Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Satu Masa di Negeri Seribu Menara

$
0
0
Ilustrasi: Ini kunjungan ke KBRI Kairo 2012


Anno Juli 2005, Mesir:
Seperti yang terjadi di belahan dunia manapun (hidup FLP Sejagat!), FLP Mesir juga mengaku sering tersandung kendala keuangan, apabila ingin menyelenggarakan kegiatan. Jauh-jauh hari sebelum kedatanganku di bumi Kinanah, Nidhol salah seorang pengurus FLP Mesir, sudah mengatakan hal itu kepadaku.
Mereka memang tak punya dana jika ingin mendatangkan para seniornya dari Indonesia. Demikian sejak Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia berkunjung ke Mesir, demikian pula hingga aku dan kawan-kawan. Tapi kali ini FLP Mesir terlibat langsung sebagai bagian dari panitia, selain PPMI, Orsat ICMI Kairo dan pihak KBRI.
Aku menangkapnya sebagai ‘bargaining position’ FLP Mesir sudah cukup kuat di tengah komunitas lainnya. Sejak diresmikannya, 2000, FLP telah mengalami pergantian pengurus lima kali; Fera Andriani Tidjani, Habiburahman El Shirazy, Saiful Bahri, Mukhlis Rais, Indra Gunawan.
“Tapi jangan khawatir, Teteh, insya Allah kami akan melayani Teteh sebaik-baiknya,” janji seorang adik FLP membuatku sangat terharu.
Dan itu memang dipenuhinya, terbukti sejak aku menginjakkan kaki di Bandara Matour, dia selalu menanyakan keadaanku melalui cecaran SMS-nya. Walaupun sosoknya entah berada di mana. Hehe.
Setelah beberapa hari rombongan dari Indonesia (Gola Gong, Fauzil Adhim, Irwan Kelana dan aku sendiri) diunyeng-unyengalias diperebutkan untuk mengisi berbagai acara; pelatihan, seminar, ceramah dan dari satu perjamuan ke perjamuan lainnya.
Siang itu, akhirnya giliran adik-adik FLP Mesir ‘menculikku’ ke markas mereka. Tentu saja Gola Gong pun menyertai langkahku untuk silaturahmi dengan FLPer di Mesir ini. Oya, kami sama-sama diamanahi sebagai anggota Majelis Penulis di Forum Lingkar Pena. Tugas MP sudah dibagi-bagi, aku dan Gola Gong kebetulan satu tim, yakni memantau perkembangan FLP wilayah Sumatra.
Sementara mancanegara bagian Asma Nadia dan Jamal D. Rahman. Meskipun demikian, bila ada kesempatan seperti ini tak ada salahnya kami bersinergi, saling menguatkan, menyemangati, mengompori FLP wilayah manapun.
“Jauh gak dari sini?” tanyaku di tengah-tengah suhu 41 derajat Celsius.
“Gak jauh, Teh, beberapa blok saja. Kita bisa naik taksi atau tramko dari sini,” jelas Erna, salah seorang aspri.
Ada tiga akhwat yang sangat perhatian mengurus segala keperluan sehari-hariku selama di Mesir; Nenk Sausan, Robiarini dan Erna.  
Sebelumnya kami pernah bertelpon-ria, saat Erna pulang dan tinggal di Gunung Putri Bogor. Tidak sempat bertemu, bahkan aku menitipkan buku-buku untuknya pun via Annida, di Kairo-lah akhirnya kami dipertemukan-Nya.
Sesungguhnya migrain ringan mulai menyerangku setiap kali keluar rumah, terutama selalu terjadi kalau aku ingin menyegarkan badan. Jadi, terpaksa sekali aku harus membatasi diri keluar rumah, saat matahari tepat di atas ubun-ubun. Meskipun hari sudah menunjukkan pukul tiga atau empat petang, tapi hawa panas masih terasa menyengat dan sungguh bikin kepalaku keleyengan.
Pukul 16.00 setelah rehat, sepulang dari jalan-jalan ke Giza Pyramid, melihat Pyramid dan Sphinx. Kami pun meninggalkan Graha Jatim, wisma bertingkat lima di kawasan Bawabah 3, Hay Asyir (Distrik 10) Nasr City, Cairo.
Konon, inilah gedung terbagus dan megah milik komunitas Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Belum lama diresmikan oleh Profesor Bahtiar Aly, Dubes RI untuk Mesir.
Selama tiga hari kami menginap di Wisma Nusantara. Karena keberadaan kami ditunda lima hari lagi, sedangkan Wisma Nusantara akan diisi oleh pihak lain, maka kami pun boyongan ke Graha Jatim yang kondisinya jelas jauh lebih representatif.
Kami bertiga, aku, Erna dan seorang akhwat utusan FLP Mesir, berangkatlah pada petang yang masih sangat terang dan gerah itu. Punten jadi lupa deh namamu, duh! Adikku yang pakai cadar putih, sekali lagi punten pisan, ya!
Beberapa menit kami beriringan menuju jalan raya. Sementara Indra Gunawan (Ketua FLP Mesir 2005-2006), Yayan Suryana, Udo Yamin, Edi, Teguh Hudaya dan lainnya telah lebih dulu menuju TKP.
Gola Gong tentu saja bersama rombongan Indra. “Kita berjalan kaki saja, ya, itung-itung ngalempengkeun cangkeng!” kata GG yang selalu tampak semangat dan enerjik itu.
Bayangkan saja! Di tengah terik pun GG bisa-bisanya dolanan ke stasiun kereta bawah tanah. Dan itu dilakukannya sejak hari pertama. Sepertinya jiwa tualangnya si Roy (Balada si Roy) kambuh!
“Kenapa jarang yang punya payung di sini, ya Er?” usikku keheranan.
Satu-satunya payung yang dipinjami seorang ikhwan, malah rusak terkoyak angin hebat ketika kami jalan-jalan ke Pyramid pagi tadi. Kami tak berhasil meminjam payung lagi sejak itu.
“Mmm, bagaimana, ya… Mungkin karena gak ada hujan, Teteh. Soalnya kalau panas, yaah, kami bisa tahankan saja,” sahutnya bikin aku nyengir kepanasan.
Sesaat kubayangkan, betapa menderitanya pasien lupus bila tinggal di negeri 1000 menara ini. Masih mending thalasemia ‘kali yah, hehe, ada-ada saja!
“Jangan kaget, ya Teteh, taksi di sini bukan seperti taksi di Jakarta,” jelas si adik cadar yang segera diiyakan oleh Erna.
Tentu saja aku sudah tahu hal ini. Sebab aku termasuk ‘maniak’ bila urusan cermat-mencermati orang-orang, benda-benda dan situasi di sekitarku. Satu hal yang sering menjadi kekesalan dan kemarahan bapak si Butet, terutama di awal-awal pernikahan. Mungkin dia merasa cemburu atau terpinggirkan. Sehingga akhirnya aku mengambil sikap pasif, banyak menunduk, apabila jalan bareng ayah anak-anakku itu.
Model taksinya memang mengingatkanku akan sedan tahun 50-an, kendaraan pribadi yang ada di film-film India. Kendaraan di jalanan Kairo kulihat berseliweran, dikemudikan ngebut dan terkesan serampangan. Ada beberapa kali mulutku berseru kaget, di depan mataku kerap nyaris terjadi tabrakan.
“Kayaknya galakan orang daripada sopirnya, ya? Hhhh!” komentarku sambil berlagak ketakutan, membuat Erna dan rekannya tertawa geli.
“Tenang saja, Teteh… Masyarakat Mesir ini termasuk bangsa yang santun kok,” kilah adik cadar.
“Iya, Teh. Kalau sudah berbantahan biasanya mereka segera bersalaman dan lama berangkulan. Sama sekali gak ada dendam,” tambah Erna.
“Pssst… lihat tuh Arab satu itu, wuiiih! Ganteng-ganteng, masih muda begitu kok darting, yah?”
“Darting apaan, Teteh?”
“Darah tinggi… gitu looooh!”
Dalam beberapa hari itu hatiku diliputi perasaan bahagia, senang dan terharu. Aku bisa berjumpa dengan anak-anak muda yang memiliki semangat tinggi, ekstra enerji dan idealisme. Mereka menganggapku sebagai bunda, meskipun tetap memanggilku dengan sebutan Teteh. Biar berasa ikutan muda deh, aah!
Komentar-komentarku, celetukanyang ceplos-ceplos dari mulutku sering membuat suasana semarak. Aura canda dan tawa seolah-olah gampang menyebar ke sekitarku. Bahkan di seminar umum yang menembus 1000 orang itu, manakala aku geumpeur alias gugup luar biasa. Fheeew!
Akhirnya kalimat pertama yang terucapkan dari mulutku; “Aduh, sebenarnya, terus terang saja yah, Saudara. Mohon dimaklumi, ini sayah mah da geumpeur atuh berdiri di hadapan Saudara-Saudara teh…”
Geeeer! Termasuk Dubes Bahtiar Aly dan jajaran staf KBRI kulihat tertawa lebar. Kalau sudah mendengar gema geeer demikian, biasanya jantungku yang degdegplas, perlahan tapi pasti kembali normal.
“Aduh, gimana nih? Taksinya pada gak mau ngangkut kita, Teteh,” kesah Erna setelah beberapa kali menghentikan taksi, tapi tak satu pun yang mau menyilakan kami naik.
“Terlalu dekat ‘kali, ya?” tebakku. “Kenapa gak jalan kaki saja?”
Erna menatap wajahku dengan iba. “Jangan, Teteh, buat kami sih gak apa-apa. Tapi jarak sejauh itu lumayan buat Teteh. Jangan, ah, tadi kan kita habis jalan-jalan.”
“Ya, sudahlah, pakai itu saja, apa namanya; tramko?” kataku memutuskan.
Kendaraan ini juga mirip angkutan di Tapanuli Selatan, kampung halaman bapaknya anakku. Begitu sebuah tramko lewat, kami pun bergegas menaikinya. Adik cadar beberapa kali meminta maaf atas ketaknyamanan. Aku harus menghiburnya dengan merangkul, dan mengusap-usap punggungnya, mengalirkan aura persahabatan, cinta yang tulus.
“Bagus kan begini, Teteh bisa merasakan bagaimana naik angkotnya Kairo,” ujarku serius.
Saat itu aku berpikir, Mesir memang perpaduan antara kekunoan dengan kemodernan. Di satu sisi bangunan-bangunan apartemen menjulang tinggi, pemukiman penduduknya tampak modern dan Barat sekali.
Tapi di sisi lain kendaraan kuno, sistem serba manual, bahkan penghitungan nilai di Al Azhar pun masih mengandalkan tangan dan tenaga manusia. Komputerisasi baru diterapkan di beberapa fakultas.
Sesampai di markas FLP Mesir yang ternyata menumpang di sekretariat PPI, bersebelahan dengan tempat tinggal Dalih, Teguh, Edi dan barisan FLPers sudah menanti. Wajah-wajah yang tulus, menawarkan semboyan; “Mari kita belajar dan maju bersama!”
Satu per satu wajah-wajah yang baru kujumpai, tapi sudah akrab dan sangat familiar melalui imel pun berdatangan. Aku mulai jeprat-jepret, yaaah, kesempatan baik ini kapan lagi?
Sambil menanti lebih banyak yang berkumpul, ruangan pun seketika diwarnai dengan canda dan tawa. Kalau kuperhatikan di sini lebih banyak ikhwannya daripada akhwatnya.
“Hmmm, boleh juga nih ‘ta sambung-menyambungkan?” candaku yang segera disambut dengan antusias oleh para ikhwan. Kelihatannya mereka sudah siap dicarikan akhwat!
“Ke mana anakku, Nidhol?” selidikku tentang salah satu FLPers yang paling sering chatting, terkait dengan kedudukannya sebagai sekretaris panitia. Dia juga sebagai penyambung lidahku selama proses ‘mendatangkan kwartet penulis Indonesia’ yang sangat alot itu.
“Kebetulan dia lagi sibuk LPJ di PPMI, Teh,” sahut Yayan Suryana.
“Iya, sebentar lagi akan ada peralihan kepengurusan di PPM,” tambah Saiful Bahri.
“Woooi… Indra Gunawan, San Maeza,” olokku tiba-tiba melirik ke arah sang Ketua yang sibuk mengedarkan aqua sambil mengabsensi.
Mmm, Ketua yang sangat santun, rajin, baik hati dan jujur!
“Ya, ada apa, Teh?” tanyanya serius sekali.
“Kaau lihat sepintas pertama kali, kesannya dirimu itu pendiam. Tapi ternyata… ehem!”
“Ehem… apaan Teteh?” Indra menatapku ingin tahu, absensinya sudah selesai dan duduk dengan rapi dekat Udo Yamin. Wuits, penasaran juga rupanya dia!
Indra Gunawan yang memilih nama pena San Maeza masih menunggu kelanjutan bicaraku. Beberapa kali wajahnya sempat kurekam dalam kamera digital milik Seli, menantuku.
Sementara Neng Beth, sekarang aku diberi tahu Saiful Bahri, tentang nama dara bercadar yang menjemputku dari Graha Jatim itu. Pssst, barusan saja via SMS.
Neng Beth sibuk mengedarkan cemilan bawaan beberapa FLPers; bolu, kripikan dan kacangan. Ada juga anggur hijau, bentuknya kecil-kecil, harganya hanya tiga pound sekilo, satu pound sekitar 1900 rupiah.
Buah-buahan tropis yang eksotis itu harganya memang murah sekali. Bandingkan dengan harga anggur di Indonesia yang bisa mencapai 30 ribuan per kilonya, karena termasuk barang imporan.
Konon, sepanjang musim, sepanjang waktu, bumi Kinanah dibanjiri berbagai macam buah tropis. Luar biasa berkahnya Sungai Nil!
“Penasaran amat,” ledekku sekadar untuk berakrab-akrab.
Selama di Kairo, aku malah jarang sekali bertemu dengan Indra juga FLPers lainnya. Maklum, panitia penyelenggaranya bukan hanya FLP, jadi kami harus mengikuti protokoler; berbagai acara sudah dijadwal ketat sekali.
“Sosokmu ini, wajahmu… eeh, tauk gak sih? Ada yang mirip kamu tuh di FLP DKI!”
“Siapa tuh, Teteh?”
“Mmm, Zae…”
“Siapa?”
“ZRT, Zaenal Radar yang nulis Lajanger,” ujarku sambil ketawa. “Tapi si Zae mah hobi tebar pesona, ups, Butet yang bilang! Eh, Indra sih gak ya?”
Tawa pun meledak. Ruangan yang sesak dan gerah diwarnai ger kembali. Percakapan semakin renyah, kemudian bergulir menjadi serius manakala yang datang semakin banyak.
Lesehan diawali dengan tilawahan. Kalau tak salah Abu Dzar, suaranya merdu sekali. Belakangan kutahu, anak-anak Al Azhar memang memiliki suara yang merdu-merdu.
“Sekarang, silakan satu per satu mengenalkan diri,” usul Gola Gong yang selalu dikawal bergantian oleh ketiga ajudannya; Dalih, Tawali dan Zaki. Tapi saat itu Zaki lagi belanja, mau cari oleh-oleh buat keluarganya di Aceh. Dia akan pulang dulu selama liburan kali ini.
Bergiliran memperkenalkan diri, termasuk beberapa akhwat, kalau tak salah ada lima orang. Ada Umi Kulsum yang membawa dede kecilnya.
Sayang sekali, aku tak melihat Muzayyenah, beritanya dimuat di Harian Republika, peraih summa cum laude tiga kali berturut-turut yang sekarang tengah S2. Mungkin karena sedang hamil tua, harus menjadi kondisinya. Oke, selamat dan sukses selalu, ya Muzayyenah!
Giliran kami bicara kupersilakan Gola Gong lebih dahulu. Pengelola Rumah Dunia ini berbagi kisah seputar komunitasnya di Serang-Banteng, pengalaman rohaninya; hijrahnya dari kepenulisan populer ke sastra Islami. Tak lupa Gola Gong menularkan wabah menulisnya kepada adik-adik FLP Mesir.
“Kalian gak perlu selalu berpegang ke teori-teori yang sudah ada…Jadilah diri kalian sendiri!”
“Jangan menjadi orang pinter, tapi kepinterannya hanya untuk membodohi sesama.”
Dan banyak lagi kisah hikmah Gola Gong yang bisa diambil ibrahnya oleh siapapun. Aku sendiri lama tercenung. Terutama mendengar pengalamannya yang unik, ketika dia bertualang ke India dan Nepal, melihat komunitas miskin, tempat Bunda Theresa mengabdikan hidupnya.
Tiba giliranku berbagi pengalaman, seketika ada keharuan mendalam yang menyentak dari dada, parat terus ke sudut-sudut mataku. Aku tak pernah membayangkan bisa melanglang ke mancanegara, lesehan dengan FLP Mesir. Ya Robb, betapa Engkau sangat Kasih kepada hamba-Mu yang dhaif ini
Mereka ingin tahu bagaimana awalnya aku bergabung dengan FLP, apa saja yang telah kulakukan dalam menerbitkan karya-karyaku, komunitas apa saja sebelumnya dan sebagainya. Aku mencoba memuaskan rasa penasaran mereka dengan lugas, seperti biasa masih diwarnai guyonankhasku.
Dengan senang hati pula kukisahkan seputar proses kreativitasku, semangat dan motivasi yang kumiliki; mengapa aku masih bertahan dalam usia 49, pasien tertua di komunitasku yang lain, yakni komunitas kelainan darah bawaan.
“Pernah loh aku jadi buronan Profesor, dia minta DNA-ku. Konon, DNA-ku akan diperiksa di Amrik. Gak sudi aku! Gimana coba kalo tiba-tiba ada kloningnya Pipiet Senja? Kan berabe tuh…”
Geeer!
Tak lupa aku me-warningmereka tentang kebangkitan neokomunis, generasi muda kiri radikal. Sebab tahun-tahun terakhir aku mengalami kejadian-kejadian aneh, teror di beberapa wilayah. Bahkan di perguruan tinggi Islam sekalipun, jaringan Islam liberal dengan gagahnya bercokol!
“Kalau kalian sudah kelar sekolah, S1, S2, S3, pulanglah! Bangunlah kampung halaman kalian.” Gola Gong pun mengingatkan.
“Indonesia membutuhkan kalian!”
“Semakin merebak orang-orang yang mengaku kyai-dukun, kyai pikun…”
“Sebenarnya aku tahu bahwa yang dikatakannya, juga sikapnya itu tidak benar. Sayang sekali, aku gak punya ilmunya untuk berdebat dengan mereka.”
Silih berganti kami menyemangati. Kelihatannya wajah-wajah muda itu sangat terkesan. Namun yang paling kami inginkan tentu saja bukan sekadar terkesan, melainkan kesadaran untuk secara terus-menerus memperkuat barisan mujahid pena, dakwah bil qolam, melahirkan karya-karya berkualitas yang membawa pencerahan bagi umat.
Acara ditutup dengan doa dipimpin oleh Saiful Bahri. Kemudian potret-potret bersama, mengganyang cemilan dan minuman segar. Aku sempat membeli dua buah kaos bergambar Al Azhar yang dijual oleh Teguh. Meskipun sempat diingatkan oleh Dalih bahwa kaos-kaos itu disablon dan dibawa dari Tanah Air.
“Tidak apa-apa, anakku,” kataku tertawa kecil.
Aku tidak akan melupakannya. Terutama ketika kami menuruni tangga apartemen itu. Ada yang berkecamuk liar di benakku; apa ini untuk pertama dan terakhir kalinya kami bertemu, kira-kira masih ingatkah mereka ketika sudah kembali ke Tanah Air?
Dua-tiga… lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, mereka akan menjadi para pemimpin bangsa! Akan ingatkah mereka kepadaku? Ah, ada-ada saja imajinasiku ini!
Kami kembali ke gedung Graha Jatim untuk rehat. Sebelum kemudian kami akan dijemput untuk memenuhi undangan jamuan makan malam di rumah Bapak Mukhlason, staf lokal KBRI.
“Euleuh-euleuh… dahar wae ieu mah, yeuh!” komentar Gola Gong sambil mengelus-elus perutnya yang tampak sekali mulai membuncit.
Dia bercanda, perutnya selama di Mesir sudah dizalimi dengan berbagai macam penganan yang enak-enak. Hal ini diakui juga oleh Fauzil Adhim dan Irwan Kelana. Diam-diam aku pun mengakui bahwa rok panjangku sudah tak bisa dikancing dengan baik lagi.
@@@








Dunia Jelata Lilis

$
0
0



Dua Dunia
Pipiet Senja

Demi Tuhan, Lilis telah membersihkannya sebelum tidur. Begitu terbangun dinihari, lihatlah, rumahnya tetap berantakan. Sungguh menjengkelkan sekali. Suami hobi catur, memelihara burung, semalamam sibuk dengan teman-temannya.
Tangannya yang kasar dan jari-jarinya yang sama sekali tak lentik, kini merajang bawang merah. Mana minyak goreng? Ia menunduk ke kolong rak, botol minyak gorengnya sudah menggelinding.
Si Tukang Siul dengan tiga anak itu mendadak teriak-teriak.
            “Mana kopiku?”
“Buku biologiku mana, Ma?”
“Uang sakuku mana, Ma?”
            “Mama, mau Mama!”
“Mengapa semuanya jadi teriak-teriak begini? Apa mereka pikir tanganku, kakiku ini ada seribu? Apa mereka kira aku ini tak punya hati? Tak punya otak? Macam babu saja. Iya, babu gratis!” omelnya sendiri.
Perempuan 40-an itu meloncat dari sudut dapurnya. Di ruang tengah nyaris bertabrakan dengan anak sulungnya.
            “Jaga adik-adikmu, ya!”
            “Mama mau ke mana?”
            “Pergi jauh!”
Ia berhenti di teras rumahnya, berpikir sesaat. Warung Haji Dani belum dibuka  pukul tengah enam begini. Harus ke warung Si Emas di mulut gang sana. Ia menyeret sandal jepitnya yang jelek dengan langkah lebar. Ia lupa masih mengenakan daster lusuh. Selain air wudhu yang sempat membasahi wajahnya, ia tak sempat gosok gigi.
Minyak goreng, itu saja yang ada di otaknya. Ia menyusuri jalan kampung dengan perasaan sebal, kecewa, sejuta rasa. Mendadak sebuah mobil mewah nyaris menabraknya.
            Seorang lelaki berpakaian perlente bergegas turun. Dengan mimik khawatir, penuh penyesalan lelaki macho itu mendatanginya. Lilis masih membelalakkan matanya. Ingin marah, memaki-maki orang ceroboh itu. Aneh, mulutnya kelu bagai terkunci rapat.
            Tiba-tiba pula lelaki itu berseru.“Ya ampun! Kau rupanya, Dik Lilis! Bagaimana bisa kau berada di sini? Ini sungguh mukjizat!” serunya takjub dan memperhatikannya lebih cermat.”Kau tahu, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ingin aku jungkir balikkan saja dunia ini. Agar aku bisa menemukan dirimu.”
            Mendengar lelaki asing menceracau tentang dirinya seperti itu, Lilis tersentak membalikkan tubuhnya. Ia merasa harus segera menghindari lelaki perlente itu. Namun, lelaki itu dengan sigap berhasil menahan langkahnya.
            “Kumohon, maafkan aku, Cintaku,” terdengar memelas sambil mencekal pergelangan tangannya..
            “Ih, lepaskan!” Lilis merasa harus berontak, ditepiskannya cekalan lelaki itu.
            “Jangan pergi lagi, Cintaku,” kata Pram kian memelas. “Aku sudah bertobat.”
            Lelaki itu sampai menyembah-nyembah di hadapannya. Tentu saja Lilis jadi bingung sekali. “Maaf, Tuan…”
            “Aduh, jangan begitulah, Sayangku. Aku ini Pram, suamimu tercinta. Jangan siksa aku lagi, ya Sayang,” bagai anak kecil memohon sesuatu kepada ibunya. “Semuanya jadi kacau sejak kau pergi. Bisnis kita nyaris bangkrut. Anak-anak terpaksa kutitipkan di asrama. Marilah kita pulang. Berilah aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku kepadamu.”
            Lilis ingin melarikan diri dari cengkeraman lelaki asing itu. Setiap kali langkahnya bergerak, lelaki itu cepat menghadangnya. Lelaki itu berhasil menutup seluruh jalannya, menyeretnya paksa dan memasukkannya ke dalam BMW keluaran mutakhir.
            Sia-sia Lilis berusaha meyakinkannya, ini adalah kekeliruan besar. Omongan lelaki itu membuat Lilis bingung. Kepala Lilis pening, pening dan semakin pening. Lilis tak sadarkan diri.
Tahun demi tahun kemudian berlalu secara mengherankan. Kehidupan yang dijalani Lilis sesungguhnya diliputi dengan kemewahan. Hal-hal baru dan musykil, bahkan mimpi pun ia tak pernah. Semuanya berlangsung begitu saja. Lilis ingin membebaskan dirinya dari dunia barunya. Semakin ia berusaha, terasa dirinya semakin tak sanggup keluar dari dunia Cinderella ini.
            Seorang pelayan membawakan nampan sarapan pagi untuknya. Nampan yang bagus, gelas kristal berisi jus lemon, secangkir capucino, roti bakar lengkap dengan selai, vla, bahkan daging asap dan entah apalagi.
“Selamat sarapan, Nyonya,” kata pelayan dengan hormat.
Ia menikmati sarapan di atas tempat tidur. Sementara suaminya sudah rapi, mengenakan stelan jas bermerek. “Jangan tunggu Mas pulang, ya Sayang. Mungkin tiga hari baru bisa kembali,” katanya saat mengecup ciuman perpisahan pagi itu.
            Bagai linglung Lilis mencoba berkeliling rumahnya yang mewah. Semuanya sudah ada yang mengurus. Ada sepuluh orang pelayan di sini yang siap melayaninya. Anehnya, rumah selalu tampak lengang. Seperti tak berpenghuni. Para penghuninya lebih suka mengurung diri di kamarnya masing-masing.
            Bahkan ruang kebugaran, kolam renang dan lapangan tenis ada di kavling rumahnya. Semua fasilitas itu tak membuat para penghuninya kerasan lama-lama tinggal di rumah. Semua punya kesibukan sendiri-sendiri.
            Lelaki yang mengaku sebagai suaminya Pram hampir tak punya waktu untuk keluarganya. Ia selalu sibuk dengan bisnisnya. Sekalinya ada kesempatan bertemu, bisnis dan bisnis jua yang dibicarakannya.
            “Kau harus punya kesibukan juga, Sayang,” ujar suaminya ketika ia mengeluh kesepian. “Jangan di rumah melulu. Pergilah ke salon, shopping. Boleh juga mengikuti les-les, workshop atau seminar.”
            Berhari-hari, berminggu-minggu Lilis keluar masuk salon atau pertokoan mewah. Hasilnya malah bikin mumet kepalanya. Barang belanjaan jadi mubazir. Perawakannya bukannya menjadi langsing, bagus, elok dan indah. Sebaliknya malah menjadi gembrot tak karuan. Sepulang dari sanggar body language, salon atau spa, ia akan menghabiskan sisa waktunya di restoran dan kafe-kafe. Bahkan masih juga ngiler untuk singgah di bufet siap saji.
            “Ibu, hari ini ada les Inggris pukul sembilan pagi,” sekretarisnya yang cantik dan seksi selalu mengingatkan jadwal hariannya. “Ada seminar sehari di Aryaduta.”
            “Apa topiknya, ya?”
“Wanita Menangkis Era Globalisasi.”
            Seminar ini seminar itu, workshop ini-itu. Semuanya tentu saja harus pakai uang yang tak sedikit. Ia melihat peserta sibuk ngerumpi. Menggunjingkan berlian, mobil, properti baru milik orang lain. Tak jarang hanya duduk terkantuk-kantuk.
            “Kita harus menyesuaikan diri dengan kaum lelaki. Kita harus jadi mitra sejajar mereka. Kita jangan mau dilecehkan!” Nora, nyonya anggota dewan bersemangat sekali memprovokasi.
            “Kita juga harus sering-sering mengikuti seminar ini dan itu. Kalau perlu, kita sendiri yang menyelenggarakan seminar ini dan itu,” tambah Nina, istri simpanan ketua umum parpol.
            “Lantas siapa pesertanya?” tanya Lilis.
            “Kita sendiri, beres kan. Hihi!”
Mereka tampak menggebu-gebu. Seperti barisan unjuk rasa buruh yang sedang menuntut kenaikan upah. Kalau para buruh memang menuntut apa yang menjadi haknya. Sebaliknya teman-temannya cuma mencari-cari urusan saja.
            Ia melihat wajah-wajah yang stres. Wajah-wajah frustasi. Bingung, tak punya pegangan hidup. Tak punya arah tujuan. Mata-mata yang hampa. Bagai daun kering yang tertiup angin. Ada saja yang mereka keluhkan, risaukan. Suami yang sibuk,  selingkuh  sampai  tak pernah pulang ke rumah. Kalau mau ketemu mesti janjian dulu. Anak yang keranjingan ekstasi, putaw, shabu-shabu. Rumah mewah, tetapi senyap sebab ditinggal para penghuninya kecuali babu.
Lilis memutuskan untuk tidak bepergian ke mana-mana. Sesungguhnya sudah lama ingin menghabiskan waktunya di rumah, menemani anak-anak. Ia merasa mereka sedang dalam kesulitan. Ia mencoba mendekati putri sulungnya.
            “Aku bukan anak kecil lagi! Mama tak perlu mengurusi kehidupanku,” komentarnya begitu ia muncul. Sikapnya yang acuh tak acuh, ucapannya yang sinis, ketus dan dingin. Serasa bagaikan jarum beracun menusuk-nusuk hatinya. Lilis terhenyak. Serentak ia membalikkan tubuhnya saat memaklumi apa yang terjadi atas remaja putri itu.
Oh, sulungnya yang imut-imut itu sudah hamil, entah oleh siapa!              
            “Apa yang harus aku lakukan, Ma?”
            Lilis tak menghiraukannya. Ia berlari menuruni tangga. Ia berpapasan dengan anak laki-lakinya. Umurnya hanya bertaut setahun dengan kakaknya. Ia tampak berjalan oleng. Tangannya memegang botol minuman keras. Bau alkohol segera meruap. Dengan gayanya yang kurang ajar anak itu menyemburkan napas ke wajah Lilis.
Tiba-tiba Lilis telah berada di dapur mewah, perabotan serba elektrik. Ia tak bisa memanfaatkan peralatan canggih. Ia melihat botol besar berisi minyak goreng. Tangannya gemetar kala menyentuh botol itu. Perlahan ia berhasil mengalirkan isinya. Cairan berminyak dan licin itu segera membasahi jari-jarinya. Telapak tangannya, kakinya dan membasahi lantai. Banjir minyak goreng di dapurnya yang mewah.
            Lilis berlari meninggalkan dapur, melintasi ruang makan, ruang tengah, ruang tamu, ruangan demi ruangan. Begitu otaknya memerintahkan untuk meninggalkan rumah mewah itu.
Napasnya tersengal-sengal saat menerobos masuk ke sebuah rumah mungil di sudut perkampungan. Matanya dipejamkan, ingin merasa-rasakan aroma khas di sekitarnya. Aroma yang tidak asing lagi untuk hidungnya. Wangi daun bambu, rumput ilalang, apak rumah yang belum dibersihkan.
Inilah dunianya yang sejati, dunia jelata, tetapi ternyata ia merindukannya. Nun di rumahnya yang mewah, mepet sawah, tampaklah suami dan ketiga buah hatinya.
@@@


Disangka Mayat Aku Bilang: Dadadadah!

$
0
0



Belum Tiba Waktuku

Ini kejadiannya Jumat, Maret, 2009.
Dinihari, akhirnya aku menyerah pada keputusan Butet.
“Pokoknya, kalau jadi orang tua itu, ya harus nurut sama anak! Haruuus!”
“Hmm, hmmm, iyalah, iyalah,” gumamku setengah ngelindur, setengah sadar.
Sejak petang sampai sepanjang malam aku jerit-jengkeralias kesakitan luar biasa. Sumbernya dari bagian perut serasa ditusuki ribuan jarum. Sampai aku sempat kepikiran, jangan-jangan ini kena guna-guna bini muda, ya? Ops, apaan tuh?
Kemudian rasa sakit itu merambah ke mana-mana, ke sekujur tubuhku, serasa nyerinya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi aku tak berani mengeluh, nanti malah dibilang Butet; Mama lebay!
Beberapa kali aku muntah hebat, dua-tiga kali serasa antara sadar dengan tiada alias semaput.
“Taksinya sudah dapat tuh, Ma, nunggu depan rumah si Arab. Ayo, sini, Butet gendong saja, ya Ma, ya,” kata Butet berusaha mengangkat tubuhku.
“Gak, iiiih, jangan menghina! Gini-gini Mama masih bisa jalan, tauuuk!” tolakku, meskipun jalanku serasa melayang-layang tak karuan.
“Mama ini, ya, sudah parah gini masih aja tengsin!” gerutu Butet, disambarnya ransel berisi bajuku alakadarnya, membiarkanku jalan di sebelahnya. Tepatnya, aku bertumpu ke badannya, sehingga pada akhirnya memang seperti digendong jualah.
“Maafkan Mama, ya Nak, ngerepotin melulu.”
“Pssst, jangan ngomong gitu terus, ah!”
Kutahu, putriku yang gagah ini, pejuang sejati, berusaha keras menyembunyikan rasa khawatir dan sedihnya.
“Ke mana, Dek?” tanya sopir taksi.
“Ke RS. Polri di Kramat Jati, ya Pak,” jawab Butet, duduk di depan.
Sementara aku duduk di jok belakang, langsung membaringkan tubuh. Dari kaca spion, aku bisa melihat sosok itu, hanya berdiri saja dari kejauhan. Ya, hanya berdiri dan mengawasi dengan wajahnya yang membeku. Biarlah, memang sudah terbiasa melihatnya begitu.
“Butet sempat minta uang tadi sama Papa, Ma, dikasih cepe,” suara Butet terdengar serak.
“Tidak mengapa, Nak, alhamdulillah, buat taksi,” sahutku sambil menjawil lengannya, mengisyaratkan agar tidak banyak bicara.
Otakku langsung berhitung keras, terakhir isi ATM sekitar 300-an ribu. Tapi aku masih bisa berharap, bosku yang baik hati, siang nanti akan transfer sebagaimana kuminta semalam. Sebelumnya aku telah menyerahkan sebuah naskah untuk dibeli putus.
Jalanan masihlah lengang, dalam keheningan aku memperbanyak zikir. Hanya kepada-Nya, hamba yang lemah ini memohon bantuan. Dalam tempo tak lebih dari 30 menit, kami pun sampai, melalui pintu belakang dari arah Tol.
Di bagian UGD, aku langsung ditangani dengan baik. Ini rumah sakit memang patut diberi acungan jempol. Beberapa kali ke sini, paramedisnya tak pernah mengecewakan. Tak perlu kudu menunggu duit dulu, jaminan dulu. Tak seperti di RSCM, jujur saja, aku sering mengalami perlakuan tak manusiawi.
Aku langsung diinfus dan diberi obat, ternyata tak cukup obat telan, ada juga obat yang dimasukkan ke (maaf) di belakang sana, anus. Eh, ndilalah, rasa sakit yang meruyak bagian perutku masih juga terasa, melilit-lilit.
Setelah menunggu hasil laboratorium, ternyata HB-ku di tataran 5,1. Dokter banyak menanyakan sejarah penyakitku. Aku menjawab di antara perasaan yang timbul-tenggelam. Akhirnya, Butet memberi banyak keterangan.
Kemudian dokter polisi itu bilang:”Ibu harus dirawat ya!”
“Ya, ibu saya ini memang harus dirawatlah, dokter,” sambut Butet, di kupingku terdengar tak ubahnya ultimatum saja. Eh, sempat-sempatnya itu anak meledekku sambil mengedipkan sebelah matanya, ceriwis.
“           Rasain loh, Mom, makanya jangan wara-wiri melulu!”
Ehm, kalau sudah sehat; awaaaassss!
Beberapa saat kemudian, sekitar pukul lima subuh, ketika kumandang azan terdengar. Aku pun didorong ke ruang Cendrawasih 2 lantai dua. Saat-saat didorong perawat, dan hanya diantar oleh seorang anggota keluargaku begini, ada yang mendadak serasa menyayat-nyayat relung hatiku.
Aku sempat berpikir, apa hanya seorang saja yang mengantarku jika tiba waktuku, dijemput oleh malaikat Maut?
“Tenang, ya Mama, biar cepat sembuh. Biar kita bisa JJS lagi, oke, Mom sayang,” bujuk Butet sepertinya bisa menebak perasaanku.
Terasa elusan tangannya di pipiku, bahkan dia menyempatkan waktu mencium keningku sekilas. Sesungguhnya hatiku semakin tersayat sembilu, tapi, aku memang tak boleh memperlihatkannya. Tidak  boleh!
Maka, kataku dengan riang: ”JJS itu jalan-jalan ke Singapura, ya Nak?”
“Hmmm, great! Yeah, kita akan jalan-jalan lagi ke Singapura. Harus blanja-blanji nanti sih, ya Mom. Jangan seperti waktu itu, gak bawa duit. Hihi!”
Sampailah kami di Pavilyun Cenderawasih 2. Ternyata para suster dan dokter ruangan sudah mengenaliku, mereka langsung menyapa dengan ramah. Aku ditempatkan di kamar 4.
“Maaf, ya Bu, gak ada selimut. Nanti agak siang baru dapat,” kata suster manis berjilbab itu.
“Oh, biarlah dengan seprei putih terima kasih, ya Sus.”
Sementara Butet langsung wara-wiri hendak mengantri darah ke PMI Pusat Kramat Raya. Biasanya dia harus naik busway. Hebohlah, seperti biasanya.
Maka, tinggal aku sendirian di ruangan dengan empat tempat tidur itu. Dua ranjang di depanku kosong. Di sebelahku seorang pasien gangguan ginjal, badannya gede nian. Karena sudah tak bisa menyerap protein, kata suaminya tanpa diminta menjelaskan sekilas.
Sejak aku datang, kerjanya hanya mengerang dan mengomeli suami serta anak laki-lakinya yang tampak begitu sabar mendampingi. Hmm, kapan aku diperlakukan begitu oleh dia, ya?
Setelah sholat subuh dengan cara berbaring, perasaanku mulai enakan, nyaman. Agaknya obat-obatan mulai mempengaruhi tubuhku. Karena kedinginan, maklum, ruangannya Full AC, kurungkupkan saja seprei putih itu ke sekujur tubuhku; brukkkkk!
Entah berapa lama diriku dalam posisi berbalun seprei putih begitu. Kurasa yang dinas pagi belum tiba. Buktinya, seprei putih masih nongkrong dengan megahnya, menyelimuti sekujur tubuhku.
Samar-samar kudengar orang berkasak-kusuk. Kuintip pelan dari sela-sela seprei putih selimutku itu. Tampak ada dua ibu nongol di ambang pintu; yang satu muda, satunya lagi mungkin sebayaku.
“Pssst, Bu, apa sudah pergi ini, ya? Si ibu yang datang subuh tadi itu loh, Bu?”
"Waduh, kasihan amat, ya? Bukannya tadi anaknya mau cari darah ke PMI Pusat?”
“Apa gak ada keluarganya yang lain, ya Bu?”
“Auuuk, ah, pokoknya kasihaaaan….”
“Itu kenapa ya, kira-kira, ngapain dibegitukan sama suster, yaaak?”
“Yah, biar gak kelihatan mayatnyalah, oon!”
Apa? Mereka mengira aku sudah mati nih? Masya Allah!
Kesal campur geli, serentak kubuka seprei yang menutup mukaku, nyaris kulempar. Tanpa berkata-kara aku melambai-lambaikan tangan ke arah mereka, kurasa ibu dan anak; ”Dadadadaah!”
“Wooooaaaa!”
Kedua perempuan itu serentak ngacirsambil cekikikan
Dih, diiih, kacoooow!
“Buteeeet, buruan datang, Naaak,” ratapku pula dalam hati.

@@@

Lembur Implengan

$
0
0



Lembur Implengan
Cartibag; Pipiet Senja

(Hiji)
Cimahi lembur implengan pikeun kuring mah. Enya, urang sebut kitu we. Tempat kuring jeung adi-adi ngalaman mangsa rumaja. Ngimpleng mangsa-mangsa anu bakal dilakonan. Boga dulur teh genep, adi wungkul da kuring anak pang gedena. Katambahan ku Teh Ai, putrana Uwa Iyah anu janten kapala sakola  SD di Labuan. Dirorok ti lelembut basa Teh Ai karek sataun satengah, cenah mah, geus dipasrahkeun ka Nini di Sumedang. Satuluyna diasuh ku Emah jeung Apa.
Taun 1974, Apa sabondoroyot hijrah ti Jakarta ka Cimahi.
“Sugan we Si Tikeu cageur ari cicing di hawa tiis tur seger, tacan loba polusi mah,” saur Apa basa ngariung di patengahan bumi Emih di wewengkon Tagog.
“Ongkoh hirup di Jakarta mah asa teu kauntup ku pangkat model urang, nya Koko?” Emih, kitu nyebutna pala putu ka ibuna Apa, ngengklokan.”Nya mending oge urang ngumpul ngariung di dieu lah. Geura omean ieu imah titinggal Aki teh.” Duka Emih terangeun henteuna mah, yen Emah seueur sambetan urut ngubar-ngaber kuring. Ngan kapireng we pameunteu Emah bangun bareubeu. Cape karek pindah sugan, bubuhan mani satreuk babawaan ti Jakarta teh.
“Bener kitu. Keun, Bapa mah masing kudu didugdag oge ka Jakarta, teu nanaon. Pentingna mah Emah jeung barudak bisa hirup tingtrim di dieu.”
Der weh Apa kuriak, tangtuna oge sanggeus babadamian jeung saderek-saderekna. Salila kuriak cicing teh di bumina Nini Edah, payuneun bumina Emih. Resep we anu aya, unggal peuting ngagaronyok, silih gonjak, rame sempal guyon tea.
Bari ngadedengekeun siaran dongeng Sunda, Mang Wahyu mun teu salah mah. Mun ditengetan sigana taya hiji ge suhunan anu henteu nyetel siaran dongeng Sunda. Kituna teh di sakuliah Tagog parat terus ka tukangeun gedong sandiwara Harapan deukeut alun-alun. Ibu-ibu, bapa-bapa, nini jeung aki, kum weh. Dongeng Sunda harita lir agenda penting pikeun masarakat golongan ekonomi pas-pasan. Haratis tea atuh. Mun kiwari mah kawas telenovela kitulah.
Aya sawatara lilana kuring henteu tiktikbrek teuing. Pasusubuh geus kaluar ti imah muru Masjid Agung, ngabring jeung adi-adi. Salian ti solat barjamaah osok dituluykeun kuliah subuh. Balikna bring deui ngabring genepan, da Rosi jeung Amy bungsu mah lembut keneh, tacan dibikeun abring-abringan ku kolot. Sakapeung mun keur nyekel duit, gen heula naragen jajan bubur hayam di hareupeun imko Babah Cipeuw. Atawa mareuli gogorengan di hareupeun imah-toko Ona Gelung.
***

Sakali mangsa dina bulan Romadon. Ti peutingna keneh oge geus babadamian, sabada imsak arek ka Masjid Agung. Iwal Rosi jeung Amy, kuring sadudulur genepan ngalabring seja ngalap berkah, hidayahna ti Gusti Alloh. Katambahan ku Aen, putrana Eneh, kapirakana Apa keneh.
“Ulah ngaliwat ka hareup, osok loba barudak pamabokan,” saur Emih mopoyankeun basa rek nulakan deui panto.”Kamarina oge Si Nyai, incuna Wa Haji beak diheureuyan. Mun teu kaburu kanyahoan ku Mang Uca mah, teuing weh!”
“Rek naon atuh Ceu Nyai make udar-ador wayah kitu, sosoranganan Mih?” Aen tetelepek. Pakokolot supa we jeung Hari mah. Ku Apa diajakan saimah jeung kuring sadudulur. Apa tea resep naker ka budak lalaki.
“Euh, nyeta lah… matak pikaeraeun dicaritakeun oge!”
“Kumaha kitu, Mih?” kuring kabawakeun panasaran.
“Ah, meugeus, kalah rek ngupat batur ieu teh? Henam kaituh geura arindit!” Emih kalah ngagugubrag.
Kadieunakeun kuring kakara apal. Ongkoh sigana sa-Tagog mah geus arapaleun kalakuana putu Wa Haji. Cenah mah osok “nagog” di parapatan Tamblong, lamun keur tiiseun kapaksa “nagogna” di parapatan Tagog. Dua puluh taun ti harita, kuring meunang beja yen Ceu Nyai maot alatan kangker rahim jeung panyakir kotor. Matak ngagujrudkeun, pedah eta cenah mayitna bau malahung ka mamana!
Caritana nurut weh sakumaha piwuruk Emih. Ngatruk laleumpang mapay-mapay gang, bari silih gonjak kumaha we ilaharna barudak rumaja. Ketang anu geus rumajana mah tiluan nyaeta Teh Ai, kuring jeung Arnie. Teh Ai keur ngadagoan panggilan gawe, lulusan SAA. Arnie karek asup SMA Pariwisata. Kuring mah nganggur geus dua taun, kaluar ti SMA kelas dua. Tacan kapikiran kumaha ketak pikahareupeun. Ari Riri kelas genep, Hari kelas opat, Adih kelas tilu, Rosi kelas hiji. Kabehanana oge sarua di SD Tagog.
“Ari Teh Ai, ku naon nya leumpangna mani boyot-boyot teuing?” Arnie mimiti ngarahuh.”Geus, ah, urang tinggalkeun we, Teteh!”
Dilieuk ka tukang, bener we mojang TB alias ti Banten teh leumpangna mani ngageblay. Sakapeung matak gemes ku kaboyotanana. Reaksina kana sagala kajadian deuih osok pikaseurieun.  Harita oge barudak mah geus kalaluar ti gang, tinggal meuntas weh muru alun-alun. Ari Teh Ai ditengetan teh keur ngageblay keneh we palebah susukan. Iih, mani taya kasieun nya?
“Aeeen!” antukna mah kuring ngagorowok ka Aen. “Iyeuh, wayahna nya kudu balik deui kaituh. Teh Ai ulah ditingalkeun sosoranganan, ajakan we barudak. Teteh leuleus kudu balik deui ka ditu mah.”
“Bisi aya anu nyulik, nya Teh?” Si Aen nyengir koneng, mani hahehoh tuturubun balik deui nyampeurkeun.”Barudak mah ka mana boa, Teteh. Geus nepi meureun ka Masjid Agungna ge...”
“Nya kapaksa Aen we kaituh!”
Rada sarieuneun barudak teh ku kuring mah. Osok galak, teureuh ti Apa sugan. Narelahna oge Ma Eteh. Kapireng manehna bari kukulutus, lumpat deui ka palebah Teh Ai. Kuring nuluykeun lalampahan, angkanan rek nyusul Arnie jeung Riri anu geus miheulaan. Meujeuhna paroek jeung calombrek keneh. Mangkaning kaamanahan ku Apa kudu babarengan, ulah nepikeun ka papisah. Ari ieu lain papisah deui sidikanan… paburencay!
Ana keur kitu kadenge aya anu teteh-tetehan ti tukangeun. Sora Aen! Kapaksa kuring ngarandeg deui, bolay nyusul barudak. Ret dilieuk ka handap da geus di luhur sisi jalan. Ambuuiing! Saha tateh anu ngengenyang leungeun Teh Ai? Hiji pamuda sapantaran kuring keur aduregeng we jeung Aen. Marebutkeun Teh Ai!
“Lawaaan, Aeen, lawaaan!” kuring tuturubun bari cecerewetan. Teu inget kana kaayaan sorangan anu mimiti karasa laleuleus. Kalah ras kana isu anu keur mahabu di Tagog harita. Tacan lila aya kajadian budak awewe dipaksa pirusa, didekeman ku lima pamuda di hiji imah, kapanggihna geus aya mingguna, cenah…. Biheung palebah dinya!
“Enya edek ieu oge, iih! Teh Ai-na atuda…” Aen ngenyang leungeun Teh Ai anu katuhu. Ti beulah ditu oge keukeuh ngengenyang Teh Ai. Eta mah Teh Ai lain ngaleupaskeun maneh, eeh, kalah siga-siga anu resepeun?
“Aduuh, Aeen, lalaunan atuh, Aeeen…. Ieu nyeeriii,” cenah ancad laer cara sasari. Barang ditengetan, hiih, Si Jonih geuning! Budak pamabokan anakna Mang Atma urang kaler. Pangawakan cengkrang, bubuhan tukang ngaganja mo bina ti budak kurang nyatu we. Padahal lamun daek mah, sakali sepak oge tangtu kana ngajurahrohna teh!
“Joniiih! Leupaskeueueun lanceuk aing, siaah!” kuring sesengor. Puguh samemehna kungsi patelak jeung manehna teh. Balik ti pasar Tagog rek nyowel gado kaburu dipiheulaan ditajong. Ngati-ngati, ngan sigana sieuneun basa nyahoeun saha-sahana kuring. Anak tentara tea apan… pikiraneun!
“Ehh, Neng Tikeu, nya… incuna Emih Encun, nya? Anakna tentara, nya? Kabeneran atuh, Neng Tikeu, hehe… hehe…” Ngelay-ngelay we bari bangun dadaligdeugan. Tapi leungeunna pageuh keneh nyekelan leungeun Teh Ai.
“Sepak taeunana geura, Aen!” cekeng teh rujit neuleuna.
“Teh Ai tuda ngahalangan wae, Teteh…”
“Lain kitu, Aen, da ieuna atuh mani tarik kieu…” Aduuh, Teh Ai, Teh Ai!
“Teh Ai, buru ka dieu!” Sakali centok satakerna… breeet weh, Si Jonih ngaleupaskeun cekelanana.
“Sugan hayang dikieu nya jelema teh!” Aen ngepretkeun leungeun katuhuna kana beungeut Si Jonih. Kitu-kitu oge barudak teh apan osok dilatih mengpo ku Apa, aliran Hasta Bela ngaranna.
“Ajooouuw!” Si Jonih ngagorowok, nyerieun.”Awaaas siiah, awaaas siaah… engke rek dibejakeun ka babaturan, siaah!”
“Ditungguan lah di Tagog, siah!” Aen bari leumpang gagah ninggalkeun Si Jonih. Eta mah Teh Ai, sangkilang ku kuring dikekenyang kalah hayoh weh murilit ka tukangeunana. Siga nu lebareun naker ka Si Jonih!
“Ku naon atuh tadi teh make dilayanan, Teh Ai?” Aen ngagugat.
“Iih, da tadi mah asa bageur ngomongna oge…” tembalna keukeuh ancad laer. “Lumayan kasep apanan, nya Tikeu…?”
“Gustiii! Sakitu cengkrang, ngelay-ngelayna teh…. Heuheuy deuh, Teh Ai, kapengpeongan Si Jonih, nya? Dipurulukan naon, Teh Ai?” Aen bari ngaheuheuh kolu keneh ngaheureuyan Teh Ai.
Basa diparentog ku barudak oge da keukeuh we Teh Ai mah dadakuna teh. “Da kasep atuh…” cenah mani tampa dosa tea nyaritana, innocent.
***

Ti saprak hijrah ka Cimahi, Apa saminggu sakali kakara tiasa riung mungpulung jeung saanak bojo. Kituna teh tug dugikeun ka pangsiunna taun 1986. Di Jakarta Apa ngontrak bumi di Utan Kayu. Taun-taun munggaran mah barudak arang langka ka Jakarta. Iwal ti Emah anu osok bagilir ngapelan ka Jakarta, mun Apa kabeneran loba tugas jaga. Jadi kuring oge tacan terang kumaha kaayaan Apa di bumi kontrakanana… tug nepikeun ka taun 1978!
Basa munggaran engeuh kumaha kaayaan Apa di Utan Kayu teu wudu kuring ngarasa soak. Teu rek kitu kumaha, atuda lain oge imah tamah, sidikanan pamatuhan anu “tidak layak huni”. Puguh kaayaan lingkunganana sakitu keumeuhna, masarakat sabudeureunana lolobana mah henteu nyarakola. Sumawonna moral, spiritualna mah, beu… ipis weh! Pendatang ti mamana, urang Batak Karisten, Manado Protestan, Jawa Abangan tea. Malah jalma anu karumpul kebo oge bayatak deuih!
“Naha Apa bet milih matuh dinu kieu?” ceuk kuring bari nyakclakan cipanon. Ras inget kahirupan kuring sadudulur di Cimahi sakitu garenahna, imah ublung-ablang kawilang gedong. Duuh, Apa, Apa mana tigin teuing kana dedikasi boh ka Nagara boh ka kulawarga. Bet mo bina ti lilin bae Apa mah, nyahayaan sabeudeureunana bari ngorbankeun diri sorangan.
“Teu nanaon Apa mah sakieu oge geus pirang-pirang alhamdulillah. Pentingna mah Emah jeung barudak di Cimahi ngarasa tingtrim. Ongkoh Apa apan kudu bisa nyimpen, nabung keur masa depan barudak…” kitu jeung kitu bae kaiklasanana teh. Mungguh matak tuladaneun anu ngarora. Mungguh matak nambahan reueus pala putrana.
Lamun henteu penting-penting teuing mah kuring embung ka Jakarta teh. Asa teu werat kudu nyaksian anu jadi bapa sakitu masakat, sangsarana. Sangkilang pangkat Apa harita tos perwira menengah, Kapten. Lamun keresa mah tangtuna oge Apa bisa bae ngontrak bumi gedong sisi jalan. Tapi apan lain kasenangan pribadi anu dituju ku Apa mah. Asal barudak hirup genah, bisa sarakola, tingtrim jeung Emah. Deudeuh, Apa, mugia Alloh maparinan kabagjaan di dunya aherat kanggo Apa!
***

(Dua)
Mun teu salah mah taun 76-an. Mas Agung, pupuhu Karang Taruna Margaluyu sakali mangsa ngahaja nepungan ka imah. Harita kuring geus mitembeyan kurung-karang. Ngan karek wani ngirimkeun ka koran-koran lokal jeung radio swasta. Samemehna kuring tara pipilueun aktip jeung barudak Karang Taruna teh. Atuda kacirina asa daregig, arogan, abong-abong barudak nyakola, mahasiswa wungkul pangurusna.
“Kata Arnie, Mbak Tikeu suka menulis puisi dan cerpen di koran, ya?”
“Yaah, baru satu-dua saja kok, Mas.”
“Hebat itu, Mbak… Tolong, ya Mbak, bikinkan naskah drama buat anak-anak. Rencananya kita mau pentas setelah Lebaran nanti. Bisa?”
“Temana ulah ditangtukeun, nya, kumaha abdi we,” ceuk kuring nawar.
“Yaaa… tapi apan dalam rangka Halal bi Halal tea atuh, Mbak,” ngomongna osok campur aduk tur lentongna Jawa lekoh keneh. Bubuhan pituin urang Solo.
“Okelah, naha geus aya pamaeanna kitu?”
“Kita-kita sajalah, Mbak…” Manehna nyebutkeun sababaraha ngaran anggota aktip Karang Taruna.
“Mas, ajakan geura barudak preman anu osok marabok di Tagog. Sugan arinsapeun ari diarahkeun kana kasenian mah,” ceuk kuring, tadina mah ukur babalagonjangan.
Ari pek teh bener we, teu kungsi lila barudak rumaja anu nyakola, mahasiswa daraekeun ngahiji jeung barudak preman, baladna Si Apep. Bubuhan Mas Agung mah geus lila icikibung dina organisasi pamuda jeung kampusna, perceka negosiasina. Bubuhan putrana Kolonel, sarieuneun sugan para preman Tagog teh ka Mas Agung mah.
Der weh latihan teater, harita mah tacan boga ngaran. Basa geus remen pentas ku kuring dingaranan weh Teater Terminal. Wadah sarana barudak rumaja ti golongan naon bae ngahiji, tepung lawung tur “berkarya,berbakti dan berarti”. Naskahna beunang nyieun sorangan. Malam Takbiran di Alam Kubur, eusining caritana mungguh saderhana. Dina peuting takbiran arwah-arwah careurik pedah kudu baralik deui ka jero kubur. Aya arwah koruptor, rentenir, saudagar, haji, hostes, bencong, pramugari.
Kabehanana mudalkeun sagala unek-unek, pangalaman mangsa keur kumelendang keneh di alam pawenangan. Aya oge tokoh Malaikat anu bakal nyeredan para arwah mulang  ka alam kubur. Kuring nambahan ku lulucon, sindiran sosial tur joged dangdut campur rock!
Latihanana osok di kantor Erwe da kawilang lalega. Kitu we sanggeus sarolat taraweh, kira-kira sajam-jameun. Sakapeung ari malem Minggu mah tara tarawehanana, langsung latihan nepi ka jam sapuluhan. Ongkoh nyantek waktuna ngan bisa latihan salila bulan puasa. Kitu oge henteu bisa unggal peuting, osok aya bae barudak anu mangkir alatan itu-ieu.
“Isukan mah latihanana urang make kosteum,” ceuk kuring salaku sutradara ngarangkep nyieun naskah, sakapeung kapaksa jadi sponsor ari barudak harayangeun jajan. Enyaan, kalah udulan sagalana weh tamah aktip dina teater!
“Naha make isukan, Teh?” ceuk Ucu Nurhafsah.
“Apan lima poe deui Lebaran. Minangka latihan pamungkas kitulah. Manggungna saminggu sabada Lebaran, lin?”
“Gladiresik apa gladikotor ceritanya?” teuing saha anu nyelengkeung.
“Musikna kumaha, Mas Tukul? Geus beres milu ngarekam ka Unasco teh?” Henteu ngarespon anu haben cecelengkeungan. Musikna dihijikeun dina kaset sababaraha lagu; sora-sora anu pikasieuneun, anjing babaung awor jeung sora iblis ti dasar naraka… Eeh, meureunan kitu, da tacan kungsi pirajeunan nganjang ka dasar naraka barina oge!
“Beres, Mbak, kemarin malam kami sampai begadang di sana,” ceuk Mas Agung mangnembalankeun musisi kajajaden, Mas Tukul, anu ngarangkep jadi bencong.
Isukna bada magrib barudak geus ngalaliud di hareupeun kantor Erwe. Geus menta idin ti Kang Oo Sumantri, Erwena harita. Sakapeung osok disponsoran kadaharan, inuman jeung roko-roko bae mah. Kapireng barudak sarumanget naker latihanana. Der marake kosteum. Uwa Haji diperankeun ku Kang Deddy. Rentenir ku Agus. Sang Koruptor ku Kang Didi. Saudagar ku Kang Entis. Pramugari ku Ucu Nurhafsah, tos maot kiwari mah. Hostesna ku Arnie. Bencongna ku Mas Tukul. Malaikatna weh bagean Mas Agung.
Ditambahan ku sababaraha pamaen piguran, nyaeta barudak preman, pamabokan manten tea. Aya salosinan mah, sawareh purah ngagogotong layon anu rek dikurebkeun ka pajaratan. Sawareh deui purah careurik bari marake baju jeung tiung sing sarwa hideung. Aya anu nananggeuy parukuyan bau menyan. Aya anu dibaguded teregos nyeta-nyeta jundullah, prajurit Palestina. Aya oge anu lolong-lolongan, dibebeyeng ku bencong kawas anu rek ngamen.
Tamah Asep Surasep kalah mamanggul pacul, make dudukuy, nyoren bedog. Dibarengan ku kabogohna Titi Suriti anu ngagegendol oorokan heg di kana bobokokeun deuih, lieur lin? Laah, henteu kageureuh-geureuh deui, paduli pruuung weh!
 Wuaah, enyaan we ku karek latihanana oge geus sagala mungguh. Mungguh pikasieuneun, pikaseurieun tur pikareheeun deuih! Eta da baladna Si Apep aya anu minculak. Nginum pel nahaon mah samemeh der latihan teh. Kareungeu we leumpangna dadaligdeugan, haben noelan imbit budak awewe hareupeunana. Puguh budak awewe teh jejeretean, kacoow. Dasaaar!
            Jalma anu ngalalajoan mani ronghok tina jandela. Ngahaja ditutup pageuh, sangkan henteu ngaganggu anu keur latihan. Geus kitu mah, haaaauuung, haaaauung, waaauw, waaaauw…. Haaauung, haauung, waaauw, waaauuw… Anjing babaung, sora cihcir, gagak awor jeung angin, hujan, dordar gelap. Jerit pikasieuneun, sesegrokna sora iblis ti dasar naraka tea jeung sora nahaon mah… kateuing momonesna Mas Agung jeung Mas Tukul!
            Bring Si Apep sabalad-balad ngagogotong layon Si Eja, da ngan manehna anu daekeun jadi mayitna oge basa acara casting. Anu lianna mah kalah pating puringkak, ngabaralieus, sieun kateuhak ku mayit enyaan magarkeun teh. Ngahaja diasupkeun kana keranda… laah, naon nya ngaranna paragi ngagotong mayit, pamirsa?
            “Innalillahi wa inna ilaihi rojiiiuuun… Telah berpulang ke rahmatullah Sodarah Eja bin Surteja dalam keadaan tenang,” ngong tina sepiker sora sutradara ieu mah.”Sekarang, mari kita menguburkannya juga dalam keadaan tenang!”
            Rengse dikurebkeun, enya bobohongan kitulah, ditumbu ku pakupekna anu ngawurkeun kembang tujuh rupa. Pating alingsreukna anu careurik jeung lalehoan. Geus kitu mah ditaringgalkeun weh… Ganti adegan! Tujuh lengkah ditinggalkeun ku anu tanziah, belegedeg Malaikat rek nakon. Henteu bisa ngajawab sagala pananyana, jelebeeeet, jelebeeet weh Si Eja digegendir ku buntelan koran beunang ngagulung-gulung… Cikikik Si Eja kalah nyikikik, magarkeun teh da getek meneran urut eksim dina tonggongna!
            “Sing bener latihanana atuh, Ejaaa” kuring rada keuheul, puguh keur panteng-pantengna  ngimeutan kalawan daria.
            “Laaah, serieus-serieus teuing atuh, Teteh,” nembalan bari babalicetan digegendir ku Malaikat. Henteu nenjoeun aya oorokan Titi anu murag, kosewad manehna meh ngajuralit. Hadena kaburu ngarawel papan bor, tapi teu burung nonggeng weh sakedapan mah. Jabaning ngan mamake urut karung tarigu minangka boboehanana.
Geeer, ti luar anu lalajo nyarurakan jeung nyaleungseurikeun!       
Si Eja asa kapuji der weh mijah. Puguh Malaikat mingkin wera, jelebeeet, jelebeeet deuih tonggong Si Eja dihanca.
“Meugeus, euy! Gantian, giliran uing liiin?”
“Heueuh, ulah mijah sosoranganan siah!”
“Setooop! Setooop!” Teu make kutkut-katkat lah, barieukeun. Iiih, sigana lamun henteu gancang dihuit mah duka rek ka mana tah lalakon!
            “Meunang bae improvisasi ngan ulah kaleuleuwihi,” ceuk kuring basa lekasan latihan pamungkas.
            “Jeung deui ulah loba ngaheureuykeun Malaikat, siah, Eja. Bisi kateuhak keh!” Kang Entis nyegag.
            “Ngaheureuyan Titi mah meunang, nya?” Si Eja gumasep.
            “Pek we ari hayang digablogan ku Si Asep mah…”
Dina emprona manggung nu munggaran di pakarangan kantor Desa Cimahi Tengah. Barudak kaciri henteu pati sarugemaeun ari margana kabagean kapeutingnakeun, anu lalajona kari saeutik. Malah lolobana mah kari tukang dagang wungkul. Cindekna kaceehkeun ku dangdutan, jaipongan, tatarian katut kasenian lianna ti erte sejen. Ongkoh sarupaning drama, teater harita mah tacan ngamasarakat.
Barudak teu wudu pating kulutus, hareneg ku kakuciwa. Sahenteuna beunang hese cape karasana taya respon panongton saeutik-eutik acan. Biheung taya anu ngalalajoanan iwal ti babaturan sorangan.
“Sabar, tenang, tenang sajalah, Sodarah-sodarah!” ceuk Mas Agung ngabeberah barudak. “Jangan lupa, kita masih punya kesempatan manggung di kandang sendiri. Dua minggu lagi kita kan merayakan tujuhbelas Agustusan!”
“Eueuh, enya nyaaaa!” raong barudak dibarung sarumanget deui.
             Henteu kungsi latihan deui oge dina emprona manggung di kandang sorangan mah, beu!
Eta mah barudak marijahna alahmanan nahaon we. Si Apep sabalad-balad, teu sirikna ngetrukkeun sagala momones, sok sanajan ukur piguran wungkul. Sumawonna para pamaen intina. Kang Deddy enyaan alus naker nyetakeun koruptorna teh. Kang Entis hebat deuih mintonkeun ketak saudagar, ngomongna lentong Cina singke.
Kitu deui Ucu pas pisan ngalakonkeun pramugarina teh. Ari Agus pikaseurieun babatakanana salaku rentenir. Arnie oge ucad-aced, gumeulisna dilediskeun sorangan. Mas Tukul bebenconganana matak pikareheeun anu nyiram. Mas Agung oge anu sasarina daria kabawakeun mijah, lentong Jawana mingkin lekoh. Maenya we aya Malaikat pirajeunan nampa sogokan!
            Caritana sukseeees weh!
           Ngan henteu kungsi lila reaksi mimiti juljol daratang. Arnie balik sakola murang-maring ambek-ambekan.
            “Teteh da nu kitu tea mah. Make mere peran hostes sagala!” cenah gudad-gadeud, jebreeed ngabantingkeun panto kamar.
            “Naha ku naon kitu?” kuring panasaran nyampeurkeun.
       “Diparoyokan ku barudak leutik… Hosteeesss, Hosteees, cenah. Terus basa papanggih jeung saha mah, nini-nini di pasar. Celengkeung teh ngomong, euh ieu teh Neng Hostes tea suuun, cenah. Ih,  eraaa siah Teteh, eraaaa!”
            “Yeeh, puguh alus tateh, Ni. Hartina Arnie maenna alus pisan, kapake tur kalandep ku masarakat Tagog,” ceuk kuring bari nahan pikaseurieun. Sasarina oge manehna mah acuh beybeh apanan. “Tumben niiiih?”
            “Enya atuda bisi kadengeeun ku…” Acan kebat nyaritana geus kapiheulaan ku sora Teh Ai ti tukangeun panto. 
      “Da Arnie mah geus boga kabogoh atuh, Tikeu,” cenah bari ngageblay deui ngajauhan. Tacan oge jep Teh Ai ngomongna, adi kuring anu sejen nyaeta Vivi geus ngagerencem gigireun. “Ari kabogoh teh pacaran, nya Teteh?" Puguh Arnie tangka ngaburilak, sieuneun kadangu ku Bapa, mangkaning kabehanana oge tos diwanti-wanti; ulah bobogohan, barudak keneh!
          “Aduh, gandeng siah, Vivi! Leutik-leutik comel!” Kituna teh bari ngadegungkeun sirah si Vivi, puguh dengek weh budak kelas hiji SD teh ngoceak, malah tuluy ngawiwiw bari ngusapan tarangna.
@@@

Indonusi Hebat, Indonusi Kuat, Ocreh Beib!

$
0
0




Anno Haji 2006:
Selain dengan Ennike, Raymonna, Erna dan Anita, aku pun acapkali jalan bareng Mami Uun dan rombongan nenek-nenek dari Bogor. Kalau sudah berkumpul dengan Mami Uun en Her Gank, demikian aku menggelari mereka yang disambut ketawa senang itu, dipastikan ramai sekali. Biasa, semuanya pakai bahasa leluhur, bahasa Sunda.
Pendeknya persis di lembur sorangan we!
Kejadiannya di Mekah, waktu rombongan Cordova akan berangkat ke Arafah. Suasana di luar Hilton, sepanjang trotoar menuju Masjidil Haram begitu padat subuh itu. Aku bersama rombongan nenek-nenek yang menginap di Hilton bergerak menuju Intercountinental. Awalnya kubawakan kantong berisi buah-buahan dan makanan ringan milik kami berdua, aku dan Mami Uun. Tapi di tengah jalan, karena sambil membawa koper, rasanya menjadi ribet banget. Jadi, kuminta izin Mami Uun untuk menyedekahkan kantong makanannya.
“Ya, sudahlah Neng, tinggalkan saja di situ,” sahut Mami Uun yang kulihat repot pula dengan bawaannya. Sebuah koper dan beberapa kantong besar, entah berisi apa saja.
Di belakang kami ada pasangan suami-istri, profesinya pemijat. Ditambah Bu Rosmalia yang kusangka kerabat  Mami Uun, tapi ternyata teu hir teu walahir alias bukan apa-apanya. Untuk melintasi lautan manusia, meskipun jaraknya sangat dekat, ternyata lumayan menguras tenaga. Keringat sudah bercucuran saat kami sampai di gerbang hotel milik King Abdul Saud itu. Padahal kami biasa sarapan di restoran Intercountinental.
“Hei, hei…no, no, don’t! Stooop!” seorang anak muda Arab petugas berseragam semacam Satpam, sekonyong menghentikan langkah kami.
“Why not?” serobot Mami Uun yang selalu bertindak sebagai ketua itu.
“Because you….” Dia menuding ID Card Mami Uun, intinya kami dilarang masuk karena bukan tamu Intercountinental.
Awalnya aku kepingin ketawa. Tiga hari sudah kami hilir-mudik ke hotel berbintang (konon!) tujuh itu, tak pernah ada yang melarang. Para penjaga pun telah mengenali kami sebagai bagian rombongan Cordova lainnya, mereka yang menginap di sini.
Mengapa tiba-tiba kami dilarang berkeliaran di Intercountinental? Bahkan petugas itu dengan kerasnya menggiring kami keluar kawasan hotel.
“Kayaknya petugas baru tuh….”
“Iya, sotoy amat!”
“Lagaknya kayak bossy aja…”
“Pssst, tenang dulu ya mami-mami,” ujarku mencoba menengahi. “Ingat, kita sekarang berada di depan Masjidil Haram. Harus jaga sikap, ya mami-mami sayang. Bagaimana kalo kita tunggu aja kru Cordova keluar?”
“Semuanya, katanya sih sudah pada ke Arafah…”
“Gak juga, masih ada Ustaz Mawardi di dalam….”
Mami Uun keukeuh bersikeras memberi penjelasan kepada anak muda Arab itu, berakhir dengan omelannya; “Meuni sombong pisan, nya…. Adi aing oge Jenderal, siah, teu somse kitu?”
Muncul Ustaz  Satori yang telah sarapan dan hendak kembali ke Masjidil Haram. Sosok imut-imut ini mencoba memberi penjelasan dalam bahasa Arab yang fasih kepada anak muda Arab itu. Kelihatannya tak mempan. Ustaz Satori bilang, sudah menghubungi Ustaz Mawardi via ponselnya, jadi kami diminta bersabar dan tunggu saja.
Perdebatan antara Mami Uun, Bu Rosmalia dengan si anak muda Arab itu kelihatannya berlangsung semakin seru saja. Apalagi waktu anak muda Arab itu berkata: “Indunusi? Huh….no, no living here…musykila! Intercountinental, special for Arabic and Europa!” Sambil menjentikkan jari-jarinya, kemudian menunjukan jempolnya ke lantai.
Waaah, aku sudah kehilangan hasrat tawa nih, kalau sudah menyerempet kehormatan bangsaku.
“Ya empruuut, eeh, emprooot…” Entah siapa pula yang mengomel.
Mami Uun semakin jengkel saja, sampai melotot-melotot matanya. “Eee, enak saja menghina bangsa Indonesia? Siapa bilang bangsaku gak sanggup nginap di hotel bintang lima? Bintang selusin juga mampu, tauuuk!”
“Awas yah…. Kalo kamu datang ke Indonesia….”
“Diteke siah ku urang!”
“Enya, urang talapung we rame-rame siah….puuung!”
Yang lucu waktu muncul pasangan suami-istri, Didik-Anita dari dalam Intercountinental. Begitu mengetahui kami terjegal masuk, Mas Didik dengan semangat juang ’45 melakukan protesnya. Diperlihatkannya ID Card yang menggantung di lehernya, kemudian ditunjuknya pula ID Card yang mengantung di leher kami masing-masing. Maksudnya bisa ditebak, bahwa dirinya dan istrinya baru dari dalam Intercountinental, baru makan pagi bersama. Jadi, biarkan teman kami ini pun masuk, pliiis!
Tapi sang portir bergeming dengan keputusannya. Bahkan dengan kasar dia menggiring Didik ke luar. Karuan saja Anita yang masih berada di ujung tangga, dan melihat suami tercinta terusir dari kawasan Intercountinental, tergopoh-gopoh mengejar dengan wajah panik.
“Maaas… tunggu!” lolongnya menggema ke mana-mana.
Melihat adegan demi adegan yang kisuh-misuh begitu, aku terduduk mengkerut di teras. Mulai instropeksi, khawatir ini pun adalah teguran dari Allah. Ya, acapkali saat keluar dari Intercountinental ada perasaan bangga, mungkin saja sempat memandang rendah orang lain.
“Astaghfirullahal adziiiim, ampunilah khilafku, angkatlah semua angkuh dari hatiku ini, ya Rabb, hamba ini tiada memiliki apapun, dan bukan siapa-siapa,” gumamku, kutundukkan kepala terdiam, mulut mereka komat-kamit, berzikir dan berdoa.
Ustaz Mawardi akhirnya muncul juga dibarengi seorang manager Intercountinental. Ia kemudian mengajak kami masuk sambil meminta maaf atas kesalahpahaman ini.
“Maaf, ya ibu-ibu, dia hanya menjalankan perintah…”
Aku takkan melupakannya, bagaimana Mami Uun yang masih marah dan kecewa itu, sengaja melintas di depan anak Arab, nyaris membenturkan bahunya.
“Indunusi bagus! Indunisi hebat, bagus, kuat, ocreeh beib!” ceracaunya malah membuat anak muda Arab itu cengo habis.




@@@

Tuhan Jangan Tinggalkan Aku

$
0
0
Ilustrasi di Perpustakaan Hongkong


Sinopsis

Frankie dan Fatin berkenalan di dunia maya. Mereka sering chatt online, saling berkirim foto dan video. Fatin lugu sekali, sangat percaya kebaikan hati Frankie yang mau membeli seluruh aset yang dimilikinya, peninggalan mantan suami.Frankie melamarnya menjadi istrinya, dan memintanya datang ke Belanda. Demi menyelamatkan anaknya dari kejaran keluarga mantan suami, Fatin nekad terbang ke Holland bersama anaknyayang baru berumur dua tahun.
Awalnya sikap Frankie lembut, romantis dan so sweet, gentle. Sehingga Fatin semakin percaya, meyerahkan semua dokumen perjalanan dan propertinya. Frankie membawa Fatin dan anaknya ke apartemennya di pinggir kota kecil di Belanda Utara. Frankie menyatakan rasa cintanya kepada Fatin, ingin menikahinya. Namun, Fatin meminta waktu.
Keanehan Frankie mulai tampak dan disadari oleh Fatin. Frankie sering dipergoki berlama-lama menatap cermin, kadang bergumam dan bicara sendiri. Frankie terobsesi untuk menikahi Fatin, bagaimanapun caranya. Ia ingin memiliki Fatin seutuhnya sebagai pasangan hidupnya. Frankie selalu mengatakan bahwa ia melakukan hal itu demi; Cinta!
Perjuangan dahsyat seorang perempuan beranak satu di Negeri Kincir Angin demi menyelamatkan dirinya dan anaknya dari cengkeraman seorang lelaki sakit jiwa. Dikurung di apartemen, dianiaya, berkali-kali berusaha melarikan diri dan minta  bantuan. Sehingga satu saat ia berhasil bangkit dan melawan!
Pesan Moral:
Ø  Dasar keimanan yang ditanamkan sejak kecil, sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang, bagaimana dia menyikapi kejadian, pengalaman dan trauma yang harus dijalaninya.


Novel Baru Pipiet Senja: Tuhan Jangan Tinggalkan Aku

$
0
0
Ini Sebagian Karya Pipiet Senja

Prolog

Frankie sudah kembali!
“Fatiiin! Woooi, Fatin, jalangku yang hebaaat!” teriakannya seolah menggema ke pelosok Negeri Kincir Angin.
Pasti dia mabuk berat!
Fatin menyelinap, bersembunyi di balik sofa ruang tamu.
Ia sudah bertekad akan menghabisi makhluk jejadian ini begitu muncul. Tangannya gemetar meraih tongkat bisbol yang tersambar begitu saja. Entah sejak kapan benda itu bercokol di ruang tamu. Boleh jadi Frankie merampasnya dari anak-anak yang tersasar ke pekarangan apartemennya.
Fatin mengawasi pintu depan itu dengan mata nanar.
Nah, pintu terkuak dan sosok itu muncul!
Frankie sungguh dalam keadaan mabuk berat. Tangannya meraba-raba dinding mencari tombol lampu. Namun, sebelum ia berhasil menyalakan lampu, Fatin melesat ke arahnya dan menghantamkan tongkat bisbol itu ke kepalanya dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya.
Buuuk! Buuuk!
“Aduuuh!”
Tidak ada suara lagi.
Tubuh tinggi besar itu terjajar dengan posisi tengkurap, tangannya masih memegang botol minuman keras.
Kekuatan itu semakin merasuki dirinya. Fatin mencermati sekilas sosok yang terbujur di lantai itu. Tidak bergerak, tapi masih bernapas!
Fatin berlari menuju lantai atas. Didapatinya si kecil sedang meringkuk di  balik seprei. Ia meraihnya, memangkunya sebentar sambil mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk menggendongnya.
Tentu saja kain batik, satu-satunya kain gendong yang selalu diminta si kecil dibawa ke mana-mana. Kain batik pemberian Mini, istri Samawa yang sangat menyayangi si kecil. Satu-satunya benda pribadi yang masih terselamatkan dan berhasil dipertahankannya dalam pengembaraan.
“Mau ke mana, Mama?” tanya si kecil mendesir di kupingnya saat Fatin berhasil membuka jendela kamar di lantai dua itu.
“Psssst, jangan berisik, ya Nak. Kita akan pergi jauh dari tempat ini,” sahutnya seraya mencium ubun-ubun si kecil.
“Pergi jauh, ya Mama, pergi jauh….”
“Bantulah Mama, Nak, bantulah dengan doa saja, janji.”
“Iya, Mama, janji,” gumam si kecil.
Angin musim dingin langsung menerpa wajahnya begitu Fatin melongok keluar jendela. Pagi baru merekah di awal bulan Desember. Hawanya langsung menggigit, meskipun ia telah merangkap baju dengan tiga lapis.
“Dingin, Mama….”
“Kuat, ya Nak, tahankan….”
“Iya, Mama, kuat, tahan,” suara si kecil membeo perkataannya.
Ia tak peduli dengan hawa dingin yang menggigit. Si kecil pun telah dilapis-lapis rangkap penutup tubuhnya.
Kini tangannya melemparkan seprei yang telah dipilin dan disambung-sambungkan.
Puuuuung, pluuuuk!
Syiiiiiiut!
Sekejap melayang-layang, terus melayang dan; bruuuug!
“Allahu Akbar!”
“Iya, Mama…. Allahu Akbar!” si kecil masih membeo.
Fatin dan si kecil beberapa saat terguling-guling di atas hamparan salju.
Akhirnya ia berhasil menghentikan gerakannya.
“Tidak apa-apa, ya Nak, kuat, ya tahan, ya?” ceracaunya.
Diraihnya si kecil, diraba-raba wajahnya, kepalanya, kakinya, tangannya.
“Aku kuat, Mama, aku tahan….” Suara si kecil meyakinkannya.
“Alhamdulillah, diberkatilah hidupmu, Anakku.”
Fatin menciumi wajahnya yang mungil.
“Kita terus berjuang, ya Sayangku, Cintaku….”
“Ya, Mama, kita berjuang….”
Maka, mulailah perempuan muda itu mengumpulkan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya. Harus punya berkarung-karung, berkodi-kodi, bahkan berkoper-koper simpanan kekuatan. Selain kesabaran, keikhlasan dan keimanan yang tetap membalun jiwa dan raganya seagai seorang Muslimah.
Ia baru memahami makna doa ibunya semasa kecil.
Emak selalu mendoakannya agar menjadi perempuan tangguh.
Inilah agaknya hakikat doa ibu tercinta.
Saat inilah pula doa Emak mengalirkan kekuatan maha dahsyat ke dalam dirinya. Kekuatan itu terus merasuki sekujur tubuhnya, merembes ke setiap tetesan darah yang mengalir dari ujung kaki hingga ubun-ubunnya.
Inilah salju pertama yang dilihatnya di Negeri Kincir Angin.
Ada sensasi aneh yang merayangi kisi-kisi batinnya.
“Salju pertama dalam hidup kita, ya Nak,” bisiknya seraya terus melangkah, melangkah dan melangkah.
Ia harus menjauhi wilayah si jahanam itu secepatnya!
Ia tak peduli dengan rasa nyeri yang semakin menggerogoti bagian vaginanya. Terus melangkah, kali ini dibarengi dengan menyebut sebagian dari 99 Asma ul Husna dalam setiap helaan napasnya, dalam setiap langkahnya.
“Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah….”
“Ya Rahman, Ya Rahman, Ya Rahman….
“Ya Rahim, Ya Rahim, Ya Rahim….”
“Ya Jabar, Ya Jabar, Ya Jabar….”
Fatin terus menyeret langkahnya, tak peduli dengan hawa dingin yang kian membeku.  Sesekali dari mulutnya mengesahkan doa yang takzim, dipanjatkan kepada Sang Khalik.
Tuhan, hamba mohon.... Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku!”
Dari rahimnya mengucur darah segar tapak penganiayaan Frankie.
Sesekali mata si kecil terpicing, melotot ke arah bercak darah yang ditinggalkan ibunya. Namun, ia tidak bicara apapun lagi, kembali memejamkan matanya, tertidur dalam gendongan ibu tercinta.
Inilah ketangguhan seorang ibu sejati!
Fatin terus berjalan, berjalan dan berjalan.
Entah berapa kilo, entah sampai di mana.
Hanya satu yang ingin dilakukannya saat itu; menyelamatkan diri dan anaknya!
Dalam kondisi memilukan begini seketika kenangannya kembali ke masa kanak-kanak di kampung halamannya, Desa Bojongsoang, Cianjur, Jawa barat, Indonesia.

@@@



Lakon Lama

$
0
0

Lakon Lama


Cerpen Pipiet Senja (Republika, 17 Januari 2016)

Lakon Lama


Telah beberapa bulan ibuku harus dirawat. Keluhannya tak lain sakit kepala yang menghebat. Migrain, katanya. Kemarin kami sudah menjemputnya. Ibu harus banyak istirahat di rumah. Tiap pagi aku sibuk bantu Emih, melayani para pembeli, saatnya banyak orang belanja. Ikut membungkusi, itu pun kadang masih harus diperbaiki oleh nenekku.

“Sudah, beli makanan sana,” usir Emih bila sudah tak tahan lagi dengan kelakuanku. Aku berjingkrak kegirangan, berlari menuju jongko Mih Ocah, penjual serabi. Sebetulnya penganan yang paling kusukai adalah cendil Ceu Anik. Penganan terbuat dari sagu, dipotong kecil-kecil, warna-warni. Rasanya manis dan gunyal-ganyel di lidah. Emih akan marah kalau memergokiku makan cendil buatan Ceu Anik.

Pake pewarna, tak bagus buat anak-anak. Nanti jadi penyakit.” Mulanya aku tak paham dengan sikap nenekku terhadap Ceu Anik. Belakangan aku pun mulai bisa menilai. Ceu Anik kalau jualan tidak kira-kira. Dandanannya terlalu menor, erok ketat lehernya belah. Belum lagi riasan wajahnya, pipinya merah-merah macam habis digampari.

Aku akan keluyuran di sekitar pasar. Menyusuri deretan warung dan jongko sepanjang Tagog. Mengamati macam-macam dagangan dari satu jongko ke jongko lainnya. Usiaku tujuh tahun, kelas tiga SD. Aku sudah menyukai hal-hal yang biasanya luput dari pengamatan anak-anak sebayaku. Mungkin karena hobi baca, sering tualang bersama karya para penulis dunia yang kusimak.

Ibuku pernah berkata, kelak aku akan menjadi seorang polisi perempuan.
Biasanya segera dibantah ayahku. “Putrimu yang satu ini lebih berbakat menjadi seorang wartawan.”

“Tikah!” Aku tersentak, terbirit-birit menjauhi Enjay, lelaki sakit jiwa yang suka lontang-lantung di sekitar pasar Tagog. Padahal masih asyik memperhatikan kelakuannya. Meracau riuh, senyum dan ketawa-ketiwi.

Emih melambaikan tangannya, mengawasiku dari depan jongkonya. Sudah lewat Zhuhur, Emih mulai membenahi sisa dagangan. Biar gampang diangkut pulang.

“Nanti malam kita nonton sandiwara, ya Tik,” katanya sambil makan siang yang terlambat. Nasi bekal dari rumah dicampur bakso Mas Joro.
“Asyik!” Nyaris saja biji bakso loncat dari mulutku.
“Jangan ribut sama siapa-siapa. Kita pergi berdua saja.”

“Iya, janji tak bakalan bilang siapa-siapa. Apalagi si Arnie!” Adikku suka ganggu saat enak-enaknya nonton sandiwara, muncul bodor pimpinan Mang Obet, eh, malah merengek minta pulang.
Bakda Ashar Bi Eem datang lewat pintu dapur.

Taya sasaha ieu tehEneng Tikah?” katanya menyelidik.
Teu aya, nuju barobo da.”

Emih cepat menggamit lengan janda miskin itu ke biliknya. Sekilas kulihat Bi Eem memberikan sesuatu ke tangan Emih. Nenekku memeriksanya sekejap. Tanpa banyak bicara lagi menyelipkan upah ke tangan Bi Eem.

Sebuah transaksi baru saja berlangsung di depan mataku. Demikianlah nenekku. Saking hobi nonton sandiwara, bila tak punya uang, menggadaikan kain batiknya.

Kulihat Arnie masih saja main dengan boneka. Kemarin aku melemparkan si butut itu. Kesal, gara-gara benda jelek itu nyaris aku kehilangan buku kesayangan. Arnie merobek beberapa halaman untuk selimut dedenya.

“Nanti malam aku akan diajak nonton sandiwara sama Emih,” kuleletkan lidah, kugerak-gerakkan jari-jemari di sisi kedua telinga.
“Ikut!” jeritnya histeris.
“Ih, nggak boleh ikut, nggak boleh!”

Si cerewet abrut-abrutan sambil teriak-teriak.
Ada yang melongok dari jendela kamar depan. Pasti tidur Bapak terganggu. Matanya merah, habis pulang konsinyir di markas tiga malam.

“Ada apa? Ribut terus anak-anak ini?” tanyanya terdengar kesal.
“Eh, ini si Arnie…,” aku tergagap ketakutan.
“Sudah anak-anak, mainnya jauh-jauh sana!” Ibu juga ikut melongok dari jendela.

Pengen ikutan nonton sandiwara!”
Emih muncul dari pintu dapur. Sekilas mengerlingku dengan kesal. Matanya seolah berkata, “Kamu ini tak bisa dipercaya!” Aku hanya cengengesan.

“Katanya mau nonton sandiwara Mang Obet, Mih?” tanya Bapak.
“Eh, iya, diajakin Eem.”
“Sekalian saja dibawa dua-duanya. Nanti ditambah buat jajannya.”
***

Bakda Isya bertiga sudah siap berangkat ke gedung sandiwara. Letaknya di pusat kota, dekat alun-alun. Berjalan kaki menyusuri gang demi gang, menyeberangi jembatan kecil Kali Cimahi. Malam Jumat banyak orang yang menonton.

Hari libur para prajurit yang sedang pendidikan. Cimahi pusat pendidikan tentara, makanya disebut Kota Hijau. Para prajurit biasanya jalan bareng, kostumnya sama, pet sama, perawakan mirip. Bahkan, jalannya pun bak dipola, mirip.

Emih banyak kenalan di gedung sandiwara. Teteh Entin sering memberi penganan. Teteh Entin melambai ke arah kami. Lusinan permen dalam sekejap sudah memenuhi tas kecil kami. “Ih, barudak teh ngerakeun pisan, nya? Nuhun atuh, Nyi Entin.” Teteh Entin menolak ketika nenekku akan bayar.

Aku dan Arnie segera berlarian menuju deretan bangku paling depan.
“Lakonnya Bangkit dari Alam Kubur. Asyik, ada kuntilanaknya!” aku menakuti adikku. Arnie merinding, tapi pipinya gembil penuh permen jahe.
“Ingat ya, jangan minta pulang selagi rame!”
“Teteh nggak takut sama kuntilanak?”

Arnie menatap wajahku, setelah celingukan ke sana-sini. Seolah takut ada yang mendengar omongannya.
Ngapain takut, itu bohongan!”
Kan ada kuntilanak!” Arnie makin merinding.
“Yang jadi kuntilanaknya juga Teteh kenal, pasti Ceu Lilis!”

Lakon sandiwara pun digelar. Baru dengar ilustrasi musiknya yang:haaauuung waaauu, waaauu. Adikku kontan menangis, bahkan kemudian jerit- jeritan segala.

“Takut, mau pulang!”
Akhirnya Emih memangku adikku dan menuntunku, balik menuju warung Teteh Entin. “Nyi Entin, tolong nitip si Tikah. Adiknya ngadat!”

Sekilas kuperhatikan adikku menyusupkan kepalanya di dada nenekku.
Tak mau diturunkan lagi. Beberapa saat aku duduk manis di bangku depan warung Teteh Entin. Ada lelaki berewok menyambangi. Mereka asyikngobrol tak memedulikanku lagi. Aku pun lari, balik ke bangku depan. Menyusupkan diri di samping ibu-ibu.

Lakonnya sungguh menggelikan, menakutkan, menggemaskan. Konsepnya mirip cerita film vampir Mandarin. Komedi, laga, drama, diselipi horor.
Seorang perawan dipaksa kawin dengan saudagar gaek. Si gaek malah hobi menganiaya istrinya, Ceu Lilis. Ups, tokoh perawan itu, sampai tewas!
Puncaknya ketika kuntilanak menakuti ronda. Kelompok bodor Mang Obet,eksyen.

Ini yang paling kutunggu. Rame, heboh, pake jungkir-balik, nungginginpenonton segala. Pendeknya kenyang ketawa, diteror horor. Pagelaran sandiwara usai sudah. Layarnya pun diturunkan. Baru ngeh lagi, nenekku belum balik?

Aku terbawa arus manusia, terseret dan tergencet. Para penonton bak ditumpahkan dari kapal. Tahu-tahu aku sudah balik ke warung Teteh Entin. Tapi, tak ada siapa-siapa. Saat itulah aku baru menyadari betul keadaanku. Bagaimana mau pulang? Bingung, nangis sajalah. Tahu-tahu aku sudah dikerumuni banyak orang.
“Nyasar, ya? Ke mana ortunya?”
“Seenaknya saja ninggalin anak! Keruan saja aku makin kebingungan dan ketakutan. Teteh Entin cepat muncul, membawaku masuk ke warungnya.

“Neng Tikah, memangnya ke mana saja? Dari tadi dicari-cari. Sudah, jangan nangis lagi. Nanti diantar pulangnya, ya?”
Tak berapa lama Emih muncul jua. Emih memilih jalan protokol. Iyalah, siapa lagi yang mau kucluk-kucluk jalan kampung? Tengah malam mesti melewati jembatan dan kali, gelap, ada pohon warudoyong. Bagaimana kalau sudah ditunggu kuntilanak?
***

Kuat-kuat kucekal ujung kebaya Emih. Lewat jalan protokol pun sepi dan lengang. Tak tampak sepotong manusia pun kecuali kami. Sudah lewat tengah malam. Saatnya manusia tenggelam dalam lautan mimpi. Semeter, dua meter, saat melintasi gerumbulan pohon beringin. “Emih, Tikah seperti lihat kuntilanak?”

“Pssst, jangan omong sembarangan. Mending baca ayat-ayat suci!” Melangkah lagi, mengintil di belakang Emih. Tapi, bayangan Ceu Lilis dalam kostum kuntilanak, perasaan makin banyak, makin banyak. Beterbangan ke arahku.

“Aku mau merem saja.” Tanganku kian kuat-kuat memegangi ujung kebaya Emih.
Kadang pindah mencengkeram tangannya. Beberapa meter masih berlangsung aman sampai tiba-tiba, jidat kananku menabrak tiang listrik.

Berhenti lagi, Emih memeriksa jidatku. Diusap-usap, ditiup sedikit. “Sudah,nggak apa-apa. Cucu Emih Encun mah jagoan. Baru juga beberapa meter kembali jidatku nabrak tiang listrik. Kali ini yang sebelah kanan. Aku mulai menjerit, marah dan sakit!

Emih merandek lagi, memeriksa jidatku. Kali ini sambil baca mantra segala. Jangan ganggu cucuku, ini cucu buyutmu juga, Embah.”
Kalimatnya terputus oleh suara aneh, ampun. Tiang kurang ajar itu lagi-lagi sukses gemilang menghajar jidatku, total: tiga kali!

“Embung, siah! Teu sudi teuing, nyeri!”Aku nangis histeris, menggeloso di jalanan, guling-gulingan. Emih menyeret tanganku. Kadang tubuh kecilku diangkat, diseret, diangkat. Demikian terus menghabiskan sisa perjalanan sampai rumah.

Begitu sampai di rumah, Emih kewalahan nyaris membanting tubuhku di tengah rumah. Semua penghuni rumah menyaksikanku guling-gulingan, jerit- jerit kesakitan. Beberapa waktu aku tak pernah mengintil nenekkunonton sandiwara. Nenekku juga terpaksa menghenti kan hobinya.

Tapi, begitu tak ada lagi yang mengingat peristiwa malam itu, aku pun kembali mengintil nenekku. Nonton sandiwaralah, Brow! (*)

Kosakata:
Gunyal-ganyel: goyang lidah
Taya sasaha ieu teh, Eneng Tikah: nggak ada siapa-siapa nih, Eneng Tikah?
Teu aya, nuju barobo da: Nggak ada lagi pada tidur tuh.
Ih, barudak teh ngerakeun pisan, nya? Nuhun atuh, Nyi Entin : Iiiih…, anak-anak ini bikin malu saja, nya? Terima kasih, Ni Entin.
Abrut-abrutan: jingkrak-jingkrak
Konsinyir: piket
Embung, siah! Teu sudi teuing, nyeri!: Ogah, ogah lu! Nggak sudi, sakit!


Pipiet Senja, novelis Indonesia, sering menyebar virus menulis ke pelosok Tanah Air dan mancanegara. Namanya beken di kalangan buruh migran Indonesia sehingga dijuluki Emaknya TKW. Telah menulis 185 novel sejak 1975.

Kebenaran yang Langka Terungkap

$
0
0

Ilustrasi di Kuala Lumpur

Causeway Bay, Kamis, 6 Oktober 2011
Kemarin hari libur bersama di Hong Kong, sekolah dan kantoran tutup, mereka menyebutnya sebagai Hari Kuburan. Orang-orang (terutama) yang sudah tua, dan memang sudah mendekati tanah kubur, hatta, berbondong mendatangi kuil-kuil dan kubur leluhur.

Setelah acara workshop kepenulisan di St. Mary’s, aku diantar seorang anak BMI, tepatnya ditaksikan oleh Bertha Siagian dari Sheung Wan, pulang ke kawasan Causeway Bay. Rehat sebentar untuk sholat, kemudian menerima kedatangan seorang remaja (19) yang ingin curhatan.

Sesungguhnya aku enggan menulis urusan murtad dan pemurtadan, tepatnya dari Muslim dipaksa memeluk agama lain. Hal ini pun saya hindari ketika setahun yang lalu, pertama kali datang di negeri beton, meskipun beberapa anak di shelter curhatan perihal pemurtadan. Bahkan saya memiliki rekaman acara pemurtadan tersebut, dilakukan di sebuah shelter di kawasan Tin Hau.

Pada buku Kepada YTH Presiden RI, besutan aku, sama sekali tak merambah ke urusan yang satu ini. Banyak sahabatku non Muslim, kami berhubungan dengan baik-baik saja, saling menghormati. Pendeknya; agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku.

Ya, aku tidak menuliskannya, kuatir malah menjadi SARA.
Namun, kali ini, ketika aku kembali ke Hong Kong, dan ternyata aroma itu telah berubah menjadi gerakan hebat; pemurtadan, pemaksaan dari BMI Muslim menjadi non Muslim. Bahkan sudah menjurus kepada urusan melukai hati, jiwa, sama sekali tak ada hormatnya sedikit pun. Akhirnya aku tak tahan, ingin menjerit juga, menyeru asma-Mu; Allahu Akbar!

Sebagai seorang Muslimah tak urung hati ini hancur, berontak dan timbul semangat ghirah keislaman yang menggebu. Jelas sekali, pemurtadan di kalangan BMI Hong Kong semakin menjadi-jadi. Mulai dari diiming-iming sesuatu barang yang diinginkan, disekolahkan ke luar negeri sampai dihipnotis, bahkan dengan cara-cara; mendatangkan para pemuka agamanya, langsung diminumi air yang diyakini suci sambil bernyanyi; Haleleuyah!

Inilah curhatan Siti (bukan nama sebenarnya) kepada kami, relawan Dompet Dhuafa, beberapa jam yang lalu.

Siti berasal dari Tulungagung, lima bulan yang lalu memasuki negeri beton sebagai BMI. Agen menempatkannya di sebuah keluarga yang taat, boleh dibilang fanatik non Islam. Sejak hari pertama kedatangan Siti di apartemen kawasan North Point, majikan pasustri secara bergantian langsung memberi pengarahan perihal agama.

"Kamu Islam, ya? Buat apa beragama Islam?” tanya majikan perempuan.
“Islam kan identik dengan teroris. Apa kamu tidak takut dicap teroris?” tambah majikan lelaki dalam nada menyudutkan.

Siti hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak juga membantah. Dia pikir, paling majikan sekadar ngetes saja, besok juga bakal lupa. Ternyata tidak demikian, dari hari ke hari, waktu ke waktu, setiap kali ada kesempatan bertemu, kedua majikan secara rajin dan aktif sekali; menyebar ajarannya, mencekoki otak Siti dengan ayat-ayat kitab yang dianutnya.

Siti mengaku bahwa dirinya pun sebenarnya sekadar Islam KTP alias Islam keturunan, ikut orang tua belaka. Siti tidak sempat memperdalam agamanya, keyakinannya, sesuai syariat sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dia hanya lulusan SD, langsung sibuk bekerja untuk membantu keluarganya yang di bawah garis kemiskinan.

“Tapi aku suka mendengar Simbok mengaji, merafal Al Quran, dan aku hafal surah-surah pendek, suka solat juga biar masih bolong,” paparnya mengaku. “Mungkin karena itu, tiap kali majikan memaksa minum air, entah apa namanya itu, aku merasa tersiksa. Rasanya sekujur tubuhku mendadak lemas sekali, seperti ada yang melolosi tulang-tulang….”

Selama itu pula Siti bekerja, bersih-bersih rumah, memasak dan hanya mengurusi suami-istri yang tak punya keturunan itu. Majikan tidak membolehkannya keluar rumah, tidak beri cuti dan melarangnya pergi ke pasar. Siti tak ubahnya disekap dan tak bisa berkomunikasi dengan siapapun.
Tiap hari Minggu majikan mengajaknya pergi ke tempat peribadatan.

Di situlah Siti bisa menyaksikan prosesi pemurtadan. Teman-teman sesama BMI dibawa oleh majikan masing-masing, sebagian ada juga yang datang sendiri, mereka telah dibaptis sebagai pemeluk Kristiani. Biasanya mereka mengajak para korban bujuk rayunya.

Siang itu, semuanya tanpa terkecuali, harus mengikuti tata-cara peribadatan mereka.
“Wahai, jiwa-jiwa yang kosong, masuklah kalian dalam ruh yang kudus…, bla, bla!”
Puncaknya, Siti dipaksa minum air suci. Demikian menurut pemuka agama yang didatangkan dari daratan Eropa. Jadwalnya dia pun akan dikukuhkanlah sebagai pemeluk Kristiani.

“Suasananya heboh sekali, teman-teman itu seperti kesurupan, kejang-kejang dan berteriak-teriak; ada ulat, ada ulaaaaat! Mereka dihipnotis, terus-menerus dicekoki minuman dan teriakan-teriakan agar mengakui Dia sebagai Tuhan,” celotehnya terdengar gemetar, seolah-olah menyaksikan kembali prosesi pemurtadan yang harus dialami teman-teman sesama BMI.

Saat itulah, Siti yang sudah lemas, tiba-tiba merasa mendengar suara Simbok mengaji. Ada satu kekuatan ajaib merasuki tubuh Siti. Dia bangkit dan beralasan hendak pergi ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, dia tidak kembali lagi ke ruang pengukuhan itu melainkan minggat!

“Ya, Bun, aku lari dan lari terus dari kawasan Tin Hau itu. Tahu dari mana kekuatan itu datangnya. Pokoknya, di mataku bayangan Simbok, di kupingku suara Simbok mengaji, terus mengejar ke manapun kakiku melangkah. Allahu Akbar!”

Kini Siti tinggal di shelter di kawasan Causeway Bay, menanti uluran tangan berbagai pihak, agar bisa bekerja di negeri beton tanpa harus dipaksa berganti keyakinan. (Causeway Bay, Hong Kong)

@@@




Anekdot Dakwah: Hafalan Lenyap Lihat Paha Berseliweran

$
0
0





Satu hari di holaqoh HongKong bersama BMI.


Anekdot Dakwah:
Hafalan Lenyap Lihat Paha Berseliweran


Haven Street-Li Wen Court, Hong Kong, 7 Oktober 2011.
Ketika pertama kali datang ke negeri beton ini, jujur saja aku sempat terkaget-kaget dengan perilaku warganya.

Mulai dari yang selalu memandang penuh curiga dan selidik ke arahku, apalagi jika pakai jilbab putih, terutama yang nenek-neneknya. Hatta, menurut kepercayaan mereka bahwa warna putih identik dengan kematian. Bahkan ada sebagian lansia yang sepertinya takut, kalau diriku akan meneluhnya alias menganggap si jilbaber putih sebagai dukun teluh. Hehe.

Pernah satu kali berpapasan dengan nenek 90-an, tiba-tiba dia meludahi mukaku;”Uhuk, uhuuuuk, crooot!” Begitulah kira-kira bunyinya.
Dan bagaimana cara jalan mereka yang bersicepat, gradak-gruduk!

Disiplin yang sangat dipatuhi. Wow, ini patut diacungi jempol. Sehingga kadang aku nyaris meragukan; apakah orang macam ini, disiplin tinggi begini bisa sekejam itu memperlakukan pembantunya, ya?
Aneh tapi nyata!

Suara yang selalu tinggi, terkesan temperamental. Ternyata orang Batak, eh, bangsanya bapak si Butet tak seberapa suaranya jika dibandingkan warga Hong Kong. Aha, kalahlah itu halak hita, bah!
Sampai urusan mempertontonkan aurat dan adegan romantis di tempat umum. Masya Allah, astaghfirullah….(gak pake alhamdulilah banget nrh, gaya Syahrini!).

Hampir di setiap sudut banyak ayam-ayam yang bisa bicara, bisa berbaju, bisa berlari. Ini istilahnya A Chin, si pemandu turku di Guangzhou. Mereka berbusana sangat minim, sudahlah mempertontonkan belahan dadanya sebelah sini, nah, sebelah sana pamer paha dengan nyaris hanya pakai secarik segitiga terbuat dari jins.

Ada guyonan yang kudengar dari seorang teman Ustadz.
“Bagaimana gak jadi dosa ya buat kita lelaki nih, Teteh. Lah wong, lirik kanan paha mulus, lirik kiri dada menantang. Hadeuh!” kesahnya, terdengar masygul.
“Pernah lihat yang horornya, ya Ustadz?”
“Huuu, seriiing! Hampir tiap sudut kota ada yang berciuman mesraaaaaa bangeeet!”
“Ya wis, anggap saja itu bonus,” ledekku menahan geli.

Nah, satu kali ada muridnya temanku ini datang dari Jakarta, aslinya dari Jombang, Jawa Timur. Ceritanya Ustadz yang masih lajang ini bertugas untuk memberikan tausyiah, pencerahan keliling negeri beton. Tentu saja di kalangan BMI muslimah, bukan non Islam, apalagi dengan cara pemaksaan yang mengarah pemurtadan.

Hari pertama perjalanan dari apartemen tempatnya menginap menuju taklimnya lumayan jauh, hampir sepertiga Hong Kong. Pendeknya jauh banget, dan tentu saja matanya dipaksa melihat berbagai hal. Heuheu.

Ketika malamnya mereka bertemu dan mengaji bersama, temanku terheran-heran dengan tingkah muridnya. Mendadak gugup, tergagap, dan yang mencolok dia tidak mampu membaca hafalan ayat-ayat suci yang biasanya sangat fasih dirafalkan di luar kepala.
“He, Fik, ada apa dengan ente?” tanya temanku. “Mengapa mendadak tergagap dan hafalanmu kacau-balau begitu?”

“Begini, Ustadz,” sahutnya dengan wajah memerah.”Selama perjalanan itu, ana sudah berjuang keras biar gak perlu melihat pemandangan seronok. Ana selalu menunduk, menunduk dan menunduk….”
“Baguslah begitu,” puji temanku.
“Tapi justru gara-gara menunduk terus itulah, ana jadi sering lihat betis-betis berseliweran.”

Nah loh, baru lihat betis saja sudah banyak hafalan yang lenyap dari memori otaknya. Apatah pula andai yang berseliweran lebih dari itu. Alamak!

@@@



Taifung Literasi di Kalangan BMI Hongkong

$
0
0









Taifung Literasi
Dari Shelter, Victoria, St Mary’s Hingga Tin Hau Art

Ada anak BMI Hongkong bertanya kepada saya sbb;
Sejak kapan kiprah Bunda dimulai dan apa yang menjadi alasan sehingga tertarik dengan dunia kepenulisan di komunitas BMI?

Jawab: Kalau yang dimaksud kiprahku sebagai penulis, ya, sejak remaja, era 75-an. Mulai 2000, sejak bergabung dengan Forum Lingkar Pena, saya sudah terhubung juga dengan anak-anak BMI yang suka menulis, mereka kemudian membentuk cabang FLP HK.

Beberapa penulis dari kalangan BMI seperti; Wanna, Mahardika, Nadia Cahyani, Ilma Maqhia semakin sering terhubung dengan saya via chatting Yahoo Messenger. Sebagian antara lain; karena kebanyakan novel karya saya mengangkat tema-tema perempuan, saya jadi peduli dan merasa ikut

“senasib” dengan BMI, terkait urusan ketakadilan dan kezaliman.
Bagi saya, mengunjungi shelter-shelter dan mendengar curhatan BMI yang sedang bermasalah merupakan momen luar biasa. Kisah-kisah mengenaskan, miris, ketakadilan, kezaliman dan perbudakan modern bahkan pelecehan seksual yang meluncur dari mulut mereka secara langsung, sungguh saat-saat yang takkan pernah terlupakan, dan patut kita bantu untuk menyuarakannya ke dunia.

Bagaimana pandangan Bunda dengan dunia kepenulisan di lingkungan BMI yang rata-rata ‘hanya’ menjadi penulis ototidak?
Jawab: Sesungguhnya sama saja pandanganku terhadap karya penulis lainnya. Toh saya sendiri berangkat dari otodidak, ijazah SMA pun saya tak punya.

Namun, para penulis BMI (di mana pun berada!) bagi saya pribadi selalu mengalirkan suatu aura tersendiri, semacam semangat perjuangan yang tiada mengenal istilah; menyerah. Karya-karya BMI sering membuat saya tercengang, dan tertunduk malu, serta mengucap salut untuk mereka. Maka, ada benarnya jika kita sebut karya BMI adalah sastra perlawanan!
Motivasi apa yang membuat Bunda ‘menengok’ BMI sebagai sasaran penyebaran virus menulis?

Jawab: Motivasinya sama juga dengan jika saya menyebar virus menulis di Tanah Air. Saya ingin menghimbau generasi muda untuk menjadi para perekam jejak sejarahnya,
Ada kelebihannya, jika di Tanah Air saya ke mana-mana menyebar virus menulis lebih sering dengan sponsor penerbit atau organisasi dan kalangan kampus. Sementara setiap kali menengok BMI: Hongkong, Malaysia dan Singapura, sponsornya adalah LSM yang peduli terhadap nasib BMI demi meningkatkan potensi mereka.

BMI Hongkong terkesan menganggap saya adalah ibu mereka, demikian pula sebaliknya. Saya menganggap anak-anak BMI HK tak ubahnya sebagai anak sendiri. Betapa saya ingin setiap keberadaan di tengah BMI HK, maka beberapa masa ke depan akan berlahiran karya-karya hebat mereka.
Kendala apa saja yang selama ini mengganjal dalam menebar virus menulis di komunitas BMI?

Jawab: Transportasi dan dana yang tinggi Jakarta-HK termasuk kendala yang membuat saya tak bisa sering-sering berhadapan langsung dengan BMI. Padahal, betapa saya ingin sesering mungkin mengajak yang belum terkena virus menulis. Membawa serta teman-teman penulis hebat dari Tanah Air yang lebih berkompeten daripada saya, dan dengan ilmu kepenulisan atau jurnalis, penulisan skenario film seperti; Gola Gong, Fahri Asiza, Irwan Kelana dan lainnya.
Mengingat kesibukan Bunda yang begitu padat, bagaimana mengatur waktu antara keluarga, menulis dan masih juga peduli dengan para BMI?

Jawab: Bisa diatur, insya Allah. Selama di Hongkong malah tiap saat saya bisa menulis, karena begitu banyak hal yang memang patut dituangkan ke dalam tulisan’ reportase, opini, cerpen atau novel.

Adakah kejadian yang sangat mengesankan dan tidak terlupa ketika bersama BMI dalam momen kepenulisan?

Jawab: Setahun yang lalu, Juni-Juli 2010, selama sebulan di Hongkong, hampir tiap malam mengunjungi shelter, banyak sekali kisah inspirasi yang patut disuarakan, sehingga lahirlah dua buku yakni; Kepada YTH Presiden RI (karya sendiri) dan Surat Berdarah Untuk Presiden karya BMI HK.

Kedua buku ini langsung diserap pasar dengan baik, dan saya promosi keliling Tanah Air. Salah satu penulisnya yakni Jaladara berkat cerpennya Surat Berdarah Untuk Presiden diundang pada even internasional di Ubud, Bali. Ini luar biasa!
Hal-hal apa saja yang perlu dibenahi oleh teman-teman BMI ketika menulis agar kualitas kepenulisannnya semakin oke?

Jawab: BMI HK agak kedodoran urusan EYD, tapi syukurlah mereka memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar. Buku, jika menerbitkan sendiri memang tidak akan mendapatkan banyak keuntungan secara materi. Ada yang tak sabaran, maunya jadi buku, buku, buku. Padahal, jika kita menyebarkannya lebih dahulu ke media-media nasional melalui email atau online, karya kita akan lebih cepat dikenal dan nama kita pun “matang” dengan sendirinya, melalui proses alami.
Apa harapan Bunda terhadap dunia kepenulisan di komunitas BMI, khususnya di Hongkong ini?

Jawab: Semoga akan terus berlahiran karya-karya hebat dari kalangan BMI Hongkong. Jika sudah pulang ke kampung halaman, teruslah menulis, menulis dan menulis. Jika kalian sendiri yang menuliskannya, merekam jejak sejarahnya masing-masing, niscaya akan lebih terasa “hidup” sebab kalian melakoninya, sehingga ruhnya memang ada.
Apa rencana Bunda ke depan untuk menggugah semangat bagi dunia kepenulisan di komunitas teman-teman BMI?

Jawab: Rencana pribadi akan terus memantau karya BMI HK, insya Allah saya bantu proses penerbitannya atau istilahnya membidani karya mereka, menyambungkannya ke penerbit-penerbit di Tanah Air. Ingin merintis semacam Akademi, di dalamnya ada pelatihan penulisan dan jurnalistik secara periodik. Semoga pihak KJRI mau peduli untuk memfasilitasi hal ini. Masa kita harus menumpang ke institusi milik pemerintah lain, seperti St. Mary’s yang telah banyak melahirkan para sarjana dari kalangan BMI?

Banyak BMI yang sudah menerbitkan buku, baik secara keroyokan ataupun perseorangan. Apa tanggapan Bunda mengenai hal ini? Apakah tolak ukur kesuksesan dan kualitas kepenulisan itu dinilai dengan menerbitkan sebuah buku?

Jawab: Bagus sekali geliat sastra di kalangan BMI Hongkong, saya melihat lebih cepat perkembangannya jika dibandingkan BMI/TKI di negara lainnya.
Bukan tolak ukur jika hanya menerbitkan buku (apalagi modal sendiri, jual sendiri) dan hanya satu atau beberapa, kemudian lenyap. Untuk menjadi seorang penulis sejati menulislah terus karya-karya yang bagus, disebarkan ke khalayak luas, nasional maupun internasional.

Bagaimana penilaian Bunda tentang dunia kepenulisan setelah berkecimpung dekat dengan BMI, mengingat Bunda adalah seorang sastrawan yang sudah banyak makan garam dalam dunia kepenulisan Tanah Air?

Jawab: Seperti bidang seni lainnya, dunia kepenulisan akan terus bergerak dan bergerak, meskipun dihambat oleh berbagai kendala. Sebuah dunia atau profesi yang sangat menantang, sekaligus bisa diharapkan sebagai sumber nafkah dengan catatan; kita konsisten, disiplin kuat jika telah memilih profesi sebagai penulis. (Causeway Bay-Hongkong)






@@@

Novel Pipiet Senja: Jejak Cinta Sevilla

$
0
0






Plot
Pencarian jatidiri seorang dara yang senantiasa memegang teguh keyakinannya dengan hidup istiqomah. Novel ini mengambil latar lintas negara; Jakarta, Malaysia, Singapura, Jepang, Perancis, Jeddah, Tasmania.

Membawa kepedihan karena pilih kasih ayah, Garsini menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga orang tuanya. Perjuangannya dimulai sebagai mahasiswi perguruan tinggi favorit, berpenampilan tomboy, taekwondoin dan selalu berprestasi.

Saat ibunya diopname di rumah sakit, Garsini mengenal koas muda Raihan. Teryata Raihan abangnya Selly, seniornya di Rohis. Garsini bergabung dengan pengajian mahasiswa, mendalami keislaman melakukan bakti sosial di kawasan kumuh pinggir rel kereta Jabotabek.

Demi membantu sahabat kecilnya mengumpulkan uang, Garsini mengamen di kereta, kembali berjumpa Raihan yang bersimpati bantu menemaninya mengamen bareng. Garsini bertekad ingin membuktikan kepada ayahnya, kepada dunia; bahwa meskipun dirinya seorang anak perempuan, terlahir dari perkawinan yang tidak harmonis, ia bisa berprestasi, mewujudkan cita-citanya kuliah di Jepang.

Garsini mendengar pertengkaran hebat antara ibu dengan ayahnya, mendengar pernyataan ayahnya yang meragukan identitas Garsini sebagai anak kandungnya.

Ayahnya memiliki hubungan gelap ternyata dengan seniornya, sesama mahasiswa. Ia ingin sekali membela kehormatan ibunya, tetapi sang ibu menganggap urusannya bukan urusan anak melainkan urusan orang tua.

“Urusan Mama dengan Papa persoalan kami. Anak-anak tidak perlu ikut meramaikan kisuh-misuh di antara kami. Jadilah anak yang hebat, Nak, berangkatlah menuntut ilmu ke negeri orang,” demikian ibunya selalu menyemangatinya, meskipun dalam ketaberdayaan karena sakit dan diselingkuhi.

Mengisi bulan Ramadhan tahun ini, Garsini tinggal di Masjid Istiqlal, semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Maha Pengasih. Ia memutuskan untuk menutup aurat, berhijab dengan bimbingan seniornya, Selly.

Garsini melanjutkan perjuangannya di Negeri Sakura. Raihan diam-diam menyertainya, sama melanjutkan studi. Garsini beradaptasi dengan memasuki berbagai komunitas. Mulai dari organisasi kampus, bergaul dengan kumpulan para cendekiawan muda, kaum lansia veteran perang, hingga gerakan bawah tanah imigran Palestina.

Garsini punya sahabat, gadis Jepang yang rela berkorban menjadi simpanan pejabat demi menyelamatkan kakaknya dari jeratan hukum. Selama tinggal di Jepang, Raihan dan Garsini sukses menyatukan pasangan kasmaran Jay Bachan, mualaf India dengan Mayumi, gadis Jepang ke jenjang pernikahan.

Kisah cintanya dengan dokter Raihan sejak di Tanah Air, ternyata harus putus karena kesalahpahaman. Sementara Raihan menikah dengan Carolina, seorang supermodel yang menjebaknya.
Garsini kembali ke Tanah Air dengan gelar sarjana IT, lulusan terbaik, ternyata sulit sekali beroleh pekerjaan yang sesuai dengan nuraninya.

Gundah-gulana melihat kekacauan dalam perkawinan orang tua, Garsini memutuskan menerima tawaran beasiswa dari pembimbingnya saat kuliah di Jepang.

Menjelang melanjutkan pendidikannya ke Perancis, Garsini mendapatkan kesempatan magang di perusahaan sahabatnya, Haliza. Sepupu Haliza, pemilik perusahaan IT bonafid di Singapore, jatuh cinta kepada Garsini. Namun Garsini telanjur telah menutup hati dari cinta setelah dikhianati kekasihnya.

Bersama sahabatnya Haliza, Garsini menyelamatkan seorang TKW yang mendapat penganiayaan majikannya, ketika mereka berlibur di Johor.
Garsini memutuskan untuk fokus meraih masa depan, mewujudkan mimpinya sebagai perempuan yang berhasil, sambil tetap istiqomah dengan busana Muslimah, hijab, menutup aurat dan hidup sesuai syariat Islam.

Garsini terbang ke Perancis, melanjutkan program Master dengan rekomendasi Profesor del Pierro. Romantika sebagai mahasiswi Muslimah yang istiqomah di Negeri Napoleon, membawanya dalam dakwah bersama gadis Palestina, Ayesha. Rombongan anak imigran Palestina yang didampinginya bersama Ayesha, ditampung oleh keluarga Marie Jane, istri Profesor Charles del Pierro.

Ia mendapat bimbingan langsung dari Profesor Charles yang sangat peduli terhadap dirinya. Sehingga putri Profesor cemburu dan iri, kemudian memfitnahnya telah mencuri perhiasan ibunya.
Delapan tahun sudah berada di perantauan, Garsini berhasil meraih gelar Master IT, dan PhD termuda, menjadi murid kesayangan Profesor Charles del Pierro.

Secara kasat mata Garsini memang sukses sebagai cendekiawan muda. Namun, hatinya mulai terasa gersang, hingga ia bergabung dengan komunitas Muslim Perancis. Kemudian ia diajak ikut rombongan umroh.

Di Jeddah, di sebuah hotel Sevilla, Garsini berjumpa dengan ibunya yang telah lama terpisah. Ia pun bersua kembali dengan dokter Raihan yang membawa istri dan putrinya berumroh.

Carolina, istri Raihan didiagnosa sakit parah dan tidak punya harapan hidup.Ia merestui suaminya menikahi Garsini dengan berbagai syarat yang sesungguhnya sangat melecehkan. Demi cinta kasih yang tak pernah padam terhadap Raihan, terutama karena rasa sayang dan iba kepada Carmilla, anak Carolina dari pacarnya, Garsini menerima persyaratan itu dengan tulus.

Setelah melalui pergulatan batin dan pengorbanan luar biasa, akhirnya Garsini dan Raihan menjadi pasangan suami-istri.

Pesan Moral:
Dengan benteng iman dan kesadaran untuk selalu berbuat baik, bermanfaat untuk orang lain, Garisini bisa menjalani lakon hidupnya yang penuh dengan konflik. Berkat gemblengan dan teladan dari ibunya.

Setinggi-tinggi ilmu dan gelar yang berhasil diraih oleh seorang perempuan, ternyata kebahagiaan sejati terletak di mata anak-anak yang mengasihi dan membutuhkan keberadaannya.

Ketidakharmonisan sebuah perkawinan, tidak selalu harus melahirkan anak-anak broken-heart.

Putra-putri bangsa Indonesia telah membuktikan kepada dunia internasional, mampu bersaing dan tampil berprestasi di bidang ilmu, di tengah persaingan ketat era globalisasi.

Bukan Kematian yang Ditakutkan

$
0
0


Ilustrasi: In-coma pasca splenektomi, 2009


Kembang Kamboja di Rumah Sakit (Cerpen Pipiet Senja)
Di rumah sakit, teramat banyak kejadian yang sangat dramatis. Banyak cerita drama mengesankan, yang tak terlupakan sampai bertahun-tahun, berlatar rumah sakit. Contohnya: novel/film/drama Jepang 1 Litre of Tears (semoga kelak kita sempat membahasnya). Bahkan walaupun kisah seperti itu disampaikan oleh orang biasa, unsur dramatisnya masih terasa kuat. Contohnya, Kisah Nyata: Remaja Terjangkit Penyakit Kelamin. Mungkin, ini karena kita berhadapan dengan kejadian manusia yang paling dramatis, yaitu kematian.

Kalau yang mengalami perawatan di rumah sakit itu seorang sastrawan, maka dapatlah kita berharap menerima sajian elegi yang sangat menyentuh lubuk hati. Contohnya adalah cerpen Pipiet Senja, “Kembang Kamboja Berguguran”.

Cerpen ini berangkat dari pengalaman sendiri, ketika masa-masa remaja dihabiskan di ranjang rumah sakit. Cerpen ini aslinya ditulis oleh Pipiet Senja pada era 1975-an. Namun karena masih melekat di hati dan pikiran, dia merevisi. Hasilnya, ini dia:



Kembang Kamboja Berguguran Bukan Tanda Kematian
Cerpen karya Pipiet Senja
berdasarkan kisah nyata pribadi

Suatu siang di sebuah rumah sakit, Jakarta.
Mamay, remaja 15-an, seketika meletakkan buku yang sedang dibacanya. Didengarnya pasien di sebelahnya menangis. Ia merasa tersentuh, seketika turun dari ranjang, kemudian dihampirinya pasien yang datang seminggu lalu itu.

Beberapa jenak ia pandangi tubuh pasien itu. Sangat kurus hingga tulang-tulang dadanya terlihat jelas, pipinya tirus dan bibirnya bersemu keunguan. Usianya setahun lebih muda dari dirinya. Selama ini ia lebih banyak berdiam diri. Lebih sering bersembunyi di balik perlindungan ibunya. Satu-satunya orang yang setia mendampinginya.
“Kenapa nangis? Ada yang sakit?” Mamay sambil membetulkan jilbab kaosnya yang miring kiri-kanan.

Ia mengintip wajah Maria yang ditutupi sebelah tangannya. Remaja yang berasal dari Ambon itu tak menyahut. Mamay lebih mendekatinya, pelan disentuhnya tangan Maria. Mau tak mau Maria memperlihatkan wajahnya yang penuh air mata.
“Sekarang…, beta seng punya kawan,” lirih remaja berkulit gelap, dan berambut kribo itu terdengar parau.

“Begitu, ya,” Mamay menyentuh pergelangan tangannya.
“Iya! Jauh-jauh beta dibawa ke Jakarta cuma untuk diopname. Tapi tadi Mama beta pamit. Katanya Mama musti pulang dulu ke Ambon. Harus cari tambahan biaya operasi beta…, hiiikkksss!”

Maria menangis lagi, lebih parah dari sebelumnya. Mamay ikut merasakan kesedihannya. Saat datang Maria didorong ke kamar kelas menengah, pindahan dari ruang ICCU. Direncanakan untuk operasi jantung. Konon harus menunggu dokternya yang sedang konferensi di Jerman.

“Jangan nangis terus. Nanti jantungmu tambah sakit, sudah, ya,” bujuk Mamay.
Maria coba menghentikan tangisnya, menyusut air matanya dengan ujung selimut. Lalu ia menatap wajah Mamay lurus-lurus. Pasti dia heran, seperti lainnya, bila menyadari wajah Mamay yang kuning. Bahkan matanya pun bersemu kuning. Maklum, pasien thallassaemia dengan komplikasi lever.

“Kamu sakit apa…, Mamay?” tanyanya mulai tergerak memperhatikan teman sekamar. Sekilas ekor matanya melihat nama yang tertulis di botol susu kacang kedelai yang terletak di atas lemari kecil bagian Mamay.

Anak ini sering membuatnya berdecak kagum. Mamay jarang dikunjungi keluarganya, selain seorang perwira yang saban pagi mengantarkan sesuatu untuknya. Biasanya hanya sebentar, karena ayahnya itu harus segera pergi ke tempat tugasnya di Kodam Jaya.
“Thallassaemia…”
“Apa itu?”
“Kelainan darah bawaan. Aku harus ditransfusi darah saban bulan.”
“Sejak kapan begitu?”

Maria kini bangkit dan duduk menghadapinya, makin tertarik agaknya.
“Kata Umi sih sejak bayi.”
Maria tersentak dan matanya yang basah membelalak lebar.
“Ambooooi! Kalau sejak bayi kamu sudah ditransfusi, berapa banyak darah orang yang pernah kamu hisap? Macam drakula saja…, hihihi!”

Tiba-tiba remaja Ambon itu tertawa lucu. Menuding-nuding wajah Mamay.
“Eeeh, iya…, hihihi!”
Mamay ikut geli mendengar suara nyekikik dari bibir ungu itu.
“Penyakit kok aneh-aneh saja!” dengusnya kemudian, terdengar gemas.
“Iya… Bukan drakula, tapi drakuli!” ralat Mamay.

“Kenapa bisa begitu?” Maria menatapnya ingin tahu.
“Karena aku cewek, bukan cowok!”
“Eeh, iya, iya…, hihihi!”
“Naah, begitu dong. Mendingan juga ketawa, ya? Hihihi….”
“Iya, iya, hihihi….” Untuk beberapa detik keduanya berhihihi.

“Aku juga sama seng punya kawan. Tapi aku mah da nggak mau nangis atuh, aaah… Repot kalo nangis mah da. Coba sajah, sudah kesel, nyesek lagi dadanya, yah? Hiih, mending juga ketawa atuh, riang gembira, having fun sajaaaah, bahasa gaulnya mah. Betul gak, yaah?” ceracau Mamay dengan logat sundanya yang kental.

Mendengar logat yang aneh dan lucu begitu seketika Maria tertawa ngakak. Benar-benar ngakak tergugu. Air matanya sampai keluar lagi. Kali ini bukan tangis melainkan geli dan lucu.
“Kamu ini…, lucu sekali!” tudingnya pula menepuk pelan pipi si Muka Kuning.
“Iyah atuh, aku mah da lucu. Kata orang-orang juga aku ini teh, yah, suka melucu, ngebodor begitu. Mestinya mah aku jadi bodor sajah barangkali, yah? Kayak Sule, biar jadi orang kaya…, hehehe!”

Kembali Maria ngakak hebat. Mamay jadi takut juga. Gimana coba kalo mendadak kumat penyakitnya, pikirnya.
“Sudah kenyang ketawanya?” tanya Mamay waktu Maria berhenti ketawa.
“Eeeh, iya, sudah dulu, sudah!”

Maria menyambar gelasnya, dan meminum air putih itu dengan nikmat. Taapp! Sepasang mata bersitatap. Tangan keduanya sudah saling menggenggam. Duduk di pinggir ranjang. Mata mereka menembus kain gordeng, menyapu pemandangan di luar sana. Suwung, saatnya pasien tidur siang.
@@@

“Lihat itu!” Maria menunjuk keluar jendela kamar.
“Hmmm…” Mamay menyahut enggan, tanpa melepaskan novelnya.

Dari celah-celah kain gordeng mereka bisa melihat nuansa petamanan rumah sakit. Taman bunga, rumput Jepang, tanaman kembang kertas berselang-seling dengan pohon beringin dan bunga kemboja. Lapangan rumput itu sering digunakan untuk olah raga para pegawai dan tentara. Di sebelah ujung sana ada bangsal khusus untuk pasien sakit jiwa dan saraf.
“Apa kita boleh ke sana?” usik Maria pula.
“Kalo kita kuat, kenapa nggak?”

Bosan juga membaca melulu, pikirnya. Mamay turun dari ranjang, lalu membantu Maria untuk mengikuti jejaknya. Beberapa jenak mereka berdiri di samping gorden jendela sambil terdiam. Mata keduanya sama menatap nuansa alam di luar sana.
Duhai, kebebasan dan kesehatan, jerit Mamay mengawang langit.

“Kamu pernah pigi ke sana, Mamay?”
“Eeeh, belum pernah. Nggak ada temen sih. Kalo sendirian keluyuran ke sana mah, aah! Takut, nanti disangka pasien gila bagaimana atuh, apanan jadi berabe?”
Maria seketika menuding ke arah blok 13.
“Psst, lihat! Ada cewek berdiri dekat tiang tuh!”
Mamay mengikuti telunjuk Maria. Benar saja, ada sosok tinggi kerempeng dalam posisi aneh. Kaki kiri diangkat, tangan dua-duanya direntangkan seperti hendak terbang. Sementara kepalanya didongakkan ke langit.

“Kayak burung bangau di tengah sawah saja, ya?” gumam Mamay.
“Kita tengok ke sana, ayo!” Maria mendadak semangat sekali.
“Eee, apa kamu sudah sehat? Memang nggak apa-apa kalo kita ke luar?”
Mamay bimbang. Soalnya, baru kemarin oksigen dan infusan Maria dilepas. Bahkan makanannya pun masih banyak pantangan. Tak boleh makan daging dan tanpa garam. Tapi melihat semangat barunya, duh!

“Ayolah, kenapa nggak?” ujarnya sambil menyambar jilbab kaos di belakang bantal, dan mengenakannya cepat-cepat.
“Nikmatnya kalau kita di luar, hmmm!”
Maria berdecak nikmat begitu mereka sukses menyelinap keluar kamar. Melangkah pelan-pelan, menyusuri koridor menuju blok 13. Saat-saat begini pasien sedang tidur siang, dan para perawat tengah sibuk alih tugas.

Begitu hanya beberapa langkah dari sosok aneh itu, keduanya langsung tersentak kaget. Ternyata sosok itu bukan cewek, tapi, apaan tuh?
“Bencong, ya?!”
Maria berbisik sambil mencekal pergelangan Mamay kuat-kuat. Napasnya agak tersengal. Tapi semangat tualangnya kian menggebu.

“Coba tanya, kerja apa dia di situ?”
Mamay meliriknya sambil ketawa. “Yeee…, kenapa kamu teh jadi main perintah begitu?”
“Ayolah, Kawaaan!” desaknya.
Takut-takut Mamay mengintip kegiatan si Bango. “Iiih, gimana kalo dia ngamuk?”

Maria mencibir. “Ugh, kamu ini bagaimana? Belum dicoba sudah takut!”
Mamay merasa tertantang dan mendekati si Bango.
“Mbak, eeh, Maaas… Punten, aeh, maaf, ini teh lagi apa yah?”
“Ugh, jangan ganggu!” sergahnya galak tanpa merubah posisi jurus bango terbangnya.

Maria tiba-tiba mengikik. Mamay mengikuti arah pandangnya. Dan menghunjam di bagian selangkangan si Bango.
“Astaghfirullah! Apa-apaan itu?” sentaknya kaget sekali.
Buru-buru dia buang muka. Maria malah makin geli.
“Anunya ikut dijemur, ya Maaaas?” goda Maria.

Mamay mulai cemas, ditariknya lengan Maria. “Yeeeh… jangan begitu atuh! Ayolah, cepat kita pergi! Nanti ngamuk! Bagaimana?”
Maria menurut, balik kanan sambil menahan tawanya. Mereka baru beranjak beberapa langkah, saat si

Bango berjingkrak meloncat. Dan menghambur ke arah kedua remaja itu. Dalam sekejap dia sudah berhadapan dengan Maria. Frontal!
Mula-mula dia hanya berkacak pinggang, lalu kedua kakinya dikangkangkan. Wooow, wooow…, syeraaam!
“Ituuuu…, iiiiyyy!” seru Mamay dan Maria ngeri.
“Aduuuh, beta takuuut!” Maria menggelayut di lengan Mamay kuat-kuat.

Si Bango malah eksyen. Sepasang matanya yang merah melotot, ditujukan ke arah Maria. “Tukaaar, ayooo, tukaaar!” tuntut si Bango.
Maria makin takut. Ini betul-betul horooor!
“Tukar apa?” Mamay mencoba mengalihkan perhatian si Bango.
Jadi takut macam-macam. Takut kegilaan orang itu. Takut jantung Maria kumat. Takut disalahkan, aaargh!

“Tolooong! Susteeer, Dokteeer, tolooong!” Mamay berteriak-teriak, melambai ke arah rombongan yang baru masuk dari gerbang belakang. Serentak beberapa orang bergerak ke arah mereka. Sementara si Bango malah semakin panasss!
“Aduuuh…!” Maria menggeloso sambil memegangi tiang koridor.
“Tukaaar, ayoooo!” cecarnya tanpa ampun. Waaah, pasien sakit jiwa itu sudah jongkok di depan
Maria.

Tangannya bahkan mulai eksyen pula. Meraba-raba tubuh Maria. Melihat hal itu Mamay semakin ngeri. Rasanya ingin terbang saja meninggalkan tempat itu. Tapi kan kasihan Maria!
“Bapak Tentaraaaa! Tolooong!” Mamay terus berteriak histeris.
“Maaaaaay! Beta seng mau ditukar sama dorang!” seru Maria.

Tiba juga seorang perawat pria, selang kemudian diikuti tiga orang rekannya. Mereka rame-rame menarik si Bango, menjauhi kedua remaja itu.
“Kalian jahaaat! Jahaaat! Aku mau operasi kelamiiin…!” Si Bango menceracau riuh saat digelandang kembali ke blok 13. Mamay dan Maria pun digelandang balik ke ruang perawatan. Tak urung suasananya menjadi heboh.

“Lain kali kalau mau jalan-jalan, bilang dulu, ya, Nona-nona manis?” kata Suster Ika Nurika. Para perawat segera sibuk menyambungkan selang oksigen kembali ke hidung Maria. Memeriksa jantungnya dengan alat perekam.

Sementara Mamay duduk mencangkung di ranjangnya. Gemetar dan merasa bersalah.
“Sudahlah, Kawan!” kata Maria setelah para suster meninggalkan kamar mereka.

Mamay menengadah dan menatap wajah sobat Ambon nan manise.
“Kamu nggak apa-apa, Maria?” tanyanya masih cemas, buru-buru turun dari ranjang dan menghampirinya.

“Beta seng apa-apa…. Amboi, beta suka main-main macam tadi. Lain kali kita ulang lagi, ya May?”
“Begitu ya, hihi….”
“Iya begitu saja, hihi…” Keduanya pun tertawa geli, mengenang lagi kronologi peristiwa siang itu.

Belakangan mereka mengetahui kisah si Bango. Konon, dia putra bungsu petinggi militer. Sudah lama dia gandrung untuk alih kelamin. Kepingin sempurna menjadi perempuan. Tapi ortunya sangat menentang. Bahkan lebih suka sang anak masuk rumah sakit jiwa daripada dioperasi kelamin.
“Kok ada ortu yang begitu itu, yah?” tanggap Mamay lugu.
“Prestise, prestiselah!” Maria mengomentari kisah yang dituturkan seorang pegawai rumah sakit itu.
@@@

“Panggil aku Meta!” Seorang remaja berperawakan tinggi kerempeng, memperkenalkan diri sebagai pasien baru. “Umurku pasti lebih tua dari kalian….”
“Beta kelas dua SMP,” tukas Maria.
“Kalo aku mah, euh, kelas tiga,” Mamay menyambung.
“Aku kelas dua SMA. Tapi badanku lebih kerempeng dari kalian, ya?”
“Yaap!” sahut Mamay dan Maria.

Maria dan Mamay serentak memperhatikan perawakan dara hitam manis itu. Sungguh kerempeng, seperti kurang gizi saja. Tulang-tulang dada dan bahunya menonjol. Jelas jauh lebih kurus daripada Maria!
“Paru-paruku bermasalah,” akunya polos. Belakangan mereka tahu juga, Meta mengidap kanker paru-paru, stadium lanjut. Meskipun begitu pembawaan Meta yang periang, lincah dan bersemangat membuat hati siapapun hangat.

Sejak ada Meta suasanana menjadi lebih cerah. Meta mahir dalam berbagai permainan. Mulai dari monopoli, domino, gaple, tebak-tebakan sampai catur dan game online dengan laptop mininya. Bertiga sering asyik main sampai larut malam.Terutama kalau tak ada yang datang membesuk. Atau saat-saat liburan, manakala para perawat longgar mengawasi.

Kebersamaan mereka telah lebih sebulan. Persahabatan yang kental, lahir dari perasaan senasib dalam kesakitan dan dukacita. Sering saling berbagi dalam rasa sakit, kecewa bahkan putus asa. Seperti yang terjadi malam itu.
“Tahu nggak! Aku ini sebentar lagi akan menghadap Ilahi Rob!” cetus Meta tiba-tiba di tengah keasyikan main monopoli.

“Berita basi tuh! Kita juga calon mayat da atuh! Ya kan, Maria?” tukas Mamay sarkastik. Ia mengerling Maria yang kian hari tampak makin kurus. Bibirnya pun makin membiru-ungu. Maria tengadah dan mengangguk jujur.

“Begitulah. Kami pun sudah dinyatakan tak punya harapan hidup lagi,” sahut Maria kalem. Meta memandangi wajah mereka bergantian seakan tak percaya.
“Kayaknya pergi lebih baik. Tinimbang banyak nyusahin orang tua dan adik-adik, ya kan?” Mamay seketika terdengar serius, sekaligus pasrah.

Ia berjuang keras untuk menerima kenyataan hidupnya. Melihat derita Umi dan adik-adiknya yang enam orang. Ayah yang harus berbagi perhatian antara tugas negara dengan mencari darah, mengantar makanan, menebus obat putri sulungnya.
Duhai, kesakitan! Apalagi yang harus dilakukannya selain pasrah?

“Iya, beta pun pilih jalan itu. Kasihan Mama kalau harus lebih lama lagi ikut susah,” dukung Maria.
Meta terdiam dan menekurkan wajahnya dalam-dalam. Hotel-hotel dan properti yang telah diperolehnya dalam permainan monopoli, seperti biasa selalu paling banyak. Ini hanya sebuah permainan!

“Kalian ini…, pecundaaang!” sergah Meta tiba-tiba lantang.
Maria seperti biasa lekas sekali kaget. Kali ini hanya sebentar. Kelihatannya dia mulai terbiasa dengan kelakuan Meta yang kadang mengejutkan.
“Kebiasaan amat sih? Kasihan kan Maria!” protes Mamay, memelototi Meta.
“Kalian memang dua pecundang menyedihkan! Menyebalkan! Mengerikaaan!” cerocos Meta tanpa ampun. Digebraknya papan monopoli. Permainan seru pun berantakan sudah!

Meta loncat dari ranjang Maria yang selalu dimanfaatkan untuk bermain bertiga.
“Hei, heei…, mau ke mana?” seru Mamay.
“Auk, ah, elaaap!” sahut Meta terdengar penuh amarah.

Mamay pun loncat dan mengejarnya ke luar kamar. Diikuti oleh Maria yang tak sudi ditinggalkan sendirian. Masih ramai, ini malam Minggu banyak orang menunggu. Tapi Meta memilih tempat di bawah jendela kamar mereka. Senyap, tak ada orang lalu-lalang. Beberapa saat tak ada yang berbicara. Bertiga duduk di teras, memandangi cakrawala yang memamerkan langit biru bening. Sepotong musim kering yang panjang baru saja berlalu.

Bangunan blok 13 tampak samar-samar dilingkupi cahaya rembulan empat belas. Lamat-lamat terdengar jeritan penghuninya. Melolong-lolong dan saling menyahut. Demikian yang selalu diperdengarkan dari arah blok khusus itu.
“Mending kayak mereka, ya? Gak perlu mikir,” cetus Meta tiba-tiba membuyarkan senyap di antara mereka. Tak ada yang menyahut.
“Kalian ini memang betul-betul….”
“Jangan lanjutkan, Meta, tolong…,” Mamay memelas.

“Kalau bukan pecundang, apa coba?”
“Damai, damailah kita sama takdir, yeah?” Maria menukas.
“Iya, kita ini orang beragama. Pasrah sajalah! Memangnya mau apalagi?”
“Sudahlah, ayo balik!” Maria menggamit tangan Mamay. Keduanya seketika balik kanan, meninggalkan Meta yang terperangah.
@@@


Hari-hari berikutnya dilalui mereka dalam kemuraman yang kian mengental. Maria semakin sering kumat, sehingga bolak-balik diangkut ke ruangan ICCU. Mamanya belum kembali dari Ambon. Kaum familinya tak seorang pun yang muncul.
Meta mulai menjalani kemoterapi dengan berbagai ekses mengenaskan yang diperlihatkannya. Kadang
ia mau ditemani neneknya, satu-satunya orang yang masih memedulikan dirinya. Namun, ia lebih sering minta dibiarkan menanggung deritanya sendirian. Sang nenek terpaksa meninggalkannya sambil bercucuran air mata.

Sementara Mamay masih bolak-balik menjalani berbagai pemeriksaan. Mulai dari yang ringan seperti diambil darah, hingga yang menyakitkan diambil cairan sumsum tulang. Ia sering merasa dirinya sebagai riset dan percobaan para dokter.

Kamar mereka terasa muram dan sendu. Tak ada lagi tawa canda, main tebak-tebakan atau suara cekikikan. Terbang terbawa angin kesakitan yang tiada ujung, tak tahu kapan berakhir. Dan bayang-bayang kematian itu serasa kian mendekat. Siap menyergap!

Petang itu, manakala tak ada yang membesuk. Meta mengajak Mamay ke ICCU. Kali ini mendapat restu dari Suster Ika Nurika. Bahkan diantar sampai tujuan, dibiarkan untuk menyelesaikan uneg-uneg. Demikian istilah Mamay sebagai dalih saat minta izin.

Berdiri di belakang jendela kaca, lama keduanya hanya tertegun-tegun. Dua pasang mata mengarah lurus-lurus ke atas ranjang Maria. Letaknya tepat di samping jendela kaca. Maria sungguh tak berdaya. Alat-alat penyambung kehidupan bak mengeroyok tubuhnya yang ringkih dan seperti menciut.

“Apa kita boleh masuk?” bisik Mamay, merasakan dadanya sesak. Air bening mulai merembes dari sudut-sudut matanya.
“Kenapa nggak, ayooo!” sentak Meta seperti biasa gampang terkompori. Mamay merasakan tangannya dihela kuat.

Blaaasss…, tahu-tahu mereka sudah masuk ke dalam ruangan full AC itu!
“Hei, mau apa kalian?” seorang suster tersentak menjegal langkah mereka.
“Mau nengok sobat kami, boleh kan?” sergah Meta cuek.
“Tapi kalian…, pasien kan?”
“Sudahlah, biarkan mereka, Dik Titin!” Ups, Suster Ika Nurika sudah balik dari laboratorium agaknya.

“Ooh, pasien Ceu Ika?” Suster Titin melembut. “Tapi ganti baju dulu, ya!”
Kedua remaja itu menurut, mengenakan baju khusus warna hijau pupus. “Pssst, ayo ngomong, May.” Meta berbisik saat mereka sudah berada di samping ranjang Maria.
“Iya, iiih! Tapi ngomong apa atuh?” Mamay menyentuh tangan Maria. Dingin. Air bening mulai merembes di pipi-pipinya yang pucat.

“Trus, ngomong teruus…,” bisik Meta lagi, sama mulai menderaikan air mata pilunya.
“Apa kamu bisa dengar kami, Maria?” sapa Mamay. Tak ada reaksi. Hanya alunan napas satu-satu, begitu lembut dan semayup.

“Dengarkan saja omongan kami, ya?” tukas Meta sekuat daya menahan air matanya. Ia mengambil jari-jemari Maria dan menggenggamnya erat-erat. Seolah ia ingin mengalirkan hawa kehidupan, kehangatan dan uluran persahabatan yang telah mereka pupuk dalam dua bulan terakhir. Mamay mengikuti jejaknya.

Maka, dalam sekejap jari-jemari ketiganya telah lekat menyatu.
“Begini, Maria sayang,” Meta mengawali curhatnya. “Aku sudah dikemo sekali. Kamu nggak sempat lihat aku muntah-muntah, maboook! Kasihan Mamay, ikut mual dan ikut muntah…. Mmm, giliran kamu, May!”

“Dokter sarankan, limpaku harus diangkat secepatnya,” sambung Mamay. “Sudah gede banget sih. Katanya S 4, hihihi…. Kayak gelar sarjana saja, yah?”
“Pssst, Maria, dengarkan baik-baik, ya!” sambar Meta lagi. “Kamu harus kuat! Biar bisa keluar lagi dari ruangan ini. Bener nih, sehat lagi, ya? Nanti kuberikan kotak musik Balerina itu buatmu. Sueeer!”

Sementara air mata kedua dara itu terus-menerus berbuncah ruah.
“Aku yakin dan percaya dengan semangatmu, Maria! Kan kamu harus ketemu Mamamu…. Kalo kamu keluar dari ruangan ini, aku akan berikan semua koleksi buku harian dan novel Islami milikku itu. Asliii!”

“Yeee…, tapi dia kan noni!” Meta mengingatkan, mengusap air matanya yang meleleh hebat di pipinya, sebagian membasahi tangan sahabat tercinta. “Jangan maksa deh, ah!”
“Eh, iyah, yah…. Tapi, selama ini Maria senang kok baca novel Islami?”
“Itu kan lantaran gak ada bacaan lagi!”
“Gak lah, wong dia juga punya majalah kok….”
“Iya, tapi itu majalah lama, taaa-huuu!”

“Pokoknya….” Meta mulai main pelotot. Mamay juga tak mau kalah. Balas melotot, meski air bening masih jua mengalir deras dari sudut mata keduanya.
“Ka-li-aaan…, ba-ku han-tam lagi?” Sekonyong ada gumam meruyak. Meta dan Mamay seketika terdiam, tangis pun mendadak berhenti. Serentak keduanya mengalihkan pandang ke wajah Maria. Sepasang mata sembab itu terbuka. Bibirnya yang keunguan menyungging senyum tipis.

“Mariaaaa…!” seru keduanya tertahan.
Betapa ingin Mamay dan Meta memeluknya kuat-kuat. Tapi kabel-kabel yang mengeroyok di atas tubuh kecil itu, membuat keduanya mengurungkan niat. Mereka hanya bisa lebih mendekat, lebih erat menggenggam telapak tangannya.

Masih kelewat dingin, kesah Mamay dalam hati.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Mamay, kembali menitikkan air mata.
“Nanti, kalau beta pergi lebih dulu….”
“Pssst, jangan bilang begitu!” tukas Meta, sama menitikkan air mata.
“Tapi beta harus bilang….” Maria berjuang keras untuk mengucapkan kata demi katanya. Air mata kian buncah di pipi Meta dan Mamay. “Kalau beta pergi sambil senyum, tolong bilang Mama, ya…. Beta sudah bahagia dan damai di sana….”

Di bawah kesaksian dua sahabatnya, sesungging senyum memang kemudian meleret di bibir bersemu ungu itu. Selamat jalan, Saudariku sayang!
Pagi itu, hari Minggu yang kelabu. Hujan bulan Desember senantiasa mengguyur sepanjang malam.

Kini tinggal gerimis yang masih renyai. Berdiri di koridor seberang kamar jenazah, Mamay dan Meta bungkam seribu bahasa. Mereka tahu diri, tak mungkin lebih mendekat lagi. Suster Ika Nurika menggenggam telapak tangan keduanya erat-erat.

Rombongan jemaah gereja telah mengangkut kereta jenazah Maria. Mama Maria lungkrah dan nyaris pingsan, digandeng oleh dua orang ibu. Tak tampak sosok ayah yang pernah diperlihatkan Maria melalui potretnya. Maria pernah curhat, tentang ayah yang tak bisa menerima kenyataan putri semata wayangnya penyakitan. Ujung-ujungnya lelaki itu merasa tak tahan, pergi meninggalkan keluarganya. Entahlah!

Ambulans mulai bergerak meninggalkan kawasan rumah sakit. Suara sirine menggaung dan terdengar amat memilukan. Seolah-olah mengingatkan bahwa suatu saat prosesi seperti ini akan menimpa siapa pun, tanpa ampun!
“Sudah, ya? Kita balik, yuuuk?” Suara lembut Suster Ika Nurika memecahkan hening yang mengapung. Tak ada yang berkata-kata selain anggukan lemah. Mamay mencoba mencari sesuatu di cakrawala di atas kepalanya. Sesuatu yang bisa melegakan rongga dadanya.
Tidak, tak ada sesuatu apapun kecuali; pasrah lilahitaala!

@@@ —— (Depok, revisi 2011)

Mari Menulis Cerita Anak

$
0
0







Sinopsis Cerita


Kisah Jihad El-Fauzi, menceritakan tentang perjuangan seorang anak yatim-piatu di masa revolusi fisik. Umur Fauzi 8 tahun. Emak-Abah dan kakak perempuannya telah gugur oleh kekejian NICA. Saat peristiwa tragis menimpa keluarganya terjadi, Fauzi sedang berada di luar kota. Dengan semangat jihadnya, Fauzi bertekad untuk menuntut balas. Ia pun kembali ke kota dan bergabung dengan para mujahid Hizbullah.

Di pesantren Al-Fallah, markas pasukan Hizbullah, Fauzi digembleng oleh para seniornya. Baik jiwa dan raga, maupun lahir dan batinnya. Meskipun dalam situasi perang, tapi Fauzi masih menemukan keriangan bocahnya.

Para senior itu; Hasan, Ahmad dan Tibana, lalu membentuk kelompok mujahid cilik. Yang di kemudian hari dikenal sebagai kwartet Jang Jahid. Mereka terdiri dari; Fauzi, Cecep, Ucok dan Damang. Mereka bahu-membahu dalam membantu para pejuang, gerilyawan kita. Acapkali Fauzi bersama tiga rekannya menyelundup ke kawasan musuh.

Mereka terlatih sebagai mata-mata cilik yang sigap, cekatan, berani dan mandiri.
Mereka tak pernah lupa akan iman Islam dan kewajiban sebagai Muslimin.
Inilah kisah jihad empat mujahid cilik dari pesantren Al-Fallah.
Sekali lagi, mereka adalah kwartet Jang Jahid.
Yel-yel mereka; Allaaaahu Akbaaar!
Atas Nama Allah, Merdekaaa!
***



Para Tokoh di Sekitar Kwartet Jang Jahid


Fauzi; bocah laki-laki berumur delapan tahun. Sepintas seperti serius dan pendiam. Tapi kalau sudah kumat penyakit riang dan ngocolnya, jangan dibilang lagi deh. Pokoknya, asal ada anak ini suasana tegang bakal mendadak heboh, malah sering dramatis. Hehe, kayak cerita sinetron Indonesia aja nich. Fauzi dianggap para seniornya paling cerdik dan punya ilmu lari kancil. Punya segudang ide dan gagasan buat ngebabat leher musuh, ooiii… syeraaam!
Berkat keberaniannya, dia dipercayai menjadi komandan Kwartet Jang Jahid. Tubuhnya pendek kekar, tapi gerak-geriknya amat cekatan Makanya, dia digelari Jenderal Kancil. Cita-citanya memang menjadi seorang Jenderal… kancil ‘kali ya?

Cecep; paling sepuh di antara ketiga sohibnya (12 tahun). Cuma kelakuannya kadang lebih mbocah dibanding anggota Kwartet Jang Jahid lainnya. Kepalanya selalu dibiarkan gundul. Soalnya ia pernah bersumpah; gak bakalan pelihara rambut sebelum Tanah Air Merdeka, cieee… Gayanya tuh!
Perawakannya bongsor alias tinggi gede. Paling doyan ubi rebus dan hobinya ngetepel kepala NICA dengan sisa ubi rebusnya, atau telor busuk. Pernah lho, dalam sehari dia sukses nimpukin selusin kepala NICA… gak ketahuan lagi! Konon, cita-citanya kalau Indonesia sudah merdeka, mo jadi Al-Ustaz.

Ucok; (9 tahun) satu-satunya anak Batak yang nyasar di tanah Pasundan kala itu. Gabung dengan Kwartet Jang Jahid dengan alasan sepele, kepingin puas melototin ikan-ikan gurame di empang milik Ajengan Satibi. Ditambah biar kenyang ngelalap macam-macam daun di kebon belakang pesantren Al-Fallah. Tapi urusan mata-matain musuh, dia paling-paling deh semangat mbataknya…
Sering ngelamun, kalo Indonesia sudah merdeka, dia mo naik kapal laut nengok tanah leluhurnya di Mandailing. Kalo ditanya di mana tuh Mandailing, dia sendiri kagak nyaho!

Damang; (8 tahun) ini anak asli ortunya dari Irian. Rambutnya keriting bonyok alias kribo. Karena pas bayi sering sakit-sakitan, ada tetangga yang beri saran sama ortunya. Supaya nama aslinya yang Suebu… apa gitu, diganti aja jadi Damang. Ini bahasa Sunda, artinya sehat sejahtera. Sejak diganti namanya, anak ini gak pernah sakit lagi. Takut diganti lagi namanya ‘kali, ya? Bakal ngerepotin ortunya lagi, bikin bubur merah bubur putih lagi. Cita-citanya kepingin jadi Gubernur Irian, katanya, hehe…

Kang Hasan; (17 tahun) keponakan Ajengan Satibi yang paling heboh. Dia mahir mengpo, alias pencak silat tradisional Sunda. Pas banget dengan perawakannya yang jangkung tegap. Dia menguasai segala macam jurus silat, mulai dari Cimande, Cisangkuy, Cimindi, Cibabat, Cimahi… emang ada jurus silat begitu, ya?
Dia digelari Si Belut Putih, karena sering banget sukses mengecoh musuh. Amanat Ajengan yang sangat dihormatinya, agar menggembleng habis empat bocah ajaib itu, dilaksanakan Hasan dengan sungguh-sungguh. Hasan menerapkan disiplin yang ketat, tanpa ampun kepada keempat bocah gemblengannya. Kharismanya berhasil mempengaruhi bocah-bocah itu. Mereka menyayangi sekaligus… nggemesinnya!

Aa Ahmad; (l6 tahun) santri paling pendiam di antara puluhan santri yang menghuni pesantren Al-Fallah. Tapi sekalinya pidato, wuaaah deh, memukau para pendengar dengan semangat jihadnya. Wajahnya mirip Bung Hatta, tapi dia gak suka urusan koperasi. Lebih suka nyowel sambel terasi bikinan Amih Ikah aja, katanya, syadaaap! Dia kebagian menggembleng empat bocah itu untuk urusan taktik dan strategi penyerangan. Fauzi sangat mengagumi ide-idenya yang dianggap cemerlang.
Aa Tibana; (15 tahun) adik bontot Amih Ikah. Suka digelari Al-Daud, karena suaranya yang sangat merdu. Pasih tilawahnya, banyak bacaan Al-Qurannya. Kalau dia sudah berdiri di podium, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, konon bahkan angin pun berhenti berdesir… Aa Tibana kutu buku, gak heran wawasan dan ilmu pengetahuannya suangaat luaaas. Anak-anak pasti terpukau kalau sudah nanggap dia ngedongeng.

Imas; (7 tahun) putri semata wayang Ajengan Satibi. Rambutnya panjang bergelombang. Wajahnya bak bulan purnama dan imut-imut, perilakunya yang lemah lembut… sungguh memikat siapapun yang melihatnya. Termasuk anak-anak Kwartet Jang Jahid. Kadang suka berebut cari perhatian Neng Imas. Hobinya bersenandung-ria, eeh, kalo sekarang mah bernasyid ‘kali ya? Cita-citanya, mau jadi dokter, katanya.

***

Tip Mengatasi Kebuntuan Ala Pipiet Senja

$
0
0






Berikut ini adalah wawancara saya dengan seorang sahabat wartawati.


Cara Pipiet Senja atasi kebuntuan menulis
Rabu, 3 April 2013 12:38 WIB | 6.960 Views
Oleh Natisha Andarningtyas
Cara Pipiet Senja atasi kebuntuan menulis
Novelis Pipiet Senja. (www.pipietsenja.net)
Jakarta (ANTARA News) - Penulis Pipiet Senja berbagi pengalamannya dalam mengatasi kebuntuan menulis atau writer's block.

Pipiet, yang telah menulis 124 novel, memilih menonton film-film lama yang baginya lebih menginspirasi saat mengalami kebuntuntuan.

Ia juga suka mengamati perilaku orang-orang di sekitarnya untuk mencari ilham.

"Saya ke pasar tradisional. Saya melihat langsung karakter...," kata Pipiet saat ditemui di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) Jakarta, Selasa (2/4).

"Pasar itu merupakan potret warga di suatu tempat," tambahnya.

Bila tidak ke pasar tradisional, ia mengamati perilaku orang di mal. "Mulai dari orang yang konyol, kocak, yang ada di mal, sampai yang di pinggir kali," ceritanya.

Inspirasi menulis, katanya, tidak harus datang hal-hal yang luar biasa namun lebih banyak datang dari kehidupan sehari-hari.

"Mungkin untuk orang lain itu tidak perlu dipedulikan, tapi buat penulis, itu materi yang luar biasa," katanya.

Ia memberi saran kepada penulis pemula untuk banyak membaca dan mengamati. "Kalau lagi jalan, jangan sekedar jalan, tapi amati. Lihat dengan cermat. Kepedulian kita ditinggikan," sarannya.

Menurut Pipiet Senja, yang sudah hampir 40 tahun berkarya, perkembangan teknologi saat ini membuat kegiatan menulis lebih mudah.

Penulis yang baru saja meluncurkan "Cinta Dalam Sujudku" bulan lalu itu mengaku mendapat kemudahan menulis dari komputer jinjing dan tablet.

Kedua perangkat itu membuat dia tetap produktif menulis meski sakit. Ia bisa tetap menulis saat menjalani perawatan talasemia di rumah sakit. "Kebanyakan karya saya lahir di rumah sakit," tuturnya.

Penulis kelahiran 16 Mei 1956 juga mengaku sangat mementingkan judul dalam menulis. Judul menjadi semacam patokan bagi dia ketika menulis cerita karena merupakan gambaran dari cerita yang akan ditulis.

"Bagi saya judul itu jiwa," demikian Pipiet Senja.



Share: Usut Kematian Eka Suryani BMI Hongkong

$
0
0





Usut Kematian Eka Suryani BMI Hongkong
Lindungi Tenaga Kerja Indonesia di Mancanegara

Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) – aliansi organisasi -organisasi BMI, mantan dan keluarganya yang berada di Indonesia, Hong Kong, Macau, Taiwan – menuntut Pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas kematian Eka Suryani, Buruh Migran yang meninggal secara misterius di Cina.

Menurut pemberitaan, Eka Suryani, 23 tahun, ditemukan meninggal di kamar mandi rumah majikan di Cina tanggal 22 Januari kemarin. Namun penyebab kematiannya belum diketahui.

Ibu satu anak asal Donomulyo Malang ini baru pertama kali keluar negeri. Dia diberangkatkan PT Surabaya Yudha Cipta Perdana di Malang dan AIE Employment Agency di Hong Kong.

Selama bekerja, Eka sering mengeluhkan perlakuan tidak baik majikan perempuan. Dia diberi makan dua kali sehari, jam kerja panjang tanpa istirahat, disuruh membersihkan rumah saudara majikan dan juga diharuskan bekerja sebelum dan sepulang dari libur. Sekitar 3-4 bulan bekerja, majikannya yang temperamental mulai sering memukulinya dengan tangan atau barang lain yang ada.

Eka juga pernah diusir dan mendatangi agen minta pertolongan. Tapi karena potongan Agen 6 bulan belum lunas, Eka diharuskan kembali ke rumah majikan lagi.

Desember 2015, majikan membawa Eka ke Cina untuk dipekerjakan disana menyongsong lebaran Cina. Meskipun berdasarkan hukum Hong Kong, tindakan ini termasuk ilegal.

Selama di Cina, Eka dituduh mencuri uang dan uang yang dibawanya dari Hong Kong juga dirampas. Eka juga sering dipukuli.

Dari obrolan terakhir dengan suaminya, 22 Januari pukul 11.26 malam kemarin, Eka memberitahu akan balik ke Hong Kong tanggal 24 Januari dan ingin segera memutuskan kontrak. Eka tidak ingin bekerja lagi di Hong Kong karena trauma.

Ketika berbincang itu, Eka pamit sebentar pada suaminya. Namun setelah ditunggu lama Eka tidak menghubungi lagi dan juga tidak bisa dihubungi. Bahkan Eka juga berkomunikasi melalui Whatsapp dengan sahabatnya di Hong Kong dan menceritakan kondisi penganiayaan yang sering dilakukan oleh Majikan perempuanya setelah 2 bulan bekerja di rumah Majikan itu.

Keluarga mendengar kabar kematian Eka tanggal 25 Januari melalui teman satu PPTKIS dan kunjungan PPTKIS.

Menurut keluarga dan sahabat, Eka sehat dan tidak punya penyakit serius yang bisa menyebabkan kematian. Mereka yakin kematian Eka tidak wajar.

JBMI percaya selama bekerja hingga menemui ajal, Eka telah jadi korban Pelanggaran dan pembunuhan. Kematian Eka harus diinvestigasi dan jika dari hasil autopsi ditemukan bukti-bukti kekerasan maka Pemerintah harus melakukan tindakan agar kasus ini dimejahijaukan.

JBMI juga mengecam sikap PT. Surabaya Yudha Cipta Perdana yang menekan keluarganya agar tidak mengautopsi jenazah Eka dengan menakut-nakuti biaya mahal.

Kematian Eka adalah imbas dari kekejaman majikan, agen dan PPTKIS yang hanya mau uang dan tidak perduli kesejahteraan, dan pemerintah yang menelantarkan BMI diluar negeri.

Sebagai bentuk solidaritas dan pendampingan, JBMI telah menggelar doa bersama di Hong Kong bersama saudara dan sahabat Eka, mengunjungi dan mendampingi keluarga, dan memberi sumbangan.

JBMI bersama Mission for Migrant Workers juga akan mendampingi penuntutan kompensasi asuransi di Hong Kong bagi keluarga yang ditinggalkan.

JBMI mengecam sikap AIE Employment Agency yang mengembalikan Eka ke rumah majikan meski sudah tahu perlakuan buruk majikan. Seperti halnya Erwiana Sulistianingsih, Eka diharuskan kembali pada majikan jahat demi melunasi 6 bulan potongan gaji. Baik Eka maupun Erwiana tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti tuntutan agen karena secara undang-undang, semua BMI diikat pada PPTKIS dan Agen yang memberangkatkan.

KJRI di Hong Kong sebagai perwakilan pemerintah Indonesia harus menyakinkan adanya autopsi jenazah untuk mendapatkan kepastian penyebab kematian Eka.

Keadilan bagi Eka dan seluruh Buruh Migran Indonesia.

Referensi:
Hong Kong
Sringatin (+852 6992 0878)
Indonesia
Marjenab (+62 813 82350491)

Lomba Resensi Dari Negeri Dua Benua - Nabila Hayatina, dkk

$
0
0


Teman-teman!
Lomba Resensi buku Dari Negeri Dua Benua ini boleh diikuti oleh siapapun.
Syaratnya tidak susah, kirimkan resensi sahabat ke email; pipiet.senjaa@gmail.com
Maksimal dua halaman, berikut kover buku.
Ditunggu sampai 9 April 2016.

Hadiahnya selain buku terbitan Pipiet Senja Publishing House, ada tips dari Nabila Hayatina, dkk, bagaimana mendapatkan beasiswa kuliah di Turki.
Ayo, bktikan bahwa kamu bisa menulis resensi!
Saam Literasi!

Catatan; untuk yang berminat membeli buku Dari Negeri Dua Benua bisa dipesan langsung ke Pipiet Senja Publishing House via SMS/WA; 085669185619.
Buruan, sebelum kehabisan!

Pengantar Penyunting

Bermula Dari Cinta Literasi
Satu hari, Juli 2012, saya dan rombongan Bilik Sastra VOI RRI sedang berada di Mesir, seminar Literasi dan Jurnalistik di kalangan mahasiswa Al Azhar, Kairo. Di tengah rawan perang, Presiden Mursyi digulingkan dan demo pendukungnya yang semakin panas itulah, kami; saya, Irwan Kelana, Sastri Bakry, Zulhaqqi Haviz, M. Anhar, Eddy Sukmana dan Nizmah Azhari terus mengisi seminar dan kelas menulis, jurnalistik serta broadcasting.

Seperti biasa, saya pun menulis dan memposting setiap hasil seminar dan kelas menulis yang baru berlangsung. Postingan di website http://www.pipietsenja.net itu biasanya pula saya sambungkan ke akun FB dan Twitter. Salah satu pengikut (jiiiah!) di twitterland, menyambut melalui pesan, kami pun diskusi tentang literasi.

Evi Marlina, Sakura Romawi Timur nama penanya, ingin sekali masuk anggota FLP, tetapi di Turki belum ada komunitas kepenulisan tersebut. Saya menyarankan, bentuk saja FLP Wilayah Turki, kebetulan saya salah satu Dewan Penasehat FLP. Untuk mewujudkannya, maka kami pun berinteraksi melalui WA, What’s App.

Sejak saat itu ada ikon 9 Warrior’s FLP Turki di ponsel saya.
Selanjutnya tugas saya hanyalah meneror, menyemangati para mahasiswa kita yang sedang kuliah di Negeri Dua Benua ini, supaya menulis; melahirkan karya yang mencerahkan. Kebetulan saya menjadi pengasuh program Bilik Sastra Voice Of Indonesia RRI Siaran Luar Negeri.

Alhasil, setiap saat saya bisa menuntut mereka agar mengirimkan cerpen untuk dibacakan dan dibincang pada Bilik Sastra. Sebagaimana saya lakukan juga untuk anak-anak bangsa yang sedang berjuang di Taiwan, Hong Kong, Macau, Mesir, Yaman, Qatar, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Sabah, Australia, Belanda, Inggris, Norwegia, Rusia, USA, Kanada dan Honolulu.

Berkat kebaikan hati dan kepedulian sahabat kita yang berkenan sponsori, yakni; Budi Sulistianto, maka terbitlah kumpulan karya dari Turki ini. Setelah diskusi, akhirnya didapatkan judul Dari Negeri Dua Benua. Semoga keberadaannya menjadi pemicu semangat anak-anak bangsa di mana pun bermukim untuk terus berkarya, berbakti dan berarti.

Buku ini tentu masihlah belum sempurna, tetapi kita tetap harus mengacungi jempol, dan mengapresiasi karya kader-kader pemimpin masa depan.
Bravo, FLP Turki!
Salam Literasi
Pipiet Senja

@@@



Daftar IsI
i.Prolog Penyunting – Pipiet Senja
ii.Sekilas Pandang Forum Lingkar Pena Turki: Semesta Menulis
1. Istasyonu (Nabila Hayatina)
2. Rantau Autumn (Sakura Romawi Timur)
3. Mungkin Seperti Lainnya (Andi Fikri Al-Fatih)
4. Cerita Dari Dursunova (Dhika Suci)
5. Sepotong Kisah Aira (Fatimah Az-Zahra)
6. Equınox Serangkai Musım (Lale Fatma Yuningsih)
7. Simfoni Hati (Rahmat Beyazi)
8. Kedai Kopi di Sudut Jalan (Rudy Salam)
9. Darı Negerı Mevlana (Vivi Violina)
10. Inspirasi Membaca (Wardatul Ula)
11. Sampai Jumpa Kapadokya (Witsqa Fadhilah Adnan)
12. Bila Tiba Waktu (Al Akhi Abdul Azis)
13. Rindu Segelas Kopi Susu (Hamda Alief)
14. Sang Gazi (Agung Nurwijoyo)
15. Mengejar Aroma Melati (Firdaus Guritno, Titut, Citra, Lala, Farid, Nana, A4)

Biodata Penulis











Bintang Pun Tersenyum

$
0
0


Istiqomahlah Senantiasa, Anakku


Anno, Pebruari 1990
Betapa bahagia hatiku ketika di-USG, dokter memberi tahu bahwa janinku adalah bayi perempuan. Bagaikan anak TK yang dapat selusin balon indah, aku berkeliling menyalami ibu-ibu di ruang tunggu klinik kandungan siang yang terik itu.

“Kata dokter barusan, yah, ibu-ibu… Bayiku ini perempuan, aduuuh, meuni seneeeeng sayah teh, seneeeeng,” demikian ceracauanku, niscaya membuat ibu-ibu hamil itu bete, bisa jadi mereka menyebutku; norak banget sih!

Aku tak menghiraukan wajah-wajah yang menatapku dengan sorot mata aneh. Sejak saat itu aku sungguh menjaga kondisi badanku agar selalu fit. Takaran darahku harus di atas 10 % gram. Maka, tiap pekan aku dengan senang hati menjalani kewajiban ditransfusi.

Ya, saat ini aku telah berdamai dengan penyakit abadiku. Mau bagaimana lagi? Toh meskipun berontak, selalu menangis, meratap dan mendaulat-Nya, tetap saja aku punya bakat kelainan darah, seperti drakula.
Yo wis, mendingan berdamai dan bertahan sajalah!

“Sekarang Ekal boleh dong dipanggil Abang, ya Ma?” sambut putraku, ketika aku pulang sore hari.
“Iya Nak, eh, Abang… Mau Abang Jampang apa Abang Becak nih?” candaku sambil mengusap keringatnya yang berleleran di dahinya.

Pulang sekolah ia selalu berjalan kaki, karena uang sakunya suka ditabung untuk beli buku di akhir pekan. Saat itu ia sudah suka mengisi buku hariannya. Belum lama tulisannya dimuat di majalah Bobo, kalau tak salah rubrik Taman Kecil.

“Iiih… Abang, ya Abang aja!” dia merengut, tapi sebentar kemudian tertawa riang saat kusodori oleh-oleh bakeri kesukaannya.

Tiba-tiba ibu mertua muncul dari kamarnya. Sebelumnya, pertama-tama yang kulakukan begitu masuk rumah, segera menyediakan penganan bawaanku di atas meja ruang tamu, tempatnya suka berkeluh-kesah, atau mengajak tetangga untuk ngerumpi-ria. Intinya sih, membicarakan menantu perempuannya ini yang sering dikata-katainya; “Orang Sunda itu… sundaaal!” Entah paham atau tidak dia dengan istilah sundal itu.

Dia langsung melontarkan protesnya, merepet tak tahan, seperti biasanya. Sehingga kupingku sudah kebal, hatiku pun kebas dibuatnya.
“Bah! Baru pulang kau, Pipiet? Kelaparan aku ini, tak ada makanan di meja itu, baaah! Macam mana kau ini mau mengurus aku yang sudah tua-tua ini? Apa kau tak senang aku tinggal di sini? Kalau tak senang bilang sajalah itu… Orang Sunda itu memang suka munafik, ya!”

“Ompung tuh suka gitu, ya,” Haekal bergumam. “Makanan yang Mama masak tadi pagi dihabisin sendiri… Ekal gak kebagian apa-apa, eee… masih bilang kelaperan lagi… Pake bawa-bawa orang Sunda segala…”
“Pssst… diamlah, Nak.”

Aku mengingatkan anak yang sudah kebal juga mendapat perlakuan kasar, baik dari ompungnya maupun ayah kandungnya.
“Bicara apa kau?” sergah ompungnya dalam nada meninggi, sepasang matanya melotot. Haekal tampak mengkeret dan bergeser ke belakangku.

Sosoknya yang tinggi di atas rata-rata perempuan tua Indonesia, tampak menjulang di hadapan kami berdua. Acapkali otakku buntu, tak habis mengerti, mengapa perempuan tua ini sangat membenciku dan anakku? Baiklah, kalau dia membenciku, karena bukan menantu pilihannya. Tapi terhadap anakku, bukankah Haekal cucunya, darah dagingnya juga?
"Gak apa-apa, Bou7, sebentar ya… Saya akan masak lagi buat Bou,” buru-buru kugaet tangan anakku, agar mengikutiku ke dapur.

“Bah! Kalian itu, ibu dan anak memang tak suka aku tinggal di sini, ya? Biar nanti kubilang sama anakku!” cerocosnya dalam nada yang sarat iri-dengki dan intrik… Hiiih, persis di sinetron-sinetron sekarang!

Benar saja, dia memang mengadu dan tentu dibumbui dengan laporan macam-macam, sehingga berbentuk; sebuah testimoni tentang menantu yang selalu berbuat keji, menganiaya ibu mertuanya…. Halaah!

“Kau ini kan seorang ibu, mana pantas berbuat begitu kepada ibuku yang sudah lansia, dan sakit-sakitan,” gugat suami tak tertahankan lagi meletupkan penyesalan dan kekesalan hatinya. “Sekarang kau bisa bertingkah dan menyakiti orang tuaku yang sudah tua itu. Apa kau tak takut kelak diperlakukan begitu oleh anak-anak atau menantu kau?”

Aku tak bisa membela diri, tak pernah bisa. Bahkan ketika suami memutuskan untuk pisah kamar, aku hanya bisa pasrah.

Saat itu aku sedang ghirah-ghirahnya belajar mengaji kepada Ustazah Saanah dan guru kami berdua, Kyai Harun. Aku telah memutuskan untuk berbusana muslimah dan berjilbab apik. Aku berusaha untuk larut dan teguh lagi bermunajat. Sering kulakukan semacam berdialog dengan Sang Pencipta, memohon kemudahan dan Kemahakasihan-Nya dalam melakoni hari-hari.

Jika aku ke rumah sakit selalu timbul keributan, terutama protes dan tumpahan kemarahan ibu mertua. Semuanya akan berujung dan dieksekusi mutlak di tangan suami. Aku tak ingin melukiskan bagaimana warna muram, nuansa kekerasan dalam rumah tanggaku saat itu. Biarlah semua yang melukai itu kusimpan rapat di memori otakku sendiri.

Dalam situasi demikianlah, aku berjuang keras demi kelangsungan hidup janin dalam kandunganku. Aku lebih sering pergi seorang diri ke RSCM. Adakalanya Haekal memaksa ingin mengawalku, meskipun untuk itu harus bolos sekolah. Dan berujung dipukuli ayahnya jika dia mengetahuinya.

Memasuki pekan ke-28 saat dokter menyatakan jantungku bermasalah, membengkak, asma bronchiale plus penyakit abadiku tentunya. Mau tak mau aku harus patuh untuk dirawat.
“Mohon diizinkan pulang dulu, dokter,” pintaku. “Orang rumah gak ada yang tahu… Hari ini kan niatnya juga hanya berobat rutin.”

“Tidak bisa, Bu, kami tak mau disalahkan kalau terjadi apa-apa. Tenang saja, nanti kita suruh orang untuk mengabari keluarga Ibu,” tegas dokter Andri, sungguh tak bisa diganggu gugat lagi.

Dengan berat hati kupasrahkan juga nasibku, terutama demi bayi dalam kandunganku, ke tangan tim gabungan yang selama itu merawatku. Sejak diantar oleh petugas ke ruang perawatan, IRNA B di lantai enam, perasaan sedih karena seorang diri itu, segera kutepiskan jauh-jauh; jaaauuuh!

Aku tidak pernah seorang diri, bisikku melabuh senyap dalam hati dengan semangat optimisme dan kemurahan Sang Pengasih. Ya, tentu saja ada Dia Sang Penggenggam yang menemani senantiasa, senantiasa…

“Saya sudah menyampaikan pesan Ibu,” lapor petugas rumah sakit yang diminta bantuan untuk mengabari suami, keesokan paginya.
“Ya… bagaimana?” aku menatapnya heran.

Kalau sudah diberi tahu, mengapa dia tidak segera datang menengokku? Tapi aku menelan kembali pertanyaan konyol itu. Tentu saja konyol, petugas itu bukan siapa-siapaku. Hanya karena sama warga Depok, dia mau membantu, mendatangi rumah kami di sudut kampung Cikumpa.

“Bapak itu… suami Ibu, ya?”
“Yang di rumah itu, iyalah… memangnya kenapa?”
“Waktu saya sampaikan pesan Ibu, kelihatannya beliau marah sekali.”
“Marah bagaimana?” aku jadi penasaran.
“Yah, dia menanyai saya macam-macam… Apa hubungan saya dengan Ibu… begitulah…”

Ya Tuhan, penyakit ajaibnya itu, paranoid parah!
Dengan keyakinan bahwa aku telah mengkhianatinya, dia pun memutuskan untuk menghukum diriku. Demikianlah yang terjadi. Sehari, dua hari, tiga hari… waktu terus berlalu. Life must go on!

Uang yang ada di tanganku sudah habis, bahkan aku tak mampu beli sabun mandi. Acapkali dengan malu-malu, kuminta dari pasien sebelah. Tapi kalau mulai kulihat permintaanku itu mengganggunya, aku pun akan mandi tanpa sabun. Kalau tidak, kupunguti sisa-sisa sabun colek bekas mereka mencuci, dan dengan itulah aku membersihkan badanku.

Karena tak ada baju untuk salin, aku pun menyiasatinya dengan mencuci baju satu-satunya milikku yang melekat di tubuhku itu malam hari. Sepanjang malam aku akan menyembunyikan seluruh tubuhku di balik selimut. Hingga subuh tiba, aku akan buru-buru mengambil baju gamis yang telah kering, dan kujemur di teras balkon.

Seminggu sudah dan tak ada seorang pun yang mengunjungiku di ruang perawatan. Aku tak ingin membebani orang tua yang sudah sepuh di Cimahi. Sedapat mungkin aku harus menanggulangi kesulitan hidupku, dengan atau tanpa pasangan hidupku sekalipun.

Maka, hari ketujuh itu, kuputuskan untuk bertindak. Aku sudah ditransfusi dan asmaku mulai membaik, entahlah dengan kondisi jantung yang konon membengkak. Toh, selama ini pun aku tak pernah mau memikirkan segala penyakit yang menggerogoti tubuh ringkihku ini. Aku sehat, sama seperti lainnya, sehat dan kuat. Demikianlah yang selalu kutanamkan dalam hati dan pikiranku.

Hari itu kebetulan aku dikonsultasikan ke bagian perinatologi. Siswa perawat yang mengantarku dengan kursi roda berpamitan, karena dia akan mengambil pasien lain. Begitu selesai diperiksa dokter, sesungguhnya di-USG untuk kesekian kalinya… Inilah saatnya!

“Tolong, ya Bu, mohon Ibu mau pinjami aku uang seribu saja. Jaminannya KTP ini, ya Bu. Aku akan ke kantor… ambil uang,” kataku sekuat daya kutenggelamkan perasaan sedih dan malu tak teperi.
Ibu itu, seorang perempuan paro baya, menatapku dengan sorot iba. Ia menanyaiku tinggal di mana, kujawab bahwa aku pasien yang akan mengambil uang di kantor untuk nebus obat. Dia memberiku selembar lima ribu, tanpa mau menerima KTP yang ingin kujaminkan.

Dengan mikrolet aku pun meluncur ke kantor redaksi majalah Amanah. Di sini, kuyakinkan itu dalam hatiku, ada rekan-rekanku sesama penulis yang telah lama kukenal.

Benar saja, ada Ahmad Tohari, Emha Ainun Majid yang tengah dikerumuni rekan-rekan wartawan di ruang tamu. Aku hanya melintasi mereka, tidak sempat sekadar say hello. Toh yang kubutuhkan adalah uang, tidak perlu banyak, melimpah ruah. Cukuplah seharga satu cerpen!

Ada teman di redaksi yang mengenalku dengan baik. Karena belum lama juga cerita bersambungku dimuat. Saat kukatakan kesulitanku, intinya, aku membutuhkan sejumlah uang. Sebagai pinjaman atau apalah istilahnya, yang bisa kubayar nanti dengan naskah, dia pun segera mengusahakannya.

“Ini Mbak Pipiet, silakan ditanda tangani di sini,” selang beberapa menit, seorang wanita muda menyodorkan secarik kuitansi.
Kulihat sekilas angka 30 ribu itu dengan dada berdebar. Sempat terlintas di benakku, apakah aku ini penulis abnormal yang tak tahu malu? Naskah belum ada, kok berani-beraninya minta honornya? Tukang nulis pengijon!

Ah, masa bodohlah, jeritku mengawang langit. Setelah berbasa-basi sebentar dengan sang sekretaris redaksi yang ramah itu, aku pun pamitan. Ketika melintasi kembali di ruang tamu, tinggal Cak Nun yang masih berbincang heboh dengan dua orang wartawan. Dia sempat melihat ke arahku, sekejap, entahlah!

Seketika aku berdoa dalam hati, semoga dia tak pernah mengenaliku!
Dengan uang itulah aku bisa membeli perlengkapan mandi, susu ibu hamil, vitamin, kue-kue kering bahkan dua potong daster murahan di kakilima. Sesampai di ruang perawatan kembali, agaknya sempat terjadi kehebohan; seorang pasien diduga telah melarikan diri!

Ketika sore harinya, akhirnya, kepala keluarga itu, khalifah yang selalu merasa suci, bijak bestari itu datang juga. Pertama-tama yang diucapkannya adalah; “Enak kau tinggal di sini, ya! Banyak dokter ganteng yang bisa memegang-megang tubuh kau!”

Air mata itu akhirnya tumpah jua, bukan di hadapannya, melainkan manakala sendirian berdiri di teras balkon.
Malam yang hening, pukul sepuluh, langit biru bening, bertabur selaksa bintang nun di atas kepalaku sana. Bintang-bintang itu, di mataku sedang sangat ramah, mengajakku tersenyum, tersenyum, tersenyum…

Persis seperti sering kubisikkan kepada putraku, Haekal, apabila kami baru mengalami kekerasan. Biasanya kuajak dia menatap bintang-bintang di langit dari jendela kamar kami.
“Lihatlah, Nak, Cinta… Bagaimanapun pedihnya hati kita, bintang-bintang itu tampak selalu indah dan tersenyum…”
“Artinya apa, Ma?”

“Kalau bintang-bintang itu masih tersenyum, pertanda masih ada banyak harapan. Yakinlah. Jangan jadi anak yang cengeng, ya Nak, Cinta, Buah Hati Mama… Raihlah harapan itu!”
Demikian pula yang kubisikkan saat itu kepada bayi dalam kandunganku, seorang anak perempuan.

“Jangan pernah menjadi anak perempuan cengeng, Cintaku, Buah Hatiku…”
Biar bagaimana pun pedihnya kehidupan, ndilalah… Bintang di hatiku mulai tersenyum melalui sepasang belahan jiwaku; Muhammad Karibun Haekal Siregar dan Azimattinur Karibun Nuraini Siregar.
Maka lihatlah di dalam dadaku ini, Saudaraku!

Bintang pun tersenyum, ini kupinjam dari judul salah satu cerpen karya Butet yang dimuat pada antologi kumcer cantik; persembahan penulis lintas generasi, terbitan Gema Insani Press, 2006.
@@@

Doa Mama: Jangan Pernah Berubah, Anakku!

$
0
0




Sabtu, 10 Pebruari 1990
Petang itu, aku sudah seminggu berada di ruang isolasi karena asmaku kambuh. Banyak anggota keluarga besarku, dari pihak ayahku datang membesuk.
Sesungguhnya hanya melihat dari balik kaca pembatas, pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke ruangan kami.

Kurasa di ruangan itu dirikulah satu-satunya pasien yang jarang dibesuk. Tiap jam besuk aku lebih banyak hanya sendirian, kulewatkan untuk membaca atau mencatat di buku harian.
Sejak ibu dan ayahku memutuskan menemani Haekal, bantu-bantu sang menantu yang sedang membangun rumah, ibu mertuaku tinggal di rumah ipar. Selalu terjadi pertengkaran dan keributan apabila semuanya menyatu di rumah.

Kurasa dengan keberadaan orang tuaku, rumah menjadi rapi dan terutama ada yang menyediakan makanan.
Suami semakin sibuk dengan urusannya, mengajar dan melanjutkan pembangunan rumah. Dia hampir tak punya waktu untuk membesukku. Jadi biasanya ibukulah yang mondar-mandir mengurus keperluanku di rumah sakit.

“Semoga cepat melahirkan, ya,” kata istri Mang Ipin, adik bungsu ayahku, yang datang bersama pamanku dan seorang adiknya. Dia membawakanku oleh-oleh lusinan bolu kukus buatannya sendiri.
“Terima kasih, Tante,” ujarku terharu, usianya sebaya denganku tapi dia belum dikaruniai keturunan, walaupun sebelas tahun sudah pernikahan mereka.

Semuanya mendoakanku sebelum pulang. Demikian pula ayahku, diulurkannya tangannya melalui celah jendela, kemudian ditempelkannya di perutku.
Dia merapalkan doanya dan meniupkan semangatnya melalui jari-jemari, serasa meresap ke dalam kandunganku.

Minggu ke 35, menurut perkiraan dokter empat pekan lagi. Namun, begitu aku kembali ke ranjang firasat itu telah mendering… Bintangku sebentar lagi akan muncul!

Ada flek-flek dan sedikit bercak darah menyertai buangan air di kloset. Kuambil air wudhu dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Aku disiapkan untuk caesar, mengingat limpa bengkak, asma dan jantungku yang tidak aman. Tapi aku kembali ke tempat tidur dengan tenang tanpa melapor ke dokter jaga.
Logika awamku, jika dulu pun aku bisa melaluinya tanpa caesar, mengapa kini tidak?

Setengah jam, satu jam berlalu; dan kontraksi awal terjadi!
“Sejak kapan, kenapa baru ngasih tahu sekarang, Bu?” sesal koas Mita terkejut saat kuberi tahu kemungkinan diriku akan melahirkan malam ini.
“Ini harus dilaporkan ke dokter Laila…”
“Dokter Laila lagi seminar di Makassar,” entah siapa yang menyahut.
“Ini pasiennya…”
“Ya, sudahlah… kan ada dokter Mita…”
“Pssst, serius dong!”

Sayup-sayup kudengar seseorang bersenandung dari kejauhan: “Malam minggu kelabu, bintang-bintang pun sendu…”
Tapi bintangku harus tersenyum, bantahku dalam hati. Sementara para koas mulai sibuk memasang peralatan medis ke tubuhku.

Sehingga dalam sekejap saja sekujur tubuhku sudah dikerubuti berbagai peralatan ajaib itu; infus dua macam yang putih dan kuning, selang oksigen di hidung, dan entah apalagi di perut dan dadaku.
Kulirik jam dinding di tembok yang setentangan dengan tempat tidurku.

Pukul tujuh, kontraksi awal disusul kontraksi demi kontraksi berikutnya, kadang berlangsung serasa lama, adakalanya hanya sebentar, tetapi semuanya memang menguras enerji.
Kupejamkan mata, semuanya telah kupasrahkan… La haola wala quwwatta…
“Baguuus… sedikit lagi, Bu, sedikit lagiii!”
“Sudah kelihatan kepalanya… ayoooo!”
“Aduuuh, kenapa meremas tangankuuu!”
“Maaf… hhh, hhh… Allahu Akbaaar!”
Woaaa… Alhamdulillah…
“Anak perempuan, Bu…”

Kubuka mata, mencari-cari sosok mungil yang kudamba. Dia melintasi kepalaku dengan cepat, digendong seorang bidan yang segera melarikannya ke ruangan rehabilitasi bayi pasca-lahir.
Beberapa jenak kubiarkan mereka mengurusiku, menjahit rahimku yang robek entah berapa belas jahitan.

Kuhirup aura kelahiran bintangku dalam hening yang mendenging di kuping-kupingku. Pandanganku buram, meredup, mengelam. Kurasa aku setengah pingsan, entahlah!
“Mintakan air teh manis panas sama keluarganya di luar sana!”

Aku menanti, menanti dan terus menanti semuanya menjadi normal kembali. Seorang koas menyodorkan air teh manis panas dalam plastik. Agaknya ibuku dan ayahku yang setia menanti, berlarian menuruni tangga, dan mencari pedagang minuman panas.

Air mataku bersimbah deras mengenang kasih sayang mereka. Kunikmati air teh manis dari Emak dan Bapak itu sebagai anugerah Ilahi yang tak teperi setelah melahirkan seorang bayi perempuan.

Terima kasih, Bapak, terima kasih, Emak, semoga Allah Swt memberkahi kalian senantiasa, selamat di dunia dan akhirat, doaku mengawang langit malam biru bening. Tiada warna kelabu, tiada rona sendu, dan waktu berlalu sebagaimana galibnya malam panjang.

Beberapa koas kemudian mengerumuniku, melakukan interviu seputar penyakit bawaan yang kusandang. Mereka sedang melakukan pemeriksaan ketat terhadap bayiku. Meskipun aku merengek ingin segera mendekapnya, menyusuinya dan memandangi wajahnya sepuasnya.

Aku harus menanti dan bersabar lagi agaknya.
“Ini anaknya, Bu, silakan, sudah boleh disusui,” dokter Mita sendiri akhirnya yang menyodorkan bayiku, tepat tengah malam.
“Alhamdulillah, terima kasih, dokter sayang,” ucapku gemetar menahan perasaan yang mengharu-biru.

Kuraih sosok merah dalam balutan kain hijau itu dengan dada dibalun buncahan rindu dan damba. Lama sekali kupandangi wajahnya, begitu mungil, begitu merah. Aduhai!
“Hidungmu kelewat mungil, ya Nak,” bisikku sambil menciumi ubun-ubunnya, kutiupkan asma Allah untuk pertama kalinya ke kupingnya.

Aroma harum kencur meruap dari rambutnya yang hitam lebat, bahkan di pipi-pipinya tampak rambut-rambut halus. Mungkin karena selama kehamilannya aku sangat menyukai minum air kelapa hijau.
“Kakeknya sudah mengazankannya tadi,” berkata dokter Mita.
Aku tercenung.

Dulu, Haekal diazankan oleh Ompung, kakek dari pihak suami. Kedua buah hati, sepasang bintangku mengalami nasib serupa.
Tidak diazankan oleh ayahnya. Tak mengapa, selamat datang bintangku.
Doa dan pengharapanku akan selalu menyertai setiap detak napasmu, setiap jejak yang engkau langkahkan; semangat!

Bayi perempuan inilah yang kini menjadi sosok tangguh, paling bisa kuandalkan jika diriku berada dalam kondisi krisis di UGD. Kini ia telah memiliki seorang putri, 2 tahun 9 bulan, single parent, alumni fakultas hukum Universitas Indonesia, sedang berjuang mengelola Pipiet Senja Publishing House dan menulis buku anak-anak dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia.

Dia kuberi nama: Azimattinur Siregar. Ayahnya menambahkan nama kakek, uwak, dan marganya, maka menjadi; Azimattinur Karibun Nuraini Siregar.


Ini Nukilan: Bagaimana Aku Bertahan

$
0
0


Siang itu aku baru memesan tempat untuk ibu mertua yang bersikeras ingin diopname di RSUD Pasar Rebo. Abang ipar, saat ini dinas di Jerman, serta istrinya sedang pulang ke Indonesia.
Namun, nambou lebih suka diurusi oleh menantunya yang Sunda; suka dipelesetkannya secara sengaja sebagai si Sundal.

Aneh bin ajaib memang, betapa sering aku dibenci, dimarahi, dilecehkan dan disumpah-serapahi. Entahlah!

Untuk menghemat aku harus menggunakan bis umum. Tubuhku yang kecil berperut buncit, terhimpit di antara para penumpang. Beberapa pelajar STM dengan pongah duduk seraya kaki diangkat, riuh-rendah bergosip dan merokok.

Banyak penumpang lelaki muda dan kuat pun sama bersikap tak peduli, berlagak tertidur, sampai yang sungguhan mengorok!

Memasuki kawasan Lenteng Agung, para penumpang mulai lengang, tapi aku masih belum mendapatkan bangku. Sepanjang perjalanan kubalun senantisa dadaku dengan zikrullah.
Allah, Allah, Allah…
Sampai sekonyong-konyong… cekiiiiit…. Beeegh, heeekkk!

“Allahu Akbar!” seruku tertahan.
Dari arah belakang tubuhku dalam sedetik oleng dan tersungkur, perutku menghantam sandaran bangku di deretan tengah. Detik itupun ada yang bergemuruh dalam dadaku, menimbulkan rasa lemas tak teperi dari ujung-ujung kaki hingga ujung rambut. Bahkan ketika aku sudah menggeloso, tak satu pun penumpang yang berkenan mengulurkan tangannya.

Allah, inikah Jakarta dan ujian-Mu?
Sesampai di rumah, rasanya kepingin buang air kecil.
Seeerrrr, serrrr… ternyata memerah darah!
“Maaf, Bu, saya gak bisa bantu lagi demam juga nih,” kata Mpok Onah, tetangga terdekatku, saat kumintai bantuannya.

Rumahku terpencil dan jauh dari tetangga. Haekal sudah berusaha keras menghubungi Pak RT, Pak RW dan tokoh masyarakat sekitar rumah. Nihil!

Aku bisa memaklumi hal ini, mungkin sekali disebabkan kepala keluarganya tak pernah bergaul dengan para tetangga. Bapaknya anak-anak lebih banyak mengurung diri di kamarnya, sibuk dengan pikiran, waham dan perasaannya sendiri. Khas penyandang skizoprenia paranoid, demikian yang kudengar dari seorang psikiater.

“Gak ada siapa-siapa, Mama,” lapor Haekal dengan cucuran keringat dan kecemasan mengental di wajahnya, sepulang dari rumah uwaknya.
“Memangnya ke mana mereka?”
“Kata tetangganya sih, Uwak ajak Ompung jalan-jalan…”
“Ompungmu kan sakit? Mau diopname besok…”
“Mama kayak gak tahu saja .Mama sih terlalu ngebela-belain. Gak inget kesehatan Mama sendiri,” sesal anak kelas tiga SMP itu.

“Pssst, diamlah, Nak. Kita sholat dan berdoa saja. Mari, Cinta, anak-anak Mama yang saleh dan salehah,” tukasku yang segera dituruti oleh kedua buah hatiku.

Suamiku baru muncul menjelang maghrib. Dia santai saja, ketika diberi tahu kemungkinan aku akan mengalami keguguran. Dia memang tidak mengharapkannya sejak awal. Kalau bisa dilahirkan terserah, tidak bisa pun terserah. Bila mengingat ketakpeduliannya, adakalanya semalaman air mataku terkuras.

Allah, hanya kepada-Mu jua hamba yang lemah ini mengadu.
“Sini, Ma, Ekal gendong saja, ya,” Haekal lagi-lagi menawari kemudahan. Tubuhnya mulai berbentuk, berperawakan sedang dan kekar. Dia rajin olah raga dan latihan taekwondo.

Haekal pasti paham betul kebiasaan ayahnya, kalau jalan bareng kami sering tertinggal jauh di belakang. Sosok tinggi besar itu akan melenggang gagah terpisah dari anak-anak dan istrinya. Seakan-akan dia tak suka kalau ada yang mengaitkan dirinya denganku dan anak-anak, entahlah!

Namun begitulah kenyataannya, entah berapa kali aku dan anakku, ketika mereka masih kugendong, nyaris tertabrak saking repotnya dengan beban bawaan. Menggendong anak, menenteng tas besar dan menjinjing mesin ketik, demikian kulakoni saat akan pulang kampung lebaran.

Biasanya bukan penghiburan yang kudapatkan bila aku nyaris celaka. Makian, sumpah serapah dan kata-kata melukai akan berhamburan dari mulutnya. Demi Tuhan, langit dan bumi menjadi saksiku!
“Sering aku berpikir luar biasa kamu itu, ya…Hebat ‘kali kau!” tentu saja bukan pujian, melainkan ejekan dan kesinisan.
“Bisa-bisanya kamu sebodoh itu!”
“Bagaimana mungkin kamu menjadi seorang pengarang? Padahal begitu bodohnya kamu!”
Atau: “Dasar gobloook!”

Banyak lagi perkataan melecehkan yang hanya bisa kutelan dalam-dalam ke lubuk jiwaku. Biarlah segala kejahiman itu terpendam dan lebur di sana, pikirku.

“Sudahlah, naik becak saja ke depan. Sana, panggilkan becaknya!” perintah nya, kurasakan betul sangat lamban bertindak. Sehingga aku harus menunggu, menunggu, menunggu.

Sementara darah yang keluar semakin banyak!
“Kenapa tak langsung ke Cipto saja?” protesku saat kami sampai di rumah sakit Bhakti Yudha, Sawangan.
“Terlalu repot! Kalau bisa di sini ngapain jauh-jauh pula?”

Tentu dia tak sudi mengeluarkan banyak uang, demi nyawa istri dan anaknya sekalipun. Seperti sudah kuduga, mereka tak sanggup menanganiku karena pasien kronis kelainan darah. Dokter menyarankan untuk menyewa ambulans. Bisa berakibat fatal kalau terlalu banyak bergerak.

“Ambulans, berapa?” otakku langsung menghitung-hitung rupiah yang harus dikeluarkan.
Demi Tuhan, tak ada uang di tanganku lagi, karena belum sempat mengambil honor. Kulirik gelang 10 gram yang masih membelit pergelangan tanganku. Hanya tinggal benda ini yang berharga, tak mengapa kalau harus kulego.

“Kita naik angkot saja,” ujar suamiku kaku, tanpa ekspresi sama sekali.
Wajah perseginya di mataku telah semakin dingin, membeku. Entah ke mana larinya rasa cinta, iba ataukah memang tak pernah ada?

“Naik angkot bagaimana, Pa? Kasihan dong Mama,” Haekal sempat mencoba protes keras, air matanya mulai bercucuran, kentara sekali dia mencemaskan diriku.
“Jangan banyak omong, anak kecil tahu apa!”
“Sudahlah, Nak, angkot ya angkot,” tukasku menengahi sebelum ada yang berubah pikiran.

Bagaimana kalau lelaki itu, ayah anak-anakku itu, tiba-tiba kumat dan meninggalkan kami begitu saja? Bulu romaku merinding hebat mengingat kekejian macam itu!

Entah berapa kali ganti angkutan umum, kami berempat karena Butet pun ikut, menuju RSCM. Pukul delapan, akhirnya sampailah kami di Unit Gawat Darurat.

Perasaan dan pikiranku sudah melayang-layang tak karuan, sementara darah terus juga mengocor. Hanya karena kasih sayang-Nya jualah kalau aku masih bisa bertahan sejauh itu.
“Tolong, jaga adikmu, ya Nak. Telepon Oma, ya,” pesanku wanti-wanti kepada sulungku.

Haekal mengangguk, air matanya sudah bercampur dengan ingus, tapi ditahannya sedemikian rupa. Dia pasti lebih menakutkan kemarahan ayahnya dari apapun. Aku melengos, tak tahan melihat nestapanya. Kuraih putriku, kupeluk tubuhnya yang kecil dan kuciumi pipi-pipinya yang halus bak sutra.
“Butet, Cinta, jangan rewel ya Nak. Harus mau makan yang banyak, Cinta…”
“Iya, Ma… Utet janji gak bakal nyusahin Abang,” sahutnya sambil bercucuran air mata.
“Doakan Mama, ya anak-anak, Doa seorang anak akan dimakbulkan Tuhan…”
“Iya Mama, iya,” jawab keduanya serempak.

Kupandangi terus kedua belahan jiwaku itu, hingga brankarku didorong masuk ruang tindakan, sosok mereka pun lenyap dari pandanganku. Dunia luar telah tertinggal di belakangku, giliranku berhadapan dengan segala keputusan medis.
Demi Allah, jeritku hanya mengawang dalam hati. Aku lebih memikirkan anak-anak daripada kondisiku sendiri.

Sekitar pukul sebelas malam, setelah melalui pemeriksaan ini dan itu; rahim diperiksa, diubek-ubek, di-USG dan memang janin tak tertolong lagi.
“Kami pasang transfusi dan infus, ya Bu…”
“Kami pasang selang di rahimnya, ya Bu…”
“Biar janinnya mengecil dan mudah dikeluarkan…”
“Operasinya bisa ditunda lusa, hari Senin!”

Begitu sibuk perawat dan dokter di sekitarku. Suara-suara berseliweran, mengambil pilihan dan memutuskan; mengapa nyaris tak melibatkan diriku? Sementara itu, suami memilih pulang dengan dalih kasihan Butet, dan Haekal akan ulangan.

Bagaimana kalau aku mati? Siapa yang akan mengabari kematianku kepada keluargaku? Ya Robb, jauhkan segala pikiran pesimis itu, jeritku mengambah langit dan bumi yang selama ini senantiasa menjadi saksi lakon dan takdirku.

“Siapa yang akan mengambil darah ke PMI Pusat?” tanyaku kepadanya, saat dia diizinkan menemuiku di ruang ICU sebelum berlalu.
“Aku sudah mengupah orang untuk mengambilnya jam satu nanti,” jawabnya dingin sekali.

Seperti biasanya dia tak pernah berani membalas tatapan mataku, malah terkesan lebih suka dilayangkan ke segala sudut dengan liarnya. Aku tak berkomentar lagi, melepas sosoknya dengan perasaan hampa.

Sepanjang malam itu mataku nyaris tak terpicing. Pendarahan memang telah berhenti, tapi ada yang terus berdarah, berdarah, berdarah, dan luka itu tak kunjung sembuh jauh di lubuk hatiku.

Setelah semuanya berlalu, kupandangi langit dari balkon lantai tiga tempatku dirawat. Bintang-bintang masih kemerlip di langitku. Seribu, selaksa, niscaya lebih lagi. Namun bagiku, ada dua bintang cemerlang di langitku, yakni dua buah hatiku. Di bahu anak-anakku, di dalam sorot bening mata buah hatiku, kutemukan kekuatan yang maha dahsyat.

Nun di atas sana, masih ada kerlip lain dengan nuansa dan binar-binar kasih-Nya yang selalu menerangi kalbuku. Aku yakin dengan sepenuh jiwa-raga dan imanku.
Ya Allah, hamba masih ingin bertawakal, menjadi hamba-Mu yang tegar dan istiqomah.



Pre Order sila hubungi Pipiet Senja 085669185619
Diterbitkan oleh Penerbit Zahira

@@@



Viewing all 195 articles
Browse latest View live