Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Prolog: Bagaimana Aku Bertahan- Pipiet Senja

$
0
0



Prolog: Bagaimana Aku Bertahan

Anno, akhir 2015.
Ketika aku menulis prolog untuk buku memoar yang masih kuberi judul Dalam Semesta Cinta atau boleh juga Bagaimana Aku Bertahan ini, kondisi kesehatanku boleh dikatakan tidak stabil. Kadang jantung terasa nyeri dengan napas yang sesak tiba-tiba. Kadar gula pun sejak 2012 turun naik, sehingga pernah mencapai di angka 300 setelah sarapan.

Sementara takaran darah masih terjaga di tataran 7, sebab aku berusaha memenuhi jadwal transfusi darah secara rutin tiap tiga bulan sekali. Dengan penyakit kelainan darah bawaan plus jantung bermasalah dan pancreas terganggu, terus terang aku harus melakoni hari-hari yang cukup sulit.

Satu pagi di penghjung tahun 2012, ketika aku baru mengambil air wudhu untuk sholat Dhuha. Tiba-tiba napasku sesak sekali disertai rasa nyeri luar biasa di bagian kiri dada. Rasanya menusuk-nusuk bahkan dalam sekejap rasa nyeri itu seakan merambah ke punggung. Tak tahan dengan sesak dan rasa nyeri yang semakin menghebat aku pun ambruk.

Sepertinya aku sempat tak sadarkan diri, entah berapa lama. Seseorang mengguyah-guyah badanku, menepuk-nepuk wajahku sambil meracau dan memanggilku dengan panik.
“Bu Haji, sadar, ya Bu Haji….”
“Pingsan nih si Ibu, aduh….”
“Gak ada siapa-siapa lagi….”

Perlahan aku membuka mata, masih terasa nyeri di dada bagian kiri, tetapi tidak begitu sesak lagi.
“Tolong, minta minum,” pintaku susah payah mengucapkan sepatah dua kata.
Perempuan 45-an yang telah lama menjadi asistenku itu tergesa mengambilkan air hangat dari galon. Ia tinggal di rumah kontrakan sebelah rumah yang selama itu kutempati bersama putriku.

“Terima kasih, Bi. Untunglah Bibi belum pulang,” kutatap wajahnya yang tampak mencemaskanku.
“Iya, tadi mau ambil cucian di mesin cuci…. Eh, lihat Bu Haji dikira lagi tiduran, tapi masa iya depan kamar mandi. Pingsan ternyata, ya Bu Haji?”

Aku tak bisa meladeninya, karena rasa nyeri yang aneh itu masih bersemayam di dadaku, kepalaku pun mendadak sakit. Aku jadi teringat dengan penyebab kedua orang tuaku meninggal. Bapak terkena stroke, tensi tinggi. Emak terkena serangan jantung.

Jangan-jangan mulai menghinggapi tubuhku? Sebab dokter sudah pernah mengingatkan, dampak pengangkatan limpa dan kandung empedu tahun 2009, dipastikan bakal terjadi komplikasi. Masalah kesehatan yang disebutnya akan jauh lebih serius selain penyakit abadiku, thallasemia.
“Bibi, mau ya antar aku ke HGA?” tanyaku.
“Iya, iya, bisa!” sahutnya terdengar semangat membantu.
“Baik, kita pergi ke UGD-nya. Eh, panggil becak dulu, ya, tolong….”

Bibi berlari keluar rumah, kudengar teriakannya memanggil anaknya. Beberapa saat ia kembali menghampiriku dan mengatakan becak sedang dipanggil oleh anaknya.
Aku sama sekali tidak beranjak dari tempatku ambruk, tidak ganti baju pula selain merangkapnya dengan gamis dan mengenakan jilbab ungu kesayangan. Otakku segera menghitung cepat, kira-kira ada dana berapa di ATM? Sepertinya tinggal 300-an ribu saja. Bagaimana kalau harus dirawat?

Sambil dipapah si Bibi naik becak, otakku terus berputar, bagaimana caranya mendapatkan dana besar dalam tempo sesingkat ini?
Saat ini aku baru saja keluar dari sebuah perusahaan penerbitan Nasional. Bosnya sahabatku dan sangat baik terhadapku, banyak buku karyaku yang diterbitkan di sana. Dia memberiku keleluasaan untuk mengatur waktu dalam berkarya, diselang menyebar virus menulis ke pelosok Tanah Air.

Belakangan bahkan semakin sering ke mancanegara. Jadi waktu kerjaku boleh dipilih dan disesuaikan dengan kegiatanku di luar. Dengan catatan yang penting tiap bulan ada naskah yang bisa diterbitkan, dicetak.

Ternyata perlakuan istimewa Bos ini tidak disukai oleh beberapa karyawan tetapnya. Mereka yang baru bergabung di perusahaan tersebut menganggap; si Teteh dianakemaskan!
Aku menerima keputusan jajaran Direksi, berhenti tanpa diberi pesanggon. Ada perjanjian lisan dengan Bos, mendapatkan kontrak eklusif. Caranya mengajukan proposal untuk menulis sejumlah buku anak-anak, dibayar honornya per bulan atau secara periodik.

“Boleh, sebentar akan ditransfer, Teteh. Semoga sehat kembali dan tetap berkarya,” demikian balasan dari sahabatku si Bos, atas permintaan pinjaman dana.
Benar saja, ketika dokter telah memeriksa hasil laborat dan menyarankanku untuk diopname di RSCM, transferannya telah masuk ke rekeningku. Alhamdulillah.

Dibutuhkan sekitar tiga jam untuk mendapatkan izin dokter UGD, karena tidak jua ada yang bisa mengantar ke RSCM. Kuputuskan menandatangani keterangan, minta pulang sendiri. Kemudian aku memanggil taksi langganan. Sore itu aku pun meluncur ke UGD RSCM, seorang diri.
Anak sulung sibuk di kantornya, adiknya belum lama menikah dan hamil muda, mengalami pendarahan.

Tidak, aku tidak ingin merusuhi anak-anak. Mereka sedang menghadapi banyak masalah. Biarlah, semuanya harus ditanggulangi sendiri.
Demikianlah, selama dua hari dua malam aku dirawat di ICCU, didiagnosa terkena serangan jantung ringan. Katanya, ada penyumbatan di jantung, kalau tidak membaik juga harus dilakukan tindakan, yakni; dikateter jantung. Kemungkinan terburuk adalah dipasang ring, aduh, entahlah!

Seorang koas cantik berkerudung sering menemaniku, menjadi teman berbincang jika dia sedang santai dan aku boleh duduk.
“Sejak sekarang Ibu tidak boleh melakukan kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran,” ujarnya suatu saat.
“Misalnya apa, Dok?”
“Naik tangga, bepergian jauh….”
Tuiiing!

Jadwal sisa tahun itu masih padat; kelas menulis di pesantren-pesantren, undangan ke USA, Yaman, Iran dan Tunisia.
Semua itu harus dibatalkan!
Ya Allah, betapa berat ujian-Mu kali ini, kesahku membatin. Belum lama cerai, kemudian harus pergi dari rumah, hanya membawa baju yang dipakai saja dan sebuah laptop.

Hari ketiga aku diperbolehkan pulang. Dua anakku tak ada yang tahu kalau ibu mereka sempat ambruk di ICCU. Sekali ini dengan komplikasi; jantung error plus diabetes melitus.
Si sulung mengira aku berada di rumah adiknya di Halim. Adiknya mengira aku berada di rumah si abang di Citayam. Aku melanjutkan perjalanan, masih seorang diri.

Sudah memasuki tahun baru 2013. Beberapa hari lamanya aku tinggal di Masjid At-Tin. Berbaur dengan para penumpang lainnya, mereka yang tinggal atau singgah di Masjid yang dibangun oleh Tien Suharto.

Di sinilah aku mendapatkan hikmah dari ujian-Nya, berupa rezeki yang tak disangka-sangka. Dana sejumlah 35 juta terkumpul dari pengajian Ratih Sang, melalui perantara Ustad Bobby Herwibowo.
Kemudian jumpa Ustad Jefry Al Bukhori alias Uje, bersama manager sebuah televisi swasta, Aku didapuk sebagai bintang tamu program acara yang diberi nama; “Assalamualaikum Ustad”.

Sempat curhatan dengan Uje di ruang tunggu, ia menyemangatiku. “Jangan didengerin tuh diagnosa dokter. Seenaknya saja bilang umur orang sebentar lagi. Umur mah hanya Allah Swt yang Maha Tahu. Mana tahu ane yang sehat kuat begini malah duluan pergi….”

“Jadi, bersedia nih kalau kita bikin even di Taiwan, Tad?” tanyaku.
“Mau banget. Iya, jadwalkan sajalah, Teh. Kalau sudah fiks, hubungi langsung manager ane, ya Teteh.”

Kami foto bareng sebelum tampil di acara yang dipandu Farhan tersebut. Siapa mengira ketika undangan dari Taiwan baru kuterima, tiba-tiba ada BBM dari Ratih Sang dan Teddy Snada.
“Teteh, kita telah ditinggal oleh saudara kita, Uje….”
Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun.

Berkat bantuan sahabat-sahabat, terutama Ustad Yusuf Mansur, Ustad Bobby Herwibowo dan jemaah taklimnya Ratih Sang, akhirnya aku mendapat sebuah rumah cicilan di Cibubur.
Aku mengira di sinilah tempat tinggalku selamanya hingga dipanggil Sang Pencipta. Ternyata tidak, sebab putriku memutuskan bercerai. Mantan suaminya alias menantu tidak berkenan kami tetap tinggal di rumah yang uang mukanya dariku, sementara mereka mencicilnya.
Maka, kembali aku tak punya rumah tinggal.

Patungan dengan anak-anak, kami pun bisa menempati sebuah rumah kontrakan di kawasan Lippo Cikarang. Ada sahabat budiman yang berkenan memberi hak guna pakai sebuah Ruko untuk kantor bisnis kami.

Agaknya beliau merasa simpati dan sangat mendukung ikhtiarku dan anak-anak. Kami telh mewujudkan keinginannya memiliki sebuah Biografi yang mencerahkan. Alhamdulillah, semoga Allah Swt membalas ketulusan hatinya dengan pahala dan rezki berlimpah.

Seorang sahabat berhati mulia lainnya mengucurkan sejumlah dana untuk memodali perusahaan penerbitan yang kami beri label Pipiet Senja Publishing House.
Terima kasih, Kang Budi Sulistianto. Berkat dukungan dan kepercayaan Anda, sepanjang tahun 2015 Pipiet Senja Pubslishing House telah menerbitkan 12 buku.

Sementara kondisi kesehatanku belum stabil, semangat yang kumiliki masihlah terpelihara. Semua bersumber dari sosok-sosok yang kusayangi, terutama anak-anak dan cucu-cucu. Setiap kali bersama mereka, aku merasa masih dibutuhkan, masih bermanfaat. Setidaknya sebagai penyemangat mereka di kala terpuruk, tempat mereka memohon restu dan doa.

Pada 16 Mei 2016 mendatang, umurku akan genap 60 tahun.
Sebagai rasa syukur yang tiada terhingga, atas waktu dan kesempatan yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi, maka aku ingin mencetak ulang buku Bagaimana Aku Bertahan ini. Berharap masih bisa berbagi dengan saudara-saudara perempuan, mereka yang merasa terpinggirkan.
“Kalian tidak sendiri, Saudariku!”

@@@




Cerpen Pipiet Senja: Bukan Anak Pahlawan

$
0
0


Ilustrasi Google



Hari ke-99 di ruang isolasi sebuah rumah sakit swasta. Mesin pencatat detak jantung masih memperdengarkan bunyinya yang khas. Mendengung, menggaung dan memecah nuansa muram ruangan serba steril, serba putih dan serba hening. Yah, di sinilah aku berbaring dalam keadaan sangat parah. Para dokter menyebutnya sebagai situasi in-coma.

Sesungguhnya kupingku masih mendengar. Otakku bahkan masih bisa berpikir. Meskipun kadang timbul-tenggelam. Persis hasil pencatat detak jantung di sebelah tempat tidurku itu. Kadang berdetak-detak teratur, kadang pula menaik dan menurun. Suatu kali malah sempat mendatar…, beberapa detik!

Di ruangan sangat hening ini aku sesungguhnya tidak sendirian. Ada tiga tempat tidur yang selalu diisi. Tapi mereka tak pernah berlama-lama tinggal di sini. Paling beberapa jam, dua atau tiga hari mereka biasanya langsung dipindahkan. Ada yang pindah ke ruang rawat inap biasa. Tapi lebih banyak yang diangkut ke ruang jenazah!

Satu-dua di antaranya aku kenal dengan baik. Meskipun hanya beberapa saat. Kami berkomunikasi ala pasien in-coma. Caranya hanya kami yang paham. Kamu nggak percaya kan? Ya sudah, toh aku sudah lama juga nggak punya kepercayaan itu. Terutama dari orang-orang paling dekat, orang serumah.

Aku jadi teringat lagi dengan salah seorang mantan tetanggaku. Sekitar dua minggu yang lalu, tengah malam, ranjangnya didorong ke sebelahku. Seorang koas mengatakan bahwa pasien itu baru menjalani operasi. Urat di pergelangan tangannya nyaris putus. Kondisinya sangat parah. Terutama karena tak ada semangat hidup lagi dari dalam dirinya. Padahal dia begitu muda dan cantik. Umurnya tentu setahun lebih muda dariku.

“Aku memang mau bunuh diri!” cetus Mona setelah ruangan kembali hening. Hanya seorang perawat jaga di ruang sebelah. Tiga rekannya biasanya bergiliran tidur di ruang piket seberang.

“Pasti gara-gara putus cinta,” komentarku mendadak sinis.

Orang berjuang setengah mati kepingin hidup. Ini kok malah sengaja melenyapkan kehidupan, anugerah terindah dari Sang Khalik. Sungguh tak tahu diri anak manusia ini!

“Bukan,” bantahnya luka sekali, seiring bunyi detak jantungnya yang semakin melemah. “Gara-gara nafsu bejat lelaki itu…”

“Oh, maaf… Lelaki yang mana?” cecarku khawatir dia keburu lewat.

“Itu yang paling sok sedih, sok sibuk, sok banyak berdoa, huuh! Munafik jahanam!”

Dan aku ingat, memang ada seorang lelaki dengan ciri-ciri seperti itu di antara rombongan pengantar.

“Sepertinya, eh, pantasnya dia ayahmu?”

“Seharusnya kuhormati sebagai ayah kandungku. Nyatanya dia sudah menghancurkan hidupku…”

Aku merasa gadis itu sudah mau menyerah. Tak sudi lagi mempertahankan hidupnya, bahkan barang semenit pun!

“Apa yang sudah dilakukannya?” kejarku penasaran.

“Dia sudah menghancurkan kehormatanku. Anaknya sendiri. Aduuuh! Aku lebih suka matiiiii…!”

Tuuut, tuuuut, tuuuut… Bunyi mesin pencatat jantung pun terdengar mendatar, mendatar, mendatar… God bye, Mona!

Anak kelas satu SMA itu lewat juga. Tenggelam ke dasar samudera lukanya yang tak berujung dan tak bertepi. Ke mana kira-kira dia akan melangkah sejak diangkut dari sini? Dan lelaki itu, ayah kandungnya sendiri telah… Dunia seperti apa di luar sana?

Sejak tragedi siang itu, acapkali aku pun tak punya keinginan untuk kembali. Sesungguhnya aku tak perlu kaget lagi, ya kan? Ah, tapi karena satu alasan, aku memang harus kembaliiii!

ooOoo

Siang beranjak petang. Dan petang pun menyentuh malam. Dari tempat seperti ini sesungguhnya aku tak bisa merasai lagi makna siang atau malam. Rasanya sama saja. Pagi, siang, petang dan malam tak ada bedanya. Intinya waktu berlalu dalam putaran sama dan sebangun; sebuah penantian, detik-detik bersentuhan dengan Sang Malaikat Maut.

Sayup-sayup terdengar gema takbir. Allahu Akbar Allahu Akbar wa lilah ilhamda… Apa kupingku tidak salah? Rasanya belum lama kulewati malam lebaran. Tentu saja bukan di tempat persinggahan seperti ini. Tapi di sebuah kawasan hiburan yang tak pernah mengenal makna suci, hari fitri dan segala yang berbau spiritual.

“Kita bawa hidup ini hepi-hepi aja, coy!” teriak si Josh yang asyik-masyuk bareng Maria, bergiliran nenggak minuman alkohol.

Sementara lainnya ada yang bergelimpangan. Ada pula yang terus-menerus jejingkrakan. Sesuai dengan musik hingar-bingar di sekitar kami.

“Ini, ini…, biar elo gak stres mulu!” Josep melemparkan lintingan ganja yang siap dihisap.

“Aku sudah nyoba, gak enak,” tepisku.

“Ini aja, rasanya, hmmm… kuuuul meeen!” Jean berbagi butiran ekstasinya denganku.

“Yeah…, sini! Daripada stres mulu, siniii!” sambutku putus asa.

Itulah pertama kalinya aku mengenal obat-obatan terlarang. Kubenamkan segala kecewa, marah, sedih dan amuk ke dalam lautan ajaib. Perasaan yang melayang-layang ringan, ringan, ringan… Hepi, whoooi!

Setelah berhari-hari tidak pulang, kafe tempat gengku hura-hura digrebek. Aku dilepas dengan jaminan pengacara ayahku, Sinambela SH, sesuai namanya memang doyan bela-bela.

“Aduuuh, Non Tina, kenapa jadi begini? Apa Non Tina nggak sayang badan sendiri?” Simbok inang pengasuhku sejak bayi menangisiku. Hanya tinggal perempuan paro baya ini yang masih peduli terhadapku. Lainnya sibuk dengan urusan masing-masing!

Dalam sekejap rumah menjadi heboh. Menyulut kembali pertengkaran Papi dengan Mami. Niel, abangku yang rocker itu, hanya sesaat melongok ke ruang keluarga. Kemudian dia menyambar kunci Jaguarnya, pasti mau gila-gilaan bareng gengnya. Denada, adikku yang bintang sinetron, tak kelihatan batang hidungnya. Kabar-kabarinya dia lagi syuting sinetron laris di Pulau Ayer.

“Ini semua gara-gara Papi! Sejak Papi doyan selingkuhan, rumah tangga ancur-ancuran!” tuding Mami histeris.

“Jangan salahkan orang! Lihat dirimu sendiri! Apa yang kamu kerjakan selama ini?” balas Papi.

Dan aku coba melanjutkannya dalam hati. Apa sih kerja Mami sejak jadi nyonya pejabat? Keluyuran, pamer mobil, pamer berlian, pamer semuanya!

“Selingkuhan Mami malah lebih banyak…”

Haaa? Segitu kacau-balaunya ortuku? Semakin heboh mereka bertengkar, kepalaku semakin mudeng. Simbok memapahku naik ke loteng, membersihkanku, mengganti baju kumal yang bau entah apa itu. Begitu telaten dan sayangnya Simbok kepadaku. Ah, sayang sekali, seminggu kemudian sosoknya tak kelihatan lagi di rumahku.

“Dia sudah tua. Gimana coba kalo mati di rumah ini? Jadi, terpaksa Mami harus memulangkan Simbok ke kampungnya!” dalih Mami sungguh tak masuk di akal sehatku.

“Bukan itu alasannya!” teriakku geram sekali. “Rahasia Mami dipegang semua sama Simbok. Mami pasti takut kaaan? Ya, takut Simbok kelepasan omong sama tetangga, terutama pers! Seharusnya bukan Simbok yang Mami pecat…”

“Diaaam!” sergah Mami.

“Sopir sialan itu! Asisten Papi itu! Para lelaki muda yang jadi pelampiasan Mami ituuuu…!”

Plaaakk!

Mami menamparku, keraaas sekali!

Amukku kian meradang. Berhari-hari, berminggu-minggu aku lenyap dari kamarku. Keluyuran ke kafe-kafe malam, menghamburkan isi credit card milik Papi yang sempat kucolong. Kadang aku ketawa kecut kalau mengingat isi kocek Papi. Dia nyolong dari kas negara, milik rakyat. Melalui tanganku, biar kubalikkan lagi kepada yang berhak. Hehe!

Begitulah hidupku hingga suatu hari mengubah keadaanku.

“He Tina, lihat nih!” Josh melemparkan koran ke arahku.

Aku membaca berita yang dilingkari spidol merah. Iklan pemberitahuan tentang pemutusan keluarga. Biasanya nonpri yang suka melakukan hal-hal begini. Tapi, ups!

Itu nama pengacara Papi, Sinambela, SH. Mereka menyatakan bahwa aku, si Tina Kristina binti Perwironegoro, SE, MBA, tak ada hubungan apapun dengan keluarga besar orang terhormat itu. Jelaaas!

“Kartu ajaib elo tuh gak laku lagi, Tina!” jengek Jean sinis.

“Sejak sekarang elo gak boleh tinggal di sini lagi,” usir Josh diikuti Maria, Josef, Jean dan lainnya.

Akibat kecanduan ngeboat, saraf-saraf otakku pasti sudah terganggu berat. Buktinya pikiranku tak pernah jejeg. Kadang melayang-layang, kadang menurun dan mencoba bangkit untuk bisa berpikir waras. Tapi nyatanya lebih sering lagi melayang-layang, terbang tinggi ke awang-awang…

Betapa kuingin mencapai nirwana!

“Aku butuh pil-pil nirwana itu!”

Saat-saat itulah aku sudah tak sanggup lagi mengendalikan pikiran dan perasaanku. Aku biarkan siapapun dan apapun itu menjamah, menyentuh dan menguasai tubuhku. Hanya satu yang kuinginkan, ngeboat, biar bisa terbang, terbang, terbaaang!

“Pergi jauh-jauh, enyaaah!” seorang demi seorang dan seorang lagi mengusirku, begitu dia sudah memuaskan hasrat bejatnya dengan memberi imbalan sekadar pembeli pil-pil setan itu.

Dan siang itu sampailah perjalananku di kawasan Kuningan. Terik matahari menyengat ubun-ubunku. Tersaruk-saruk kubawa langkah ini setapak demi setapak. Sepanjang malam itu aku telah melalui perjalanan paling jahim dalam hidupku. Ada segerombolan buas, anak-anak para pejabat tinggi negeri ini, menyergapku habis-habisan. Setelah puas mereka melempar tubuhku di kakilima begitu saja.

“Aku ingin mati saja!” jeritku saat itu.

Setapak demi setapak terus kulakoni, hingga suatu kali di depan kedubes Australia, tiba-tiba… buuum!

ooOoo

Gema takbir terus menggema malam ini, mengiringi langkah para koas memasuki ruang isolasi. Mereka kembali memeriksa keadaanku. Mencermati setiap gejala yang diperlihatkan alat-alat penunjang hidupku. Para koas muda yang penuh dedikasi, diseling diskusi serius ada juga obrolan ringan.

“Gimana kondisinya sekarang?”

“Hmm, paling sepuluh persen harapan hidupnya.”

“Hebat betul semangat hidup anak ini, ya…”

“Yeah, namanya juga anak seorang pahlawan, sang pembela rakyat…”

“Makanya, banyak orang jahat yang dendam!”

“Iya. Kalo gak dapat bokapnya, anaknya juga jadilah!”

“Hmm, kalau pun dia pergi kuyakin dia akan mendapat tempat di sisi-Nya…”

“Amiiin…”

Jangaaan! Aku tak ingin pergi sekarang!

Aku harus jelaskan dulu duduk perkaranya. Bahwa aku bukan anak pahlawan. Bahwa kejadian yang menimpaku sama sekali tak ada kaitannya dengan ayahku. Bahwa mereka, pers itu, sungguh telah salah kaprah. Bahwa semua berita perihal diriku, keluargaku yang telah dimuat secara besar-besaran di tabloid, koran, layar televisi itu… Semuanya hasil rekayasa!

Ya, aku harus hidup, haruuus!

“Kalian… aloow, sudah dengar berita baru tentang pasien kita ini?” koas Ridwan muncul dan bergabung dengan rombongan koas yang mengerubungi ranjangku.

“Paling mereka bilang akan menyiapkan bintang kehormatan…”

“Besok lebaran! Kalian kok pada gak inget waktu?” koas ganteng itu sempat bercanda.

“Kan kita lagi fokus di sini. Biar anak ini pulih dan bisa beri kesaksian…”

“Gak perlu lagi!” tukas koas Ridwan. “Ada saksi otentik yang bisa menjelaskan semuanya jadi terungkap…”

Hening sesaat. Aku berusaha keras menajamkan pendengaran.

“Ada seorang perempuan paro baya yang datang ke Polsek. Dia buka suara ungkap kebenaran tentang keluarga Perwironegoro…”

“Siapa? Gimana pengakuannya?”

“Barusan beritanya ditayang di televisi. Mbok Karsih, inang pengasuh pasien ini bilang…”

Dan kupingku mulai tertutup. Tapi aku masih melihat kesibukan kecil seketika menyeruak di sekitar ruang isolasi itu. Koas Ridwan dan kawan-kawan berusaha keras mempertahankan nyawaku.

Tidak, Sodara, perjuanganku kurasa sudah selesai. Detik-detik menyentuh tangan Maut itu telah tiba di penghujung mataku. Perlahan dia menyentuh kepalaku, ubun-ubunku. Sedetik memperlihatkan ke arah mana aku harus melangkah… kanankah, kirikah, aah![]

Novel Romansa 2 Benua - Pipiet Senja

$
0
0



Diambil dari website @Erlangga

Tahun Terbit : 2015
Cetakan : Ke-1
Deskripsi Fisik : 223 Halaman
KodeBuku : 808-813-002-0
ISBN : 978-602-0935-24-9

Sinopsis Romansa 2 Benua
Soli tak pernah tahu siapa ayah kandungnya dan mengapa ibunya sampai hati membuangnya begitu saja? Masa kecilnya dihiasi dengan pergulatan seru melawan kemiskinan dan kekerasan fisik bahkan seksual dari kaum adam. Soli yang tinggal hanya berdua dengan neneknya tercinta harus menjalani pahitnya hidup di sebuah desa kecil di Jawa Barat.

Di usianya yang masih belia, Soli telah mendapat pelecehan dan perlakuan sadis dari seorang lelaki jahim. Drama hidup terus berlanjut. Ketika Soli harus kehilangan neneknya tercinta, satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Kini, ia harus menjalani kerasnya hidup sebatang kara. Hingga suatu hari, Soli kembali mengalami babak pahit dalam skenario hidupnya.

Soli disekap berhari-hari di gerbong kereta, kesuciannya kembali direnggut untuk kedua kali. Namun, kali ini Soli telah berubah, dia berani bangkit melawan dan menghabisi si Durjana. Berbagai hujatan dan penghinaan bertubi-tubi menyerangnya. Kegetiran hidupnya tak kunjung bermuara.

Penantian panjang yang begitu indah dalam imajinasinya itu kini di depan mata. Soli telah menemukan ibu kandungnya yang telah meninggalkannya sejak masih bayi. Kebahagiaan yang menghiasi relungnya kala berjumpa untuk pertama kalinya dengan sosok perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia fana itu pun hanya ada dalam kisah dongeng belaka.


Sang ibu justru menolak kehadirannya, bahkan mengusirnya. Tidak ada sedikit pun kasih dan sayang seorang ibu yang layaknya dicurahkan kepada buah hatinya. Soli pun pasrah, dia sudah tak mampu berharap.

Pada suatu hari, ibu Soli pun datang dan mengajaknya untuk tinggal bersama layaknya keluarga. Bukan girang Soli mendengar kabar itu dan sontak dia langsung mengiayakan. Tak ada sedikit pun rasa curiga terhadap niat baik sang ibu. Namun, di balik kebaikan hatinya, sungguh tega sang ibu justru menjual Soli. Soli pun tak berdaya. Dia benar-benar telah terpenjara di rumah Baba Liong, tauke tembakau dari Deli yang juga mempunyai bisnis di kota kembang.

Soli menjalani hidupnya yang baru bergelimang harta dan kemewahan di rumah Baba Liong hingga pada suatu hari Soli menemukan cinta pertamanya yang bernama Nuwa. Cinta pertama yang telah membutakan matanya. Cinta pertama yang begitu manis di awalnya. Cinta pertama yang selalu menggetarkan hatinya setiap waktu. Cinta yang justru membawa petaka.

Cinta yang justru menorehkan luka. Cinta yang perih tak terperi yang meninggalkannya sorang diri di Negeri Kincir Angin. Cinta yang membuahkan benih manusia di dalam rahimnya. Hingga akhirnya dia pun benar-benar tidak tahu arah setelah Nuwa meninggalkannya sebatang kara dengan janinnya.

Tuhan tidak pernah melepas Soli begitu saja, Sang Maha Agung yang tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Titik terang dalam hidupnya kembali datang. Jan van Hartland, pria bule bertubuh sangat subur, berperawakan tinggi kini telah mengisi lembar hidupnya dengan penuh kebahagiaan.

Kini, Soli telah melahirkan Nuwa, buah hatinya dengan cinta pertamanya yang telah membutakannya yang juga bernama Nuwa. Hidup terus berjalan penuh kebahagiaan hingga Soli pun melahirkan buah hati lainnya yaitu Beatrice dan Martin.

Kini, Soli bukan lagi gadis desa lugu yang bodoh dan miskin. Soli van Hartland kini telah menjadi menjelma menjadi wanita cerdas dan bergelimang harta karena kesuksesan bisnisnya di Negeri Kincir Angin. Namun, kesedihan kembali menimpanya kala dia mendengar kabar bahwa putranya meninggal karena tenggelam di laut bersama kapal pesiar pribadinya. Hatinya hancur menerima kenyataan itu.
Soli mempunyai cucu bernama Max, yang tak lain adalah anak kandung Nuwa van Hartland dan istrinya, Jennifer Hamilton, artis Hollywood. Kini, Max dirawat oleh Soli. Dia begitu mencintai cucunya.

Namun, Soli kembali harus kehilangan orang yang dicintainya, Jan Van Hartland, suaminya tercinta. Kini, dia membiarkan skenario Tuhan berjalan apa adanya. Seiring berjalannya waktu, usia Soli semakin tua. Kesehatannya pun semakin menurun.

Soli kini tengah tak berdaya terbaring di rumah sakit. Max, cucunya telah beranjak dewasa dan memilih jalan hidup yang benar, kini dia menjadi muslim sejati dan mengganti namanya menjadi Faiz. Bagaimana pun panjangnya perjalanan hidup Soli, kini ia kembali teringat pada Nuwa, cinta pertamanya. Ia masih menyimpan dendam yang tak kunjung padam.

Faiz pun mulai tahu akan kisah cinta pertama sang nenek yang getir. Dia pun berusaha mencari sosok Nuwa, cinta pertama neneknya. Maka dia terbang ke Indonesia, tepatnya di Papua. Pencariannya pun tak sia-sia, hingga dia menemukan cinta pertama sang nenek. Soli pun semakin sehat. Kini dia telah belajar ilmu agama dari perawatnya, Laila.

Perjalanan hidup memang tak bisa ditebak, Soli tak pernah menyangka bahwa dia akan kembali ke Indonesia dan dipertemukan dengan Nuwa. Kini Soli sudah memaafkannya. Faiz merasa bahagia karena bisa mempertemukan dua insan yang saling mencintai walupun penuh dengan tragedi.

Unsur Interinsik Novel
1. Tema
1. Seorang wanita yang kuat dan tegar dalam menghadapi kegetiran hidup
2. Wanita yang lugu dan baik hati namun terlalu mudah percaya terhadap perkataan orang lain yang justru membuatnya lara.
3. Perjuanganhidup penuh tragedi seorang gadis yang ditinggal ibu kandung sejak bayi dan kemudian harus hidup sebatang kara setelah neneknya, satu-satunya keluarganya meninggal dunia dan akhirnya ibunya tega menjualnya.
2. Tokoh
1. Tokoh Utama : Soli
2. Tokoh Kedua : Titin
3. Tokoh Ketiga : Nuwa
4. Tokoh Keempat: Jan Van Hartland
5. Tokoh Kelima: Faiz
6. Tokoh Pembantu :Mak Dijah, Tunem, Baba Liong, Beatrice, Martin
3. Penokohan
1. Soli: Sosok perempuan yang kuat dan tegar, keinginannya untuk mandiri sejak muda, dan sangat menyayangi nenek dan ibunya.
2. Titin: Ibu kandung Soli yang cinta harta hingga tega menjual anaknya.
3. Nuwa: Sosok laki-laki yang cerdas dan mampu memikat hati Soli namun dia tega meninggalkan Soli seorang diri dalam keadaan mengandung anaknya
4. Jan van Hartland: Laki-laki bule yang berperawakan tinggi, baik hati, penyayang, dan mencintai Soli apa adanya.
5. Penokohan lainnya.
4. Alur
Alur maju mundur, dimana novel menceritakan keadaan Soli yang sedang tak berdaya berbaring di rumah sakit. Kemudian alur kembali mundur menceritakan kisah hidup Soli sejak bayi hingga remaja yang penuh tragedi hingga ia hamil namun ditinggal oleh Nuwa dan kemudian dia berjumpa dengan Jan van Hartland di Negeri Kincir Angin dan menikah dengan Jan van Hartland dan kemudian mempunyai dua anak, Beatrice dan Martin. Alur maju ditutup dengan bertemunya Soli dan Nuwa.
5. Sudut Pandang : Sudut pandang orang ketiga
6. Amanat :
1. Tidak ada anak yang dilahirkan dengan keadaan haram. Perbuatan orang tuanya lah yang haram.
2. Sepahit apapun hidup, tidak boleh menyerah. Hidup terus berlanjut. Berusahalah menjalani hidup dengan baik.
3. Memaafkan orang yang telah berbuat jahat memang susah, akan tetapi kita harus mampu melakukannya agar hidup tenang.
4. Jangan mudah terpercaya oleh perkataan orang, terkadang berujung sengsara.
5. Sebagai wanita, kita harus menjadi wanita yang cerdas, kuat, mandiri, dan tangguh dalam menjalani warna warni kehidupan yang tak terduga.
Keunggulan Novel
1. Keunggulan Novel
• Novel ini mengajarkan kita akan apa arti tegar, kuat, mandiri dan tangguh bagi wanita
• Sebuah bacaan menarik yang sangat inspiratif
• Bahasanya mudah dipahami
• Pewatakan tokoh mudah dipahami dan digambarkan secara jelas
• Alur cerita mudah dipahami meski alur maju mundur, dan alur tersebutlah yang membuat kita menjadi semakin penasaran.
• Sarat akan nilai religi

Kesimpulan
Novel ini pantas dibaca untuk siapa saja, terutama untuk wanita. Novel ini mampu menginspirasi para wanita dalam menjalani hidup yang penuh tantangan agar selalu kuat, tangguh, dan mandiri. Novel ini juga mengandung nilai religi. Bahwa sejatinya hidup harus seimbang antara dunia dan akhirat. Banyak pesan dan kesan yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup dari novel ini. Sebuah novel yang mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang sederhana namun mampu membangkitkan emosi pembaca.

Novel Para Pencari Keadilan - Pipiet Senja

$
0
0




From twitter @BukuErlanggaCom
Resensi Novel Pipiet Senja, Para Pencari Keadilan
Data buku
1. Judul buku : Para Pencari Keadilan
2. Pengarang : Pipiet Senja
3. Penerbit : Emir
4. Tahun terbit : 2015
5. Tebal : 221 halaman
6. Harga buku : Rp 80.000,-
7. Dimensi buku : 14,5 x 21

Sinopsis
Rumondang Siregar adalah satu-satunya Jaksa di Indonesia blasteran Batak-Tionghoa. Sejak bayi ia dalam pengasuhan keluarga besar ayahnya di kawasan Tapanuli Selatan, sementara kedua orang tuanya mengejar karier di Ibukota. Acapkali ia menerima tindak kekerasan dari neneknya. Beruntunglah ia memiliki seorang kakek yang sangat mengasihinya, sehingga membentuk karakter yang mandiri, dan istiqomah sebagai muslimah tangguh.

Ketika ia berhasil menduduki jabatan Jaksa di daerah, segenap pikiran dan upayanya dipusatkan demi memberantas para koruptor. Sepak-terjangnya ternyata membuat gerah para seniornya, maka ia pun ditarik ke Ibukota. Di sini ternyata ia harus berhadapan dengan situasi yang tak pernah terbayangkan; mulai dari intrik, isu murahan, sampai fitnah yang keji. Serbuan dan tantangan lawan itu bukan saja dari kalangan sejawat, melainkan juga dari keluarga besar ibunya sendiri, etnis Tionghoa.

Bagaimana sepak-terjangnya, saat ia harus berhadapan dengan para sepupu dan pamannya sendiri yang ternyata adalah gembong narkoba? Dan ia pun menjadi korban dalam suatu tragedi pemboman di Mall. Dapatkah ia bangkit dari situasi in-coma yang mengenaskan itu?

Keunggulan Buku
Novel karya penulis legendaris Indonesia ini, merupakan salah satu novel lintas etnis yang tidak biasa dari novel kebanyakan saat ini. Pipiet Senja seorang penulis yang dikenal sebagai sosok perempuan yang konsisten dengan kesederhanaan, baik dalam kehidupan maupun karya-karyanya. Dapat dilihat dari salah satu novel karyanya, Para Pencari Keadilan. Novel ini menceritakan perjuangan seorang wanita tangguh di tengah maraknya kasus peradilan yang berakhir dengan tidak adil.

Cerita yang disajikan dalam novel ini sangat menarik karena di dalamnya penuh konflik yang mengharukan , serta sarat dengan nilai-nilai Islam yang tercermin dari tokoh utama seorang muslimah, bernama Rumondang. Tentu saja dapat menginspirasi tidak hanya bagi wanita, tetapi juga untuk semua orang yang sangat mendambakan keadilan di dunia ini.

Dunia Tanpa Airmata:Duet Ibu dan Anak

$
0
0




Sabtu, 22 Desember 2012
Bukan Hanya Hari Ibu
Banyak literatur yang mengatakan, Hari Ibu di Indonesia punya sejarah yang berbeda dengan Hari Ibu di negara lainnya.

Pada 22 Desember 1938, "Hari Ibu" yang punya sejarah lebih kuat, mandiri dan berani. Karena di hari itulah para wanita mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama.
Terlepas dari literatur ataupun celotehan kaum akademisi tentang Hari Ibu, memang seperti itu pulalah aku mengingat Mama: kuat, mandiri dan berani.

Aku menulis ini di malam hari, setelah selesai mencuci, Padahal baru saja tiba dari perjalanan subuh yang melelahkan.
Entah karena lelah terlalu lama menyetir atau jongkok terlalu lama kala mengucek baju sendiri, bayi di perut ini mendadak berontak. Mendera dengan rasa sakit luar biasa. Hingga sesak, ya Allah!

Otomatis, aku memekik mengaduh. Suamiku yang ada di sebelahku menoleh. Bukan cemas, bukan juga prihatin.
Hanya bereaksi;"Kenapa sih teriak-teriak?" Lantas pergi setelah mengomel lagi sedikit.
Pasti karena dia juga capek dan mengantuk. Tapi aku seketika tertegun. Lama sekali termenung sambil terus mengucek dan menunggu cucian selesai.

Mungkin karena terlalu lama dimanja suami, atau memang sensitif sedang hamil, pikiranku mendadak melayang kemana-mana. Ah, selama ini betapa dimanjanya aku, semua serba mengandalkan suami.
Mungkin dia juga capek dengan istri manja, sejak hamil sakit terus, berisik, banyak maunya, minta tolong terus. Tanpa terasa berurai airmata, tetapi, aku terus melanjutkan mencuci.
Kalau boleh bela diri, aku juga tidak minta sering kontraksi dan sakit begini. Apa dia menyesal ya nikah sama aku?

Aku juga tak nyangka nikah sama dia. Padahal dulu, ah, pikiran yang tidak-tidak bermunculan di kepala. Jadi penyakit. Sambil sesenggukan dan menahan sakit di perut, aku lanjutkan penyesalan berlarutnya. Apalagi suasana sekeliling mendukung sekali.
Laba-laba besar yang sesekali lewat, nyamuk yang mengerubuti, sampah pohon, tumpukan rongsokan. Dulu aku mampu menikah dengan yang lebih baik dari ini. Tapi kusia-siakan. Aku juga tak minta takdir bawa ke tempat seperti ini.
Kenapa hidup begini amat?

Capek. Ingin tutup mata dan tak dibuka lagi!
Tiba-tiba saja teringat Mama. Aku ini, sungguh anak manja, ya!
Baru mencuci, pake mesin cuci pula, masih saja mengeluh. Aku teringat kembali, Mama cuci semua baju, piring, masak pula, beres-beres, dan semua pengabdiannya untuk suami.

Semua dikerjakan dalam diam tanpa keluhan atau bantingan tidak ikhlas. Tidak ada dalam catatan sejarah hidupnya, Mama minta tolong suami jemurin baju. Atau bantu apapun, sekecil apapun itu, sekalipun sedang sakit!

Aku takkan pernah lupa, Mama dengan kaki pincang sehabis dipukuli suami hingga lututnya retak, tersaruk-saruk ke Jakarta, demi mengambil ambil honor. Demi mengganjal perut anak-anaknya, bahkan makannya si sosok yang telah menganiayanya itu!

Entah tak terhitung berapa kali di masa kanak-kanakku, Mama jinjing aku yang cengeng dan suka mabok darat ini. Mama akan mengetuk satu per satu pintu kantor penerbit. Bukan mengemis. Cuma minta hak royalti yang dijanjikan entah sejak kapan.

Ya! Hanya minta honor yang seharusnya sudah diberi sekaligus, begitu resmi dibeli oleh Inpres. Namun, penerbit sialan itu tak pernah sudi membayarnya sekaligus, melainkan dicicilnya sedikit demi sedikit.

Kami akan menunggu berjam-jam, acapkali bahkan hanya mendapatkan sedikit saja. Sungguh tak sesuai dengan waktu yang tersia-siakan yang seharusnya bisa dipakai Mama untuk menulis.
Pulangnya, Mama sisihkan sedikit uang untuk beli roti miskin. Kuberi nama seperti itu, bentuk rotinya panjang, ada keju murah di atasnya, tapi seringkali kutemui hijau-hijau jamur di sela-selanya.

Meski begitu, sering aku tak bilang-bilang. Kujejalkan ke mulutku sambil nyengir karena ada rasa asam-kecut begitulah.
Aku sudah mengerti sedari kecil bahwa hidup itu keras, dan jangan pernah biarkan hal kecil layaknya sakit perut, membuatmu takut atau menangis.

Di kemudian hari, betapa banyak orang memuji-muji Mama, lantas mengidolakannya, menjadikannya sebagai Bunda inspirasinya. Kurasa, mereka menganggapnya beken sejak dulu.
Padahal baru belakangan ini saja, Mama tak perlu ketuk sana ketuk sini demi hak sendiri.

Yang kupelajari dari Mama adalah hidup itu keras. Maka ketika seorang pengacara besar, Rahmat Soemadipradja, menatap langsung ke mataku dan berujar, "Hidup akan memperlakukanmu seperti kau memperlakukan hidup itu sendiri. Kau, masih sangat muda tapi sudah begitu keras pada hidup. Jangan."

Aku lantas tak berkutik. Padahal itu pertemuan pertama, dan ia baru sepuluh menit lalu bersalaman dengan tanganku yang kasar ini. Ingin rasanya menjawab, tanganku kasar karena sedari kecil kerja, main dan belajar, tak ada waktu untuk berdamai dengan hidup.

Seperti itu pula Mama. Keras. Lebih dari orang Batak, sehingga kerap kali orang mengira yang Batak itu Mama dan bukan Papa.
Sekarang, aku sudah dimanja oleh hidup. Sudah ada orang yang bisa diandalkan.

Tapi yang kupelajari dari Mama lagi adalah jangan pernah mengandalkan orang lain, termasuk laki-laki.
“Ya, terutama laki-laki, ingat itu!” kata Mama mewanti-wanti.”Kita sebagai perempuan tetap harus kuat dan mandiri!”
Maka aku hapus airmata yang dari tadi tak berhenti keluar. Kuselesaikan dengan ringkas segala cucian dan jemuran. Kucuci piring dan kurebus air panas untuk menghilangkan sakit di kepalaku.



Baiklah, Mama, lihatlah anakmu!
Aku bersumpah dalam hati, takkan pernah lagi meminta bantuan siapapun, merepotkan siapapun. Biarlah hidupku jadi dunia tanpa pria di mana cukup ada aku dan Mama kelak!

Kuelus si bayi di dalam perut, "Nak, jadilah orang hebat seperti Omamu nanti. Gagahlah pada hidup. Garanglah pada takdir. Jangan ambil keputusan-keputusan salah seperti ibumu ini. Belajarlah tentang semua kesialanku, kebodohanku, kesalahanku dan ambillah segala keberanian Omamu ya."

Berlinangan aku menyadari bahwa kehamilan membawa kita ke persepsi yang luar biasa berbeda, mengacak-acak prioritas hidup yang sebelumnya sudah kau susun sesempurna mungkin.
Setiap anak memenggal cita-cita orangtuanya hingga ke titik tertentu. Membatasinya bahkan bisa jadi menghancurkannya. Adalah tugas setiap anak untuk mengemban harapan-harapan yang tercapai itu.

Itulah mengapa aku sedih. Karena belum bisa membayar itu semua kepada Mama. Belum mampu kulunasi segala harapan, kebaikan dan kehebatan yang diam-diam pasti diidamkan setiap ibu untuk anaknya. Semoga ada waktu. Semoga ada kekuatan. Bismillah. (Azimattinur Siregar)

@@@





Inikah yang Namanya Sekarat: Dunia Tanpa Airmata

$
0
0




Dimanakah Benteng Cahayaku?

Aku masih terus berlari, berlari, berlari untuk ke sekian kalinya, tiada pernah sudi henti. Aku melintasi lorong-lorong yang panjang sekali bak tiada berujung. Aku pun melewati lembah, ngarai, jurang kemudian tiba-tiba terperosok di dalamnya, dan sungguh harus berjuang keras untuk bisa kembali ke tempat yang aman.

Duhai, lelah, lelahnya seolah takkan pernah berkesudah!
Jangan pernah menyerah, ayo, bangkitlah!
Ada seberkas cahaya yang mengintip malu-malu di lelangitan kalbuku.
Aku sebagai selembar nyawa tak berharga, maka menggelihat perlahan. Kurentangkan tangan-tangan jasmaniku, sayap-sayap ruhaniku dengan semesta enerji yang masih kumiliki.

“Bagaimana ini, Dok, tensinya belum stabil….”
“Tidak teraba….”
“Tapi HB-nya mulai meningkat, ini sudah 5,2….”
“Setelah ditransfusi sebanyak itu?”
“Iya, Dok….”
“Berapa trombositnya?”
“Mulai naik juga, Dok, sudah 2000-an….”

Oh, itu masih sangat rendah, standar terakhir yang disebut oleh dokter hematologiku dalam kisaran; 150 ribuan!
Nah, sekarang aku harus bangun, haruuuuus!

Beberapa saat lamanya kukumpulkan segenap enerji yang masih kumiliki. Ini sebuah perjuangan dahsyat yang harus kutempuh, di antara rasa sakit luar iasa di sekujur tubuhku, aku berjuang, berjuang dan berjuang tanpa henti.
Kemudian, enerji itu kusalurkan ke bagian kaki-kakiku yang telah terbebas dari selang infus. Kaki kanan, ayo, bergeraklah!

Aku merasa berhasil mengangkat kakiku, kemudian menghempaskannya kuat-kuat. Seketika seberkas cahaya menerobos melalui kisi-kisi hati, menyergap jantungku, dan menohok langsung memori di kepalaku. Cahaya yang maha indah adalah mengingat kembali keberadaan kita, siapa diri kita, nama kita, dan keluarga kita. Ya Allah, sungguh!

Aku bisa mengenang kembali dua bintangku, dua belahan jiwaku; Haekal dan Butet. Dan menantuku Seli serta dua cucuku; Zein dan Zia!
“Janji, ya, janjiiiii….. Mamaniniii!”

Nah, itu suara Zein yang pernah memintaku berjanji. Agar aku sehat, kemudian mengajak dia jalan-jalan kembali, dan membelikannya mobil-mobilan.
“Yang gedeee bangeeet!” katanya serasa terngiang-ngiang di telingaku.
“Zeiiiin! Ziaaaa!” Kudengar jeritanku sendiri, menggema ke mana-mana.
“Haekaaaal! Buteeeet!”

Ini juga jeritanku, dan kusadari itu sesungguhnya tidak baik, tidak sopan. Aku telah mengganggu ketenangan siapapun!
Seseorang menepuk-nepuk pipiku agak kuat. “Bu, Bu…, sadar, ya Bu!”
“Iya, Dokter. Aku sadar benar ini. Aku seorang nenek, seorang ibu, pasien kelainan darah bawaan,” aku kembali mengerang dan meracau. “Dokter, mohon, maafkan aku lahir batin, ya. Mohon ikhlasnya, ya, izinkan anakku datang ke sini, kumohooon….”

Tak ada jawaban, entah berapa lama itu berlangsung. Mereka tak memedulikan permintaanku. Seorang perawat berjanji akan mengabari keluargaku, jika mereka ada di luar ruangan ICU. Namun, aku tak tahu apakah ia melaksanakan janjinya, atau bahkan melupakannya sama sekali.

Otakku terus berputar, mencari akal, bagaimana caranya menarik perhatian dokter. Seorang dokter muda, bukan dokter Kris, entah siapa namanya, tahu-tahu telah berdiri di samping ranjangku. Kurasa ia seangkatan dengan dokter Kris.

“Ibu, jangan hebohan terus dong. Itu tidak baik untuk kondisi Ibu sendiri. Juga sudah mengganggu pasien-pasien lainnya di ICU ini….”
Aku tidak menyahut sampai ia berlalu. Otakku masih terus berputar, terus memikirkan banyak hal, merekam semua hal di sekitarku. Di sini waktu tak bisa kuperkirakan, entah siang entah malam, semuanya tak jauh berbeda.

Nuansanya senantiasa berbau kesakitan, penderitaan dan kematian. Kutahu, satu demi satu di sebelah-menyebelahku akhirnya menyerah, berjabat tangan dengan sang malaikat maut yang segera membawanya pergi, entah ke mana.

Aku selalu berusaha menanyakan waktu kepada perawat, beberapa kali, tak peduli disebut nyinyir dan cerewet.
“Ini bulan suci bulan Ramadhan, Bu,” kata seorang perawat muda.
“Oya, aku ingat sekarang, terima kasih, Suster.”

Sesaat aku merasa senang, seperti telah menemukan suatu celah baru. Tentang waktu, lihat saja bagaimana mereka berbuka puasa atau makan sahur. Namun, hanya satu-dua orang saja yang berpuasa di sini. Selebihnya senang sekali bicara tentang makanan sesuka hatinya, kemudian mengajak makan dan minum di ruangan sebelah, tempat mereka rehat.

Mereka, para perawat di sini, ternyata punya kebiasaan yang sama dengan ibu-ibu tetagaku di kampung Cikumpa, yakni; ngerumpi. Kalau sudah kumat ngerumpi, woooow!
Mulai dari menggunjingkan artis yang selingkuh, Gus Dur yang dirawat di lantai 3, doyan menghilang setiap tengah malam, membandingkan ponsel masing-masing sampai urusan THR.
Suatu saat seorang dokter lelaki, kulihat dengan jelas tagname di dadanya; dokter Hadi, melakukan pemeriksaan sekilas terhadap diriku.

“Sekarang, apa yang Ibu rasakan?” tanyanya.
Sesungguhnya aku merasa mulai tenang. Mungkin masih dalam pengaruh obat anti nyeri dosis tinggi. Pokoknya, aku merasa “baik-baik” saja, terbebas dari rasa sakit yang merejam sekujur tubuh.
Namun, entah mengapa, aku iseng menyahut begini; “Semuanya sakit dan pikiranku kacau-balau.”
“Oh, itu biasa, Bu. Namanya juga habis dioperasi besar. Sabar, ya Bu.”

Aku segera mengacungkan tangan kiriku. Telapak tangan dan jari-jemariku yang tertutup perban tampak bulat-bulat, serasa kebas, nyaris tak bisa kurasai sakitnya lagi.
“Lihat, Dokter, mengapa tangan-tanganku jadi bengkak begini? Aku masih ingat, asalnya tidak seperti ini,” ujarku bernada menggugat.

Ia mencermati tanganku, kaki-kakiku, wajahku kemudian berkata: “Oke, Bu, nanti aku beri obatnya, ya. Biar tidak bengkak-bengkak lagi.”
Tak berapa lama kemudian seorang perawat mendatangiku. Ia membawa tiga spuit berisi tiga macam obat, sekaligus diinjeksikan kepadaku melalui vena.

“Ini disuntik apa, Suster?”
“Antibiotik dan vitamin C, Bu.”
“Aduuuuh!” seruku tertahan, rasa pedas dan sakit dalam sekejap menyerbu urat-urat nadiku. Hawa panas pun terasa meruap di tenggorokan dan hidungku.
“Maaf, obat apaan sih ini, Suster?” tanyaku penasaran.

“Ibu ini kok cerewet, ya. Tadi kan sudah dikasih tahu….”
“Belum jelas, apa?” buruku mencegahnya pergi.

“Itu tadi, Bu, namanya lasik, antibiotik dan vitamin C. Sudah, ya Bu, masih banyak kerjaan nih!”
Mengapa aku diberi lasik? Setahuku obat itu sering diberikan kepada pasien gagal ginjal yang pernah tetanggaan denganku di lantai 8. Lagipula, aku ini pasien kelainan darah bawaan. Tidak boleh diberi obat sembarangan. Pemberian banyak obat antibiotik malah mentidakibatkan HB-ku hancur!

Ini konspirasi!
Mereka memang tak menyukaiku, hanya karena aku terlalu banyak bertanya, nyinyir dan cerewet. Suka membuat kehebohan dengan jeritan-jeritan, erangan-erangan tak berguna!
Mereka hendak melenyapkan diriku!

Coba, lihatlah, itu dokter Mira, berkasak-kusuk dengan rekan-rekannya. Mereka mengganti catatan-catatan di statusku, ya, menggantinya dengan keterangan yang mengacaukan. Tidak sampai di situ saja, bahkan mereka kemudian menukar statusku dengan status pasien di sebelahku.

Aduh, mereka akan menghilangkan keberadaanku dari tempat ini!
Sejak saat ini, segalanya kembali ngedrop, demikian menurut perasaanku. Takaran darahku bergeming di tataran 5, meskipun entah berapa puluh kantong darah telah ditransfusikan. Trombositku seolah-olah stag di angka 3000.

Sesungguhnya yang paling mencemaskanku adalah tensiku melejit ke angka; 200/120. Bapakku meninggal karena struk, aku anaknya yang sulung, mungkinkah mewarisi “kestrukannya”, ya?
Meskipun demikian, aku masih mencatatnya dalam memori otakku, berbagai hal yang berseliweran di sekitarku. Pasien kanker rahim di seberangku dinyatakan telah “lewat”. Demikian pula pasien kanker otak di sebelahku, menyusul beberapa menit setelahnya.

Sementara pasien lelaki di ujung sana, setiap saat menjerit, mengerang dan mengaduh, lebih hebat daripada yang pernah kulakukan tanpa sadar. Ia terus jua meracau.
“Dokteeeer! Susteeer! Sini, biar kutandatangani di atas segel bermaterai. Aku ini seorang komisaris perusahaan bonafid! Aku mau tawarkan 100 juta, asalkan kalian bisa menghilangkan rasa sakitku ini. Toloong!”

Kurasa takkan ada yang memedulikannya. Karena semua pasien dianggap tidak waras otaknya. Kami, para pasien di ICU ini hanya dianggap sebagai nomer, atau objek separo hidup yang boleh diperlakukan dengan semena-mena.
Mengapa bisa demikian? Ya, karena pasien dan keluarganya telah menandatangani persetujuan tindakan apapun yang akan diambil oleh tim medis.

Menit demi menit, jam demi jam terus merangkak. Kondisiku dinyatakan dalam istilah medis sebagai pracoma. Namun, otakku terus jua bekerja, berputar, merangkai-rangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Apabila aku sedang tidak kehilangan kesadaran, maka kugemakan zikrullah dalam dadaku. Aku mengulang-ulang bacaan surah pendek, terutama ayat Kursi dan Al Fatihah.
Anehnya, ada suara yang sering menyuarakan bahwa aku akan keluar dari situasi jahim ini jika bisa merapal surah Yassin. Maka, aku berjuang keras untuk membaca surah Yassin, meskipun selalu terbalik-balik dan tiada pernah hafal seluruhnya. Detik inilah penyesalanku yang terdalam muncul, mengapa sampai seumurku ini, aku tak mampu menghafal surah Yassin?

Sungguh, bercucuran air mataku sambil berbaring dalam kesakitan, penyesalan yang pedih-perih, luka maha. Ampunilah hamba yang lemah ini, ya Allah, ampunillah, demikian kugermemangkan perasaan sesal dan permintaan ampun kepada Sang Khalik.

Ada suatu masa di mana diriku terbebas dari siksaan rasa nyeri itu. Tiba-tiba aku mendapati diriku berada di tengah gelombang manusia yang sedang melakukan tawaf di Tanah Suci. Bersama rombongan perdana Smart Hajj Cordova, begitu bahagia rasanya aku bisa berjalan, mengelilingi Kabah. Perasaan itu, kebahagiaan yang memuncak telah menyilih segala siksa, segala pedih-perih pasca operasi.

Subhanallah, nikmatnya tiada tepermanai!
Sayang sekali, saat-saat seperti itu hanya sekejap-sekejap kurasai. Dan aku kembali dilambungkan ke dimensi aneh, lorong-lorong berbau anyir, berbau darah, berbau nanah.
Seekor naga raksasa siap mengerkah-ngerkah diriku tanpa ampun!

Ini malam kedua pasca operasi. Jam dinding, ya, akhirnya mataku bisa melihat jam dinding menempel di tembok sebelah kananku. Pukul enam sore, kurasa, tampak beberapa perawat masuk ke ruangan rehat. Mungkin mereka hendak berbuka puasa.

Seketika aku melihat kesibukan luar biasa terjadi di sekitar ranjangku.
“Hei, hei, apa yang kalian perbuat?” seruku tak dapat menahan rasa terkejut dan ingin tahu.
“Tenang saja, ya Bu. Ibu sudah boleh dilap, iya kan, dokter Mira?” cetus seorang perawat, kutandai ia paling judes di antara semua perawat di ruangan ini. Tanpa menunggu jawabannya. Tiba-tiba ia menggulingkan tubuhku ke arah kanan.
Gubraaaakkkk!

“Ampun, sakitnya luar biasa!” lengkingku.
“Si ibu ini sudah cerewet, cengeng pula!”
“Aduh, jangan! Aku tak mau dilap! Tak mau diapa-apakan!” seruku tak peduli, mulai merasa panik.
Beberapa menit sebelumnya, dokter cantik, atasannnya dokter Mira mengatakan kepadaku: “Belum boleh banyak bergerak, ya Bu. Ibu baru menjalani bedah umum. Jangan dilap dulu, jangan dipakaikan sabun, parfum. Intinya harus serba suci hama!”

Perawat itu tak memedulikanku. Ia menggosok-gosok punggungku dengan cara yang kasar sekali. Bukan sebab sakit digaruk bengis di punggung yang kurasai, melainkan sakit lain di dalam dada ini. Perlakuan kasar, galak dan tanpa perasaan yang kuterima begini, sungguh melukai hatiku yang terdalam.

Aku merasa tidak dianggap sebagai sosok manusia yang punya pikiran, harga diri, kehormatan dan martabat.
“Kita sudah baik-baik memperlakukan Ibu. Tapi Ibu malah jahat begitu, ya!” dengusnya serasa mendesir di belakang telingaku.

Sementara tangannya terus jua menggosokkan handuk kecil ke punggungku, semakin kuat tanpa perasaan sama sekali.
Bahkan naga yang selama ini mengangkang di atas badanku langsung menghilang, entah ke mana. Aku tak tahu lagi, apakah lebih baik dikangkangi seekor naga atau dianiayai seorang perawat.

“Suster, mohon maaf kalau aku ada kekhilafan, ya,” aku mencoba berbaik sangka, bertutur kata dengan santun. “Maafkan juga keluargaku….”
“Sudahlah, Bu, penyesalannya sama sekali tidak berguna. Munafik, tahu!”
Astaghfirullah al adzim, gumamku membatin. Suaranya terdengar menyimpan kebencian dan antipati yang dalam terhadap diriku.

“Mengapa membenciku, Suster? Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?”
“Percumalah dikasih tahu, sebentar lagi juga diulang! Sudah, jangan banyak omong lagi, ya!”
“Suster…, jangan zalimi aku, ya, kumohooon….”
“Huh, heboh melulu kerjaannya, capeeee deh!” sahutnya seraya ngeloyor, menjauhiku.
Seorang rekannya dari belakang meja pembatas, sudut jaga perawat, berbicara agak keras: “Ada apalagi tuh si nenek lampir?”

Apa? Dia mengataiku nenek lampir?
“Dia bilang, kita semuanya ini tukang jagal!”
Masya Allah, apa yang dikatakannya Itu?
“Hiiiiih, makin gelow sajah mulutnya!”
“Memangnya dia minta apalagi, Kak?” timpah rekannya yang lain.

“Mau be-a-be, katanya, minta dipompa!”
“Ya wis, biar aku saja!”
Perawat itu mendorong rak kecil berisi obat-obatan dan peralatan medis, seperti jarum, perban, alkohol dan lainnya. Dalam sekejap ia telah berada di sisi kanan ranjangku. Siap melaksanakan hasratnya; menyingkirkan diriku!

“Sudah saatnya minum obat. Tapi sebelum minum obat, harus makan dulu, ya!” ujarnya sambil menyambar semacam gayung kecil terbuat dari almunium, berisi air bening.
“Nah, ini minum, ya, minum yang banyak! Habiskan, hmm, habiskan!” ceracaunya seraya menarik selang kecil yang menggantung di leherku.

Ia melakukan semuanya itu seperti seorang peternak memberi minum sapi-sapinya. Persis dan…, byuuuur!
Entah berapa liter air digelontorkan langsung ke lambungku. Dalam hitungan detik aku sudah bisa merasai pengaruhnya. Serasa ada yang runtuh di dadaku, kemudian ambruk, meluncur terus ke bagian bawahku, membarengi rasa sakit luar biasa!
“Allahu Akbaaar…., sakiiiit!” Aku melolong-lolong kesakitan.

Ia tak memedulikanku, tangannya kini menyambar botol obat bernama dulkolax. “Dan ini obatnya, biar gampang buang air besar, oke!”
Lagi: byuuuur!

Aku terus melolong-lolong, menjeritkan asma-Nya, hingga suaraku kembali tertelan di tenggorokan, dan hanya bisa mengucap lirih: “Allaaah…. Allaaah….”
Bayangan anak-anakku melintas di tampuk mataku. Haekal dan Butet menggedor-gedor pintu ICU.

Keduanya berteriak-teriak, ya, akhirnya mereka teringat akan ibunya ini. Kudengar dengan jelas, keduanya menyebut-nyebut nama asliku, nama penaku dan sebutan terakhirku di rumah: Manini!

Namun, tiada yang memedulikan mereka. Bahkan ketika seorang perawat senior memberi intruksi, agar nomer 9 diberi morphin lagi, untuk ke-3 kalinya. Sejauh itu tiada pula yang berkenan mengulurkan bantuan untukku.

Maka, aku pun kembali terbang, melayang-layang, merambah jomantara, melintasi rimba raya, membelah samudera luka, penuh dengan darah, penuh dengan nanah.
Dimanakah gerangan benteng cahayaku, duhai semesta gulita?

@@@








Kalam Kalam Langit: Gema Ayat Suci di Tengah Keindahan Lombok

$
0
0



Jafar punya prestasi di bidang baca Al-Quran. Bermacam prestasi diraih dalam beberapa lomba termasuk MTQ. Keberhasilan Jafar itu tidak didukung oleh ayahnya yang menganggap bahwa MTQ hanya menjual ayat-ayat Al Quran. Uang yang membuat seorang menjadi juara. Hal ini berdasarkan pengalaman ayah Jafar semasa muda.

Ketidaksetujuan ayahnya membuat Jafar keluar dari pondok pesantren. Pengalaman kecurangan dalam lomba MTQ juga dirasakan Jafar. Kegagalan inilah yang menjadi salah satu penyebab ayah Jafar meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, Jafar harus bekerja di perusahaan jasa pengiriman barang di Lombok.

Pengalaman serta ilmu agama yang dimiliki ditularkan ke sesama karyawan. Ia juga mengajukan usulan perbaikan tempat ibadah serta mengisi kegiatan ibadah termasuk membaca Al Qur’an di sela waktu bekerja.

Di tempat inilah Jafar mendapatkan kesempatan untuk ikut kembali lomba MTQ tingkat Nasional. Pertentangan di hati Jafar yang sudah berjanji kepada ayahnya untuk tidak ikut lagi dalam lomba MTQ menjadi proses yang harus dilalui. Ibunda Jafar yang dalam kondisi sakit memberikan dukungan agar Jafar mengikuti lomba dan akhirnya keluar sebagai juara.

Cerita juga dibumbui kisah cinta Jafar dengan Azizah, anak pemimpin pesantren Al Amin. Azizah sejak kecil selalu mendukung perjuangan Jafar.

Kalam Kalam Langit ditulis skenarionya oleh sutradara film terlaris kedua nasional sepanjang masa ‘Habibie Ainun‘, Faozan Rizal. Novelnya digarap oleh Pipiet Senja, novelis senior yang telah menulis 185 buku.




Sementara kursi penyutradraan dipercayakan kepada Tarmizi Abka yang sebelumnya lebih dikenal sebagai gaffer (bagian lighting) untuk film-film seperti Hijrah Cinta, Dibalik 98, dan Hijab.
Berakting dalam film ini bersama Dimas Seto antara lain Meriza Febriani, Elyzia Mulachela dan Mathias Muchus.




Saksikan film reliji yang meyentuh ini di bioskop mulai tanggal 14 April 2016.
Drama religi yang dibalut kisah cinta segitiga ini mengambil lokasi syuting di Lombok. Pemilihan lokasi ini membuat sang pemeran utama, Elyzia Mulachela senang dan bangga.

Apa penyebabnya?
"Film ini syuting di Lombok dan aku bangga banget karena aku asalnya dari Lombok. Pas dikasih tahu syuting di sana langsung kaget karena bisa pulang ke kampung halaman," kata Elyzia saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/9).

Pemerintah Lombok pun sangat mendukung penuh pembuatan film ini. Karena untuk pertama kalinya nilai Islam di Lombok difokuskan sebagai sajian utama. Tak seperti film lain yang menyorot sektor pariwisata saja.

"Film ini didukung sama pemerintahan Lombok, untuk pertama kali mengangkat Islam di sana. Karena Lombok memiliki 1001 masjid. Biasanya kan film lain hanya mengambil dari segi pariwisatanya saja," tambah Elyzia.

Jejak Cinta Sevilla: Pencarian Jatidiri Berujung di Tanah Suci

$
0
0





Jejak Cinta Sevilla
Karya Pipiet Senja

Plot
Pencarian jatidiri seorang dara yang senantiasa memegang teguh keyakinannya dengan hidup istiqomah. Novel ini mengambil latar lintas negara; Jakarta, Malaysia, Singapura, Jepang, Perancis, Jeddah, Tasmania. Setting bisa diganti, disesuaikan.

Membawa kepedihan karena pilih kasih ayah, Garsini menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga orang tuanya. Perjuangannya dimulai sebagai mahasiswi perguruan tinggi favorit, berpenampilan tomboy, taekwondoin dan selalu berprestasi.

Saat ibunya diopname di rumah sakit, Garsini mengenal koas muda Raihan. Teryata Raihan abangnya Selly, seniornya di Rohis. Garsini bergabung dengan pengajian mahasiswa, mendalami keislaman melakukan bakti sosial di kawasan kumuh pinggir rel kereta Jabotabek.

Demi membantu sahabat kecilnya mengumpulkan uang, Garsini mengamen di kereta, kembali berjumpa Raihan yang bersimpati bantu menemaninya mengamen bareng.

Garsini bertekad ingin membuktikan kepada ayahnya, kepada dunia; bahwa meskipun dirinya seorang anak perempuan, terlahir dari perkawinan yang tidak harmonis, ia bisa berprestasi, mewujudkan cita-citanya kuliah di Jepang.

Garsini mendengar pertengkaran hebat antara ibu dengan ayahnya, mendengar pernyataan ayahnya yang meragukan identitas Garsini sebagai anak kandungnya.

Ayahnya memiliki hubungan gelap ternyata dengan seniornya, sesama mahasiswa. Ia ingin sekali membela kehormatan ibunya, tetapi sang ibu menganggap urusannya bukan urusan anak melainkan urusan orang tua.

“Urusan Mama dengan Papa persoalan kami. Anak-anak tidak perlu ikut meramaikan kisuh-misuh di antara kami. Jadilah anak yang hebat, Nak, berangkatlah menuntut ilmu ke negeri orang,” demikian ibunya selalu menyemangatinya, meskipun dalam ketaberdayaan karena sakit dan diselingkuhi.
Mengisi bulan Ramadhan tahun ini, Garsini tinggal di Masjid Istiqlal, semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Maha Pengasih. Ia memutuskan untuk menutup aurat, berhijab dengan bimbingan seniornya, Selly.

Garsini melanjutkan perjuangannya di Negeri Sakura. Raihan diam-diam menyertainya, sama melanjutkan studi. Garsini beradaptasi dengan memasuki berbagai komunitas. Mulai dari organisasi kampus, bergaul dengan kumpulan para cendekiawan muda, kaum lansia veteran perang, hingga gerakan bawah tanah imigran Palestina.

Garsini punya sahabat, gadis Jepang yang rela berkorban menjadi simpanan pejabat demi menyelamatkan kakaknya dari jeratan hukum. Selama tinggal di Jepang, Raihan dan Garsini sukses menyatukan pasangan kasmaran Jay Bachan, mualaf India dengan Mayumi, gadis Jepang ke jenjang pernikahan.

Kisah cintanya dengan dokter Raihan sejak di Tanah Air, ternyata harus putus karena kesalahpahaman. Sementara Raihan menikah dengan Carolina, seorang supermodel yang menjebaknya.
Garsini kembali ke Tanah Air dengan gelar sarjana IT, lulusan terbaik, ternyata sulit sekali beroleh pekerjaan yang sesuai dengan nuraninya. Gundah-gulana melihat kekacauan dalam perkawinan orang tua, Garsini memutuskan menerima tawaran beasiswa dari pembimbingnya saat kuliah di Jepang.
Menjelang melanjutkan pendidikannya ke Perancis, Garsini mendapatkan kesempatan magang di perusahaan sahabatnya, Haliza.

Sepupu Haliza, pemilik perusahaan IT bonafid di Singapore, jatuh cinta kepada Garsini. Namun Garsini telanjur telah menutup hati dari cinta setelah dikhianati kekasihnya.
Bersama sahabatnya Haliza, Garsini menyelamatkan seorang TKW yang mendapat penganiayaan majikannya, ketika mereka berlibur di Johor.

Garsini memutuskan untuk fokus meraih masa depan, mewujudkan mimpinya sebagai perempuan yang berhasil, sambil tetap istiqomah dengan busana Muslimah, hijab, menutup aurat dan hidup sesuai syariat Islam.

Garsini terbang ke Perancis, melanjutkan program Master dengan rekomendasi Profesor del Pierro. Romantika sebagai mahasiswi Muslimah yang istiqomah di Negeri Napoleon, membawanya dalam dakwah bersama gadis Palestina, Ayesha. Rombongan anak imigran Palestina yang didampinginya bersama Ayesha, ditampung oleh keluarga Marie Jane, istri Profesor Charles del Pierro.

Ia mendapat bimbingan langsung dari Profesor Charles yang sangat peduli terhadap dirinya. Sehingga putri Profesor cemburu dan iri, kemudian memfitnahnya telah mencuri perhiasan ibunya.
Delapan tahun sudah berada di perantauan, Garsini berhasil meraih gelar Master IT, dan PhD termuda, menjadi murid kesayangan Profesor Charles del Pierro.

Secara kasat mata Garsini memang sukses sebagai cendekiawan muda. Namun, hatinya mulai terasa gersang, hingga ia bergabung dengan komunitas Muslim Perancis. Kemudian ia diajak ikut rombongan umroh.

Di Jeddah, di sebuah hotel Sevilla, Garsini berjumpa dengan ibunya yang telah lama terpisah. Ia pun bersua kembali dengan dokter Raihan yang membawa istri dan putrinya berumroh.

Carolina, istri Raihan didiagnosa sakit parah dan tidak punya harapan hidup.Ia merestui suaminya menikahi Garsini dengan berbagai syarat yang sesungguhnya sangat melecehkan. Demi cinta kasih yang tak pernah padam terhadap Raihan, terutama karena rasa sayang dan iba kepada Carmilla, anak Carolina dari pacarnya, Garsini menerima persyaratan itu dengan tulus. Setelah melalui pergulatan batin dan pengorbanan luar biasa, akhirnya Garsini dan Raihan menjadi pasangan suami-istri.
Pesan Moral:

 Dengan benteng iman dan kesadaran untuk selalu berbuat baik, bermanfaat untuk orang lain, Garisini bisa menjalani lakon hidupnya yang penuh dengan konflik. Berkat gemblengan dan teladan dari ibunya.
 Setinggi-tinggi ilmu dan gelar yang berhasil diraih oleh seorang perempuan, ternyata kebahagiaan sejati terletak di mata anak-anak yang mengasihi dan membutuhkan keberadaannya.
 Ketidakharmonisan sebuah perkawinan, tidak selalu harus melahirkan anak-anak broken-heart.
 Putra-putri bangsa Indonesia telah membuktikan kepada dunia internasional, mampu bersaing dan tampil berprestasi di bidang ilmu, di tengah persaingan ketat era globalisasi.


Keramahan Warga Taiwan Patut Diacungi Jempol

$
0
0





Keramahan Warga Taiwan Patut Diacungi Jempol
Pipiet Senja

Taipei, 9 Maret 2016
Diundang oleh komunitas perpustakaan Taiwan, Brilliant Time yang didirikan oleh Mr. Chang Cheng, saya tiba 9 Maret 2016, bersama rekan Sunlie Thomas Alexander dikawal langsung oleh Sima Kuan Tung Wu, pengelola perpustakaan yang terletak di kawasan Nanshijiao.

Pesawat mendarat di Bandara Taipe=Taoyan Internasional, sekitar pukul tujuh malam, disambut hujan deras dengan suhu 10 derajat Celsius. Demikian menurut seorang sahabat melalui WA yang berpesan, agar saya hati-hati jaga kesehatan. Intinya dia mengkhawatirkan kondisi kesehatan saya. Terima kasih.

Sebelumnya saya sudah tiga kali singgah di Taiwan. Pertama bersama rombongan Bilik Sastra Voice Of Indonesia Republik Indonesia dipimpin langsung oleh Kabul Budiono, 2012. Direktur Penyiaran Siaran Luar Negeri VOI RRI. Kedua diundang teman-teman Forum Lingkar Pena, 2013, bersama Sastri Bakry dan Fanny Jonathan Poyk. Ketiga kalinya hanya singgah beberapa jam transit, saya lupa hendak ke mana itu, kalau tak salah ke Hongkong.

Hari pertama saya dan rekan Sunlie Thomas Alexander yang juga penyair Mualaf dari Bangka Belitung, diajak ke perpustakaan Briliant Time oleh Sima Kaun Tung WU, anak muda keturunanTaiwan ayahnya tinggal di Pademangan. Saya terpukau dengan koleksi buku yang ada di perpustakaan Brillliant Time. Ada lima jenis buku di sini, bahasa Thailand, Filipina, India, Vietnam dan Indonesia. Unik sekali!

Dari siang hingga petang kami berkelindan dengan buku, ada beberaa relawan muda sedang asyik mengerjakan sesuatu. Mahasiswi dari Vietnam dan Taiwan. Saya mencoba mencermati koleksi bukunya. Meskipun tidak paham, tetap saja membuatku berdecak kagum, banyaaak!

Kami mencari makan malam sebelum pulang ke apartemen yang disediakan oleh Sima. Hujan turun sejak pagi, udara dingin sekali suhu sekitar 10-13 derajat Celsius. Kata orang Sunda mah, aduh tirisna meuni ngahodhod, mucicid!

Ada warung makan Muslim yang menyediakan berbagai menu halal. Saya dibuat kagum dengan seorang anak laki-laki, kata Sima, dia anak tetangga pemiik warung. Anak laki-laki ganteng ini fasih membaca doa dan ternyata hafal beberapa juz Al Quran. Subhanallah!

Hari kedua, diajak ke Masjid Taipei oleh Sima. Jumpa dengan Dila, mahasiswi Minang berasal dari Tanah Datar yang sedang ambil program Master. Ardila, anak daro manis ini fasih bahasa Inggris. Kami langsung akrab, setelah ikut sholat Jumatan, kami pergi ke toko Indonesa, makan siang yang; gak bangeeeet, harganya mahal sekali!

Jumpa dengan Dina, dara Yogya yang sedang ambil program Doktoral. Ia sebaya menantuku, Seli. Kami jadi asyik diskusi, dia tertarik sekali mengadakan kelas menulis di kampusnya. Sepertinya merasa panas juga, teman-teman BMI sudah banyak yang menjadi penulis dan melahirkan karya. Anak PPI, mahasiswa perantau juga jangan kalah!

Maka, kami pun berbicnang serius untuk memungkinan mengadakan seminar kepenulisan di kampusnya. Syukur-syukur bisa nonton bareng film Kalam-Kalam Langit. Yang ini harus dicarikan sponsornya, semoga ada yang berkenan menjadi sponsornya. Karena ingin mendatangkan setidaknya dua bintang filmnya dan tim Produser.



Dila nak Tanah Datar, asli Minang program Master


Karena Sunlie dan Sima pergi ke tempat lain, saya diantar pulang oleh Dila kembali ke apartemen setelah gabung dengan PPI di KDEI. Perjalanan panjang yang dingin sekali ditambah nyasar, oalaaaaa!

Menurut peta hanya sekitar tiga menit dari halte bis di kawasan Nanshijiau itu. Karena nyasar dan mulai gelap, nyasar dulu ke mana-mana di bawah guyuran hujan. Saya meencermati, beberapa orang yang ditanya oleh Dila, selalu dengan sangat peduli dan ramah memberi penjelasan.

Coba kalau di Jakarta cukup menjawab; “Auk, ya!” Malah banyak juga jadi ditipu, disesatkan bahkan dicelakai.

Rombongan pelajar dengan serius mencarikan alamat apartemen Sima, mulai dari mencari di google peta, sampai sebagian ada yang berjalan ke sana ke mari menanyai orang juga. Alhasil, meskipun udara semakin dingin dan mulai membuat tubuhku menggigil, tapi terlupakan, saking takjub dengan keramahan anak-anak muda Taiwan itu!

Akhirnya sampilah kami di lokasi, disambut wajah cemas Sima. Dila hanya beberapa menit saja tinggal, langsung pamitan pulang ke apartemennya, hanya satu kali naik bis, katanya tangguh sekali. Kupikir mau inap di kamarku, pasti akan kuteror habis agar dia menjadi seorang penulis. Hehe.


Baiklah, sampai jumpa laporan berikutnya, ya Sahabat.
Spesial untuk anak-anak muda itu, terima kasih, Taiwan, Xie Xie!
Taipei, Pipiet Senja, penulis Indonesia.


Vivian, Founder Brilliant Time, Miss Chang Cheng

Kepedulian Perpustakaan Brilliant Time: Lomba Sastra Migran Taiwan 2016

$
0
0



Bersama para juri dari Vietnam, Thailand, Filipina, Taiwan, Indonesia

Kepedulian Brilliant Time: Lomba Sastra Migran Taiwan 2016

Museum Nasional Taipei, 13 Maret 2016
Tahun ini, 2016, perpustakaan Brilliant Time yang dikelola oleh Mr. Chang Cheng dan istrinya Vivian, asli warga Taiwan. Untuk ketiga kalinya Brilliat Time menyelenggarakan Lomba Sastra Pekerja Migran. Saya lebih suka menyingkatnya, Lomba Award Sastra Migran Taiwan.

Sudah banyak yang menyelenggarakan lomba kepenulisan. Namun, ada keunikan tersendiri dengan lomba ini, para pesertanya dalam lima bahasa; Indonesia, Mandarin, Philiphines, Vietnam dan Thailand. Mungkin mendatang akan bertambah bahasa lainnya, semoga.

Peserta boleh diikuti oleh pekerja Indonesia yang pernah dan sedang bekerja di Taiwan. Baik yang masih aktif sebagai TKI, maupun mantan TKI atau sudah kembai ke kampung halaman. Persyaratan detailnya bisa dilihat di http:www.tlam.sea.taipei//

Pada acara pembukaan hari Minggu, 13 Maret 2016, pukul 14.00 di Museum Nasionai Taipei ini, tampak para juri dari lima Negara; Indonesia, Philipines, Thailand, Taiwan dan Vietnam. Indonesia diamanahkan kepada saya, Pipiet Senja.

Dibuka oleh Direktur Museum Nasional Taipei, dilanjutkan memberikan sambutan adalah panitia dari Yayasan Brilliant Time dan beberapa juri. Kemudian Sima Tian Kuan Tung Wu sebagai pembawa acara, menyilakan saya dan Sunlie Thomas untuk tampil membacakan puisi masing-masing.





Program Mencerdaskan
Saya akan tinggal selama sebulan lebih, 9 Maret sd 11 April 2016, untuk mengisi program Brilliant Time. Memenuhi undangan sebagai pembicara di kampus dan komunitas BMI Taiwan, mengunjungi beberapa perpustakaan atau taman baca di Taiwan. Puncak acaranya adalah awal September 2016, insya Allah saya akan kembali ke Taipei akhir Agustus 2016. Untuk mengikuti acara penyerahan hadiah kepada pemenang. Hadiahnya kali ini total senilai 100.000 NTD.

Selama sebulan, saya bersama Sunlie Thomas akan mengisi kelas-kelas menulis atau seminar kepenulisan. Targetnya selain mencetak para penulis di kalangan BMI Taiwan, juga berharap di setiap akhir kelas menulis bisa terkumpul karya yang dapat dicetak sebagai buku karya bersama.

Kepedulian Brilliant Time
Beralamat di No. 1 Ln 135, Sec 1, Xinjiang Rd, Zhongzhe, New Taipei, perpustakaan Brilliant Time didirikan oleh Mr. Chang Cheng beserta istri, Vivian Cheng. Perpustakaan ini menyediakan ribuan buku bacaan dalam lima bahasa; Indonesia, Vietnam, Tagalog, Philipines dan Vietnam. Buku diperoleh dari para donator, telah pula disumbangkan ribuan buku ke taman-taman baca atau perpustakaan di Taiwan.





Di lantai dua dan tiga disediakan kelas untuk para pekerja Taiwan, kursus bahasa Mandarin, diskusi atau sekadar share pembelajaran. Inilah tempat nongki-nonki cantik BMI Taiwan yang hendak memaksimalkan potensi dirinya. Kita juga bisa bergaul dengan TKI dari berbagai negara di sini.

Ada beberapa relawan yang bekerja untuk perpustakaan Brilliant Time, antara lain Sima Kuan Tung WU, mahasiswa program S2 jurusan Antropologi. Dara manis dari Vietnam, Duong Ngoc Oanh. Ada anak muda ganteng Lin Shao Huan, asli Taiwan ini suka dipangil June. Satu lagi anak muda yang suka dipanggil Joy. Dan masih banyak lagi yang tersebar di pelosok Negeri Formosa.

Mereka bekerja sebagai relawan, semua telah selesai kuliah. Ketika pertma kali penulis singgah di Brillian Time, tampak Joy dan June sedang asyik menulis sesuatu dalam lima bahasa. Semua semangat dan serius melaksanakan tugasnya masing-masing.

Bravo, Brilliant Time dan para relawan! (Pipiet Senja, Taipei-Taiwan, Maret 2016)












Catatan: foto dari Koran Empat Arah

Indonesian Cultural Day NCU Taiwan: Roro Jongrang Asli Batak

$
0
0
        
                         Pagelaran Roro Jongrang di National Central University


Taipei, 14 Maret 2016
   Diajak Dina Nur Ningrum Anggraeni, mahasiswi program Master Biomedical ke acara Indonesian Curtural Day 2016 di kampus NCU, National Central of Univercity Taiwan.
Dari apartemen dijemput oleh Alex Wang dengan sedan jadulnya yang masih lancar dan nyaman. Kami berangkat pukul dua siang, cuaca lumayan cerah kisaran 17 derajat Celsius, setelah berhari-hari diguyur hujan dan suhu 12-14 derajat Celsius.
Sempat terkaget-kaget dengan cuaca Taipei yang ekstrim, kita sedang enak hangat mendadak dingin sekali dan diguyur hujan sepanjang hari. Pagi hujan dn dingin sekali, eh, siang cerah dn lumayan gerah. Jadi jangan kaget kalau kita sering salah kostum datang di acara formal. 
Bayangkan saja, tampil sebagai pembaca puisi dengan jaket tebal panjang, padahal di luar gerah, Semoga ada yang menyadari kalau paginya memang dingin sekali. Hadeuh, sesuatu banget tuh! 
Selama hampir sepekan tinggal di Negeri Formosa ini, tak sekalipun penulis melihat bulatan matahari keemasan, sebagaimana layaknya di daerah khatulistiwa, Indonesia. 
Sima Kuan Ting Wu, yang bertanggung jawab mengurus penulis selama sebulan di Taipei, berpesn wanti-wanti sekali dan berulang kali. Agar penulis tidak lupa memakai baju hangat, bawa payung dan air panas di termos. Beberapa lembar pemanas tangan pun tak lupa dimasukkan ke tas.
Sima turun di perpustakaan Briliant Time, penulis bersama Alex melanjutkan perjalanan. Jumpa Dina dan Lina di seberang stasiun Nanshijiao. Barulah kami meluncur menuju kampus NCU di kawasan Toyuan.

                                           Poster di Parkiran

“Tiap tahun mahasisa Indonesia selalu menyelenggarakan Indonesian Curtural Day di kampus NCU,” jelas Dina. “Rekan-rekan Dosen sampai heran dan bertanya, mengapa kalian itu senang sekali pamer seni dan kebudayaan Indonesia? Lah, kita kan memang orang Indonesia harus bangga dan promo kebudayaan Indonesia. Hehe.”


                                              Ini Baju Adat Aceh atau Minang




                      Duo cantik penjaga konter makan siang


      Gerimis berhenti ketika kami memasuki areal kampus.Alex Wang ternyata hobi sekali jeprat-jepret, di berbagai sudut dia mengambil foto kami. Samar-samar musik Bali sudah terdengar. Ada properti yang mereka sebut Ogoh-ogoh, meskipun tdiak mirip sama sekali,menyambut kami di depang edung pertunjukan theater kampus.

                                         Lina, Dina, penulis dan Alex Wang


                  Rino dari Malang si Bandung Bondowoso

Anak-anak mahasiswa kemudian mengusung Ogoh-ogoh dan menarikannya dengan penuh semangat sekali. Kadang musiknya diganti dengan Degung Sunda. Mendengar Degung Sunda dengan kecapi dan sulingnya, seketika ada semacam sensasi ajaib memenuhi dadaku. Tak bisa dijabarkan, ada haru-biru, semangat kebangsaan yang  meremas kalbu. Entahlah.
Ini dia Ogoh Ogoh Taiwan
                                                                                                                      
Dina tiba-tiba berkata, “Rasa kebangsaan dan ghirah agama malah muncul mengalir dengan kuat selama berada di Taiwan.” 
Ia telah dua tahun berada di negeri ini bersama suami dan seorang anak. 
“Ada saja yang suka melecehkan dan bilang, ngapain jilbaber menuntut ilmu di negeri kafir? Mereka tidak tahu, di sinilah justru banyak yang menemukan hidayah-Nya. Dari yang semula baju asal, kemudian  berubah pake busana Muslimah, jilbaban.”
Setelah mengisi buku tamu kami diberi kupon, voucher makan siang menunya nasi kuning, karedok, telor dadar dan pencuci mulutnya klepon. Di lantai atas ada beberapa konter, sekadar pameran cinderamata. Ada juga makanan dan penganan khas Indonesia yang dijual.

                               Roro Jongrang dari Batak


Selama menanti pagelaran, pengunjung yang terdiri dari berbagai bangsa, tidak melewatkan kesempatan ini. Kami saling berkenalan, bertukar kartunama, bahkan beberapa terlibat diskusi mulai dari kesenian, budaya sampai politik. Penulis jumpa dengn wakil Ketua KDEI, Bapak Siswandi dan Bapak Agung dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
“Silakan bikin seminar kepenulisan, di KDEI, kami siap memfasilitasi,” ajak Bapak Agung dengan ramahnya.
Bagi yang hendak menunaikan sholat, disediakan sudut untuk melaksanakan sholat Maghrib. Tanpa terasa tibalah pagelaran kesenian yang diberi judul; Roro Jongrang.
Semula mengira akan menonton semacam teater, mengambil cerita Roro Jongrang. Ternyata ini merupakan pagelaran kesenian tari, lagu dan musik dari Sabang sampai Merauke, dibalut dengan sekilas pintas legenda Roro Jongrang. Tarian demi tarian dan lagu demi lagu dari Aceh, Minang, Batak, Dayak, Manado, Jawa, Sunda, Bali dan Papua, digelar silih berganti.


                             Berkapsitas 500  Penuh!

Bagus dan sangat kreatif, dalam keterbatsan sibuk dengan kuliah, thesis, skripsi atau mengajar dan penelitian ilmiah, mereka masih bisa berkarya. Padahal mereka sama sekali bukan seniman,  bukan artis profesional. Namun, mereka menata dan mengekspresikan semuanya nyaris sempurna.
Setidaknya pagelaran Roro Jongrang diperankan oleh Nancy Batubara dari Medan, Bandung Bndowoso oleh Rino dari Malang, bersama para penari lainnya, berhasil mempromosikan keindahan alam Indonesia beserta seni dan kebudayaannya. 
Ada film pendek lengkap dengan subtitle dalam bahasa Inggris yang melatarbelakangi pementasan Roro Jongrang ini. Gedung theater berkapasitas 500 orang pun penuh!
Bravo mahasiswa NCU Taiwan! (Pipiet Senja, Taipe, Maret 2016)








Teater Payung Hitam: Memadu Ruh Nusantara di Taman Tepi Sungai Tainan

$
0
0



Tainan, Taiwan, 26 Maret 2016
Setelah diundang ke Taiwan September 2015, kemudian lanjut untuk workshop dan pentas bersama di Seattle, USA pada tahun yang sama, maka kali ini Teater Payung Hitam kembali pentas di Taiwan.

Rombongan Teater Payung Hitam kali ini diundang oleh Mizuiro Art Studio. Mereka terdiri dari Nugraha Bazier Susanto, Rusli Keleeng, Suyadi, IIyazza, Gaus FM, Sidik, Fajar Okto, Azhar dan Icha.

Icha satu-satunya perempuan dalam rombongan Payung Hitam. Dialah yang memerankan Dewi Pohaci dalam pementasan Cak dan Pohaci di Taman Tainan, sebuah kota budaya di Taiwan.








Mereka meginap di sebuah guesthouse di kawasan Tainan selama sepekan. Seharusnya bersama sutradara Rachman Sabur yang juga pendiri Teater Payung Hitam. Namun, Rachman Sabur berhalangan sakit.

“Babe,” pangilan untuk Rachman Sabur. “Mempersiapkan konsep pementasan ini sudah lama juga. Sedangkan para pemain menyiapkannya sekitar dua bulan,” jelas Nugraha Bazier Susanto kepada penulis, usai pagelaran yang mengambil judul Cak dan Pohaci, malam yang sangat dingin itu.

Properti yang menjadi latar pagelaran outdoor, tampak semacam Bebegig atau orang-orangan sawah. Simbol yang membantu petani dalam menjaga padi di sawah. Para Bebegig ini dibuat melingkar, bagaikan barisan pengawal siap menggebah para pengganggu padi yang siap panen.

Pementasan diawali dengan semacam ritual, senyap dan hening, semua pemain duduk melingkari hidangan buah-buahan, ini mungkin dimaksudkan sebagai sesajian untuk karuhun alias leluhur.

Beberapa menit kemudian terdengar suitan, sepertinya gawean Nugraha. Maka, bangkitlah semuanya dan Dewi Pohaci memanggul hasil panen raya, diiring oleh delapan punggawa-istilah penulis. Mereka bergerak dengan ritmis suitan, bagaikan penari dalam gerakan seperti tarian kecak.

Benar saja, gerakan mirip kecak pun kemudian menuansa dengan kental di antara gerakan tarian lainnya.. Dalam tempo satu jam yang terasa sangat cepat, mereka secara terus-menerus, silih berganti menarikan berbagai gerak tari daerah.






Ada Sunda, Makassar, Minang, Aceh, Papua, Dayak. Ini paduan tarian dan budaya Nusantara, rancak bana, kata orang Minang. Mungguh rancage tur sae psan, kata orang Sunda. Kesederhanaa dalam kostum, bertelanjang dada aktornya dengan kain hitam, Pohaci-Icha hanya berkemben kain hitam. Ajaibnya, mereka begitu semangat mempersembahkan yang terbaik!

Sementara properti sepertinya memang disengaja dipagelarkan. Sehingga terkesan semua berdasarkan alam, ingin menyerap seluruh keindahan dan kekuatan semesta.

Meskipun dalam hawa yang sangat dingin menggigit serasa sampai menusuk ke tulang, ajaibnya, penonton sekitar 500-an, tetap bergeming dari bangku masing-masing. Ibu-bapak bahkan ada beberapa anak kecil, tidak bergerak dan terus menonton sampai selesai. Tepuk tangan pun menggema di kawasan Taman Tepi Sungai Tainan, menyambut ujung pagelaran Cak dan Pohacimalam itu.




Semoga persembahan Payung Hitam pun mendapat apresiasi dan penghargaan yang setimpal dari pihak sponsor, panitia. Namun, sebagaimana laiknya seniman, seperti penulis, lebih banyak ingin meraih makna hakikat seni demi manfaat, kontribusi yang bukan ditujukan semata demi kesenangan lahir. Melainkan demi kepuasan batin, sehingga urusan imbalan berupa duniawi nyaris terabaikan, biarlah Sang Pencipta yang Memberi. Bukankah demikian, Kang Nugraha?

Selamat, wilujeng, Teater Payung Hitam. Bavo! (Taipei, Pipiet Senja)


Katakan Cinta Dengan Pena

$
0
0
Bisa pesan via WA 084669185619



Suatu kali aku diminta menggantikan Asma Nadia untuk mengisi acara di kampus IPB, Darmaga. Oya, belakangan itu aku semakin sering menerima tumpahan job dari Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Biasanya kedua bersaudara itu sudah dijadwal untuk acara yang memang datang lebih dahulu.
Beberapa sangat menguntungkan, setidaknya mengasah keterampilan dan keberanianku tampil di depan publik. Tapi ada juga yang berakhir dengan kekecewaan. Umpamanya, sudah tidak diberi fee, harus datang sendiri pula. Padahal acaranya termasuk berat; pelatihan kepenulisan beberapa jam!
Dan undangannya lebih sering dadak-dadakan, seperti main todong begitu saja. Sama sekali tak ada persiapan, hanya dua lembar wacana yang diketik beberapa saat menjelang berangkat.
Suatu kali pernah pula tampil di komunitas noni, para pesertanya bertampang Chines, bermata sipit dan tempatnya di sebuah aula untuk latihan taekwondo. Di tengah rehat setelah acara talkshow, tiba-tiba diputar sebuah film mini… esek-esek!
Anda bisa bayangkan bagaimana aku lari tunggang-langgang, ngibriiiit, dan sesampai di luar tak tahan lagi uhek-uheeekan!
Nah, acaranya sekali itu pukul delapan pagi. Menurut Haekal yang juga kuliah di IPB, tetapi kampusnya di Baranangsiang, KRL jurusan Bogor pagi hari hanya dua kali.
“Kalo gak naik KRL yang jam lima baru ada lagi paling jam tujuhan. Bisa telat tuh. Belum lagi ke Darmaga, wuiiih, muaceeet!”
“Bisa antar Mama?”
“Gak bisa, Ma, ada ujian nanti siang. Tapi belum siap nih, sori, ya Ma, soriii…” kilahnya menyesal.
Bada shalat subuh pun aku sudah meninggalkan rumah.
Suasana di atas KRL Kota-Bogor segera menyambar hidungku. Mengingatkanku akan nuansa serupa, meskipun bukan KRL, ketika remaja sering bolak-balik ke Rangkasbitung.
Para pedagang dengan pikulan dan gendongannya, para karyawan, para pelajar. Semua, tak terkecuali berdesakan pada pagi buta!
Beberapa menit setelah kereta bergerak, serombongan pelajar STM merangsek dari gerbong belakang ke gerbong yang kutumpangi. Seketika aku merasakan sesuatu yang tak nyaman sekali. Mereka, wajah-wajah remaja berseragam abu-abu putih itu, jelas sekali menyimpan hasrat, nafsu tak terkendali…
“Awasss… Bentar lagi, Jek!” seru seorang anak muda yang berdiri tepat di tentangan mukaku.
“Bereees!” sahut temannya yang dipanggil Jek, Jek saja sejak tadi.
Sreeek, sreek…
Dan tahulah aku! Benda-benda yang mencurigakan di pinggang, perut dan tas mereka itu tak lain tak bukan adalah senjata tajam. Ya, mereka telah menyiapkannya dari rumah.
Agenda mereka hari ini tawuran!
Jantungku berdebaran kencang. Pukul lima lewat lima belas!
Aneh, kelihatannya para penumpang lain hampir tak ada yang ngeh dengan perilaku ganjil anak-anak itu. Padahal, jelas-jelas gerakan mereka semakin mencurigakan. Doyong sana, doyong sini, gerak sana, gerak sini. Kompak, tapi sangat gelisah, diliputi hasrat dan nafsu… menghancurkan!
Ya Tuhaaan!
Mataku menangkap rombongan lain di balik pintu pembatas antargerbong. Dengan spontan aku meloncat, berdiri tepat di depan hidung si Jek.
“Adek-adek sayang, tolong, mohooon… Jangan tawuran, ya, jangaaan. Ayo, mundur ke sana, munduuur,” ceracauku memohon-mohon dengan telapak tangan ditangkupkan di depan dada.
Persis seorang hamba sahaya memohon kebijaksanaan dari Sang Maharaja!
Sementara kulihat di balik pintu pembatas itu anak-anak sudah teriak-teriak, menantang. Caci-maki, sumpah-serapah dengan istilah-istilah tak senonoh dan hanya mampu diucapkan para preman, berandalan yang tak kenal etika pendidikan… campur aduk!
“Awaaas, mingggiiiirrr!” si Jek menarik gobang panjang dari ranselnya.
Ups, dia menabrak bahuku keras sekali, sehingga aku terjajar, tepat menimpa seorang kakek!
“Mending nyelamatin diri, ayooook!” himbau si kakek.
Kepanikan, ketakutan dan kengerian dalam sekejap menyilih kantuk yang semula sempat merayapi mata para penumpang KRL.
“Neeeng…, cepetan lariiii!”
Si Kakek itu lagi. Dia berteriak-teriak mengingatkan orang di sekitarnya agar menyelamatkan diri. Bersamaan dengan teriakan-teriakan angkara yang semakin riuh saling menyahut dari dua kelompok, tak pelak lagi aku pun terseret massa.
Sekilas kulihat para pedagang yang pikulannya direbut anak-anak, secara serentak melakukan perlawanan. Yap! Mereka mempertahankan pikulan, sekaligus dagangannya!
“Enak saja maen rebut… Ini pembawa rezeki, taaauuuk!”
Baaak, buuuk, baaakkkk!
Kereta mendadak diperlambat. Gerombolan tawuran di gerbong belakang, semuanya, dihalau turun oleh para pedagang buah-buahan dan pengasong.
Ketika kereta kembali bergerak, mataku menyambar beberapa anak berteriak-teriak histeris dan menantang. Mereka mengacung-angungkan gobang, rantai besi dan senjata tajam lainnya ke arah pelajar di gerbong depan. Beberapa di antaranya melempari kereta dengan batu-batu besar.
Ya Tuhan, inikah cermin buram para pelajar kita dewasa ini?
            Jumadi, ketua panitia menyambut kedatanganku di lokasi, tepat pukul tengah delapan. Dia tersipu-sipu malu, menyatakan penyesalan karena peserta belum datang.
            “Kita ke sekretariat saja dulu, ya Teteh,” ajaknya santun.
            Tempat yang dinamakan sekretariat adalah sebuah warung, tepatnya ada ruangan sempit di belakang warung makanan di luar kawasan kampus itu. Beberapa akhwat sedang sibuk menyusun kertas-kertas, 50 cerpen!
            “Bagaimana maksud kalian?” balik aku bertanya, pikiranku belum jejeg ketika disodori tumpukan naskah itu.
            “Kami menyelenggarakan sayembara menulis cerpen dan puisi dalam tiga bulan terakhir. Inilah hasilnya. Kami berharap Teh Pipiet berkenan menjadi jurinya,” jelas panitia lomba.
            “Tema acara kita ini Pekan Seni Islam, dalam rangka menyambut tahun baru Hijriyah, Teteh,” tambah ketua panitia.
“Pembicaranya selain Teh Pipiet nanti ada juga seorang personil Izzatul Islam…”
            “Sebetulnya naskah-naskah ini sudah akan dikirimkan bulan lalu. Tapi pembicara yang sangat kami harapkan justru menyatakan gak bisa datang. Kami juga bingung banget loh, Teh…”
            “Padahal acara yang kami gelar ini untuk mengimbangi aktivitas anak-anak kiri. Mereka semakin agresif!”
            Mungkin itu benar. Sekilas kulihat baliho raksasa mejeng di pintu gerbang sana. Gelar acara ajaib seperti; bedah buku bertema sekuler, ngesek. Bahwa seni demi seni en soon
            “Baik, Teteh paham…”
Tapi 50 naskah harus kubaca, sekaligus kunilai dalam tempo sangat-sangat singkat? Ajaib juga nih!
“Begini saja, kalau boleh menawar,” ujarku setelah menimbang-nimbang. “Kalian tentu sudah menilai naskah-naskah yang masuk. Tentu ada karya-karya terbaik menurut kalian, bukan”
“Iya, sudah ada sepuluh, Teteh.”
“Bagus. Beri Teteh waktu untuk menilai yang sepuluh itu.”
“Jangan lama-lama, ya Teteh sayang,” pinta seorang akhwat.
“Limabelas menit, bisakah?”
“Insya Allah…”
Dalam hati aku mengucap istighfar. Juri, amanahnya besar sekali. Semoga saja tidak menjadi masalah dan fitnah di kemudian hari. Maka, sambil menunggu peserta dan pembicara lain datang, aku pun berjibaku untuk bertindak seadil-adilnya, meskipun itu hampir tak mungkin.
Aku tetap mencermati sepuluh cerpen yang dalam sekejap telah menyedot seluruh pikiran dan perasaanku. Bagus-bagus ternyata, temanya variatif dan segar. Tapi ada juga beberapa yang mengambil tema mirip; kisah romantika mahasiswa kos-kosan, nyaris tergelincir tapi kemudian tobat, mendapat hidayah-Nya.
Akhirnya dengan sangat berat hati, dan sedikit menurut perasaan bimbang, kukembalikan juga naskah-naskah tersebut. Hanya lima yang terpilih, memenuhi kriteriaku sebagai cerpen yang laik muat, dan laik terbit di majalah remaja Islam.
“Aduuuuh, entah bagaimana kami mesti berterima kasih sama Teteh,” ujar Jumadi yang mengaku sempat hampir putus asa bisa mendatangkan seorang penulis ke acara mereka.
“Jangan bilang begitu. Teteh sudah senang kok melihat semangat dan ghirah adik-adik,” tukasku tulus.
Acara berlangsung dengan semarak. Diskusi tentang seni Islam menggulirkan berbagai pemikiran dari anak-anak muda yang haus pencerahan itu.
“Afwan, ya Teteh… Kami tak bisa menjamu Teteh dengan baik. Semoga Allah Swt senantiasa memberkahi perjuangan kita,” itulah yang tertera di es-em-es, ketika aku sudah berada di atas KRL untuk pulang.
Di kemudian hari, ternyata hal-hal dadakan hasil kepanitiaan yang grasa-grusudi kalangan mahasiswa semacam itu, bukan satu-dua kali saja terjadi.
Pernah bersama Asma Nadia di bulan Ramadhan, ada kepanitiaan kampus ‘mengusili’ kami. Padahal kami sudah berkemas sejak lima jam sebelumnya!
Sebelum diminta Asma Nadia untuk buka bareng di rumahnya, aku telah menanti di pintu gerbang perumahan Mutiara, dari pukul satu hingga pukul lima!
Betul-betul menunggu, duduk di pinggir jalan, berkali-kali mengontak panitia melalui ponsel hingga pulsa nol dan… Cengo abiiisss!
“Maaf, ya Mbak… Acaranya batal!”
Apakah aku jera karenanya?
Tidak, selama mereka percaya memberi amanah. Tidak, selama kepenulisan semakin diminati, dan ghirah sastra Islami kian berkembang di muka bumi ini. Insya Allah, tak ada istilah jera untuk kami, barisan penulis Islam. (Pipiet Senja, Bekasi)
***


Panggilan Ibu Pertiwi

$
0
0

Panggilan Ibu Pertiwi
Pipiet Senja


Ketika mereka mengibarkan bendera palu arit
Seharusnya kita bukan sekadar geram dipendam
Tak lagi sekadar seminar-seminar tanpa aksi
Tetapi sudah saatnya berteriak lantang
Meraung dan menjerit hingga menggapai langit:
Lawan Komunis!

Bukan dengan tangis, miris bagai gerimis
Sebab genderang perang telah ditabuh
Maka inilah saatnya; Lawan PKI!
Hingga hancur lebur, merabuk menjadi debu

Ketika mereka berkoar-koar dengan tampang sangar
Teriak sana-sini membalikkan fakta sejarah
Yang sesungguhnya telah mereka gelar sejak Madiun berdarah
Ketika para ulama, santri dan prajurit berjuang meraih kemerdekaan
Mereka justru bersipongang membantai anak bangsa

Apakah itu hanya belasan?
Puluhan?
Ratusan?
Oh, wahai, anak negeriku, dengarlah!
Dengarlah sejarah bicara, anak-anak cintaku!
Ribuan korban dibinasakan oleh PKI saat itu
Dengan kejam luar biasa
Dengan keji, dengan bengis dan jahanam
Tak ubahnya para iblis dasar neraka merasuki jiwa mereka

Kenanglah pula saat mereka mengucurkan darah anak bangsa i
Sejarah mencatat peristiwa Gerakan 30 September 1965
Ibu Pertiwi kembali menangis, merintih pedih
Sementara mereka menari-nari dalam nyanyian Gerwani
Genjer-genjer, entah apa makna selain nyanyian kematian

Jiwa-jiwa yang yang tak kenal Tuhan
Jiwa-jiwa yang menolak semua agama
Jiwa-jiwa yang hanya menghamba marxisme, leninisme
Dan dewanya Mao Zhe Dong!


Mengapa harus melupakan sejarah bangsa negeri tercinta ini, Anakku?
Mengapa kita terus saja membiarkan teriakan-teriakan mereka
Sudahlah membalikkan fakta dan sejarah
Eh, ndilalah, menyebar fitnah keji pula
Merusak jiwa-jiwa mungil anak bangsaku
Sehingga otak nan lugu itu dicuci dengan lumpur komunisme

Apakah kita akan membiarkan tragedi berdarah itu terulang kembali, Anakku?
Tidak, tidak, dan tidaaak!

Saatnya kita merapatkan barisan
Kemudian tak perlu seminar-seminar lagi
Melainkan tembak langsung
Perangi mereka dan menghancurkannya hingga tak tersisa lagi
Di bumi pertiwi ini.

Mari kita gemakan takbir:
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbaaar!

Cikarang Bekasi, 1 Juni 2016






Suara Kami Adalah

$
0
0


Suara Kami Adalah
Karya: Pipiet Senja





Suara kami adalah semesta amarah
Beratus tahun diperas penjajah
Sejak Sunda Kelapa dikuasai Fatahillah
Maka kami bersumpah atasnama Tuhan Yang Esa
Batavia kami namakan kembali Jayakarta
Kami bangga menjadi anak Betawi!

Suara kami adalah jejak langkah para pejuang
Tetesan darah dan nyawa berserak sejak zaman baheula
Sejak kisah heroik si Pitung anak Betawi
Sampai Abang Jampang bedog panjang
Kumis melintang bikin jantung noni-noni Belanda kelepek-kelepek
Kami bangga menjadi anak Betawi!

Suara kami adalah anak-anak kemerdekaan
Siapa tak kenal Husni Thamrin, Abdullah Syafei
Para Habib yang senantiasa menyiram rohani dengan ruh Islami
Benyamin S yang menggelitik dalam budaya dan seni
Ali Sadikin yang kreatif membangun DKI
Maka banggalah menjadi anak Betawi!

Suara kami adalah rakyat pinggiran
Pribumi banyak tersingkirkan
Semakin ke pinggir dan ke pinggiran lagi
Minggir, minggir, minggir terus
Sampai penuh sesak di bantaran-bantaran kali Ciliwung
Di lumbung-lumbung sampah
Di tempat-tempat kumuh
Berbaur dengan pendatang pencari nafkah
Dari pelosok Nusantara

Meski demikian kami masih bertahan
Sepanjang kehormatan, budaya dan keyakinan
Masih dijaga, dipelihara dan dihormati
Anak Betawi menerima semua dengan ikhlas
Sekalipun tiap hari kami diuji nyali 
Sejuta tantangan
Kami jawab; anak Betawi tegar berjuang!

Suara kami seketika kelu dan beku, Saudaraku
Mendadak kepala pusing, kuping berdenging
Sejak bagong lieur muncul dari Belitung
Bersama puting beliung
Kami dipaksa menyaksi tingkah polah aneh nyeleneh
Mulai dari ngepat-ngepot segala diseruduk
Dengan lautan kotoran dan muntahan comberan
Berlepasan dari mulut si bagong lieur
Semua berbau busuk, semua beraura sampah

Nghoooook, nghoooook, ngahoooook, preeeeet!
Nghoooook, nghoooook, ngahoooook, preeeeet!
Nghoooook, nghoooook, ngahoooook, preeeeet!

Lihatlah, Saudaraku sebangsa dan setanah air!
Masjid-Masjid dibongkar dengan janji dibangun kembali
Api berkobar di kawasan-kawasan kumuh
Reklamasi pantai menelan korban
Semua akan dijual kepada para Taipan dari Utara

Maka, dengarlah saudaraku sebangsa dan setanah air!
Jerit tangis perempuan, ibu hamil dan bocah tanpa dosa
Lansia tuna daksa semua tanpa kecuali
Dan lihatlah, lihatah, lihatlah saudaraku
Kami seketika menjadi manusia perahu
Darah dan nyawa mendadak murah-meriah
Alangkah kejam!
Alangkah zalim!
Alangkah jahanam!

Nghoooook, nghoooook, ngahoooook, preeeeet!
Nghoooook, nghoooook, ngahoooook, preeeeet!
Nghoooook, nghoooook, ngahoooook, preeeeet!

Maka kami bertanya kepadamu, wahai Saudaraku!
Siapakah yang pantas menjadi pemimpin Jakarta?
Siapakah yang patut menjadi imam Betawi?
Siapakah yang wajib kita jadikan panutan di tanah tercinta ini?
Jawabannya ada di hati sanubari sendiri
Namun yang jelas dia bukan bagong lieur
Dia bukan puting beliung dari Belitung
Dia bukan babi ngepat-ngepot mulut semesta comberan

Suara kami adalah puncak kesabaran yang telah pepat dinistakan
Sebab kuping jemu dijejali pelecehan dan kesombongan
Sebab mulut kami tak mampu bertahan untuk berteriak lantang
Sebab jiwa raga kami, darah dan nyawa kami
Semua milik kami sudah menggelegak liar untuk ditumpahkan
Lawan kezaliman!
Lawan keserakahan!
Lawan penjajahan asing-aseng!
Lawan penistaan keyakinan!
Lawan penghancur kebudayaan!
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Kalibata City, 6 Agustus 2016

@@@















Aku Cinta Indonesia

$
0
0


Aku Cinta Indonesia
Karya: Pipiet Senja

Berita dari negeriku semakin ajaib, Kawan
Coba simak lembar-lembar media
Begitu miris melukis tragedi anak negeri
Kalau bukan urusan kemiskinan
Niscaya tentang kelaparan
Sembako semakin tinggi
Barisan gepeng mengular panjang
Tidak di kota dan tidak di daerah
Sama menguar duka
Luka menganga dan berdarah

Adakah engkau malu jadi anak Indonesia, wahai Kawan?
Tidak, aku cinta Indonesia!
Bukan salah Pertiwi mengandung
Kolam susu mendadak sangar
Bising kodok ngorek kodok ngorek
Melipir hingga pelosok negeri

Lihatlah, saat hutan-hutan kebakaran
Hatta bukan urusannya
Lihatlah, saat Masjid Tolikara menyala
Pelaku mejeng selfian di Istana
Lihatlah, saat mahasiswa hendak demo
Suapan lezat santap siang
Membuat garda muda bungkam seribu bahasa

Demikianlah buah karya para pengkhianat bangsa
Hasil nyata petinggi tak punya nurani
Mereka yang hobi omong kosong
Berkoar kesana kemari
Dana ada tersedia
Tinggal harus; Kerja, kerja, kerja, preeeet!

Sungguh benar memang banyak lahan kerja
Mendadak 10 juta seliweran
Namun bukan rakyat kita, Kawan!
Mata-mata sipit si kuning dari Utara
Itulah sebagai balas jasa
Demi ratusan triliun yang belum pasti lunas
Meski dibayar oleh tujuh turunan

Adakah engkau malu menjadi anak Indonesia, wahai Kawan?
Tidak, tidak malu sama sekali
Aku masih cinta Indonesia!
Bukan salah Pertiwi mengandung
Kolam susu mendadak sangar
Bising kodok ngorek kodok ngorek
Melipir hingga pelosok negeri

Usah baca media penuh dusta, wahai Kawan!
Semua berita jungkir balik
Kemiskinan diubah kesejahteraan
Kelaparan dicatat kekenyangan
Kejujuran ditulis dusta
Kebenaran dibilang fitnah
Kezaliman disanjung puja
Bumi menjadi langit
Kaki dan kepala tak beda
Laksana dunia terbalik

Adakah engkau malu jadi anak Indonesia, wahai Kawan?
Tidak, sama sekali tidak malu, saudaraku sebangsa dan setanah air
Aku tetap cinta negeriku
Bumi khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke
Meski lautan hanya bernyanyi
Lagu kodok ngorek senantiasa
Masih ada hujan semesta doa
Warisan para pejuang yang telah mengukir indah
Sejarah kemerdekaan

Mari, kita lekatkan segenap hati
Kembali lantang menyuarakan
Cinta kita untuk Indonesia
Bangga kta untuk Indonesia
Jiwa dan raga kita demi Indonesia
Darah dan nyawa kita demi Indonesia
Dengar, dengar, dengarlah!
NKRI harga mati
Mari kita lawan kezaliman
Tidak perlu mengundang asing aseng
Mari, kita lawan sendiri
Sebagaimana jejak langkah para pahlawan
Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Kalibata City. 16 Agustus 2016



















Kebersamaan Indah di Hambalang: Jumpa Prabowo Subianto

$
0
0




            Berawal dari status Zara Zettira tentang grup yang diberi nama Waroeng NKRI, penulis menginboks novelis yang popular sejak era 1980, agar direkomendasikan sebagai anggotanya yang memiliki satu visi dan misi. Sejak aktif memantau postingan dan diskusi tiap saat, banyak sekali ilmu dan wawasan yang diperoleh. Terutama tentang perpolitikan dewasa ini.
Ketua Waroeng NKRI Adjat Sudradjat, acapkali mengingatkan anggotanya, agar diskusi serius, menghindari perdebatan tak bermakna yang bisa menimbulkan perpecahan. Sehingga terasa aura kekeluargaan mengikat hati, meskipun baru kenal melalui WA. Pertemuan pertama dengan sebagian anggotanya terlaksana pada Care Free Day di kawasan Bundaran HI, 7 Agustus 2016. Kemudian tiba-tiba suatu malam ada undangan untuk Waroeng NKRI dari Hambalang.
Ya, ini undangan spesial jumpa Prabowo Subianto sehari sebelum HUT Kemerdekaan RI ke-71, yakni 16 Agustus 2016, bertempat di kediamannya, Hambalang. Karena terbatas, terpaksa dibentuk tim kecil untuk memilih 50 orang dari 150 anggotanya; 15 lelaki dan 35 perempuan.
Melalui meeting room NKRI, tampak persiapan 50 anggota dalam hitungan hari, termasuk dess code tema merah putih dengan batik. Bagi penulis, bisa jumpa dengan sosok yang mengagumkan dan sempat membuat airmata bercucuran, saat membaca biografinya, sungguh hal yang sangat istimewa.
Mujurlah pula waktunya tidak bentrok dengan jadwal konsultasi jantung ke rumah sakit. Lumayan heboh juga demi mendapatkan busana yang ditentukan. Sambil menuntun cucu, penulis pun mencari kebaya putih ke PGC, tidak berhasil menemukan kerudung merah dan kain batik. Beruntung Naila dari Bandung bersedia menyiapkan kain  batik dan kerudung merahnya. Pada hari H, pukul 07.30, penulis dijemput oleh Kang Suhe, jurnalis muda berbakat yang dimiliki oleh Waroeng NKRI.
Berkumpul di kawasan TIS Pancoran, peserta dari Jakarta kemudian menuju rest area Sentul. Bergabung dengan rombongan dari Bandung, termasuk Ketua Adjat Sudradjat. Rombongan terdiri dari 12 kendaraan yang melaju secara beriringan menuju Hambalang. Sempat ada kejadian lucu, seorang peserta dari Jakarta ketinggalan saat sholat. Konvoy mobil pun buyar, karena harus menunggu mobil yang balik arah untuk menjemput beliau.
Jalanan menuju kediaman Prabowo Subianto lumayan riskan, sempit, banyak kendaraan besar lalu-lalang. Sehingga ada yang nyeletuk, benarkah jalanan macam ini yang harus dilalui seorang Jenderal? Ternyata kediaman tokoh besar yang ditakuti Australia dan Amerika ini di dataran tinggi, mirip bukit.
Sejak di bawah sampai puncak tampak rimbun dedaunan, hijau royo-royo. Terlihat tiga bangunan unik lumbung padi khas Minahasa menawan sekali. Ada lahan luas dipenuhi pembibitan, terkesan sekali makna kepedulian pemilik tanah untuk warga sekitar Hambalang.
Memasuki parkiran sudah banyak kendaraan, rombongan kebagian parkir di berbagai sudut halaman. Entah berapa hektar luas tanahnya, tampak istal kuda yang gagah-gagah, lapangan untuk upacara sudah ada podium. Rombongan dipersilakan langsung memasuki bangunan utama, sebuah pendopo besar terbuat dari kayu-kayu jati dan ukiran khas Jepara. Agaknya acara telah dimulai, para undangan diersilakan untuk makan secara prasmanan. Sekitar 200-an undangan memenuhi pendopo, sebagian mengambil tempat di meja-meja bertilam taplak satin putih.


Lagu-lagu daerah dibawakan sebuah band, tampak dari kejauhan Ahmad Dhani, Mulan dan Mahadewi siap tampil. Usai makan siang, suara bariton milik Sang Jenderal mulai terdengar. Penulis sontak merangsek masuk pendopo, ingin bisa lebih dekat meihat sosok Idola.
“Jangan beri spiker kepada Prabowo, karena bisa berjam-jam,” ujar Prabowo Subianto.
Di tengah kata-katanya yang penuh ketegasan dan kesungguhan, ada terselip kalimat-kalimat segar yang membuat para ibu mesem-mesem.Dipuji sebagai kekuatan luar biasa, ibu-ibu menyambut dengan sukacita. Yel-yel pun memenuhi pelosok pendopo.
Rombongan Waroeng NKRI diberi kesempatan foto bareng Prabowo Subianto. Lanjut dengan Sandiaga Uno, Fadel Muhammad, Nanik Sudaryati, Ahmad Dhani dan para elit poitik lainnya.
“Mbak Nanik, senang jumpa Anda,” sapa penulis yang disambut ramah dan senyum manis sosok garang melalui status-statusnya di Facebook. Ia menerima buku Bagaimana Aku Bertahan yang penulis serahkan kepadanya.
Demikianlah kebersamaan yang indah penuh persaudaraan dalam satu perjuangan, melawan kezaliman, mempertahankan NKRI. Semua berharap, Prabowo Subianto sebagai RI1 satu hari nanti.
Indonesia Merdeka! (Pipiet Senja, Jakarta, 17 Agustus 2016)






@@@










Catatan Seorang Seniman: Bukan Mata Najwa

$
0
0




Curcol Seorang Seniman: Bukan Mata Najwa

Jakarta, 28 Agustus 2016
            Penulis memasuki wilayah DKI Jakarta era peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dibawa sekeluarga oleh ayah sang prajurit. Itu terjadi di penghujung 1968, saat sistem  siswa/siswi di Indonesia dinyatakan jauh ketinggalan disbanding negara berkembang lainnya. Maklum, saat itu para pemimpin kita hanya sibuk urusan politik, korupsi dan perebutan kekuasaan. Sementara tatakenegaraan masih labil.
            Memasuki masa remaja duduk di bangku SMA kelas dua, 1974, penulis untuk pertama kalinya punya KTP DKI, berhak ikut memilih dalam Pemilu. Karena keluarga ABRI, diwajibkan memiih Golkar secara diam-dam, penulis ikut saja apa kata Bapak. Era Suharto pun dimulai sejak terpilihnya mantan Pangkostrad sebagai Presiden RI ke-2.
Selama era Orde Baru, keluarga penulis terbilang banyak diuntungkan. Dari tujuh bersaudara, hanya penulis yang tidak sarjana, selebihnya bisa meraih titel sarjana berkat beasiswa Supersemar. Bapak sebagai pejuang 45, jabatan terakhir Kepala Biro Matdam Kodam V Jaya; Mayor CHB SM. Arief, dianugerahi Bintang Ekapaksi dan Bintang Gerilya. Dengan status itulah adik-adik berhak beroleh beasiswa Supersemar.
Pada masa kepemimpinan Sang Smiling General ini pula, penulis sempat dimakmurkan dengan program Inpres. Sejumlah buku cerita anak-anak karya penulis dibeli Inpres. Sama sekai tanpa harus suap sana-sini, melainkan gol begitu saja melalui penerbit.
       Dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya secara terus-menerus penulis dan keluarga sebagai pemilih Golkar. Hingga Bapak pensiun dan keluarga selama itu tinggal d Cimahi, menyebabkan kami memiliki dua KTP, DKI dan Cimahi.
Setelah menikah 1981, penulis diboyong ke kawasan Depok. Ada satu masa di mana penulis terpaksa Golput, disebabkan heboh rumah tangga yang amburadul alias berantakan. Sehingga penulis nomaden, kadang tinggal bersama keluarga di Cimahi, kadang pula di Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat.
Tahu-tahu penulis melihat Bapak telah beralih sebagai pendukung PPP, bukan lagi Golkar. Hingga akhir hayatnya 1991, Bapak tetap menyuarakan aspirasinya melalui partai berlambang Kabah. Selain bertambah kuatnya mendalami keislaman, pengabdian terhadap masyarakat pun berlandaskan keyakinannya.
Sementara adik-adik terpecah belah. Ada pendukung PAN, PPP dan Golkar. Penulis masih Golput sampai memasuki era reformasi dengan munculnya berbagai partai baru. Saat ini penulis memiliki KTP Depok, tinggal di pinggiran kota menempati rumah mewah dan mebur alias mepet sawah dan mepet kubur.
Terhitung 2012, penulis meninggalkan Depok dan kawasan Jawa Barat tercinta. Demi memudahkan pengobatan di RSCM dengan JKN, terpaksa harus alih KTP ke DKI kembali. Dengan demikian berhak, boleh ikut PilPres dan PilGub sebagai warga DKI.
Saat PilPres meskipun sudah KTP DKI, tetapi panggilan memilihnya masih di kawasan Depok. Kali ini penulis sebagai pendukung PKS saat PiLeg, tetapi saat PilPres memilih pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa.
Eng ing eng…. Serius banget nih menulisnya, Mbakbrow!

Tiba saatnya penulis terseret dalam hiruk-pikuk, gonjang-ganjing PlGub DKI. Ketika PilGub sebelumnya, penulis sedang keluyuran di mancanegara alias Berkelana Dengan Buku, mentoring para TKI di Hongkong, Macau, Malaysia, Singapura, Taiwan dan beberapa negara Timur Tengah.
Alhasil sama sekali tidak ikut PilGub pertama kali tersebut, tahu-tahu telah ngejogrok saja Jokowi sebagai DKI1 dan Ahok DKI2.  Begitu ringkas waktu berlalu, tiba saatnya PilPres, eh, ndilalah, berkat kecurangan-kecurangan, terpilihlah Jokowi sebagai RI1 dan Jusuf Kalla RI2. Note; kita tunggu doanya dimakbulkan Allah Swt. Amin ya Robbal alamin.
Dalam masa gonjang-ganjing jelang PilGub 2017, mau tak mau sebagai seniman yang cinta kebudayaan dan terutama keyakinan, penulis pun sontak tergerak dan ikut menggelegak dalam pusaran arus bawah. Serbuan kabar tentang calon DKI1, dia yang doyan mengumbar kata-kata dari jamban, makian seluruh penghuni Bonbin. Ternyata bukan sekadar isu atau gosip, kelakuan, sepak terjangnya sunguh pantas dikategorikan sebagai; tukang zalim jahanam!
Top of Form

Bottom of Form

Top of Form
Bottom of Form
Cetak semua
Di jendela baruRabu 24-8-2016 dilaksanakan Deklarasi RAR (Rumah Amanah Rakyat). Lokasi RAR  Jl. Cut Nyak Dien No.5, Gondangdia Menteng Jakpus. RAR sebagai kelompok aksi menggunakan 5 (lima) kriteria bagi Gubernur DKI Jakarta. Yakni:  1. Jujur, 2. Bersih, 3. Tegas, 4.  Cerdas, dan, 5. Beradab.
Jika digunakan lima kriteria RAR  ini Ahok sangat tak layak.
Kriteria pertama, “jujur”,  bermakna: a. Orang berkarakteristik benar dan membenarkan hal benar,  bukan pembohong, sesuai perkataan dan perbuatan,  komunikatif, persuasif,  terampil meyakinkan orang, dan bermusyawarah/  bernegoisasi. b. Orang bersikap  selalu berupaya sesuaikan atau cocokkan  Informasi (ucapan dan aturan) dengan fenomena/realitas obyektif”.
Ahok tergolong tak jujur, suka kambinghitamkan fihak lain dan anak buah. Sebagai contoh: 1. Banjir karena PLN mematikan aliran listrik; 2. Banjir karena ada sabotase kulit kabel; 3. Permainan oknum kalau banjir datang;  4. Kemenpora penghambat pembangunan MRT; 5. Kambinghitamkan kelemahan BPK atas Opini Wajar dengan Pengecualian (WDP);    6. Penerbitan Pergub  karena tak mampu pecahkan masalah;  7. Larangan Pengajian di Monas alasan  Pedagang Kaki Lima (PKL); 8. Gagal mengembangkan Transjakarta, Direktur dipecat;  8. Kalau gagal sebagai calon perorangan Pilkada 2017 karena KPU tak professional; 9. Tuntut Gubernur Foke cuti waktu Pilkada DKI lalu, saat dia Gubernur nuntut tidak harus cuti Pilkada 2017 bahkan ajukan gugatan judicial review UU terkait ke MK;10. Gembor2 mau Cagub  Perorangan  dgn 1 juta KTP dan jelekan parpol korup, ternyata mau jalur parpol  malah  minta2  PDIP dukung dirinya sbg Cagub; dsb.
Kriteria kedua, “bersih”, bermakna  al:  tak tercemar terkena kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)  dan penyalahgunaan kekuasaan.  Ahok tak memenuhi kriteria ini. Sebagai contoh,  DPRD nilai Ahok melanggar:  1). UU No. 11/2013 Psl 34 ayat 1; 2). UU No. 23/ 2014 ttg Pemda; 3). Satu PP terbit 2008; 4). Menerbitkan Pergub No. 138 ttg Honorarium Anggota TNI/POLRI, melegalkan pemberian dana honorarium kepada personil TNI dan Polri sebesar Rp.288.000,-/ orang (uang saku Rp.250.000 dan makan Rp. 38.000);  5. Pemberian Izin Reklamasi langgar  UU No. 27/ 2007 jo UU No. 1/ 2014, Perpres No. 122/ 2012, dan Permen KP No. 17/ 2013 jo. Permen KP No. 28/ 2014 ttg Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sikap langgar hukum terkhir, yakni Penetapan Walkot Jakut Wahyu Hariyadi tanpa pertimbangan DPRD, diduga melanggar UU No. 29/ 2007 ttg Provinsi DKI Jakarta.
Kasus lain adalah pembelian lahan RS Sumber Waras, diduga merugikan negara dan Ahok tak laksanakan atau tak tindaklanjuti Rekomendasi BPK. Selanjutnya, pembelian tanah negara di Cengkareng untuk Rusunawa.
Kriteria ketiga, “tegas”, bermakna al: orang berprilaku jelas dan terang menderang, konsisten  dgn misi, visi, sasaran, target dan amanah rakyat melalui regulasi, Perda dan bertanggungjawab kuat  laksanakan amanah rakyat.
Ahok juga tak penuhi kriteria ketiga ini. Alasan,: 1. Ahok laksanakan kebijakan tak mengacu Perda No. 2/2012 ttg RPJMD 2013-2017.  Contoh program penataan kawasan kumuh, dilakukan  penggusuran paksa rakyat dan langgar HAM.  Ahok seakan tegas ke rakyat miskin, tapi  menghamba  Konglomerat pengembang Cino. Ahok sampe konflik terbuka dgn Menko Maritim Rizal Ramli krn Menko membatalkan reklamasi utk para pengembang Podomoro. Ia menolak terbuka keputusan Menko.
Kriteria keempat, “cerdas”,  bermakna al:  berkapasitas dan mampu  atasi permasalahan dan tantangan/kendala, punya keahlian (kompetensi)  dan dapat buktikan keberhasilan urus pemerintahan.
Ahok  historis tak mampu urus pemerintahan DKI, indikator al:
1. Rakyat nganggur kian meningkat;

2. Rakyat miskin meningkat terus menerus; 
3. Ketimpangan sosial  makin melebar;
4.  Pertumbuhan ekonomi terus merosot dan gagal;
5. Realisasi Belanja Daerah sangat rendah;

6.  Gagal capai IPM dan penghargaan Adipura;
7. Kemacetan terus berlangsung bahkan Kota paling macet   sedunia;
8.  Banjir jalan terus,   belum berkurang signifikan;
9. Pembangunan infrastruktur terhenti;
10. Kualitas manajemen dan perlindungan asset Pemerintah rendah;
11. Kinerja sangat buruk dan rapor merah.
Kriteria kelima, “beradab”, bermakna al:
1. Mempunyai adab, budi bahasa  baik; berlaku sopan;
2. Pribadi berpotensi;
3. Berlaku sopan, berakhlak, berbudi pekerti luhur
4. Termasuk dalam gagasan;
5. Orang yg bisa menyelaraskan antara cipta, rasa dan karsa.
Ahok sangat jauh dari kriteria kelima ini. Alasan, Ahok sering ngeluarkan kata-kata atau tutur kata kotor dan kasar seperti: ‘lu bajingan’, ‘dasar maling lu’, ‘brengsek’, ‘bego’, ‘kalau miskin tahu dirilah’, dan ‘taik’, dll. Tutur kata kotor, kasar dan tak santun  sesungguhnya bertentangan dengan konsep politik demokrasi krn tak bikin  ketenangan dan kejelasan publik. Penyelenggara negara harus tetap menjaga kesantunan .
Kesimpulan, atas lima kriteria RAR (Jujur, Bersih,
Tegas, Cerdas, Beradab), kualitas Ahok "sangat tak layak"
lanjut sebagai  Gubernur DKI.
Bahkan, satu kriteria pun Ahok tak bisa penuhi. Para pendukung buta dan pimpinan parpol calon pengusung Ahok Pilkada DKI 2017 harus tahu itu!
Share dari; Muchtar Effendi Harahap (Ketua Dewan Pendiri NSEAS,  Network for South East Asian Studies)


Alhasil, sebagai Muslim, penulis niscaya akan memilih Gubernur Muslim yang jujur, bersih dan amanah. (Pipiet Senja, Penulis 185 Buku, Founder Pipiet Senja Publishing House)






  


Srikandi Pink:Memberi Kado CD dan Kutang Untuk Ahok

$
0
0

Pipiet Senja Baca Puisi Bersama Solidaritas Perempuan Tolak Ahok


Jakarta, 16 September 2016
Waroeng NKRI, komunitas Cinta Tanah Air sering mengkritisi kebijaksanaan, tepatnya kezaliman rezim saat ini, menyuarakan ketakadilan dan ketimpangan yang menimpa warga terpinggirkan. Setelah berbulan bergaul melalui Whats App Grup yang dikomandani oleh Adjat Sudradjat, mereka memutuskan untuk melakukan aksi damai.
Aksi damai pertma kali ini diperuntukkan bagi anggota perempuan yang suka disebut juga sebagai Srikandi WNKRI. Adapun tema yang diusung adalah Perempuan Tolak Ahok!
Selain komuntas Waroeng NKRI yang berdatangan dengan dana masing-masing dan tanpa pamrih dari berbagai daerah, Jabotabek, Bandung, Bogor, Solo, Surabaya dan Pekanbaru. Bergabung pula ibu-ibu dari kampung Akuarium, kampung Luar Batang dan Muara Angke. Mereka adalah korban gusuran yang telah dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama alias Ahok.
Titik kumpul pukul 11.00 di pekarangan Gedung GPI Menteng Raya 58 Jakarta Pusat. Mereka mulai bergerak setelah Jumatan menuju Bala Kota, tempat Gubernur DKI berkantor. Dua mobil butut Kopaja yang sudah lama terancam dikandangkan, mengangkut sekitar 100 ibu-ibu berbusana pink.
       Tiba di depan Gedung Balai Kota mereka turun dari Kopaja, maka mulailah aksi memukul mukul panci, katel dan perabotan dapur lainnya. Diawali doa dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan pengantar dari Andi Rini Sukmawati,  bertema Ibu Pertiwi Menangis."Ahok telah gagal sebagai pemimpin, karena sering mengumbar kata-kata tak senonoh. Sehingga anak saya yang masih kecil bertanya, siapa itu Mama? Kenapa ngomongnya begitu?” demikian antara lain disuarakan keprihatinan oleh Andi Rini Sukmawati sebagai Jubir sekaligus PJ Korlap. Beberapa lagu perjuangan dikumandangkan diseling yel-yel; “Ahoooook, Turun! Ahok, Ahooook, Gusur!”
            Giliran baca puisi oleh Pipiet Senja, penulis senior Indonesia, suara nenek 60 tahun yang sering ditransfusi darah dan jantungnya sudah bermasalah ini, ternyata lantang dan menggelegar. Diawali dengan takbir tiga kali, penulis yang sering dijuluki Teroris (Tukang Meneror Menulis) kaum Buruh Migran Indonesia ini penuh enerjik dan semangat juang 45,. Ia menyuarakan; Suara Kami Adalah Semesta Amarah, kepedihan, luka maha terutama untuk korban penggusuran, dan protesnya atas masjid-masjid yang dibongkar oleh Ahok.
         Aksi yang berlangsung sekitar satu jam ini diakhiri dengan dua testimoni korban penggusuran di Luar Batang dan Muara Angke. Sebelum ditutup ada kado spesial untuk Gubernur DKI yang tak jua berani keluar, yakni, berupa dua celana dalam dan dua kutang bernuansa kembang-kembang pulas pink.
“Tolak Ahooook! Gusuuuur Ahok! Turunkan Ahok!” (Jakarta, PS)
@@@





           Gabungan Soidaritas Perempuan WNKRI, Luar Batang, Akuarium



                            Andi Rini Sukmawati Juru Bicara Srikandi Waroeng NKRI


          

Alfian Tanjung: Pertemuan Nasional Barisan Ganyang PKI

$
0
0

Pertemuan Nasional BGKI


 Jakarta, 17 September 2016
Alfian Tanjung tokoh panutan dari kalangan Islam yang sangat peduli dengan gerakan anti komunis. Sejak Orde Baru tumbang yang ditengarai oleh maraknya paham dan bangkitnya para tokoh komunis. Mereka menyusup ke berbagai kalangan; ormas pemuda, mahasiswa, budayawan, elit politik bahkan kini berseliweran di sekitar Istana
Kiprah dan perjuangan Alfian Tanjang sungguh banyak menemui kendala, mulai dari ketiadaan dana, dijegal oleh para tokoh PKI gaya baru, hingga diteror dan diancam akan dibinasakan. Mesipun demikian, ia pantang mundur, maju terus menyuarakan visi dan misinya, agar masyarakat Indonesia waspada dengan bahaya laten komunis.
Melalui WAG BGKI, Alfian Tanjung bersama putranya Iqbal Almaududi, berhasil menghimpun teman-teman satu visi dan satu misi. Maka deklarasi pun diperlukan untuk lebih mengukuhkan eksistensi BGKI di Menteng Raya 58, 3 Juni 2016.




Menurut Alfian Tanjung, BGKI yang resmi dicetuskan pada 4 Mei 2016, lebih disebabkan terdorong rasa cintanya kepada NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. BGKI menyatakan sikap untuk menuntut pemerintah menegakkan Peraturan Perundangan yang melarang penyebaran paham komunis, Marxis dan Lenin. BGKI menolak penyebaran paham tersebut,
Pertemuan Nasional BGKI diselenggarakan pada 17-18 September 2016 di Masjid Al Barokah Cengkareng. Dihadiri oleh perwakilan dari berbagai kalangan, selain dari Jabotabek, hadir pula dari Surabaya, Pasuruan dan Jawa Tengah.
Dimoderatori  Nasrullah, acara diawali dengan doa bersama pada petang yang sejuk itu. Ceramah akidah dari Iqbal Siregar membuat mata peserta terbuka lebar. Kemudian Alfian Tanjung menyampaikan pengarahan, seputar sejarah dan dosa kekejaman PKI. Kesempatan ini dihadiri pula oleh jamaah Majelis Taklim, pengajian rutin jamaah Al Barokah.
Esoknya setelah sholat berjamaah Subuh di Masjid Al Barokah, acara dilanjutkan. Film dokumenter tentang kekejaman Stalin dengan paham komunis di Rusia, sungguh membuat dada bergolak, peserta perempuan bahkan tanpa sadar berlinangan airmata. Dilanjutkan Alfian Tanjung dengan berbagi pengalaman dan wawasan lebih mendalam lagi tentang perkembangan, pergerakan, agitasi, provokasi komunis gaya baru di Indonesia.
Giliran Suharto sesepuh (70) SOKSI banyak memberi masukan serta berbagi pengalamannya, seputar kesaksiannya atas peristiwa G30S di kampung halamannya, Magetan Jawa Timur.
“Banyak korban keganasan PKI, antara lain kakak bapak saya sendiri,” paparnya dengan suara menggeletar. Tentu ia terkenang lagi bagaimana keluarga dekat bersama pluhan tetangga yang dikenalnya dengan baik, dianiaya lebih dahulu sebelum dibinasakan oleh PKI. Gerwani yang melakukan semacam ritual pembunuhan sadis itu sambil menembang Genjer-Genjer.
Pipiet Senja, penulis Islami pun memberi testimoni masa kecilnya yang menyedihkan, di-bully oleh anak-anak PKI di kampung kelahirannya, Sumedang. Ia mengatakan selain trauma masa kanak-kanak, ayahnya yang seorang pejuang ‘45 dan prajurit Siliwangi yang ikut memberantas pemberontakan PKI di Mdiun, 1948, berpesan wanti-wanti tentang bahaya laten komunis.
Panglima KOKAM, Andi Irawan, Bismo dan peserta termuda kader KOKAM, menegaskan tentang kebulatan tekadnya untuk sama merapatkan barisan, menggalang persatuan: Ganyang PKI Gaya Baru!
Pertemuan Nasiobal BGKI ini membuahkan beberapa keputusan, antara lain; BKGI akan membangun jaringan dan perwakilan di setiap provinsi, melakukan edukasi kepada generasi muda yang masih bersikap apriori, bahkan buta sejarah kelam yang melibatkan komunisme.


                                           BGKI Siap Ganyang PKI Gaya Baru

Pertemuan Nasional BGKI dilanjutkan dengan bergabung bersama FPI di Masjid Istiqlal, dalam acara Tabligh Akbar Istighosah Nasional yang dihadiri ribuan jamaah dari pelosok Jabotabek. (Pipiet Senja, Jakarta 2016)
@@@





Viewing all 195 articles
Browse latest View live