanti mampir ke rumah kami, ya. Abang kau si Sagala lagi di rumah. Menganggur dulu dia sekarang, motor ojeknya lagi ngadat….” Berkata begitu tangan-tangannya yang kokoh mengangkat kembali karung bawaannya. Peeng, bleek ditempelkan kembali di punggungnya. Tanpa minta bantuan siapapun. Selang sesaat perempuan itu sudah berjalan cepat melintasi sisa rambinmenuju poken.

Rumondang geleng kepala. Kekuatan perempuan itu mengingatkannya kepada mendiang neneknya. Kuat bagai banteng ketaton neneknya itu. Kalau musim panen neneknya akan turun langsung sendiri. Sering mengangkuti padi berkarung-karung dari pesawahan ke rumah mereka. Perjalanan jauh lima-enam kilometer, terus diangkuti bolak-balik dan berhari-hari demikian. Sejak muda hingga tua. Aneh, padahal neneknya seorang istri orang berada.

“Menyuruh halak kau bilang, Butet? Bah! Baiknya aku kerjakan saja sendiri. Biar hematlah kita!” begitu dalihnya selalu setiap kali Rumondang mengasihaninya.

Menurut cerita Ompung, saat pertama kali mereka menikah pernah neneknya diajari membaca dan menulis. Sekali-dua masih mau mematuhi suami. Namun, hari-hari selanjutnya neneknya lebih suka memilih mengambil cangkul dan pergi ke sawah. Mendingan mencangkul tanah keras bagai cadas daripada belajar baca tulis, katanya. Karena itu sampai akhir hayatnya neneknya tetap seorang buta huruf. Namun, anehnya dalam hal hitung menghitung penjualan hasil panen…. Tak perlu kalkulator lagi!

Orang sekampung sudah mengetahui hal itu. Kakek gemar membaca, mencari ilmu dunia-akhirat seakan tak pernah henti. Sebaliknya neneknya mengelola harta peninggalan leluhur dengan telaten dan cermat.

Sering pula neneknya mengeluh. ”Mau tahu kerja Ompungkau itu, Butet? Begitu sajalah dari dulu, baca buku, kitab, mengaji. Kalau bosan pergi dia ke lapo tuak12sama teman-temannya!”

@@@

 

 

 

 



1rumah adat Batak

2kakek atau nenek

3sawah

4orang

5sebutan untuk tante, adik perempuan bapak

7nenek perempuan

8 perempuan

8 nama tokoh legenda Batak kisahnya mirip Malin Kundang

9 berbicara dalam suatu pertemuan adat keluarga

10 jembatan

11 pekan, pasar kaget seminggu sekali

12 kedai tuak

Article 0

$
0
0





Ini Cathar Putriku Ketika Kelas 1 SMP

Aku Pernah Malu Menjadi Anak Indonesia

Butet Siregar

Heloooow, Indonesia is my lovely country. How are you today?

Wuiiis, ngapain coba ujug-ujug sok nginggris tuh? Memang kalau pake bahasa Indonesia kenapa? Apa takut dibilang gak gaul? Kuper atawa emang bawaan kamu saja yang sok, sok barat, gitchu?

Inga-inga loh, kamu itu biar gimana juga kan tetep saja anak Indo, eeh, Indonesia!. It’s destiny!

Iya, iya, siapa juga yang gak ngaku anak Indo, eeh, Indonesia? Cuma terus terang, boleh kan jujur ria? Jawab boleh, okey? Maksa banget!

Habis, kalau gak maksa seringnya dicuekbebek. Yeeh, beneran nih, sekarang aku mau serius, sueeer! Seriuuuus!

Begini. Sering aku merasa gerah, bete, sebel, gemes, ujung-ujungnya malu jadi anak Indonesia. Sebentar, jangan protes dulu, Bro, Sis!

Iya, aku mau rinci nih cathar geramku. Awalnya pengalamanku waktu kelas empat SD. Dokter di rumah sakit, jangan disebut deh namanya. Yang jelas rumah sakit pemerintah yang konon murah-meriah dan bisa pake Gakin, gratisan untuk orang miskin.

Tuh dokter bilang kalau aku kena flek di paru-paru. Dokternya sih baik dan perhatian. Tapi perawatnya itu lho. Sudah tampangnya merengut melulu. Pakai ada agenda bentak-bentakan dan penghinaan segala, hikkksss!

“Jangan banyak tanya! Tunggu aja, ntar juga dipanggil!” sergah tuh perawat judes bin galak, kayak apa tauk yang suka galak-galak itu?

Tiga jam aku dan ibuku nunggu di ruang tunggu yang sumpek. Orang merokok seenaknya. Padahal sudah ditulis gede-gede Areal Bebas Merokok. Eh, iya, diartikan boleh merokok sebebsanya kali, ya?

Sampah di mana-mana, malah ada yang buang ingus dan dahak di lantai segala. Beginilah masyarakat Indonesia, Meeen. Di mana tuh disiplinnya? Cinta lingkungannya? Malu-maluin deh, aaah!

Pas giliranku ditimbang, sang perawat (umurnya sudah sepuh, bentar lagi pensiun ‘kali) komentar gini; “Apa? Cuma 14 kilo seumur kamu? Emang kamu dikasih makan apaan sama orang tua kamu? Eeh, tauk nggak… Harusnya berat badan kamu tuh 25 kiloan!”

Aku masih ingat banget. Matanya sampai melotot-melotot kayak mau loncat. Bibirnya monyong-monyong saja!.

Terus, dia ngelirik kartu Askesku. “Bapak kamu di Depkes, ya? Masak sih orang kesehatan gak tau kesehatan? Kebangetan banget sih?!”

Suaranya yang cempreng kayak kaleng rombeng, lantang ke seantero ruang periksa. Semua mata langsung menyorot ke arahku dan ibuku.

Air mataku langsung netes, teeesss, teeesss… Apalagi pas kulihat wajah ibuku yang memang selalu pias, karena Thallasemia, mingkin pias kayak mayat!

Rasanya bener-bener dijorokkin sama tuh suster, kami berdua mendadak gembel. Eh, tapi belakangan aku merasa, lebih baik jadi gembel daripada jadi perawat judes, galak bin arogan kayak tuh Nenek Sihir!

Hhhh, rasanya gemes banget sama tuh petugas pelayanan kesehatan. Kata ibuku, mungkin karena kecapean atau kurang gajinya. Maklumin saja. Tapi buat anak-anak seumurku waktu itu 9 tahun, gak peduli cape kek, kurang gajinya kek. Kan memang sudah kerjaannya.

Ngapain juga pakai melampiaskan amarah sama pasien anak-anak coba? Kurang kerjaan amat!

Setiap kali aku ke poliklinik paru-paru itu, rasanya trauma banget sama tuh Nenek Sihir. Padahal aku harus bolak-balik berobat selama enam bulan. Wuiiih, bisa kalian bayangkan. Bagaimana dobelnya deritaku, sudah sakit, merasa terancam, takut lagi/ Hikkksss saja!

Ada lagi pengalaman yang bikin aku gerah jadi anak Indonesia. Waktu kelas 6 SD aku punya teman yang bodohnya minta ampun. Bayangin Men. Kelas enam bacanya saja masih dieja alias belepotan.

Anehnya tuh anak naik terus. Ada sih gosipnya, ortunya pakar banget urusan sogok-menyogok, suap-menyuap. Dia hobinya ngebully teman-teman yang punya kekurangan. Anak yang juling, misalnya. Anak tukang mie ayam. Anak miskin, ya ini, termasuk aku yang memang masih miskin waktu itu.

Mau tahu apa hubungan si Kurneng tukang bully, anak tukang nyogok itu dengan Indonesia? Ya, karena dia sama denganku dan teman-teman. Sama anak Indonesia. Bedanya dia mah gak hapal-hapal yang namanya Pancasila.

Nyambunglah, yaouw, semangaaaat!

Kampung Mepet Sawah, 2001


Jelajah Nusantara

$
0
0

 

Paket Jelajah Nusantara

Karya Pipiet Senja

 

Paket I : Jelajah Sumatera

1.   Jelajah Aceh: Keajaiban Museum Tsunami

2.   Jelajah Sumatera Utara: Jejak Dakwah Pangeran Rao

3.   Jelajah Sumatera Barat: Asal Legenda Si Malin Kundang

4.   Jelajah Jambi: Anak Kerinci Jadi Sultan

5.   Jelajah Bengkulu: Pesona Bumi Raflesia

6.   Jelajah Bangka Belitung: Nuansa Bakau Mangrove

7.   Jelajah Sumatera Selatan: Cantiknya Kain Songket

8.   Jelajah Lampung: Gajah Pintar Way Kambas

 

Paket II : Jelajah Jawa dan Bali

1. Jelajah Jakarta: Kota Tua Riwayatmu Kini

2. Jelajah Banten: Pesona Pulau Sangiang

3. Jelajah Jawa Barat: Permai Alam Parahiyangan

4. Jelajah Yogyakarta: Nuansa Laut Selatan

5 .Jelajah Jawa Tengah: Karimunjawa Nan Menawan

6. Jelajah Jawa Timur: Bumi Para Wali

7. Jelajah Bali: Pengasong Cilik di Kintamani

 

Paket III: Jelajah Indonesia Timur

1.  Jelajah Nusa Tenggara Barat: Mutiara Dari Selatan

2.  Jelajah Nusa Tenggara Timur:

3.   Jelajah Sulawesi Utara:

4.  Jelajah Sulawesi Selatan:

5.  Jelajah Kalimantan Barat:

6.  Jelajah Kalimantan Selatan

7.  Jelajah Papua:

8.  Jelajah Tembagapura:


Paket Jelajah Nusantara

Usia: 5 – 12 Tahun

 

 

 

 

 

Kota Tua Riwayatmu Kini

1

 

 

Pipiet Senja

 

 

 

 

Ilustrasi

Keluarga Zidan; Ayah, Bunda, Zidan dan Rolin

Ayah, Muslim berumur 35, Konsultan IT

Bunda, Muslimah berumur 35, Prajurit TNI/Kowal

Zidan, anak laki-laki 11 tahun kelas 6 SD, cerdas berkacamata

Rolin, anak laki-laki, Balita lucu, pintar, menggemaskan

Keluarga Qania: Abi, Ummi dan Qania

Abi, Muslim berumur 30, Musisi Nasyid

Ummi, Muslimah berumur 30, Notaris

Qania, anak perempuan 9 tahun kelas 4 SD, cantik, kreatif

 

 

 

 

 

 

Pengantar

 

Assalamu’ alaikum wr.wbb.

Selamat pagi, siang, dan sore, Anak Indonesia.

Kita jumpa kembalii dengan Zidan, Rolin dan Qania.

Pernahkah kalian diajak ayah-ibu untuk berwisata?

Pasti pernah, ya!

Zidan, Rolin dan Qania diajak Jelajah Jakarta.

Ternyata tidak bisa dijelajahi dalam sehari.

Banyak sekali tempat-tempat menyenangkan di sekitar Jakarta.

Ada Taman Mini Indonesia Indah.

Ada Dunia Fantasi.

Tak kalah menariknya adalah Kota Tua.

Kota Tua peninggalan zaman Belanda.

Kota Tua yang sangat berbeda kini.

Penasaran, ya, anak-anak Indonesia?

Mari, kita ikut Jelajah Jakarta.

 

Salam Luar Biasa, Anak Indonesia.

Pipiet Senja

1

Apa kabar, sahabat anak Indonesia.

Semoga selalu dalam ridho Allah SWT

Kali ini kita akan Jelajah Jakarta.

Jakarta Ibukota Republik Indonesia.

Siapkan fisik dan semangat jalan-jalan, ayo!

Ilustrasi: Zidan, Rolin dan Qania mengenakan pakaian adat Betawi.

 

2

Pagi itu keluarga Zidan dan Qania sudah siap.

Mereka berkumpul di rumah keluarga Zidan di Depok.

“Mengapa jelajahnya di Jakarta dulu, Ayah?”

Nah, Zidan kumat banyak bertanya.

“Jakarta adalah Ibukota Republik Indonesia,” jawab ayahnya.

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania berkumpul di rumah Zidan, Depok.

 

3

Bermula kota pelabuhan Sunda Kelapa.

Saat itu dikuasai oleh Kerajaan Hindu Pajajaran.

Menjadi pusat perdagangan memikat bangsa Portugis.

Portugis masuk mau membangun benteng di Muara Ciliwung.

Tahun 1527 Pangeran Fatahillah menguasai Sunda Kelapa.

Ilustrasi: Ayah Zidan cerita sejarah Jakarta di depan Zidan, Qania dan Rolin.

 

4

Pangeran Fatahillah mengubah namanya jadi Jayakarta.

Jayakarta semakin berkembang pesat.

Bangsa Eropa, Belanda, Portugis dan Inggris berdatangan.

Abad ke 17 Jayakarta dikuasai oleh Belanda.

Namanya diubah menjadi Batavia.

Ilustrasi: Zidan, Qania dan Rolin penasaran dengan kelanjutannya.



5

Saat itulah dibangun kanal-kanal di tengah kota.

Belanda lama juga menguasai Batavia.

Sekitar tiga abad dari 1619 sampai 1942.

Datang Jepang mau ganti nama Jakarta Tokubetsu Shi.

Jepang kalah dan Indonesia merdeka:”Hidup Jakarta!”

Ilustrasi: Anak-anak bersorak gembira, mengacungkan kepalan tangan segala.

 

6

“Tahukah Pahlawan Nasional Jakarta?” tanya Ayah Zidan.

“Bang Jampang!” kata Qania.

“Si Pitung kaliiii!” Zidan menukas.

“Iya, kita sudah nonton filmnya.” Rolin sepakat.

“Itu sih nama tokoh dalam cerita,” bantah Ayah Zidan.

Ilustrasi: Anak-anak berebut menjawab pertanyaan Ayah Zidan.

 

7

Satu Mohammad Husni Thamrin.

Dua Wage Rudolf Supratman.

Tiga Ismail Marzuki.

Empat Abdulrachman Saleh.

Lima Piere Tendean.

Ilustrasi: Anak-anak memperhatikan foto kelima Pahlawan Nasional Jakarta.

 

 

8

Esoknya mereka siap menuju Jakarta.

“Kita mau ke mana dulu, Yah?”

Ayah menepuk jidat.”Oh, itu! Monas!”

“Masih pagi belum buka tiket masuknya, Bang,” kata Mama Qania.

“Kita ikutan olahraga dulu seperti orang-orang,” ajak Ayah Zidan.

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania bergabung Olga di sekitar Monas.

 

10

Sambil jogging anak-anak menyimak Ayah Zidan.

Selain Stadion Gelora Bung Karno, GBK.

Jakarta kini punya stadion bertaraf internasional.

Namanya Jakarta International Stadium, JIS.

Taman seluas 66,6 hektar aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Ilustrasi: Zidan takjub lihat kemegahan Jakarta International Stadium, JIS.

 

11

Siangnya mereka naik lift menuju puncak Monas.

Di lantai bawah ada Diorama.

Sejarah Jakarta sejak zaman dahulu kala.

Semuanya dipajang di dalam etalase.

Dari puncak Monas bisa melihat pemandangan Ibukota.

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania berada di puncak Monas.

 

12

“Kita lanjut Jelajah Kota Tua,” ajak Mama Qania.

“Di mana itu, Ummi?” Qania penasaran.

“Di seberang Stasiun Kota,” jelas umminya.

“Nah, inilah Kota Tua….”

“Sudah banyak perubahannya….”

Ilustrasi: Zidan dan keluarga memasuki kawasan Kota Tua.

 

 

13

“Di sini ada macam-macam Museum, Nak,” ujar Ayah Zidan.

“Apa saja, Ayah?” Zidan penasaran.

“Ayo, kita jelajahi saja semampu kaki kita, ya,” ajak Abi Qania.

“Ayo, siapa takuuut!” sambut anak-anak kompak sekali.

“Semangaaat!” seru Rolin mengikuti Zidan dan Qania.

Ilustrasi: Keluarga Zidan menikmati keunikan Kota Tua.

 

14

Ayah Zidan memaparkan tentang sejarah Kota Tua.

Zaman Belanda Kota Tua dikenal dengan nama Batavia Lama.

Terkenal juga sebagai Permata Asia dan Ratu dari Timur.

Lokasinya strategis jadi pusat perdagangan di Asia.

Sumber dayanya melimpah ruah.

Ilustrasi: Zidan, Qania dan Rolin menyimak sejarah Kota Tua yang dipaparkan Ayah

Zidan.

 

15

Pada tahun 1972 Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan dekrit.

Kota Tua sebagai Situs Warisan.

Artinya melindungi dan melestarikan arsitek Kota Tua.

Kini walaupun sudah mengalami perombakan

Masih ada sisa arsitek gaya Eropa.

Ilustrasi: Zidan, Rolin dan Qania berfoto ria di depan  Masjid Fatahillah.

 

16

Ada Museum Bank Indonesia, Museum Sejarah Jakarta.

Museum Maritim dan Museum Bank Mandiri.

”Ada Museum Wayang, Museum Keramik juga!” seru Zidan.

Di Museum Mandiri Qania bersikeras singgah.

“Lihat, ada acara baca puisi. Jadi kangen Manini,” ajak Qania.

Ilustrasi: Qania serius menyimak acara Literasi, penyair baca puisi.

 

17

Kawasan Kota Tua diberlakukan Low Emission Zone.

“Apa artinya LEZ, Ummi?” Qania bertanya.

“Kawasan rendah emisi. Meningkatkan kualitas udara,” papar Ummi Qania.

“Jalanan di Kota Tua dilapisi antiskid atau antilicin.”

“Agar para pemotor tidak lagi tergelincir.”

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania naik sepeda melintasi kawasan Kota Tua.

 

18

Ternyata butuh waktu untuk berkeliling di Kota Tua.

Mereka sudah banyak juga melihat-lihat lokasinya.

Mulai dari bangunan bersejarah.

Hingga bangunan modern hasil perombakan.

Kota Tua sungguh berseri dengan wajah muda kembali.

Ilustrasi: Potret Gubernur Anies Baswedan meresmikan revitalisasi Kota Tua.

 

19

“Kita istirahat dan makan dulu, ya Yah?” Bunda Zidan mengingatkan.

“Kita makan di Kafe Nusantara,” ajak Ummi Qania.

“Aku mau makan Soto Mie Bogor,” ujar Qania.

“Aku suka makanan Padang,” sambung Zidan.

Semua tertawa geli ketika Rolin berkata:”Susu dulu, Ndaaa….”

Ilustrasi: Zidan, Qania dan Rolin asyik santap siang di Kafe Nusantara.

 

20

“Ada penginapan Bobobox di Kota Tua,” cetus Ayah Zidan.

“Oya, hotel Kapsul itu!” sambut Abi Qania.

“Murah meriah dan nyaman,” lanjut Ummi Qania.

“Musim liburan begini mungkin sudah penuh,” kata Bunda Zidan.

“Tenang saja. Ayah sudah pesan online 3 Kapsul,” ujar Ayah Zidan kalem.

Ilutrasi: Zidan, Qania dan Rolin senang sekali menginap di Bobobox.

 

21

Esoknya mereka sholat subuh di Masjid Luar Batang.

Dilanjutkan ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan.

“Sarapannya hidangan seafood di Pasar Ikan, anak-anak,” ajak Ayah Zidan.

“Asyiiiik, pesta seafood!” Qania dan Rolin berjingkrak, girang.

“Heee, alhamdulillah begitu,” tukas Zidan mengingatkan.

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania beriringan menuju Masjid Luar Batang.

 

22

“Kita mau lanjut ke mana sekarang, Bunda?” Zidan bertanya.

“Kita ke Taman Mini Indonesia Indah,” jawab Bunda Zidan.

“Kapan ke Dunia Fantasi, Uwak?” tanya Qania.

“Kalau masih siang, kita lanjutkan!” janji Bunda Zidan.

“Asyik, Dufan!” seru Zidan, Qania dan Rolin.

Ilustrasi: Zidan, Qania, Ayah dan Bunda memasuki kawasan TMII.

 

23

Di TMII ada banyak bangunan dan budaya Indonesia.

Bangunannya disebut Anjungan. Semua propinsi ada di sini.

Zidan berseru senang diajak naik kereta layang.

“Ini namanya Monorail,” jelas Bunda.

“Seperti nama ayam bakar. Hihi,” komentar Zidan.

Ilustrasi: Anjungan DKI, Jabar, Jateng, Jatim, Bali. Dari Sabang sampai Merauke.

 

24

Begitu turun dari Monorail, Qania merasa pusing.

“Aduuuuh, pusiiiing!” keluh Qania.

“Sini Qania, mau susu ya?” Rolin menawarkan susu.

“Iiiih, pusing, mual…. Air hangat saja,” pinta Qania.

Semua jadi heboh membantu Qania.

Ilustrasi: Qania mengusap-usap jidatnya. Merasa pusing!

Zidan menyodorkan minuman buat sepupunya.

 

25

“Makanya, jangan lupa makan dan minum,” sindir Abi Qania.

“Memang sudah waktu makan siang nih?” Qania menatap ayahnya.

“Iyalah, gak terasa sudah lewat tengah hari,” timpah Ummi Qania.

”Baiklah, kita makan dulu, ayo!” ajak Bunda Zidan, tersenyum.

“Asyiiiiiik!” seru Zidan, Rolin dan Qania, kompak sekali.

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania makan di tepi danau. Ada warung makan di situ.

 

26

Kemudian Ayah Zidan mengajak mereka ke Masjid Agung At-Tin.

“Indah sekali Masjid ini, ya Bunda,” komentar Zidan.

“Dibangun tahun 1997 digagas oleh Ibu Tien Suharto,” jelas Bunda Zidan.

At-Tin terinspirasi dari Surat At-Tin.

Diharapkan sebagai oase spriritual dan intelektual.

Ilustrasi: Keluarga Zidan dan Qania beriringan memasuki Masjid Agung At-Tin di TMII.

 

27

“Masih siang, mari kita lanjutkan ke Dufan!” ajak Ayah Zidan.

“Eh, apa itu, Ufaaaan?” Rolin celingukan.

“Iiih, bukan Ufan, Rolin. Tapi Dufan!” sahut Zidan.

Sampailah Zidan dan keluarga di Dunia Fantasi.

“Tiket masuknya mahaaaal!” seru Zidan.

Ilustrasi: Zidan dan Qania berjingkrak kegirangan diajak ke Dunia Fantasi.

Hari Libur Rp.265.000,- Hari Senin-Jumat: Rp.235.000,-

 

28

“Tidak-apa-apa, kita sudah menabung demi Dufan.” Bunda menenangkannya.

“Begitu, ya? Hmm, baiklah kalau begitu.” Zidan lega.

“Ummi, banyak sekali orangnya!” keluh Qania.

“Oh, iya ya! Ini hari libur. Antriannya panjang sekali.” Umminya baru menyadari.

“Kita pilih Wahana yang tidak antri panjang saja,” saran Abi Qania.

Ilustrasi: Bunda menenangkan Zidan, mengusap-usap punggungnya.

Qania ikutan mengusap-usap punggung Zidan. Lucuuu!

 

29

Setelah susah-payah mencari permainan.

Mereka berhasil naik Ontang-Anting.

Awalnya Zidan dan Qania senang saja.

Lama-kelamaan ayunannya kencang sekali.

“Duuuuh, duuuh!” teriak Zidan, ngeri.

Ilustrasi: Zidan dan Qania ngeri dengan ayunan kencang Ontang-anting.

 

30

Para orang tua sibuk menenangkan Zidan dan Qania.

Zidan merasa: “Kepalaku keleyengan, duuuuh….”

Qania pun sama mengeluh pusing dan mual.

Para orang tua kemudian berunding.

“Hampir semua permainan tidak cocok untuk anak-anak,” cetus Ayah Zidan.

Ilustrasi: Orang tua sibuk berunding sambil menenangkan anak-anak.

 

31

“Bagaimana kalau kita ke Istana Boneka?” ajak Ummi Qania.

“Nah, iya benar sekali Istana Boneka!” seru Zidan.

“Paling cocok untuk keluarga, ya Nak?” sambut Bunda Zidan.

“Kita bisa naik perahu bersama, ya Aa Zidan?” tanya Qania.

Rolin tak mau kalah menyambutnya.”Asyiiik, naik perahu minum susu!””

Ilustrasi: Keluarga Zidan naik perahu berkeliling Istana Boneka.

 

32

Kemudian mereka memasuki ke Sea World.

Senang sekali melihat aneka ikan laut.

Bentuknya indah-indah dan unik-unik.

Rolin sampai loncat-loncat kegirangan.

“Aku mau jadi lumba-lumba, ah!” komentar Rolin.

Ilustrasi: Zidan, Rolin dan Qania sukacita lihat lumba-lumba meloncati lingkaran api.

 

33

“Eh, lumba-lumba bisa berhitung!” seru Zidan, terkagum-kagum.

“Sekarang lumba-lumba boleh dicium, ya anak-anak,” suara pembawa acara.

“Qania, ayo, kita cium lumba-lumba,” ajak Zidan.

“Ayo, ayo. Rolin juga ikut!” Qania menuntun Rolin.

Bunda dan Ummi mendampingi anak-anak maju ke dekat kolam.

Ilustrasi: Zidan, Rolin dan Qania gantian mencium lumba-lumba.

 

34

Keluarga Zidan dan Qania sholat Maghrib di tepi pantai.

Ayah Zidan menjadi imam.

Pemandangan senja hari di pantai sungguh indah.

Bulatan matahari berwarna keemasan.

Semua terdiam karena terpesona.

Ilustrasi: Keluarga Zidan sholat berjamaah di tepi pantai.

 

35

“Nah, sekarang kita makan malam,” ajak Ayah.

“Bekal kita sudah habis, Yah,” sahut Bunda.

“Eh, gubraaak deh!” seru Zidan, kocak sekali.

Semua tertawa geli melihat kelakuan Zidan.

“Makan di Kafelah, nanti Abi yang traktir!” ajak Abi Qania.

Ilustrasi: Zidan bergaya bodor, teriak:”Gubraaak!”

 

36

Akhirnya Jelajah Jakarta usai sudah.

Zidan, Rolin dan Qania tertidur kelelahan di mobil.

Mereka bersyukur pulang dengan selamat.

“Alhamdulillah wa syukurilah….”

Semua mengucap hamdalah.

Ilustrasi: Ayah menuntun Zidan. Bunda memangku Rolin. Qania digandeng oleh Ummi

dan Abi. Semua memasuki rumah Zidan di Depok.

 

Tip Jelajah Nusantara

·         Siapkan bekal makanan, minuman dan kotak P3K.

·         Ajak anak duduk bareng; bahas tujuan jelajah .

·         Tanamkan kepada anak makna jelajah suatu tempat.

·         Tidak lupa dengan sholat lima waktu.

Tamat

 
Endorse

Siapa yang tidak mengenal Ibukota Republik Indonesia?

Anak dari daerah tentu ada yang belum mengenal Jakarta.

Nah, Zidan, Rolin dan Qania mengajak kalian Jelajah Jakarta.

Ada Taman Mini Indonesia Indah dan Dunia Fantasi.

Ternyata ada Jelajah Kota Tua, loh!

Kawasan peninggalan penjajah Belanda.

Kini telah disulap menjadi kawasan hijau dan bersejarah.

Wajah baru Kota Tua menjadi berseri dan muda kembali.

Penasaran, bukan?

Hayu, Jelajah Jakarta bersama Zidan, Rolin dan Qania.

 

 

 

 

 









 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumedang Larang Lembur Panineungan

$
0
0

 


Mangsa Budak

Pipiet Senja

               

Basa beus anu ditumpakan ku kuring nyemprung muru kota Sumedang, duka kumaha da eta mah hate ngadadak rus-ras, bruh-breh sagala panineungan mangsa budak. Pasulabreng dina uteuk lir gambar-gambar beunang rekaan sutradara dina  film atawa sinetron…

“Isukan urang ngalongok Emah di Cimahi, nya Tikeu,” saur Apa hiji poe barang datang ka bumina Nini di pengkolan Regol, Sumedang.”Miangna kudu pasusubuh sangkan henteu kapanasan di jalanna…”

Kituna teh bari sok mikeun kueh onde-onde Bandung anu sagede-gede bal tenis tea. Beunang ngahaja meuli ti langganan oleh-oleh ti Emih, cenah. Emih teh Embuna Apa.

Leuh, kuring mani jigrah, bungah naker. Sidik geus sababaraha poe teu manggihan kadaharan anu ngareunah. Ninina tacan nampa pangsiunan, da biasana oge ari keur nyekel duit mah Nini tara teuing ngoretkeun. Osok sagala disadiakeun rupa-rupa kadaharan. Ongkoh Nini kawilang resep katuangan anu raraos. Sakapeung mah dibelaan anjuk-hutang tateh.

“Karek oge jol atuh, Cep,” tempas Nini anu nuju calik dina amben bari ngabulaeh nyeupah.”Kumaha kitu ayeuna kaayaan Nok Alit teh, Cep?” Nini mah da menak, ari nyarios tara kendat ku tata-titi sakumaha ilaharna teureuh menak.

“Manawi Embu, henteu patos sae puguh ge,” kapireng Apa ngadadak ngaheruk. Liren ngudul-ngudulkeun eusi ranselna. Pameunteuna anu biasana kereng perbawaning tantara tea, katingal bangun ngemu kabingung tur kahariwang.”Saur dokter mah darah tinggi…”

“Naon kitu anu karasana ku Nok Alit ayeuna teh, Cep?”

“Muhun sapertos kamarina we, Embu, nyeri sirah bae…. Eeh, candakan geura sadayana ka dapur, Ai. Pasihkeun ka Bi Eha, nya!” cenah ka Teh Ai anu ti tatadi ngajeten gigireun Nini ngadedengekeun anu gunem catur. Teh Ai dulur sabrayna anu geus dirorok ti umur bubulanan ku Emah sareng Apa.

Teh Ai sakedapan mah kalah neuteup pameunteu Apa.”Kenging Ai ngiring ka Cimahi? Hoyong ngalongok Emah,” pokna bari bangun luwa-lewe. Umurna beda opat taunan jeung kuring, pangawakanana oge bongsor.

“Kenging wae ngan henteu bisa ayeuna. Apan Ai mah keur sakola. Jabaning sakeudeung deui ulangan umum, lin?” Harita Teh Ai geus kelas opat SD, baheula mah SR keneh ketang, di SR 1  Sukaraja.

“Geuning Tikeu henteu kudu sakola?” cenah protes.

“Tikeu mah karek Taman Kanak-kanak, teu nanaon merekeun maneh ge.”

“Enya, engke we Ai mah lamun geus pere. Dibarengan ku Nini, nya!” saur Nini enggal ngabebenjokeun Ai

Kuring anu harita karek taman kanak-kanak tiba manghandeueulkeun. Pasti resep ari nyaba aya batur ulin mah. Kacipta, meureun bisa silih gonjak, galecok ngobrol, heg tutunjuk itu-ieu anu katempo sajeroning dina beus. Ngabebenjokeun kabosen, jabaning kuring mah osok mabok ari nyanyabaan jauh teh.

”Cig pasihkeun ka Bi Eha oleh-oleh Bandung teh,” saur Apa deui.

Teh Ai henteu bisa manggapulia, bari ngangkut karanjang pinuh ku sayuran seger sarupaning wortel, kembang engkol jeung onde-onde ngareretan heula ka palebah kuring. Kacirina bangun baketat-baketut. Sorangan mah jongjon we ngahekak onde-onde, bari nuluykeun ngadedengekeun anu gunem catur.

“Cobaan atuh ka nu bisa, Cep, bisi we ieu mah alatan wisaya deungeun,” saur Nini deui.”Biheung aya anu sirik ka Encep, tapi keunana kalah ka Nok Alit… Encep onaman loba elmuna!

Basa geus rada gede kuring karek ngarti, kunaon Apa mindeng disarebut loba elmuna ku wargi-wargi Nini. Ilaharna tantara atawa prajurit Sliwangi dina pajamanan riceuw ku gorombolan DI, cenah mah osok ngarelmu kasakten ka para Kyai atawa guru kadugalan.

Cenah mah deuih, Apa oge da boga elmu kadugalan. Buktina kungsi dikadek ku bedog Mang Umar… hiih, da henteu teurak! Ceuk ujaring carita ketah, da sorangan mah tacan kungsi nalingakeun Apa dina kaayaan kitu. Teu wararasa teuing barina ge kudu nyaksian nu jadi bapa dikadekan batur!

***

           



Viewing all 195 articles
Browse latest View live