Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Seronok Negeri Jiran: Geliat Sastra Migran di Malaysia

$
0
0




Minggu, 29 September 2013
Diundang oleh panitia kampus UPSI Universitas Pendidikan Sultan Idris, bertempat di Tanjung Malim, Perak, saya diinapkan di asrama Internasional UPSI. Berawal dari kedekatan dengan anak-anak Forum Lingkar Pena Hadhramaut, Yaman, melalui aktivisnya Arul Chairullah. Tidak mengira aktivitas kepenulisan di Yaman ternyata sangat melaju kencang, membuahkan karya berjudul; Simfoni Balqis. Salah satu cerpen yang ada di buku antologi Simfoni Balqis ini adalah karya Arul Chairullah. 

Ini adalah kedatanganku ke sekian kalinya di Negeri Jiran, istilah anak-anakku;”Manini pusing-pusing Malaysia,” acapkali membuatku nyengir kuda bukan mesem-mesem. Sebab pusing-pusing yang bermakna keliling-keliling, terkadang malah menjadi pusing tujuh keliling sungguhan. Alamak!

Ada saja sesuatu yang menggiringku ke dalam posisi pusing ini. Mulai keberangkatan pagi sekali dari rumah putriku di Kota Wisata Cibubur, jalanan yang senantiasa superduper macet. Miskom alias kesalahpahaman dengan petugas Imigrasi Raja Di Raja Malaysia. Hingga berpacu dengan waktu saat hendak pulang, nyaris ketinggalan pesawat.
Baiklah, setelah menginap di kamarnya Lailan dan kawan-kawan, asli Aceh yang sedang menuntut ilmu meraih Master, tibalah hari H. Acaranya pukul dua di kampus lama UPSI. Anak-anak angkatku, Dewie DeAn dkk, TKI di kawasan Ipoh, sudah sejak pekan lalu kontak-kontakan. Mereka siap hadir!

Mengambil ruangan terbuka di lantai dua, acara dibuka dengan kumandang lagu Indonesia Raya, dilanjurkan mars kampus UPSI, sambutan PJ acara. Sesi pertama dipersilakan kedua penulis Simfoni Balqis, yakni; Arul Choirullah. Pembicara satu lagi adalah Ulka Chandini Pendit, kandidat PhD asli Bekasi.

Agaknya ini lebih patut disebut semacam talkshow, bukan bedah buku sebagaimana tertulis pada background di podium. Tidak ada pembedah, hanya dua pembicara sebagai wakil penulis buku Simfoni Balqis. Arul memaparkan seputar proses kreatif hingga terkumpul 100 naskah dari penjuru dunia, anggotanya kebanyakan PPI. Sedangkan Ulka menutur kerangka cerpennya yang mengambil nama tokoh si Kuat,

Saat giliranku, tidak panjang buang waktu karena memang hanya diberi tempo satu jam saja. Langsung saja sok narcis, sok gaya, menyaji video Berkelana Dengan Buku, seputar aktivitasku sebagai penulis, terutama bersama kaum Buruh Migran di beberapa negara tetangga; Malaysia, Singapura, Hong Kong, Macau dan Shenzhen.

Dilanjutkan dengan sesi dialog interaktif yang serempak disambut oleh Dewie DeAn bersama rombongan pengajian FOKMA. Mahfudz Tejani, koordinator PPI Universitas Terbuka Kuala Lumpur, membawa rombongannya. Salah satunya adalah si dermawan push-up, ketika acara lelang pengumpulan dana untuk Pipiet Senja, beberapa waktu yang lalu.

Seperti biasa aku membawa suasana menyebar virus menulis ini ditengarai dengan canda, akhirnya nuansanya mencair dan dipenuhi oleh gelak tawa. Maklum si Manini Pipiet Senja mah turunan Sule, komentar entah siapa malah menambah heboh suasananya.

Antusias dan semangat menuntut ilmu anak-anak TKI seakan mengalahkan kehadiran mahasiswa yang bisa dihitung dengan jari. Banyak yang masih berada di kampung halaman karena libur panjang. Buku-buku pun diborong oleh mereka.

Sesi terakhir giliran pensyarah Doktor Makmur Harun, dosen asli Jambi dengan gaya kebapakan, memaparkan perihal “adumanisnya” karya sastrawan Malaysia dengan sastrawan Indonesia.

Sebelum usai acara, terpaksa dengan rasa menyesal Dewie DeAn dkk minta pamit. Mereka harus kembali ke Ipoh dan melanjutkan perjuangan, bekerja shift malam di kilang atau pabrik.

Ada rasa haru-biru jauh di lubuk hati ini, tatkala mengantar kepergian para perempuan tangguh itu, hingga lenyap dari pandangan. Dalam keterbatasan waktu, mereka terus berjuang ingin menambah ilmu sebanyak-banyaknya. Berharap kelak dapat mengangkat harkat derajat mereka ke strata yang sejajar dengan kaum perempuan lain, setara dengan jebolan perguruan tinggi bergengsi manapun.


Minggu, 23 November 2014
Kali ini aku kembali ke Negeri Jiran dengan sponsor tiket dari Dompet Dhuafa sebagai Duta Wakaf. Untuk membuat acaranya semarak, aku minta bantuan Dewie DeAn dan Mahfudz Tejani. Agar mereka menggebah massa sekaligus mengurus tempatnya. Hanya dalam hitungan hari, promosi gencar melalui medsos, FB dan Twitter. Prestasi hebat untuk sosok TKI, tetapi mengingat mereka pun mahasiswa, maka wajar saja jika sepak terjang mereka terbilang tataran agresif. 
Semalam diinapkan di apartemen Shah Alam, punya majikan Aisy Laztatie si penulis buku Babu Backpacker. Bersama sebagian panitia, termasuk Dewie DeAn yang jauh-jauh dari Ipoh datang ke Kuala Lumpur demi sukses acara. Sungguh mengharukan sekaligus membanggakan melihat kekompakan TKI plus ini.
Dewie DeAn dan Mahfudz Tejani yang selalu siap koordinasi dengan teman-temannya. Agus Purwanto si ketua PPI UTKL sigap menjemput bersama Khoiril Anwar. Aisy Laztatie alias Dessy yang sigap menyetir mobil, mengantar kami ke mana-mana. Wow, luar biasa!
Mengambil tempat di Es Teller kawasan Pasar Seni, Kuala Lumpur, kali ini aku mengajak serta Abrar Rifai, novelis, pemimpin muda dan gaul sebuah pesantren di Malang. Kulihat sekilas lantai dua itu sudah penuh sesak oleh peserta dengan tema; Berzakat Melalui Goresan Pena. Acara berjalan santai, boleh sambil makan dan minum pesan dari lantai bawah.
Abrar Rifai mengawali, berbagi kiat menulis, menularkan semangat serta nikmatnya menjadi seorang penulis. Ia pun tak lupa mengingatkan untuk berbagi sedekah, zakat kepada Masjid Madina yang sedang dibangun oleh Dompet Dhuafa. Giliranku tampil langsung saja berbagi ilmu kepenulisan, tanpa basa-basi, tak perlu praktek lagi melainkan; menulislah sekarang juga!
Memang inilah tujuan utamanya, selain sebagai Duta Wakaf Dompet Dhuafa. Tak lain demi meneror peserta untuk menulis, kali ini harus menghasilkan karya, mumpung ada yang berkenan sponsor cetak bukunya. Ketika ditantang untuk menulis bersama dalam tempo sepekan, peserta spontan berseru kompak:”Siaaap, Manini!”
Pada kesempatan ini aku pun jumpa dengan sahabat maya Rita Audriyanti, penulis buku Haji Koboi. Kami berpelukan dan foto bersama. Sebuah kejutan menyenangkan setiap jumpa dengan sosok yang bisa akrab curhatan di dunia maya, lantas temu langsung di dunia nyata. Pokoknya, kata anak gaul sih; beud bingiiiits!
Malam kedua aku diantar ke condo kediaman Bapak Rachmat Widiyanto, Direktur Bank Mandiri cabang Kuala Lumpur. Menginap di tengah keluarga harmonis ini, Ibu Santi Rachmat, selalu ramah dan tulus menjamuku. Jadi terkenang saat kebersamaan di Hong Kong beberapa tahun silam. Saat Bapak Rachmat Widiyanto berdinas di Negeri Beton. 
Esoknya pagi sampai tengah hari aku ikut mengisi pengajian ibu-ibu. Di sini pun sungguh, hati ini mengharu biru dengan ketulusan ibu-ibu taklim. Begitu Ibu Santi Rachmat memperkenalkanku, sekilas menuturkan bagaimana kondisiku dan perjuangan si Manini ini dalam menyambung nyawa. Ibu-ibu spontan memborong buku novel yang aku bawa, laris manis, halas!
Ada Riry Bidadari Azzam, sahabat sejak Multiply yang telah berbelas tahun kenal di dunia maya, akhirnya jumpa di taklim ini. Subhanallah, semangat dan sangat menginpirasi saat dia memberi testimoni tentang sosok Pipiet Senja di matanya. Ini beud bingiiiiits kedua untukku agaknya. Sungguh, mengharukan nian, terima kasih, ya Riry solehat.
Maka, inilah buku Seronok Negeri Jiran yang telah aku sunting selama dua pekan. Membutuhkan waktu khusus dan kesabaran tersendiri. Sebab sambil menanti naskah masuk ke email, aku harus wara-wiri ke rumah sakit, seperti biasa menambal yang error, menyumpal yang bermasalah di badan ringkih ini. 
Dari puluhan naskah yang masuk, akhirnya 20 tulisan inilah yang berhasil diedit sekaligus menyuntingnya. Tidak semuanya TKI, ada dua WNI status mahasiswa; Muhammad Iqbal Almaududi dan Ulka Chandini Pendit. Dua penulis senior; Rita Audriyanti dan Bidadari Azzam. Seorang ibu rumah tangga, Aida Akhyar.
Ada sedikit yang diubah, judul dan beberapa bagian seperti narasi menjadi dialog komunikatif. Ini diperlukan demi menyajikan kisah inspirasi yang enak dibaca, dinikmati oleh masyarakat luas. Tidak ada perubahan secara esensi, makna dan missi tulisannya. Insha Allah. 
Semoga buku Seronok Negeri Jiran ini menambah semangat anak-anak TKI plus dari Malaysia untuk terus berkarya di bidang literasi. Agar kelak berlahiran para penulis mumpuni dari kalangan buruh migrant, semakin banyak, banyak dan lebih banyak lagi. 
Spesial terima kasih kepada sponsor Cargo Mandiri Sejahtera, Sdr. Wawan Syakir Darmawan yang sangat antusias mendukung penerbitan buku Seronok Negeri Jiran dan Babu Backpacker. Demikian pula kepada Telin Malaysia yang bekerja sama dengan Pipiet Senja Publishing. Semoga ikhtiar kita ini diberkahi Allah Swt.

Adapun Daftar Isi Seronok Negeri Jiran sbb:
i.Sekapur Sirih: H.Wawan Syakir Darmawan
ii.Prolog: Seronok Negeri Jiran – Pipiet Senja
1.Bukan Cita-Cita – Dewie DeAn
2.Bangga Menjadi TKI – Aghoes Arpansa
3.Kopitiam VS Kedai Mamal – Rita Audriyanti
4. Inilah Prestasi TKI – Afif Arohman
5.Datang Untuk Menang – Risa Alkharizmi
6.Sejujurnya Demi Ibu – Fie Riani
7.Hatiku Tertinggal di Penang – Resti Utami
8.Duduk Kat Kuala Lumpur – Bidadari Azzam
9.Bukan Sandiwara – Mahfudz Tejani
10.Melangkah Bersama Dakwah – Aida Akhyar
11.Senja di Stasiun Putra – Fahim Muhammad
12.Jangan Biarkan Sayap Patah – Marini
13.Cinta Terlarang – Tyas Maulita
14.Kisah Kasih di Malaysia – Marina
15.Demi Mewujudkan Mimpi – Miya Riswanto
16.Semarak Negeri Serumpun – Muhammad Iqbal Almaududi
17.Majikan Bule – Aya Jayita
18.Mutiara Dalam Pasir – Aisy Laztatie
19.Mengais Rezeki Menuai Dakwah – Nie Sha Alfarishah
20.Neraka dan Surga – Nasrikah Sarah
21.From Zero To Hero – Ulka Chandini Pendit
22.Melacak Jejak – Khoiril Anwar

Selamat, ya teman-teman WNI di Malaysia. 
Tahniah dan  Bravo, Seronok Negeri Jiran!
Salam Bahagia: Pipiet Senja





Mengejar Pelangi Tri Handayani: Kisah Keajaiban Penyintas Kanker Nasofar

$
0
0

 



November, 2014
Bertemu dengan Aminah Mustari setelah lama tak bersua. Ia cerita tentang seorang daiyah Tri Handayani. Ia pun menyodorkan beberapa lembar print-out agar segera bisa kubaca.
“Subhanallah! Pejuang kanker yang luar biasa tangguh,” komentarku saat membaca sekilas catatan medisnya.

“Maukah Teteh menuliskannya sebagai buku?” tanyanya tiba-tiba.
“Seperti apa?” balik aku bertanya.
“Seperti buku-buku karya Teteh yang berdasarkan kisah nyata.”
“Iya, ini maunya berupa apa? Memoar atau novel inspirasi?”

Aminah Mustari tertawa dan menatapku.”Ada saja si Teteh ini istilahnya. Coba jelaskan apa bedanya memoar dan novel inspirasi?”

Aku pun mesem dengan istilah yang kubuat ini. Lagipula, jika dinalar, aku ini apalah selain tukang menulis? Muslimah lembut dengan senyum manis yang sedang santap siang di depanku, selain editor handalan penerbit Nasional, penulis buku anak peraih Islamic Book Fair Award pun sarjana bahasa alumni Universitas Indonesia.

“Jangan begitulah, Teteh, kan sudah ratusan karyamu. Jadi maunya dibikin seperti apa berdasarkan catatannya ini?” burunya penasaran.
“Ya, pertama karena mbak Tri ini pasien sepertiku, itu Teteh tertarik,” ujarku mulai merasa senasib, seorang perempuan yang berjuang mempertahankan nyawa demi anak-anak.

Tri Handayani, demikian nama lengkapmya, awalnya seorang atlit karateka volly serta renang. Masa remaja yang tangguh, ceria, dan sangat didukung oleh keluarga. Terutama ayahnya yang disebutnya semacam Obor Kehidupan. Tak bisa dibayangkan, bagaimana hancur hatinya tatkala dokter memvonisnya; kanker Nasofaring. Sedang ayahnya belum lama dipanggil Sang Pencipta.

Aku ingin melakukan pendekatan secara pribadi, agar bisa menangkap ruhnya dari naskah yang akan kami garap ini. Namun, disebabkan jadwal kami, aku dan Tri agak susah dicari temu, akhirnya hanya sekali bisa temu muka langsung. Selanjutnya kami memanfaatkan Whats’App untuk berkomunikasi secara rutin.

Dari Cibubur menuju rumahnya di kawasan Kranji, Bekasi, lumayan jauh dan sempat nyasar, dua kali melewati jalan Banteng. Akhirnya kami minta dijemput di lahan proyek perumahan.

Sosok itu, ustadah yang memegang 14 majelis taklim ibu-ibu, dibonceng motor oleh keponakannya. Jilbabnya yang lebar berkibar-kibar manis, senyumnya mengembang ramah. Sekilas ia tak terkesan sebagai pasien yang pernah dinyatakan in-coma, menjalani operasi tujuh kali, ratusan kali penyinaran dan kemoterapi.

Sosok mantan atlit, pemegang sabuk hitam karate itu tersenyum ramah begitu mengenali keberadaanku. Kami berpelukan layaknya sahabat yang telah lama tidak jumpa.

Wawancara pun dilakukan di kediamannya di gang sempit di antara rumah yang berdempetan. Beberapa langkah dari rumahnya ada setelempap lahan, diakuinya sudut ini akan penuh dengan motor para karyawan, ibu-ibu yang mengaji rutin di bawah bimbingannya.

Suami yang baik hati, setia serta senantiasa menyemangati sedang tidak berada di rumah. Ia alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Yogyakarta. “Aku memiliki suami yang mencintaiku tulus dan selalu mendukung dakwahku. Ke mana pun aku mengajar dia antar dengan motor. Menungguiku meski harus berjam-jam. Dia selalu memberi motivasi kepadaku, memberi masukan bagi setiap permasalahan dakwah yang aku hadapi,” papar Tri Handayani.

Mendengar langsung sebagian peristiwa yang telah dilakoninya, setelah membaca seluruh catatannya, ada sensasi berbeda yang kutangkap. Aku bisa merasakan bagaimana hari-hari yang penuh rasa sakit; penyinaran, kemoterapi, injeksi, opname berbulan-bulan, sampai operasi berkali-kali.

Aku pernah berada di posisi serupa, divonis dokter tak ada harapan hidup. Kemudian keajaiban itu datang; bisa hamil dan melahirkan dengan normal. Bedanya aku mengalaminya sejak kecil, pasien seumur hidup. Tidak bisa sekolah tinggi, secara formal sampai kelas dua SMA, ijazah yang kumiliki pun hanya setingkat SMP.

Lain halnya Tri Handayani, mulai sakit setelah kuliah hingga saat ini, meski tampak sehat terkadang kumat, sakit kepala hebat, mimisan dan muntah darah. Di tengah serbuan penyakit kanker itulah, Tri Handayani tetap sekolah hingga berhasil meraih ijazah S2.

Sungguh, inilah perempuan super tangguh!
Satu hal lagi yang mengikat kami berdua adalah visi dan misi; mencerdaskan ummat dengan syiar dakwah. Tri Handayani dengan syiar dakwah secara lisan. Aku sendiri dengan dakwah bil qolam.

Alhasil, klop!

“Apakah kisahku ini menarik untuk dibukukan, Teteh?” itulah pertanyaan yang memungkas percakapan kami.

Kujawab lugas.”Tentu saja, kisahmu sangat menginspirasi, Dek. Bukan saja untuk kaum kita perempuan, melainkan juga untuk ummat. Terutama bagi mereka yang sedang mengalami penyakit mematikan, bisa membuat terpuruk ke dalam keputusasaan. Membaca kisahmu akan menginspirasi, menyemangati dan mencerahkan mereka.”

“Pernah aku menyampaikan keinginan menulis buku kepada seorang dokter. Dia bilang, lantas apa bagusnya?”

“Aduh, itu kan menurut kacamata seorang dokter. Lah Wong setiap saat ada saja pasien parah dan mati di tangannya,” tukasku mendadak sewot dengan tanggapan si dokter. 

Bukannya didukung, seperti dokterku di masa remaja dulu, ini malah mematahkan semangat pasien. Aneh!

“Begitu, ya Teteh,” ujarnya kembali bersemangat.
“Percayalah, Dek, banyak manfaatnya jika kita rekam jejak. Lantas menyebarkannya kepada sesama pasien,” pungkasku menyemangatinya. Ia menganguk dan wajahnya semakin berseri dengan sepasang mata berbinar indah.

“Bisa berapa lama Teteh menggarapnya?” Aminah Mustari menanyaiku, saat kami pulang.
“Beri waktu sekitar enam pekan, ya Dek, insya Allah akan teteh tuntaskan.”

Hari demi hari aku menuliskannya, adakalanya aku harus tertegun lama dan merasakan kesedihan luar biasa. Perjuangan Tri Handayani dalam melawan kanker, menjalani oeprasi demi operasi dalam keterbatasan dana, subhanallah!

Sosok bapak yang menyemangati serta ibu yang senantiasa ada saat dibutuhkan, sungguh mengingatkanku kepada orang tuaku yang telah tiada.

Satu kali, dinihari setelah sholat tahajud, kembali aku duduk di depan laptop. Mendadak aku ingin sekali menangis, bab terakhir yang kugarap adalah bagian Tri bersama ibunya desak-desakan di kosan di antara para pasien kanker yang berguguran satu demi satu: Menyerah!

Aku pun pernah mengalami hal serupa, hanya tidak di kosan melainkan di sebuah rumah singgah di kawasan kumuh belakang RSCM. Tidak ada lagi emakku, tetapi didampingi seorang anak perempuan. Jadi kebalikan dari Tri, aku bisa mengandalkan anakku di kala keadaan darurat. Butet sampai tidak lulus satu mata kuliah demi menemaniku di rumah sakit, menjelang operasi pengangkatan kandung empedu dan limpa.

Aku menangis, tentu saja, mengingat dua kali menjelang melahirkan tim dokter mengajukan pilihan; aborsi atau kehilangan nyawa. Ya Allah, terima kasih, Engkau masih memberiku kekuatan untuk berjuang mempertahankan janinku. Sehingga memiliki dua anak yang bisa diandalkan dan dibanggakan.

Maka, aku pun menuliskannya terus sambil melanglang Negeri Jiran, memenuhi undangan anak-anak BMI Malaysia. Maklum, aku digelari sebagai emaknya kaum BMI. Mereka membutuhkan keberadaanku untuk meneror agar menjadi penulis, mengikuti jejakku, memperkuat barisan penulis Indonesia.

Akhirnya, inilah jadinya buku yang berdasar kisah nyata seorang ustazah, guru mengaji dari Kranji, Bekasi. Aku memilih bentuk sebuah novel inspirasi, karena jika memoar sebaiknya ditulis oleh penulisnya pribadi.

Tri Handayani memberikan catatan, aku mengembangkannya dengan dialog-dialog, beberapa tokoh fiktif dan penglataran agar terasa hidup. Namun, aku tidak mengubah esensi makna keseluruhan kisahnya. Semoga buku Mengejar Pelangi ini bermanfaat dan mencerahkan untuk ummat.

Salam Perjuangan

Pipiet Senja

Hati-Hati Beli Online: Komplain Kepada Lazada Indonesia

$
0
0
Lazada, mana pengembalian dananya, Gan?!

Kronologisnya: putriku memesan barang kepada Lazada melalui online,
Dipesan pada 2015-01-17 21:16:05 Nomor pesanan 301621763   Nama Produk Kode Produk Jumlah
Apple iPhone 5 - 64 GB – Putih AP082ELAIDAJANID-421042

Pada tanggal 29 Januari 2015 mendapat email yang menyatakan bahwa barang tidk ada dan dana akan dikembalikan dalam tempo  maksimal 14 hari kerja.

Ini adalah pegalaman yang paling menyebalkan yang pernah saya alami dengan portal niaga terkenal sekaliber: Lazada Indonesia! Ini adalah upaya langkah kedua yang saya ambil, setelah berkali-kali melakukan pendekatan melalui chatt live dan email langsung dengan pihak Lazada.

Ini jawaban email yang pertama kepada saya atau kedua setelah membalas email dari putriku zhiclopedia@gmail.com, karena dia yang pertama memesan barangnya kepada Lazada.co.id
Dear Etty Hadiwati ,
Kami informasikan bahwa pengembalian dana sebesar 5240000.00 untuk produk pesanan Anda (seperti terlampir di bawah) dengan nomor order 301621763 telah dimulai.
Waktu estimasi transfer ke akun Anda tergantung pada pilihan cara pengembalian dan bank terkait. Mohon mengacu pada Pengembalian Dana (http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC01IU0801JMIRQ0&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) untuk estimasi akurat.

Dipesan pada 2015-01-17 21:16:05 Nomor pesanan 301621763 Nama Produk Kode Produk Jumlah
Apple iPhone 5 - 64 GB – Putih AP082ELAIDAJANID-421042

Karena ditunggu-tunggu sudah melewati 14 hari kerja, sebagaimana dijanjikan, maka saya mengirim lagi email sbb:  Pada 26 Februari 2015 18.03, Pipiet Senja menulis:
Mau tanya, bagaimana ini kelanjutannya? Apakah tidak bisa baik-baik sajalah mengembalikan dananya? Atau Lazada ingin hal ini kita blow up di medsos?
Pipiet Senja (Penulis Indonesia) ini nomer yang bisa dihubungi langsungl 085669185619
Sudah dicek beberapa kali ke pihak Bank, tidak ada pengembalian dana!

Jawaban email ketiga, Saudara!
Kami informasikan bahwa pengembalian dana sebesar 5240000.00 untuk produk pesanan Anda (seperti terlampir di bawah) dengan nomor order 301621763 telah dimulai.
Waktu estimasi transfer ke akun Anda tergantung pada pilihan cara pengembalian dan bank terkait. Mohon mengacu pada Pengembalian Dana (http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC01IU0801JMIRQ0&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) untuk estimasi akurat.
Dipesan pada 2015-01-17 21:16:05 Nomor pesanan 301621763   Nama Produk Kode Produk Jumlah
Apple iPhone 5 - 64 GB – Putih AP082ELAIDAJANID-421042
Terima kasih untuk kesabaran Anda. Mohon maaf kembali atas ketidaknyamanannya.

Silahkan kunjungi Help Center http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC01GVTA00JBTQ39&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) kami untuk tips terbaru dan pertanyaan yang sering diajukan. Silahkan jika Anda ingin menghubungi kami, jangan ragu untuk memberikan informasi disini (http://www.lazada.co.id/contact/).
Hormat kami,
Tim Lazada
Perlindungan dan Privasi Data
Informasi Anda aman bersama kami.
Silakan lihat Kebijakan Privasi (http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC018J7801RFOD5J&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) kami.
Email ini dikirim oleh
Lazada Indonesia
Menara Bidakara 1 Lt.16
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 71 - 73
Jakarta Selatan, DKI Jakarta

Saya tunggu lagi sampai lewat lagi 14 hari kerja. Sementara itu beberapa kali live chatt, jawabannya sungguh tidak jelas. Petugas bernama Satrio minta bukti Penagihan dari Bank. Saya kirimkan melalui email. Kembali menunggu dengan segala kesabaran yang dimiliki.
Karena tidak jelas juga, dan sudah dicek ke pihak Citibank bahwa tidak ada pengembalian dana baik bulan Pebruari 2015 maupun Maret 2015, maka kembali anak saya mempertanyakan hal tersebut. Saya pun mengirim email mempertanyakan itikad baik Lazada.
Jawabannya adalah sebagai berikut, ini yang entah ke berapa kalinya ya, saking sering mereka kirim jawaban yang sungguh mengecewakan dan sangat tidak jelas.
Pelanggan yang terhormat,
Email Anda telah kami terima dengan nomor tiket #2030363

Kami akan berusaha untuk menjawab email anda dalam jangka waktu 1 hari kerja, Untuk mendapatkan jawaban realtime Anda dapat menggunakan fasilitas LiveChat yang beroperasi selama jam kerja. Silahkan klik tombol “Live Chat” yang ada di sebelah kiri bawah website lazada.co.id  Anda juga bisa melihat FAQ kami di http://www.lazada.co.id/help/ untuk melihat jawaban atas pertanyaan yang sering ditanyakan.
Terima kasih
Hormat Kami
Layanan Pelanggan Lazada.co.id
Sampai ditulisnya komplain Lazada ini, baru ada jawaban melalui email kepada zhiclopedia@gmail.com

Intinya; Lazada kembali meminta bukti penagihan dari Citibank, agar Lazada segera memulai proses pengembalian dana. Busyet deh, apa harus kirim bukti penagihan tia buan ke Lazada, begitu?
Saya menghubungi pihak Citibank, petugasnya mengatakan tidak ada pengembalian dana dari Lazada, dan tidak etis meminta lembar penagihan nasabah, sebab selama ini pun itu adalah bersifat Rahasia.

Sahabat, adakah yang pernah mengalami hal serupa dengan Lazada Indonesia? 
Apa yang harus kami lakukan untuk mendapatkan hak kami kembali? Mohon itikad baik Lazada!

Jika masih tidak ada respon dan kejelasan juga bisa jadi kami akan mengambil langkah hukum. Sebab dana sebesar Rp.5240000 (Limajuta Duaratus Ematpuluh rupiah) adalah besar sekali.
Terima kasih
Tabik Pipiet Senja/Etty Hadiwati HP 085669185619

Meretas Ungu: Menulis Sebagai Terapi Jiwa

$
0
0



Novel yang satu ini kutulis di tengah kisuh-misuhrumah tangga, bahkan sampai mengungsi ke  rumah milik Ustadzah Yoyoh Yusroh. Ya, semuanya kugarap sepanjang hebohan tersebut, beberapa bulan sebelum puncak kekacauan yang nyaris saja membawa kami ke Pengadilan Agama.

Intinya, karena keputusan bapak anak-anak yang bersikeras akan menikah lagi, kemudian istrinya itu direncanakannya akan dibawa ke rumah alias disaturumahkan. Macam sinetron satu pondok dua cinta saja. Alamak!

Ketika itu, 2006, aku masih bekerja di Gema Insani Press sebagai staf ahli, bersama Mbak Yayuk, istri Tifatul Sembiring, dan Dian Yasmina Fajri. Saru hari aku mengajak Mbak Yayuk curhatan, saat itu aku sama sekali tak tahu bagaimana status istri pertama tokoh PKS ini.

“Mbak Yayuk, apakah pernah menghadapi situasi di mana kita harus merelakan suami yang ingin menikah lagi dengan perempuan lain?” tanyaku mengusiknya, menyelang dari saat rehat di ruang kerja kami.

“Insya Allah, saya sudah, Teteh sayang,” sahutnya terdengar kalem sekali, membuatku tertegun dan agak tak paham memaknainya.
“Maaf, sudah ini…, ehm, bagaimana, Mbak?”

“Iya, saya sudah mencarikan istri kedua untuk bapaknya anak-anak,” sahutnya pula, begitu tenang dan nyaris tanpa ekspresi.
“Maksudnya, Mbak Yayuk dipoligami, begitu? Istri ke berapa, ya?”
Wanita berwajah ayu, asli Lombok itu tersenyum tersipu-sipu.
“Saya istri pertamalah, Teteh sayang. Duh, Teteh ini bagaimana sih?”

Sejak itulah, setiap kali sosok ini muncul di kantor, aku mencoba mendekatinya dan melanjutkan curhatan. Spesial mengenai urusan poligami, ilmu ikhlas dan sabar, demikian yang ingin kuperoleh dari kedekatan kami.

“Dalam agama kita poligami kan memang diperbolehkan,” terngiang-ngiang terus kalimatnya yang mengawali rentetan tausyiahnya seputar; keluarga sakinah.

Maka, aku pun belajar menata hati, memperkuat kesabatan dan meneguhkan lagi setingginya, sekokohnya urusan ketegaran dan ikhlas. Luka hanya bisa terurai jika waktu yang membasuhnya, demikian pengalaman yang kupetik.

Sepanjang menulis novel Meretas Ungu yang kugarap dalam tempo relatif singkat, sekitar dua bulan saja, acapkali kepedihan itu begitu meluap. Aku harus lari ke kamar mandi, mengunci diri di dalamnya, kemudian membasahi sekujur tubuhku dengan air dingin sebanyak-banyaknya.

Tak jarang di tengah malam buta, dalam hening menjelang dinihari aku lama sekali tersungkur di atas sejadah. Mencoba mengadukan segala keluh-kesahku kepada Sang Maha Kasih. Setelah itu, aku kembali ke laptop, dan menumpahkan segala energi yang kumiliki, melanjutkan novel sesuai yang kuinginkan.

Menulis, akhirnya bagiku memang merupakan terapi jiwa!
Benar kata seorang sahabat yang sering diselingkuhi pasangannya. ”Daripada kita menangis, setres dan sakit kepala sendiri, mendingan juga kita berkarya. Karena aku seorang pebisnis, ya, aku salurkan saja segala kemarahan dan kegeraman itu pada duniaku ini.”

Sahabatku berhasil melampiaskan nestapanya sekaligus amarahnya untuk hal-hal yang positif; memajukan perusahaannya, menyejahterakan karyawannya.

Aku pun karena bisanya menulis ya berkaryalah. Betapa ingin kubuktikan kepada dunia bahwa aku bukanlah seorang perempuan lemah. Aku masih mampu berjuang, meskipun tanpa dukungan pasangan hidupku. Insya Allah; Bisa!

Novel Meretas Ungu adalah satu-satunya bukuku yang diformat dengan hardcover. Sungguh buku yang yang cantik, bernuansa ungu, warna favoritku. Aku meluncurkannya dan membedahnya di beberapa tempat; Riau, Singapura dan Mesir.



Tuhan Jangan Tinggalkan Aku

$
0
0


Malam ke-15, apartemen Frankie, musim dingin semakin membeku dengan suhu udara di luar mulai ekstrim.
Tiga hari tiga malam Fatin dan si kecil benar-benar dikurung di kamar yang tidak layak huni di lantai atas. Penerangan hanya mengandalkan cahaya dari luar, tiang listrik yang menyala jika telah malam.
“Dingin, Ma, dingin, brrrrr!” gumam kecil akan terdengar setiap beberapa saat.
“Sabar, ya Nak, kuat ya, tangguh, Cintaku….”
Hanya itu yang bisa diucapkannya seraya memeluk si kecil erat-erat. Jika boleh jujur, sesungguhnya ini lebih sebagai upaya menyembunyikan rasa takutnya sendiri. Menciumi harum badan anaknya, niscaya ada satu keajaiban cinta yang menguar dari tubuh si kecil.
Saat-saat begini bagi Fatin merupakan satu-satunya cara dalam mengumpulkan repihan semangat yang telah tercerai-berai. Maka, acapkali ia  menyusupkan wajahnya dalam-dalam ke kepala anaknya.
Adalah oercakapan begini, betapa sering dan tak terhitung lagi.
“Mama dongeng, ya Nak….:”
“Sudah dongeng dari tadi….”
“Hmm, lapar, ya Cintaku?”
“Tidak, Mama,” tolak si kecil bagai memahami jalan pikiran ibunya.
Perkataan ibunya hanyalah penghiburan.
Mama akan berpura-pura mencari makanan, berkeliling kamar, meyusuri setiap ubin dari satu sudut ke sudut lainnya. Kadang samba menggendongnya, tetapi kemudian lebih sering hanya mampu menuntunnya.
“Mama cari makanan dulu, ya….”
“Jangan, Ma, jangan. Nanti kita dipukul,” pintanya terdengar memelas sekali.
Seraut wajah bocah yang mengambil garis keturunan perpaduan antara ibu dengan ayahnya, campuran Sulawesi dan Sunda, tampan rupawan. Kini tampak kuyu dengan sorot mata melembut, penuh dengan luka dan kepedihan yang dalam.
Fatin tak pernah mengira jika peristiwa ini kelak akan sangat mempengaruhi kehidupan anaknya, membekaskan traumatis jiwa yang sangat dalam.
Hingga bertahun-tahun kemudian!
Fatin memeluknya lebih erat lagi, menciumi wajah rupawan dan tanpa sadar air bening mengalir dari sudut-sudut matanya.
Ridho kecil menikmati kehangatan dekapan sang ibu.
Air matanya pun menitik.
Lihatlah, kini air mata ibu dan anak menyatu bak aliran sungai kecil yang menebah laju, terus menuju hulu, menuju samudera luas.
Dhooor! Dhooor! Dhoooor!
Pintu digedor dari luar.
Fatin telah menguncinya dari dalam.
Ia tak peduli dengan rasa lapar, asalkan terhindar dari penganiayaan.
Biarlah, lapar masih bisa mereka tanggung.
Ada kulkas kecil di ruangan ini, beberapa kotak roti kering dan biskuit serta keju masih layak makan. Ada juga sejumlah minuman dingin dan beralkohol, ini sama sekali tak bisa dikonsumsi oleh Fatin dan anaknya.
Setelah tiga hari tiga malam makanan yang layak konsumsi itupun sudah licin tandas. Sesekali Frankie meninggalkan makanan alakadarnya di depan pintu. Makanan berupa sisa-sisa makanannya sendiri.
Sepertinya makanan anjing peliharaan tetangga jauh lebih bagus daripada makanan sisa si jahanam.
“Makan ini, he, betina tak tahu diuntung!”
“Kalau tidak kamu yang berdosa, membiarkan anjing kecil itu mampus!”
Dada Fatin bergemuruh mendengar teriakan dari luar.
Rasanya ingin saja menghambur dan menikamkan pisau tajam yang selalu dikantongi di saku roknya ini ke mulut si jahanam. Merobek-robek mulut busuk yang dagingnya pantas dikerkah, lantas dibuang ke comberan!
Fatin mulai terbiasa untuk memasang kupingnya baik-baik. Sehingga ia bisa membaca pola gerakan dan kebiasaan si jahanam. Dia menerawang lelaki itu punya kebiasaan; bangun tengah hari, makan sambil nonton televise atau DVD porno, sekitar pukul lima sudah keluart rumah. Pulang dinihari dalam keadaan mabuk, sering juga membawa serta perempuan-perempuan binal.
Sekarang semakin sering pulang sebentar saja, agaknya sekadar ingin meyakinkan dirinya bahwa tawanannya masih aman di apartemennya.

Penasaran, ya Sob?
Tunggu tanggal mannya dalam film layar lebar, insya Allah akan dibesur oleh sutradara terkenal Aditya Gumay. Mohon doanya, ya teman-teman yang disayang Allah Swt.
Mari Dukung Film Indonesia yang bermutu!




Janganlah Mengatasnamakan HAM:PKI Bahaya Laten!

$
0
0



Kuala Lumpur, 3 Oktober 2015

Ketika kanak kanak saya sering dengar bapakku cerita ttg kekejaman PKI. Saat PKI berontak di Madiun, Bapak termasuk prajurit Siliwangi yg ditangkap PKI. Bagaimana kejinya PKI menyiksa dan membunuh teman teman Bapak. Ada yg digorok, dikeluarkan isi perut, ini benar sekali!
Bapak dibebaskan oleh pasukan yg dipimpin Amir Machmud, saat itu pangkatnya Mayor, kalau tak salah ingat.
Ketika jelang G30S, giliran saya menyaksikan Aki, kakek yg ajengan NU, sering dizalimi anak anak muda PKI. Kalau pulang dari Masjid kulihat aki belepotan dg kotoran manusia....
Ah, saya sudah tulis di memoar Dalam Semesta Cinta sebagian yg kualami sendiri. 
Anak anak PKI hobi nian membully saya, entah disuruh orangtua atau apalah. Dijedotin kepala ke tembok, ditendang rame-rame atas provokasi si Eneng anak PKI itu, bahkan didorong ke Empang hingga kaki kena batu runcing. 
Berbulan bulan tidak bisa jalan.
Pemerintah harus minta maaf kepada PKI dengan ganti rugi triliyunan dari APBN?
Halaaah, preeeeet, ah!
Para mantan Jenderal sekarang yg Dukung PKI itu, siapa saja yaaaak? 
Mereka itu prajurit kan ya, apa lupa sejarah Brow?
Status Rita ini membuat saya mendadak teringat semua itu.
 Maaf? Pasti akan ada yg nyinyir dan sok nasehati, lebih baik memaafkan kan demikian sesuai ajaran Islam. Mudah memaafkan, tetapi yg seharusnya minta maaf itu mereka, para komunis!
Jelang haul kepergianmu Bapak!
Mayor CHB SM Arief, dimakamkam di TMP Cikutra 5 Oktober 1991

Semoga Kita Jumpa Kembali, Bapak!

$
0
0


Update di Kuala Lumpur, 4 Oktober 2015
Mengenang haul kepergianmu, Bapak; 4 Oktober 1001-4 Oktober 2015

Ayahku bernama lengkap Sukro Muhammad Arief. Belakangan disingkat menjadi SM.Arief. Kerabat dekat dan saudara-saudaranya biasa memanggilnya Koko, anak sulung dari lima bersaudara.
Ayahnya bernama Muhammad Ari telah meninggalkannya saat remaja. Emih ibu kandungnya yang sangat cekatan dan mandiri. Keluarga Bapak bukan asli orang Cimahi. Konon, leluhurnya berasal dari Ciomas, Bogor. Menjelang hari-hari terakhir hidupnhya, Bapak pernah melacak jejak leluhurnya itu ke Ciomas. Namun, Bapak kembali dengan cerita bahwa dia hampir tak menemukan lagi sanak kerabatnya di sana.
Bapak lahir di Cimahi, 23 Januari 1930. Dia mendapat pendidikan di zaman Jepang. Sekolah formalnya setingkat SMP. Yaitu sekolah teknik di Surabaya, di selenggarakan oleh Angkatan Laut Jepang.
Bapak cukup fasih berbicara dalam bahasa Jepang. Saat meletus Perang Pasifik, Koko remaja sedang berada di tengah samudra diatas kapal perang Angkatan Laut Jepang. Bersama Koko ada para pemuda lain yang punya tujuan serupa.
“Kami terdampar di Banjarmasin. Tepatnya dibuang oleh tentara-tentara Jepang itu. Karena mereka segera disibukkan perang melawan Sekutu,” kisahnya dengan semangat penuh  petualangan.
Koko remaja bersama seorang sepupunya, Benyamin. Beberapa waktu tak tahu tujuan. Tak tahu cara bagaimana untuk pulang ke kampung halaman.
“Hanya karena kemurahan Allah Swt, kami mendapat tumpangan sebuah kapal dagang. Berhari-hari dan berminggu-minggu, kami ikut dalam pelayaran yang sangat menyenangkan,” tutur ayahku bila sudah memapar kembali kisah heroiknya, romantika para pejuang ’45.
“Kami disambut dengan jerit tangis Emih dan sanak famili di Cimahi. Bayangkan, hampir lima bulan kami tak ada kabar berita!” tuturnya pula di depan anak-anak.
Usia lima belas tahun Koko bergabung dengan pasukan pejuang di Cimahi. Agar diterima oleh komandan pasukan, terpaksa mengaku berumur 17 tahun lewat. Walau kemudian diketahui juga hal yang sebenarnya. Namun, Koko remaja telah membuktikan kemampuannya sebagai seorang pejuang.
Sejak itu Koko mengabdikan hidupnya demi bangsa dan negara melalui TNI-AD. Tentang sebagian pengalaman dan perjuangannya semasa revolusi 1945, aku menuliskannya dalam buku bacaan anak-anak, Prahara Cimahi. Di masa mudanya saat masih revolusi, Bapak sempat menjadi seorang penulis lepas dan wartawan perang. Dia menulis untuk majalah Hubad dekade 50-an. Namun, kariernya sebagai prajurit kemudian  menyita seluruh waktunya.
Hubunganku dengan Bapak di masa kanak-kanak tak begitu dekat. Bapak terlalu sering meninggalkan keluarga demi panggilan tugasnya. Aku bisa mengingatnya, saat Bapak kembali dari tugasnya di Malangbong, Garut. Dia membawa jeruk garut yang disimpan dalam ransel tentaranya. Juga beberapa pohon anggrek bulan.
“Jeruknya buat anak-anak. Anggrek bulannya buat kamu, Alit,” ujarnya kepada Mak.
Bapak memang suka memanggil Mak dengan sebutan Alit. Kalau Aki dan Eni suka memanggil Mak dengan sebutan Nok Alit.
“Itu Bapak pulang. Ayo, salami Bapak,” Mak mendorong-dorong aku untuk mendekatinya.
“He, kenapa bengong saja? Lupa barangkali sama Bapak, ya?”
Aku menghampirinya dengan takut-takut. Lihatlah! Penampilannya sepulang dari hutan Malangbong itu, aduuuh… menakutkan anak-anak!
Pakaian hijau kumal, sepatu kotor. Rambut gondrong dan dagunya menyemak dengan jenggot. Macam penampilan seorang perompak, bajak laut saja!
“Jangan takut. Aku ini Bapak, ayah kandungmu, Nak,” katanya berusaha hendak menggendong.
Kontan saja aku berlari ketakutan. Menjerit-jerit dan menangis… heee-boooh!
Beberapa hari Bapak bisa berkumpul dengan keluarga. Setelah berpenampilan apik dan bersih barulah aku mau mendekatinya, malah minta digendong. Biasanya Bapak akan memangku aku di atas bahu-bahunya yang kekar.
Sepasang tangannya yang kukuh sering digunakannya untuk mengayun-ayun kami. Aku, En, Vi, dan El. Bapak menyayangi kami tanpa pilih kasih.
Saat aku duduk di TK Persit Kartika Chandra, Bapak paling sering mengantarku. Bapak kala itu bertugas di Kodim Sumedang. Jadi punya cukup waktu untuk keluarga. Terutama kalau dia sedang cuti. Sementara Mak hampir tak bisa mengantarku ke sekolah. Sibuk dengan adik-adik kecil di rumah.
“Waaah, Pak Sersan lagi yang ikut piknik sama kita?” kata Ibu Saodah, guru TK-ku.
“Senengnya ada bapak-bapak…”
Bapak tersenyum-senyum saja bila digoda oleh para ibu temanku. Kehadirannaya menambah semarak suasana piknik kami karena Bapak orangnya humoris, suka membanyol dan supel. Kami piknik ke Gunung Kunci, Gunung Palasari, Cimalaka atau Cipanteneun. Sesampai di tempat tujuan, Bapak ikut sibuk membantu Mang Encu, pesuruh sekolah. Menurunkan anak-anak dari truk tentara. Maklum, sekolahnya kan punya Persit Kartika Chandra. Kami bisa menggunakan fasilitasnya.
Bapak agaknya ingin sekali memiliki anak laki-laki. Setiap tahun ditunggu dan didambakannya jagoannya itu.
Ndilala… ngaborojolna awewe deui, awewe deui![1]
Sering kerinduannya akan anak laki-laki itu dilampiaskannya kepada kami, anak-anak perempuannya. Itulah agaknya yang mendorong aku menjadi tomboy.
Saat di bulan Ramadhan, Bapak sibuk menggotong-gotong bambu besar.
“Kita bikin bedil lodong, ya?” ajaknya kepadaku, adikku En dan sepupuku El.
Kami memperhatikannya sampai Bapak memperagakan cara-caranya kepada kami.
“Isi air dulu lodongnya. Masukkan sedikit karbit. Tutup sebentar dengan kain. Nah, nyalakan sundutannya dan …”
Blaaar! Blaaar! Bleeeng!
Bunyinya menggelegar ke mana-mana. Kami bergantian menyundut bedil lodong itu. Tak tahan dengan omelan Eni dan Emih, main bedil lodongnya dilanjutkan di sawah dengan Bapak.
Itulah masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Di mataku, Bapak adalah orang yang paling bisa diandalkan. Dia memiliki macam-macam kepandaian dan keterampilan. Pintar melukis, meniup seruling, memetik kecapi, pencak silat, dan bertukang. Menurutnya, semua anak punya kemapuan dan bakat dalam bidang apapun. Tinggal bagaimana cara anak itu mengembangkannya atau diarahkan orang tua. Bapak selalu menanamkan arti kedisiplinan dan kemandirian kepada anak-anak.
Di kemudian hari tidak satu pun dari anaknya yang mewarisi bakat ketentaraannya. Bakat melukis dan mendesain diwariskannya kepada En. Bakat meniup seruling dan memetik kecapi kepada Ry. Bakat gurunya kepada Vi dan Ed. Bakat wiraswastanya kepada Sy dan My. Sedangkan aku mewarisi bakatnya dalam berkesenian, jurnalistik dan menulis.
Walaupun sempat sangat mendambakan anak laki-laki, tetapi pada kenyataannya Bapak tak pernah pilih kasih. Buktinya, setelah kedua adik laki-laki lahir, perhatian dan kasih sayangnya tak berubah terhadap anak-anak perempuannya.
“Kamu anak sulung, Teteh. Kalau tak ada Bapak, kamulah yang harus bisa membantu Mak. Kamu harus bisa memimpin adik-adikmu,” pesannya setiap kali Bapak akan bertugas ke luar kota.
Jangan heran kalau mendapati aku atau En sedang berkutat memperbaiki genting bocor. Atau memperbaiki kabel listrik yang korsleting di atap rumah. Terkadang aku merasa, bagi Bapak semuanya harus bisa. Tak ada istilah tidak bisa. Semuanya bisa dipelajari. Begitulah motto hidupnya.
Setelah dua tahun duduk di Taman Kanak-Kanak Persit Kartika Chandra, akhirnya aku boleh sekolah di Sekolah Rakyat Sukaraja. Aku sudah diajari membaca dan menulis dengan ketat dan disiplin oleh Bapak. Jadi, saat masuk sekolah itu aku sudah bisa memba dan menulis. Hanya karena sering sakit dan jarang masuk sekolah, aku tak bisa menyerap proses pembelajaran dengan baik. Dari kelas satu sampai kelas tiga, prestasiku sedang-sedang saja.
Namun, saat kelas empat, prestasiku meningkat bagus. Bahkan, akhirnya mendapat predikat juara umum saat akan naik kelas lima. Itu memang mengherankan. Sebab masa-masa itu justru keluarga kami sedang ditimpa banyak kesulitan. Belakangan aku paham. Agaknya justru karena banyak tekanan itulah yang melecut  semangat dan motivasiku untuk meraih prestasi.
Apabila tidak merasa sakit, aku seperti kebanyakan anak pada umumnya. Bisa main sepuasnya; manjat-manjat pohon, naik sepeda keliling Keputren, Regol sampai pasar. Pergi mengaji ke Pesantren Pagelaran, dan tentu saja sekolah dengan rajin. 
Aku termasuk anak perempuan tomboy, kebanyakan bajuku celana pendek dan kemeja atau kaos. Tetapi aku memelihara rambut yang panjang dan lebat. Biasanya rambutku dikepang atau diekor kuda. Kalau tak bisa melakukannya aku minta bantuan kepada Bi Eha.
“Bikin repot orang saja. Sini, Eni potong rambutmu!” nenekku sering cerewet tentang rambut panjangku ini.
“Iiih, gak mauuuu!” aku lari terbirit-birit.
Dalam kurun waktu tertentu, entah apa yang membuat nenekku gregetan kepingin memotong rambutku. Biasanya untuk beberapa saat aku menghindari perjumpaan dengan nenekku.
Di halaman rumah yang luas aku mempunyai tempat favorit. Di sebuah batang jambu kukuh yang bercabang tiga, di antara cabangnya, aku nyaman bermain dan membaca di sana. Terutama saat bulan puasa.
Biasanya Mak akan menawarkan sebuah alternatif manis buatku, agar aku menuruti perintahnya. Sepulang mengaji aku diperbolehkan mampir ke taman buku bacaan. Saat itu aku sudah kecanduan buku bacaan. Buku-buku milik Bapak terbitan Balai Pustaka semuanya habis aku lahap. Bahkan buku-buku militer, arsip-arsip dan dokumen rahasia, materi pelajaran saat Bapak  pendidikan kubaca juga.
Saat usia delapan tahun, aku sudah mengenal karya-karya Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi Pane, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Mansur Samin, Ajip Rosidi, Rustandi Kartakusumah, Mansur Samin, dan lain-lain.
Terjemahan yang aku sukai ketika itu adalah karya Jules Verne, Charles Dickens, dan tentu saja penulis favoritku Karl May. Serial Old Shuterhand dengan Winetou-nya, sungguh membuatku terpukau. Aku mengembara, melanglang buana (di tempat!) melalui karya besar pengarang Jerman yang belum pernah menginjak tanah Amerika, tetapi begitu pas menggambarkan suasananya. Setidaknya demikian menurut persepsiku kala itu.
Berkaitan dengan kecanduan buku ini, ada satu pengalaman  yang membekas dalam ingatan. Ketika itu zamannya serba sulit. Kejadiannya sekitar tahun 1964-1965. Paceklik, wabah kolera dan disentri pun menyebar di mana-mana. Untuk mendapatkan sembilan bahan pokok orang harus berebutan. Di depan kantor pensiunan pada saat-saat tertentu orang mengantri beras, gula, minyak tanah, dan kebutuhan bahan pokok lainnya.
Keluargaku pun tak luput dari masa-masa sulit itu. Bapak bersama pasukan Siliwangi ditugaskan ke pedalaman Sulawesi. Memberantas gerombolan Kahar Muzakar. Kami hanya bisa makan nasi campur jagung. Terkadang nasi bulgur atau hanya tiwul dan jiwel.
Suatu hari Mak menyuruhku untuk membeli minyak tanah. Karena di kantor pensiunan tak ada persedian, aku harus membelinya di dekat pasar. Sambil menunggu antrian bergerak, aku melihat-lihat kios buku di samping pompa bensin.
“Weits… ini dia! Adamajalah Mangle, Langensari, Baranangsiang, Campaka, Sari,” decakku terkagum-kagum.
Semuanya majalah berbahasa Sunda. Aku tahu persis, di majalah Mangle dan Langensari sedang dimuat cerita bersambung karya Rustandi Kartakusumah. Sebelumnya aku hanya bisa menunggu lanjutan serial pengarang besar itu dari taman bacaan langganan Mak. Itu pun harus berebut dengan para penggemar lainnya.
Tanpa pikir panjang lagi, aku membeli kedua majalah itu!
Sambil membawa majalah itu aku ngeloyor ke alun-alun. Membacanya sambil tidur-tiduran di atas lingga. Yaitu sebuah tugu monumen, peninggalan zaman dahulu di tengah alun-alun Sumedang.
Begitu asyiknya aku membaca. Lupa segalanya!
Petang hari, akhirnya Mak berhasil juga melacak jejakku.
“Astaghfirullaaah!” jerit Mak dengan wajah merah padam. “Dari tadi ditunggu-tunggu minyak tanahnya, sampai batal masak! Mana minyak tanahnya, mannnaaa?”
Aku terdiam sambil memeluk majalah Mangle dan Langensari erat-erat di dadaku. Jerigen ukuran limaliter tergeletak di bawah tangga lingga. Mata Mak melotot hebat.
“Iiiih… ini anak!” dijewernya kupingku kuat-kuat.
Aku bergeming. Pantang menangis kalau bukan karena sakit!
Sepanjang jalan pulang, Mak merepet terus mengomeliku. Aku hanya terdiam, merasa bersalah. Sebagai hukuman Mak melarang aku main sepeda keliling Regol selama seminggu. Aku malah senang.
“Mending juga baca majalah kesayangan daripada keluyuran!” gumamku membatin.
Biasanya kemarahan Mak takkan lama-lama. Karena Mak pun termasuk kutu buku. Mak malah menungguiku selesai membaca majalah. Kemudian, Mak pun akan asyik membaca cerita bersambung Rustandi Kartakusumah.



[1] Ndilala… keluarnya perempuan lagi, perempuan lagi!

Kepingin Menjadi Penulis: Mulailah Sekarang Juga!

$
0
0



Jika yang lain menjanjikan; sini, mau menjadi penulis hebat, gabung dengan saya dan bayar sekian-sekian, ada sertifikat dan di hotel berbintang, deelel. Maka manini Pipiet Senja tidak akan janji muluk-muluk, hanya bilang; mau menjadi penulis itu butuh niat kuat, motivasi, semangat berkarya, praktek langsung. Selebihnya, biarkan semesta kata akan menuntunmu menuju takdir-Nya.Sore ini, Sabtu 17 Oktober, matri kita belajar bersama bagaimana mengeja kata demi kata menjadi sebuah kisah inspirasi. GRATIS!

Petang Terindah di Masjidil Haram

$
0
0
Petang Terindah di Masjidil Haram

            Untuk ke sekian kalinya jemaah Cordova yang lain sudah mendahului kami, berangkat menuju Masjidil Haram. Maka kami bertiga, aku, Marlen dan Aisha beriringan pula memasuki rumah Allah itu.
            Awalnya bisa sholat bersama, di tempat favorit kami yakni dekat-dekat di depan Multazam. Setidaknya sejajar dengan Multazam di pelataran, meskipun digebah-gebah oleh asykar, atau di atas yang khusus disediakan untuk jemaah perempuan.
            “Hayooo… berdiri! Berdiri, Hajjah, haram, haraaam, Hajjah!” demikian sang asykar menggebah kami dengan logatnya yang ajaib.
            Itu masih mending agak sopan ngomongnya. Ada pula asykar yang berseru begini: “Hajjah, he, Indonesia…  Hajjah, enyah, enyaaah!”
            Waaa… kacoooow!
            Siapa tuh yang ngajarin Arab ngomong kasar begitu yah?
            “Pssst… sambil kedip-kedipin matanya sama adinda kita tuh, Dek,” bisikku kepada Marlen yang selalu paling ngotot di antara kami, kepingin sholat di dekat Multazam.
            "Teh Pipiet ada-ada saja,” meskipun demikian Marlen tak bisa menahan geli, mencuri pandang juga ke arah asykar bertubuh tinggi besar.
            “Ups…eee, bener juga ya!” cetusnya kemudian, mengakui hasil reportase daku. Hehe.
            “Tuuuh kan, caya aja deh, cayaaa!” aku merasa menang, kemudian ujarku kepada Aisha yang berada di belakang Marlen.
            “Makanya, adinda kita ini harus pake cadar ke mana-mana. Jangan pernah biarkan dia jalan sendiri, oke, Dek!”
            “Okeee deeeh!” sahut Marlen.
            “Teteh bisa saja deh, emang aku secantik apa seh!” gerutu Aisha, tersipu-sipu.
            Kami terus menyusuri saf demi saf yang semuanya sudah ditempati oleh kaum Adam. Di sini memang akan serasa nian yang namanya kesenjangan gender. Lelaki yang paling diutamakan daripada perempuan.
            Suatu hari aku pernah menyaksikan kemarahan seorang perempuan muda dari Malaysia di Masjid Nabawi.
            “Mengapa perempuan ini disuruh berperang melawan sesamanya?” protesnya sambil terisak-isak, gegas menyingkir dari lautan manusia (perempuan) yang berhasrat sholat di areal Raudhah. Sebelah matanya bersemu kebiruan, mungkin terkena sikut hebat dari jemaah Afrika, entahlah.
            Demikian pula saat kulihat kaum lelaki begitu tertib, bisa antri satu per satu untuk mencium Hajar Aswad. Sementara jemaah perempuan, lagi-lagi, dikondisikan untuk bergelut melawan sesamanya.
            Tak ada asykar hawa yang mengatur kami. Lagipula, kelihatannya semua ingin saling mendahului untuk mencium Hajar Aswad. Meskipun pada akhirnya, kalau tak mau dibuat babak belur, dan beroleh suatu keajaiban; dipastikan menyerah juga tuh, menyingkir secara sadar!
            Eh, ndilalah, tahu-tahu aku sudah kehilangan dua sohib sekamar itu!
            Biarlah, nanti juga ketemu lagi, pikirku. Maka, aku pun sholat sunat kembali, menanti azan Maghrib tiba. Pemandangan dari tempatku ini alangkah indahnya, Saudara!
            Cahaya matahari berwarna keemasan jatuh dengan sempurna, menyinari Kabah, membalut kiswahnya dengan warna kuning. Ditingkahi dengung talbiyah dari jemaah sedang tawaf yang makin melaut, menyamudera dan menggelombang, duhai!
            Seketika aku melihat burung-burung mengitari Kabah, serombongan demi serombongan dengan hitungan tujuh kali. Ya, bahkan burung-burung pun bertawaf, pekikku membatin. Mungkin saja mereka pun sambil bertasbih, memuliakan asma-Nya. Subhanallah!
            Oh, wahai… Keindahan nan sempurna!
            Tak henti-henti bibirku mengucap rasa takjub, dan syukur atas lukisan terindah dari Sang Mahakarya. Maka entah manusia macam apakah, dan begitu angkuhnya, apabila dia masih saja tidak sadar, setelah melakukan ibadah umroh atau haji. Di manakah gerangan nuraninya, mereka, para koruptor, penjilat duit rakyat kecil yang telah bolak-balik haji, kemudian pulang hanya untuk merampok kembali?
            Ya Robb, gedorlah kalbu orang-orang seperti itu, Tuhanku!
            Agar bangsa kami memiliki para pemimpin sejati!
            Azan Maghrib pun menggema, seakan-akan memantul-mantul dari setiap penjuru Masjidil Haram. Saat-saat begini pun senantiasa mampu membuncahkan air mata yang tak henti dari sudut-sudut mataku. Lihatlah, gelombang manusia di sekitar Kabah, Baitullah, mendadak berhenti, kemudian sama-sama melakukan sholat berjemaah.
            Airmata, airmata ada di mana-mana. Airmata melaut,  airmata menggelombang. Airmata menyamudera tak putus-putusnya…
            Biarkan kami menangis, biarkan kami menangis, Ya Robb… Betapa kami ingin mengaku seluruh dosa yang pernah kami lakukan, segala alpa dan lalai di masa silam, masa kini dan… Ya Allahu Akbaaar!
            Mohon tunjukkan kami ke jalan yang lurus dan benar,  ya Allah!
            Mohon, kami mohoooon… tingkatkan iman dan takwa kami kepada-Mu, hanya kepada-Mu, Ya Allah… Ingatkan kami senantiasa dari kelenaan duniawi, agar kami bisa kembali ke sini… berdoa yang senantiasa serasa langsung bersua dengan-Mu, ya Robb…
            Setelah menikmati seluruh nuansa yang indah tak terlukiskan itu, barulah kusadari lagi, dua sohib sekamarku beneran… menghilang!
            Ya sudahlah… aku pun memutuskan untuk kembali ke hotel sendirian. Tapi aku teringat akan janjiku kepada keduanya, bahwa aku akan menanti mereka di depan. Maka, aku pun terduduk dekat rak sepatu, tak jauh pula dari deretan kran-kran air zamzam.
            Lima menit berlalu, sepuluh menit… setengah jam sudah!
            “Wuiiisss, ke mana tuh anak dua? Kok gw jadi ngejemprak gini nih, yah? Kayak gelandangan deh, ah!” gumamku membatin sambil kudengar bunyi keroncongan di perut. Memang sudah saatnya makan malam.
            Perlahan kututup kedua mata, sambil membilang tasbih aku pun berzikir. Entah berapa lama, yang jelas begitu aku membuka mata telah terjadi sesuatu!
            Ya Allahu Robb, siapa yang meletakkan barang-barang ini?
            Yup, di depanku tampaklah ada sekantong plastik korma, sepotong roti khas Arab, secangkir minuman semacam wedang jahe yang aromanya aku tak suka. Karena pernah kuminum juga ketika berada di Mesir. Ada juga selembar uang satu real dan secangkir air zamzam!
            Ya, air zamzam pun disodorkan orang kepadaku!
            Secara nalar buat apa coba, lha wong kran-kran air zamzam nyaris menempel dengan tanganku. Mau minum segentong pun tdak bakalan ada yang melarang, ya kan?
            Tiba-tiba otakku konek, astaghfirullah… tadi aku ngomong… kayak gelandangan kan, Saudara!
            Jadi, jadi… orang-orang itu, siapapun itu, yang kebetulan melintasi tempatku ngejemprak, niscaya mengira diriku ini seorang gelandangan. Agak panik kuraup semuanya itu dengan mukenaku, aku pun melesat keluar Masjidil Haram. Kutahu di pelataran ada gelandangan, asli loh… Ah, ah, tidak, ternyata tak ada sepotong pun gelandangan di sana!
            Maka, aku pun kembali memasuki Masjidil Haram, melangkah dengan tubuh lemas dan kaki-kaki serasa lunglai. Namun, aku terus bergerak perlahan ke depan, menuju kiblatku.
            Duduk di tangga, menghadap Kabah, perlahan aku pun menikmati; seplastik korma, sepotong roti, secangkir wedang jahe Arab, segelar air zamzam. Semuanya kulakukan dengan airmata yang tiada henti bercucuran, membasahi pipi-pipiku, tumpah pula sebagian menetesi semua makanan dan minuman yang ada di tanganku yang gemetar.
            Alhamdulillah, eureuleu, teurab alias sendawa!
         “Kunikmati rezeki langsung dari-Mu ini, ya Allah, ampunilah diriku, ampunilah mulutku yang sudah sembarang ngomong,” gumamku sambil terus-menerus menangis dalam diam, tangisku yang paling nikmat sepanjang hayat dikandung badan.
            Malam itu, aku hampir tak menyentuh makanan selain secangkir kopi susu. Karena perutku sudah kenyang, dan sama sekali tak bisa menelan apapun lagi.
@@@





Nukilan Novel: Bulan Pecah di Langit Jakarta

$
0
0


Bermula di Kaki Kerinci


Anno, 70-an.
Lihatlah, gunung Kerinci menjulang langit!
Hawa dingin menggigit hingga terasa ke tulang sumsum. Bulatan mentari pagi menyembul dari balik pepohonan. Cahayanya yang keemasan menyemburat ke pelosok dusun di kaki gunung.
Puncak Kerinci disebut juga Indrapura adalah gunung tertinggi di Sumatra, gunung berapi tertinggi di Indonesia, puncak tertinggi di luar Papua.
Gunung Kerinci terletak di Provinsi Jambi yang berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat, di Pegunungan Bukit  Barisan, dekat pantai barat, sekitar 130 km sebelah selatan Padang.
Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat, merupakan habitat harimau dan badak Sumatra. Puncak Gunung Kerinci berada pada ketinggian 3805 mdpl.
Siapapun dapat melihat di kejauhan membentang pemandangan indah Kota Jambi, Padang dan Bengkulu. Bahkan Samudera Hindia yang luas dapat terlihat dengan jelas.
Gunung Kerinci memiliki kawah seluas 400 x 120 meter dan berisi air yang berwarna hijau. Di sebelah timur terdapat danau Bento, rawa berair jernih tertinggi di Sumatera. Di belakangnya terdapat gunung tujuh dengan kawah yang sangat indah yang hampir tak tersentuh.
Pagi itu di tengah balutan hawa dingin yang menggigit, masyarakat kaki gunung Kerinci sudah bergerak.
Ada yang pergi ke ladang-ladang dan sawah-sawah. Ada pula yang merambah ke arah gunung, mengadu peruntungan, mencari kayu untuk dijual ke pasar satu pekan sekali.
Nun di sebuah rumah panggung khas masyarakat Kerinci. Tampaklah seorang lelaki 40-an sedang membenahi toko furniturenya. Ia mengerjakan semuanya sendirian.
Bisnis pembuatan perabotan rumah tangga sedang menurun, banyak barang yang belum dibayar. Terpaksa ia harus melepas para pegawainya. Hingga kini tinggal dirinya, dibantu oleh anak-anaknya yang sudah besar.
Dua anak laki-laki, adik-kakak, Gery dan Jefry, tiba-tiba melesat dari dalam rumah. Jefry tujuh tahun, adiknya Gery enam tahun. Keduanya sudah terbiasa melakukan kegiatan bersama pagi hari begini.
 “Gery, Jefry! Mau ke mana ?” seruan Mamak yang terkejut, nyaris saja tertabrak oleh anaknya yang keenam dan kelima ini.
“Sebentar, Mak, mau main!” sahut Jefry, memacu gerakannya yang serba ringkas.
Sosoknya yang tinggi kecil bagaikan anak kijang terus melesat memasuki kebun di belakang rumah.
“Naaak?” teriak Mamak, ingin tahu sekaligus agak cemas.
Perempuan bersahaja dengan kain kebaya dan kerudung, busana kebanyakan perempuan di desanya, mengejar mereka ke teras.
Seingatnya kedua anak laki-lakinya ini punya kegiatan aneh sejak beberapa pekan yang lalu.
Ya, sejak tahun ajaran baru dimulai.
“Mau lihat anak-anak sekolah, Mak!” sahut Gery, seraya terus berlari cepat, mengejar Jefry yang sudah mendahuluinya jauh sekali.
”Baaang tungguuuuu!” serunya lantang.
“Hati-hatilah, Nak!” teriakan ayahnya pun hanya melintas sekilas di kuping kedua anak laki-laki itu.
“Iyo, iyo, Yaaaah!” sahut Gery.
Dilihatnya Jefry yang umurnya setahun lebih tua itu, tampak sudah sampai di kelokan jalan kampung.
“Bang Jeeeeeef! Tungguuuu!” Gery mengulang, napasnya tersengal-sengal.
Meskipun demikian, ia pantang menyerah!
Kaki-kakinya yang mungil tanpa alas, dipaksa terus untuk berlari, melintasi kebun, lapangan, jalanan tak beraspal. Satu tujuannya, sama seperti Jefry, menuju bangunan taman kanak-kanak Pertiwi.
Lamat-lamat suara anak taman kanak-kanak Pertiwi terdengar oleh Gery.
Ini hari Senin!
Tentu saja anak-anak ada upacara Senin Pagi, menaikkan bendera Merah Putih di halaman sekolah.
Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun terdengar.
“Aduuuuh!” Gery akhirnya bisa menjejeri abangnya, napasnya serasa nyaris habis, tersengal-sengal hebat.
“Psssstttt! Jangan bising!” bisik Jefry.
“Iyyya, huuuffff!”
Sejenak kedua anak laki-laki itu berpandangan. Sementara lagu Indonesia Raya terus berkumandang.
“Ayo!” ajak Jefry, menyikut perut adiknya.
Gery membungkuk beberapa jenak, mengatur napasnya sendiri. Kemudian ia segera meluruskan badan untuk menghadap ke arah tiang bendera.
Sementara Jefry sudah berdiri tegak, mulutnya ikut komat-kamit menyanyikan lagu Kebangsaan.
Lagu Indonesia Raya telah di penghujung lirik.
Indonesia Raya Merdeka Merdeka….
Hiduplah Indonesia Raya….
“Siaaaaaap, graaaak!”
“Bubaaaar, jalan!”
Gery selalu kagum setiap kali melihat Domu, anak laki-laki yang didapuk menjadi komandan lapangan. Tubuh Domu yang lebih besar daripada anak-anak lainnya, terlihat menonjol. Ditambah suaranya yang lantang, khas anak Kerinci.
“Psssst, sini, Dek!” Jefry menarik tangannya, agar ikut merunduk di balik pintu gerbang sekolah.
Gery menurut patuh, menunduk sembunyi di sebelah abangnya.
Sementara dari kejauhan Pak Soritua, penjaga sekolah, berjalan ke arah mereka. Ia membawa kotak sampah yang diletakkannya di tong sampah besar dekat pintu gerbang.
Lelaki paro baya itu memeriksa sebentar suasana di sekitarnya. Saat dirasanya aman ia pun mengunci pintu gerbang. Kemudan kembali menuju kantor guru.
“Ayolah!” ajak Jefry.
“Iyo, siaaap!” sahut Gery semangat sekali.
Kedua anak laki-laki itu berdiri tegap menghadap pintu gerbang. Melalui lubang pagar kawat berduri, mereka masih bisa melihat kegiatan anak-anak di pekarangan dalam.
Ketika anak-anak melanjutkan dengan nyanyian lainnya, Jefry dan Gery ikut menyanyi.
Ketika anak-anak melakukan senam pagi, Jefry dan Gery pun ikut pula senam pagi.
Beberapa saat kemudian tidak terdengar suara anak-anak lagi. Artinya mereka sudah memasuki kelas.
Gery dan Jefry saling pandang. Kemudian mata mereka diarahkan ke dalam pekarangan.
“Kosong!” gumam keduanya kompak.
“Ayo, Dek!” ajak Jefry seraya menarik tangan adiknya.
“Iyo, Bang!”
Jefry mengajak adiknya memutar pekarangan dari arah belakang. Mereka menemukan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyelundup.
Awalnya lumayan juga anak-anak kampung yang suka menyelundup. Kemudian bermain dengan berbagai permainan di pekarangan taman kanak-kanak Pertiwi.
Namun, sejak ada penjaga sekolah, Pak Soritua brewok yang galak itu, anak-anak bubar bertemperasan.
Kini tinggal mereka berdua saja yang masih nekad, kepingin menyelundup dan bermain di pekarangan.
          Jefry berhasil menyelusupkan tubuhnya ke balik pagar kawat berduri tanpa bantuan adiknya.
“Ayo, sini, cepat,” perintah Jefry dari balik pagar berduri.
Gery menatap wajah kakaknya agak bimbang.
“Cepat-cepatlah! Mumpung si Brewok lagi sibuk bersih-bersih.”
“Iyo, tapi Abang bantulah,” pinta Gery.
Jefry mengangkat pagar berduri di atas setelempap sudut, bekas  tubuhnya menyelusup masuk.
Gery memiliki tubuh kekar untuk ukuran umurnya. Jadi agak sulit untuk Gery saat ingin menyelusupkan tubuhnya ke sudut sekecil lubang kelinci begitu.
Setelah lumayan menguras tenaga kecil abangnya, Gery berhasil juga alih tempat dari luar ke pekarangan taman kanak-kanak Pertiwi.
“Kita sama-sama mainnya, ya, Bang,” pinta Gery.
“Masing-masing sajalah. Aku mau main ayunan!” Jefry membantah, langsung ngeloyor menuju ayunan terbuat dari bekas ban besar.
Gery mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Di pekarangan sekolah itu ada beberapa permainan untuk anak-anak. Dua ayunan terbuat dari ban bekas, perosotan, enjot-enjotan dan rumah-rumahan.
Gery memilih perosotan, beberapa kali tubuh kecilnya naik dan turun di tempat permanan ini. Sementara Jefry menggelantung di ban bekas.
Saking asyiknya bermain, tak urung keduanya mengeluarkan suara-suara keras. Bahkan kemudian teriakan kedua anak ini menggema ke pelosok sekolah.
Beberapa anak taman kanak-kanak melongok dari jendela kelas.
“Wooooi!” teriak seorang anak.
“Jangan main di situuuu!” sambung temannya.
“Kalian bukan anak Pertiwi!” tingkah teman lainnya.
Anak-anak dari kelas lain pun penasaran dengan keriuhan dari luar. Mereka sama melongokkan kepala dari jendela kelas masing-masing. Guru sampai kewalahan dibuatnya.
Pak Soritua akhirnya keluar dari kesibukannya di ruang guru. Demi dilihatnya ada dua anak asyik bermain di pekarangan sekolah, ia bergegas-gegas keluar.
“Heeeei! Pergi sana, anak-anak, pergiiii!” teriak Pak Soritua sambil mengacung-acungkan sapu lidi ke arah Gery dan Jefry.
Begitu melihat kemunculan sosok si Brewok, Jefry dan Gery serentak menghentikan kegiatan bermain. Tanpa babibu lagi keduanya berlari menuju tempat mereka masuk.
Begitu hebohnya anak-anak menyoraki kedua anak itu.
”Horeeee!”
“Kejar Pak Brewoook!”
“Iya, tangkaaap!”
Gery dan Jefry panik. Keduanya semakin kencang berlari. Begitu menemukan celah pagar berduri, keduanya berusaha keluar lebih dahulu.
Hingga satu saat Gery tanpa sadar berhenti, mengisyaratkan agar abangnya bisa leluasa menyelusup keluar dari pekarangan sekolah.
“Yaaaak, berhasiiil!” dengus Jefry begitu ia sukses menyelusup keluar pagar berduri.
Giliran Gery, terburu-buru dan tidak dibantu lagi oleh abangnya, sementara si Brewok semakin mendekatinya.
Dari kejauhan Jefry berteriak-teriak, maksudnya menyemangati adiknya. Tingkahnya itu malah membuat Gery semakin gugup saja.
Gery sudah bisa menyelusupkan badannya ke celah pagar berduri. Namun, tiba-tiba; breeettttt!
Ada yang terasa menyengat di bagian punggungnya.
Gery mengerang:”Aduuuuuh!”
Melihat adiknya seperti kesakitan, tak urung Jefry tersentak kaget. Hilang rasa takutnya kepada si Brewok. Jefry kembali berlari menghampiri sang adik.
Diulurkannya tangannya, seketika mengangkat pagar berduri sekuat-kuatnya. Sehingga Gery bisa meloloskan tubuhnya keluar pekarangan sekolah.
“Daraaah, waduh, itu daraaah Deeek!” Jefry mendesis saat melihat bagian punggung adiknya.
Gery sudah berada di luar pekarangan sekolah, menatap wajah abangnya. Telapak tangannya diusapkan ke bagian punggung yang terasa nyeri.
Terasa basah, begitu dicermati memang benar; darah!
“Apa ini, Bang?” tanyanya lugu, mengacungkan telapak tangannya yang berdarah.
”Bajumu robek, ada darahnya….” Jefry menyahut terbata-bata.
Gery bergeming, sama sekali tidak terpengaruh dengan perkataan abangnya. Sebaliknya Jefry mendadak panik dan ketakutan sekali.
“Cepat, ayo, cepat diobati, Dek!” sentak Jefry seraya menarik tangan Gery. Kemudian secepat kilat membawa adiknya meninggalkan tempat itu.
Pak Soritua sudah berada tak jauh dari kedua anak itu. Demi dilihatnya ada darah di punggung Gery, tak urung ia merasa iba.
“Sini, anak-anak, siniiii!” pintanya hendak memberi bantuan.
“Kabooooor! Maaaak!” teriak Gery dan Jefry salah paham, begitu dilihatnya si Brewok teriak-teriak, sambil mengacung-acungkan sapu lidi besar.
@@@@



Arafah Bak Padang Masyhar

$
0
0


Arafah Bak Padang Masyhar
Cerpen Pipiet Senja (Republika, 28 November 2010)

SETELAH tiga hari tiga malam berada di Makkah, rombongan haji pun disiapkan untuk menuju Arafah. Sejak saat ini, catatanku agak eror. Kadang kuisi, tapi lebih banyak blank-nya. Sebab, aku lebih fokus kepada kesehatan dan pelaksanaan rukun-rukun hajinya. Hampir tak ada kesempatan untuk menulis berbagai peristiwa yang kulakoni. Jadi, aku berusaha keras untuk mencatatnya di memori otakku saja.

“Inilah prosesi haji yang sesungguhnya. Alhamdulillah, musim haji ini adalah Haji Akbar, pahalanya ratusan kali lipat dari haji biasa.”
“Sesungguhnya, rukun haji itu terdiri dari ihramwukufthawaf ifadahsaitahalul atau bercukur, dan tertib.”
“Inilah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan. Bila salah satu tidak terlaksana, ibadah hajinya tidak sah.”

Saat itu tepat 8 Dzulhijjah. Kendaraan mulai bergerak meninggalkan Makkah menuju Mina, lalu dilanjutkan ke Arafah, tempat jamaah melakukan wukuf. Arafah terletak di luar Kota Makkah, sekitar dua mil. Jamaah pria kembali mengenakan baju ihram. Ibu-ibu berbusana serba putih. Larangan berihram pun dikenakan dan berkali-kali diingatkan oleh para muthowif.

Jamaah haji yang diangkut oleh bis dua—kami menyebutnya rombongan Sofitel—agaknya lebih dahulu tiba di tenda Mina. Mereka bisa leluasa mencari tempat atau sudut yang diinginkan, bahkan dapat mengangkat koper kecilnya masing-masing. 

Rombongan Intercontinental harus rela mendapatkan sudut-sudut yang tersisa. Aku bahkan tak mendapatkan sudut yang bisa bergerak leluasa, selain sebidang lajur sekadar untuk bisa meringkuk, tanpa alas yang empuk selain hamparan selimut di antara deretan kasur. Nah loh, bisa dibayangkan tidak, Saudara? Intinya, ini sisi yang sesungguhnya tidak nyaman sama sekali.

Tak mengapa, tidak hanya diriku sendiri, ada dindaku Sari dan Euis Muharom menemani. Lagi pula, banyak juga jamaah yang tetap memelihara rasa kepeduliannya untuk berbagi dalam hal apa pun. Mungkin ini yang terbaik dan inilah rezekiku. 

Demikian Allah SWT menjamu diriku. Segera kuperbanyak zikir dan berdoa, kubergegas ke kamar mandi untuk ambil wudhu dan kudirikan shalat sunah taubat. Sungguh, aku merasa takut sekali akan azab-Nya.

Ya Allah, jauhkanlah hamba-Mu yang lemah ini dari azab dan siksa-Mu. Sembunyikanlah segala aib dan dosaku. Demikian kutasbihkan dalam hati. Sekitar pukul sembilan malam, kurasa semua jamaah Cordova telah memasuki tenda. Di sini mulailah aku menyaksikan sifat aslinya, sejatinya karakter manusia, dan topeng-topeng pun berlepasan sudah.

“Pssst, ingatlah jangan bergunjing, Saudariku. Kita sedang berihram.”
Alah, Teteh ini ngapain sih paspes-paspes mulu dari tadi. Dikasih tahu sekali juga gue paham!”
“Ini punya siapa sih gede banget tasnya? Dikata kemping sebulan!”
Woooi, mana tisu basahnya?”
Sini ada, men! Jangan malu-malu dehentar malah jadi malu-maluin!”

Kulihat dindaku Ennike terperangah hebat, menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergumam perlahan, “Ya Allah, Teteh, kenapa pake cay-coy,man-men segala tuh bahasa?”
“Iya Dinda, prokem aming,” tak terasa mulutku pun terkuak tiba-tiba. Begitu menyadari, buru-buru aku mengucap istighfar. 

Aku tak berhak mencela, sebab seperti itu pulalah bahasaku jika sedang bergaul ria dengan putriku. Mungkin saja, mereka melakukan hal itu sebagai penghilang stres. Prosesi haji ini memang sungguh menguras pikiran, lahir batin, jiwa, dan raga. Jika mental kita labil, niscaya bisa dipastikan bakal stres.

“Selama menjadi dokter haji, banyak sekali kutemukan jamaah yang mendadak gila,” kata dokter Erry, dokter rombongan yang jelita dan sangat modis itu.
“Hah? Mendadak gila bagaimana, Bu Dokter?”
“Yah, stres hebat, gila dalam tanda kutip!”

‘Kepala Suku’ memberi tahu bahwa rombongan akan bergerak kembali pada pukul dua belas malam. Mendengar hal ini, suara-suara mendadak berhenti total, kemudian semuanya berusaha untuk merehatkan badan.
Dendang batuk pun mulai terdengar secara serempak bagaikan paduan suara ajaib tengah malam di Maktab 110, pertendaan Mina.

“Gimana nggak bikin batuk. Lha wong tendanya selama setahun ditutup. Musim haji baru dibuka kembali, mungkin gak sempat dibersihin,” seseorang menjelaskan tanpa diminta. 

Kucermati memang ada banyak kotoran berupa debu dan seperti kapas-kapas kecil beterbangan dari arah kipas angin. Jangankan bagi ibu-ibu sepuh, semuanya tak terkecuali terserang batuk dan beberapa sesak napas. Kurasa, asmaku pun bisa kumat.

Ustaz Satori sering bergurau tentang batuk ini, “Semuanya dipastikan terserang batuk, kecuali unta.” Selama berhaji, bukan hal yang aneh dan patut dicemaskan secara berlebihan apabila jamaah terserang batuk. Di sinilah kembali muncul jurig songong itu.

“Alhamdulillah, sampai saat ini aku sehat-sehat saja, bahkan batuk pun cuma sedikit,” sahutku ketika beberapa pengurus meluangkan waktu mendatangiku dan mereka menanyakan kondisi kesehatanku.

Pada tengah malam, rasanya hanya sekejap bisa rehat. Ternyata kami disiapkan untuk berangkat lagi. Suasananya sungguh terasa heboh, kisruh, dan luar biasa crowded.
“Kalau tidak lebih awal jalan, khawatir lalu lintasnya terlalu padat dan kita terhambat sampai di Arafah. Targetnya kita bisa shalat Subuh di tenda Arafah,” terang seorang muthawif menyikapi suara-suara protes.

Di tengah cuaca yang sangat dingin serasa menyengat pori-pori kulit, kami bergegas kembali menuju kendaraan. Meskipun bajuku sudah dirangkap sampai tiga-empat, tetap saja masih terasa dingin. Tambahan anginnya lumayan kencang, meskipun bukan puting beliung. 

Cuaca di kawasan Mina tidak bisa diprediksi, awalnya cerah dan panas mendadak banjir bandang datang. Air bah pun tanpa ampun melumat seluruh kawasan tenda, bekas mabit sebagian jamaah Indonesia.

Beruntung tidak harus menanti lama, kedua bis pun muncul. Serta merta kami bergegas menaikinya. Kusadari batukku dan rasa gatal di tenggorokan semakin meningkat dan mulai serasa menyiksa pula. 

Kepala berdenyaran, telinga berdenging tak keruan, ditambah agak demam, air mata bercucuran nyaris tanpa henti. Entah air mata apa pula ini. Walaupun telah menelan obat batuk pemberian dokter Erry sepanjang perjalanan menuju Arafah, batukku kian gencar saja.

Suasana lalu lintas tengah malam itu ternyata sungguh padat. Kendaraan berbagai jenis campur-baur dengan orang-orang yang berjalan kaki. Manusia entah kaya atau miskin, semuanya saja sudah tak peduli bagaimana pun caranya mereka lebih suka bermalam di kawasan antara Mina dan Arafah.

“Bagaimana kita mengambil batu-batuannya, Ustaz?” tanyaku kepadamuthawif Fauzi saat teringat tentang Muzdalifah.
“Tenang sajalah, Bu Pipiet. Kita sudah menyiapkannya,” sahutnya meyakinkan.
Aku belum mengerti, lalu kutanya kembali, “Maksudmu, kalian akan mengambilkannya untuk jamaah. Begitukah Ustaz?” Fauzi hanya mengangguk sambil tersenyum.

Dini hari kami tiba di kawasan Arafah. Tenda-tenda telah didirikan dengan berbagai panji dan bendera travel dari Indonesia. Rombongan kami memiliki tenda yang dikhususkan untuk wukuf dan sebuah mushola yang nyaman dengan penyejuk ruangannya.

Akhirnya, banyak juga jamaah dari travel lain yang ikut bergabung mengikuti program wukufnya rombongan kami, di bawah pimpinan Ustaz Satori.
“Subhanallah, tendanya indah sekali, yang paling depan itu, ya,” komentarku saat melihat tenda sebuah travel Indonesia yang tarifnya termahal.

Kutahu hal ini ketika bertemu dengan salah seorang jamaahnya, seorang ibu muda di Masjidil Haram. Ia mengaku berhaji bersama suami dan dua orang anaknya. “Berapa?” tanyaku ingin tahu.

Jamaah travel yang terkenal sering membawa para artis, seleb, dan elite politik itu menjawab dengan ringannya, “Hanya 110 juta saja kok, Bu.”
“Apa? Berempat totalnya jadi 440 juta, ya?” seruku tertahan. Ia mengangguk mantap. 

Dengan naifnya aku malah bilang lagi, “Maaf yah, Bu. Kira-kira sebanyak apa tuh uang hampir setengah milyar begitu?” Pastinya, aku tampak bloon banget. 
“Kalau ditambah lain-lainnya buat persiapanwalimatus safar dan oleh-oleh, semua lebih dari 900 juta, Bu,” tukasnya.

Mataku niscaya melotot hebat. Mulutku membentuk, “Oooo!” Panjang sekali. Kemudian kulanjutkan, “Begitu yah, hampir satu M! Bisa buat sekolah anak miskin segitu mah, Bu.”
“Ah, Ibu ini ada-ada saja!” sahutnya sambil tertawa renyah. “Masing-masing kan sudah ditetapkan rezekinya oleh Sang Khalik.” 

Nah, siapa bilang bangsa kita miskin? Itu sungguh tidak benar. Setidaknya, bagi para jamaah ONH Plus, kecuali diriku ini yang diberangkatkan gratis, tentunya.

Tenda untuk jamaah kami pun bagus dan nyaman di areal Arafah ini. Beberapa saat kami bisa rehat, melempangkan punggung. Tapi, banyak juga yang langsung bergelimpangan tidur di kasur busanya masing-masing. Baru saja kurebahkan tubuhku, tiba-tiba kusadari bahwa aku tak mampu bersuara lagi. 

Beberapa kali aku berusaha keras memperdengarkan suaraku, tapi tidak bisa! Bahkan, aku sampai sengaja berteriak-teriak hingga keringat membasahi sekujur tubuhku.
Lenyap, benar-benar suaraku menghilang, ya Rabb?

Beberapa jenak aku pun hanya bisa bengong, tak tahu apa yang harus kulakukan. Dengan tatapan hampa kulayangkan mata ke deretan para jamaah. Mereka sedang tertidur lelap. Aku merasa sangat sedih sendirian di Arafah dan tanpa suara.

Seketika berbagai gambaran menakutkan bermunculan di benakku. Dalam sepuluh tahun terakhir, selain menjadi penulis lepas aku pun sering diundang untuk workshop dan seminar kepenulisan. Tanpa suara aku takkan pernah bisa menjadi pembicara lagi, menularkan virus menulis ke seantero negeri. Waduh, ini sungguh gawat!

Aku lalu bangkit dengan rasa pedih tak teperi, terhuyung-huyung kuayunkan langkah menuju kamar mandi. Ya, aku harus segera mengadukan ikhwalku ini langsung kepada Sang Pemilik Suara. 

Suasana di kamar mandi masih sepi, tak ada orang selainku yang akan mengambil air wudhu dengan sangat khidmat. Meleleh air mata penyesalan dan rasa bersalah atas dosa di masa silam. Segala khilaf melembayang di tampuk mataku.

Aku kembali ke tenda, mendirikan shalat taubat, dilanjutkan dengan tahajud, dan berzikir secara terus-menerus. Sehingga, kurasa ada semacam aliran hangat ke dalam dadaku menyemburat terus ke leher. Aku terus tertunduk dalam bisu yang suwung

Ketika seorang jamaah di sebelah menanyakan jam, seketika mulutku terbuka untuk menyahut. Suaraku muncul, meskipun sangat parau dan niscaya terdengar buruk sekali. Tak mengapa, yang penting suaraku telah kembali.

Alhamdulillah, ya Rabb, sungguh Engkau Maha Pengasih! Aku berlari kembali ke kamar mandi. Kali ini untuk buang air kecil. Tak disangka, begitu keluar dari areal kamar mandi, ndilalah, (lagi) aku nyasar. Beberapa saat aku hanya mondar-mandir, bolak-balik mencari tenda Cordova. Otakku kembali nge-blank, tak tahu peta dan arah, ampyuuun!

“Teteh, kulihat dari tadi bolak-balik saja di situ, lagi ngapain sendirian?” Mas Ton, suami dinda Ennike, tiba-tiba menghampiriku.
“Iya nih, Mas Ton. Pssst, jangan bilang-bilang, aku ini sebetulnya lagi tersasar,” jawabku dengan suara yang masih timbul tenggelam, perpaduan antara sakit tenggorokan dan kecemasan tak bisa kembali ke rombongan.

“Ya Allah, Teteh aya-aya wae atuh! Ayo kutunjukkan jalannya!” Mas Ton menahan tawanya. Ternyata jalan itu pula yang sejak tadi ada dua-tiga kalinya kutempuh, bolak-balik tak keruan. Kulihat panji-panji dan terutama bangunan mushalanya yang indah itu.

“Jangan bilang-bilang, yah. Malu ah!” pesanku kepada bapak dua orang anak itu dengan nada berseloroh. Pada kenyataannya, mulutku sendirilah yang menggelontorkan soal sasar-menyasar ini kepada beberapa sahabat jamaah. (*)



Selamat Tinggal, Dukalara

$
0
0





Petang mulai turun, ketika Honda Accord berhenti pelan di depan rumah sederhana kawasan utara Bandung. Seorang wanita tua berkerudung berdiri di teras. Tampak ia akan bepergian ke perhelatan. Kain kebaya yang dikenakannya cukup apik. Meskipun sudah tua dan luntur warnanya.

Euleuh-euleuh, itu dia suruhan Den Faiz,” katanya riang dan penuh sukacita. Perempuan itu melambaikan tas usangnya, tersenyum sumringah dan bergegas menghampiri mobil.
Sisca tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari ransel di kakinya. Maria yang duduk di sebelahnya, seketika tersentak kaget. “Eeh, apaan tuh, Sisca? Itu bukan petasan!”  Telanjur… bluuuaaar!
Gadis yang disebut Sisca tersenyum dingin dan melengkingkan sukacitanya. “Yeees, yessss…!”

My God! Kamu kelewatan, Sisca! Katamu tadi cuma petasan biasa. Itu sih namanya pembunuhan terencana!” sesal Maria tak tega melihat detilnya pelemparan bom molotov itu. Sisca malah terkekeh-kekeh, puas.

Sissy, Nafa dan Nuke yang berada di jok belakang berjingkrak, heboh. Maria mengelus dada dan geleng kepala. Seharusnya ia tak tergoda lagi ikut tualang mereka. Dalam sebulan saja gaul dengan mereka, entah berapa banyak hitungan dosa besar, dosa kecilnya. Menjahili teman-teman di kampus, ikuti jejak Sisca dan komplotannya. Andai di rumah ada yang bisa meredam amuknya!

Sial, Mamie sibuk hunting berlian yang sudah jadi obsesi hidupnya. Papie nggak pernah pulang dalam tiga bulan terakhir. Sibuk di Jakarta dengan partai dan kursi dewan yang terhormatnya. Kedua kakak cowok entah pada nyangkut di mana. Tinggal si bungsu yang kemarin dipergoki lagi mesraan sama pembalap keren itu. Ugh, cowok pengkhianat. Kenapa mesti adikku yang dipilihnya?

“Batal deh pergi ke walimahan si Faiz,” gemas Sissy..
“Kalian sudah menyeretku jadi pembunuh,” keluh Maria.
“Kumat nih bawelnya?” dengus Sisca dingin.
”Gitu-gitu dia kan pernah ngemong kamu waktu kecil, Sis. Apa salah kalau Bibi Nah hadiri walimahan mereka?” Maria menatap kaca spion di sampingnya. Sekilas matanya menangkap sebuah bayangan berkelebat ke arah asap yang membumbung itu. “Semoga itu pahlawannya Bibi Nah…”
***

Petang telah usai menurunkan tirai malamnya. Bandung bersepuh bintang, diwarnai kupu-kupu malam yang beterbangan ke mana dia suka. Seekor kupu-kupu yang tengah menclok di bahu hidung belang, serentak meloncat dengan pekik histerisnya. Sumpah serapah pun berhamburan. Sisca terkekeh-kekeh geli, ditingkahi ketiga cewek di jok belakang. Maria menungkup muka dengan kedua telapak tangannya. Ngeriii!

“Pengecut lu, ah!” ejek Sisca masih terkekeh geli.
“Kok ngamuknya keterusan? Apa belum puas juga dengan satu korban?”
Dalam hati dia merepet. Cowok sebaik dan sesaleh Faiz itu, bukan jodoh cewek sebinal kamu. Pantasnya memang dengan ketua keputrian Rohis. Mereka pasangan yang amat serasi, seiman, se-Islam. Tapi mulutnya dilem baik-baik. Sisca ibarat bom yang siap meledak setiap saat. Persis bom molotov yang dilemparkannya tadi.

“Gue emang lagi marah, kecewa, benci, dendaaaam!” sahut Sisca emosi.
“Dia itu babu kesayangan si Syifa. Sebelumnya dia sempat ngejongos di keluarga Faiz. Yaah, setelah dia minggat dari rumah elo kan, ya? Tahu tuh…”
“Faiz jadiin dia sebagai mas kawinnya ‘kali, hihihi,” gelak Sissy.
“Kayaknya mereka mesti berkabung dulu deh,” tukas Nafa.
“Bener nih bakal gitu kejadiannya?” Sisca terdengar bimbang.
“Kalo ragu, samperin aja ke Masjid Istiqomah. Acara walimahannya sebentar lagi tuh!” Nuke beri usul yang dianggapnya brilian.
“Besok pagi kok,” bantah Nafa.

“Yang mana sih yang bener?” Sisca makin bimbang dan sengit.
“Mamie gue diundang kok sama Az-Zahra!” Nuke ngotot.
“Sejak kapan Mamie elo yang ngebet be-el, keluyuran ke Mal se-Bandung Raya. Ngubek salon setanah Jawa, mendadak temenan sama kajiannya Az-Zahra?” Sisca ketawa sinis, bisa mengobral habis kejelekan Mamie sohibnya.

 “Ceritanya Mamie gue itu sekarang lagi tobat. Dia suka iseng beri sedekah sama orang-orang nggak mampu. Termasuk panti asuhan milik orang tua angkat si Syifa itu, lho,” jelas Nuke panjang lebar, disertai rasa bangganya. Sisca berlagak menguap.
“Gue sih lihat di mading kampus. Jelas beritanya sekaligus undangan gratisnya. Nggak pada ke kampus siiih,” dalih Nafa.

“Ya udah, nggak ada ruginya balik lagi ke jalan Citarum sana,” kata Sissy.
Bulshiiit!Nggak ada yang bener lu pada!” sumpah Sisca geram
Duh, kasihan amat Syifa dan Faiz. Kalo walimahannya mesti ditunda, gara-gara ulah si Biang Jahil. Maria mulai gelisah dan khawatir.
Sisca mencolek tangan Maria. ”Ngebelain mereka nih? Apa lantaran si Syifa itu mantan sahabat elo di TK Islam dulu, ya?”

“Iya, sejak awal kayaknya elo aja yang paling defensif?” cetus Nuke.
“Apa bener belakangan ini elo suka ngintipin anak-anak Rohis?”
“Jawaaaab!” Sisca menggaplok pahanya keras-keras. Maria terpekik kaget.”Lihat gue kebut makin gila-gilaan nih, lihaaaat!”
Maria memejamkan matanya dan merunduk, memegangi kepalanya erat-erat. Anehnya, cewek di belakang terkikih-kikih terus.

“Wahaaai, Malaikat Pencabut Nyawaaaa!” teriak dari belakang.
“Jemput nih kitaaaa!”
“Goooyaaaang terus, Neeeng!”
“Kena nggak, Nuke?” tanya Sisca, tersengal-sengal.
“Kena banget! Si Mang Mie Kocok itu sampe ngejungkel di trotoar tuh!”
“Anaknya juga kayaknya kelojotan kesiram kuah mie kocok…”
“Huahaha…. Asyiklah, yaoow!” raung Sisca makin kesetanan.

Mobil itu membelah jalanan menuju kawasan Ciater.
”Bagus, kamu masih punya hati dan gengsi,” puji Maria tulus.
Sekilas senyum dingin meleret di bibir merah menyala itu.
“Dasar telmi si Maria ini, ya teman-teman?” Nuke tiba-tiba menohoknya.
“Hooh, seminggu aja nggak gaul sama kita, kuper deh!”
“Emang ada yang terlewatkan sama aku, ya?” Maria penasaran.

Sisca mendadak melambatkan mobilnya.”Sebenarnya pengantin itu kakak beradik. Iya, sumpah nih! Faiz dan Syifa itu kakak beradik satu ayah. Gue juga asalnya nggak percaya. Tapi Elena Martin itu cuma ibu tiri Faiz, pahaaaam?”
Maria mendelik, menatap wajah dingin itu dari samping.”Tahu dari mana?”

“Yaah, itu tadi… yang barusan kita bom!” sahutnya kalem.
“Apaaa? Jadi benar apa yang pernah dibilangnya waktu itu…?”
“Kalo Non percaya, saya dulu kenal baik sama ibu Den Faiz itu. Kami sama-sama berjuang di Paguyuban Pasundan. Sayang, umur Ceu Lastri nggak panjang. Meninggal pas melahirkan…” kata Bibi Nah suatu hari saat mereka ngerumpi soal Faiz yang lagi ditaksir Sisca. Semuanya sontak terbahak-bahak.

“Huuu, dasar pikun lu!” gerutu Sisca.
Ia juga nyaris sepakat menyebutnya pikun. Lha wong ibu Faiz masih segar bugar. Bahkan super enerjik dengan bisnis majalah wanitanya di Jakarta. Siapa sih yang nggak kenal sosok Elena Martin? Meskipun Maria sering heran sendiri. Kok anak sesaleh Faiz punya ibu seatraktif Elena Martin, ya?
Suatu hari ia melihat Bik Nah di teras rumah Sisca. Ia tergerak iseng untuk mengabarkan berita bahagia tentang Faiz.
“Oh, begitu? Alhamdulillah…” Sepasang mata tuanya seketika berair. Seperti mengenang kisah indah persahabatannya dengan ibu Faiz suatu masa dulu. ”Neng Maria tahu siapa calon istrinya itu?”

“Masih teman kuliah kami juga, Bi. Namanya El-Syifa Maryam. Dia itu putri angkat dai kondang, pemilik panti asuhan dan pesantren Az-Zahra di Geger Kalong…” Sebenarnya Maria masih mau menambahkan informasinya. Bahkan soal persahabatannya di TK dengan Syifa. Persahabatan murni, lugu dan tanpa embel-embel apapun. Bukan model pertemanan ala Sisca and her gank. Saling mempengaruhi dalam kerusakan dan kehancuran.

“Apaaa? Den Faiz mau nikah sama Neng Syifa yang itu? Duh, Gustiii… Ceu Lastri pernah beri tahu Bibi dulu soal putrinya yang nggak diakui sama lelaki itu…” Wajah Bibi Nah seketika pucat pasi, menutup bibirnya yang keceplosan bicara banyak. Lalu ngibrit meninggalkannya yang terbengong-bengong.
***

“Sana turun! Dasar baweeel! Pengecuuuut!” Sisca mendorong tubuhnya dengan kasar. Maria tak berkata-kata lagi. Begitu pintu terbuka, ia meloncat di tengah hutan karet yang sepi itu.
“Biar diperkosa preman Kalijati luuu!” sumpah Nafa.
Honda Accord itu melesat kembali meninggalkannya seorang diri di perkebunan karet Kalijati. Senyap, lengang mencekam. Untuk beberapa saat Maria termangu-mangu, bingung. Ketika sadar, satu saja yang ingin dilakukannya. Menghubungi Syifa dan Faiz!

“Hampir dimulai acaranya. Oh, Tuhan, HP-ku ketinggalan,” keluhnya mulai putus asa. Otaknya dipepati dengan bayangan-bayangan mengerikan. Tubuh Bibi Nah porak poranda. Faiz dan Syifa menikah. Mereka sekarang sudah resmi walimahan, suami-istri. Tiba-tiba… Bruuuuaaaak, bluaaaar!

Sayup terdengar jerit ketakutan dan lolong kesakitan. Tubuh Maria menggigil oleh hawa dingin, rasa takut, kecemasan. Semuanya membuatnya menjadi seorang pengecut. Ia tak jadi melangkahkan kakinya ke arah suara yang berdebam keras, asap mulai membumbung, bau daging terbakar. Tidak, ia terlalu pengecut untuk menemukan kenyataan itu!

Komplotan Sisca telah menemui Malaikat Pencabut nyawa yang mereka tantang, dengan segala jumawa beberapa menit yang lalu.
Seutas benang merah itu terus menyalib Maria ke mana pun dirinya melangkah. Bermula dari kawasan senyap hutan karet menuju Jakarta dengan bus umum. Terbang dengan flightpertama keesokan harinya menuju Los Angeles. Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Meskipun dalam kondisi yang telah sangat jauh berbeda. Seutas benang merah itu telah menjadi bongkahan dukalara yang menyiksa jiwanya.

Maria tetap merasa tak punya keberanian untuk menghubungi mantan sahabat kecilnya. Dan ia takkan pernah mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Seandainya hari itu tak bertemu kembali dengan sosok berjilbab lebar di Islamic Centre, New York. Diawali dengan seorang gadis cilik yang nyaris menabraknya.

“Ups, sorry, Mom!! Ummi Azi sudah bikin dosa!” pekiknya dengan suaranya yang nyaring, gerak-gerik lucu menggemaskan.
No problem, Sweety,” hibur Maria dan berjongkok di sampingnya.
Exuse me… Oh, subhanallah! Ini kan Maria Francisca?” Seorang wanita berjilbab apik telah berdiri di hadapannya.
“El-Syifa Maryam,” desisnya nyaris tak terdengar. Seketika ia merasakan tubuhnya mengejang. 

Dengan mimik bingung, rona sesal dan dukalara mendalam, ia bangkit. Dipandanginya wajah gadis cilik yang terheran-heran menatapnya, dan wajah Ummi-nya bergantian. Sama sekali tak mirip dengan wajah Syifa!

”Maaf, apa ini putrimu?” Masih ada secercah asa. Oh, Ya Allah, jangan, jangan katakan kebenaran yang selalu menyiksa diriku itu!
Syifa tersenyum dan tanpa sungkan dirangkulnya Maria erat-erat. ”Dia selalu memanggilku Ummi. Begitu juga anak-anak lainnya di Az-Zahra,” bisiknya sambil menggeser dan agak menjauhi gadis kecil itu.

“Maksudmu?” Maria masih gemetar dalam dekapan Syifa.
“Aku tak pernah menikah dengan Aa Faiz,” Ada sebutir kristal jatuh dari sudut-sudut mata wanita anggun itu. Maria nyaris memekikkan seruannya akan kebesaran dan kemurahan Allah Swt. Ya Rabb, Engkau telah mendengar setiap seruan doaku, batinnya membuncah sukacita.

“Alhamdulillah… Oh, afwan, maksudku soal tadi itu!”
“Ada apa denganmu? Wajahmu pucat, sakit?” Syifa menatapnya lekat.
It’s’ okey, it’s okey, Syifa,” tukas Maria gugup bahna sukacitanya.
”Oh, betapa cantik dan anggunnya kamu sekarang. Jadi kamu…?” Maria pun mengangguk mantap.”Subhanallah, Maria…”

“Sekarang panggil aku Mariam,” tukasnya mulai bisa tersenyum.
“Ummi, Ummi, kenalkan dulu atuh temannya!” terasa tangan mungil mengguncang ujung gamisnya. Dengan sigap ia memangku si kecil, menciumi pipi-pipinya dengan gemas. Betapa ingin dia bersujud syukur atas karunia-Nya!

Ketika celoteh riang itu menggema ke seantero ruangan, ia telah menyisipkan seutas benang merah itu ke telapak tangan Syifa. Bersamaan dukalara yang terurai dari bilik hatinya terdalam. Ia sesungguhnya sudah tak ingin mendengar rentetan tragedi itu lagi.
“Ada banyak keanehan, mulai dari firasat, mimpi buruk sampai selentingan yang menggelikan itu. 
Dikabarkan, aku yang anak yatim-piatu ini ternyata punya ayah seorang Jenderal? Lucu kan? Sayangnya, Ummi dan Abi tak bisa meyakinkanku agar melupakan masa lalu itu…”

“Bukannya Bibi Nah sempat mengabdi di Az-Zahra?”
“Hanya beberapa hari dan kelakuannya aneh sekali. Sering menangis setiap memandangi wajahku, gugup dan kelihatan sakit sekali. Terpaksa kami merumahkannya dengan janji tetap menafakahinya. 
Semuanya sempat bikin kami, aku dan Aa Faiz merenungkan lagi rencana pernikahan…”
“Jangan menangis, Ukhti sayang. Seharusnya kamu bersyukur itu tak pernah terjadi,” tukasnya mengusap air mata yang berlinangan di pipi Syifa.
“Ya, ya, tentu saja begitu. Seandainya dulu aku tahu kebenaran yang baru kudengar darimu itu… Sudahlah, selamat tinggal, dukalara!”

“Ya, kamu betul. Selamat tinggal, dukalara!”
Kedua wanita itu berpelukan sambil menangis bahagia.
“Yee… Mom dan Ummi cengeng!” usik Azi.”Kita pulang, please…”
“Ya, ya, sebentar, Cinta. Habiskan dulu eskrimmu,”  bujuk Syifa lembut.
“Baik, apa yang terjadi dengan Aa Faiz?” akhirnya ia penasaran juga.
“Dia memutuskan untuk menjemput sendiri Bibi Nah. Tak ada yang bisa menghalanginya lagi. Dia datang tepat saat bom itu meledak. Bibi Nah tak sempat menyampaikan pesan terakhirnya itu kepada Aa Faiz. Sebab keduanya tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit…”

Depok, Jumadil Ula 1422 Hijriyah

***

Peraih Bilik Sastra Award 2013: Lelaki Penantang Langit

$
0
0

Lelaki Penantang Langit
Karya: Ayu Wulansari

Tegak berdiri menantang langit yang membiru. Tangannya berkacak pinggang, kepala tengadah dengan mata terpejam. Dia selalu begitu, berdiri di bukit kecil samping rumahku, dari dulu tak pernah berubah. Dari semenjak aku kecil sampai kini aku beranjak dewasa.
Pemandangan seperti itu sudah tak menarik perhatianku. Sudah menjadi keseharian lelaki yang kulitnya semakin hitam legam berlaku gila. Ibuku bilang pekerjaan orang gila itu menantang langit.
Namun anehnya lelaki itu kini tidak berkacak pinggang, melainkan tepekur menangis. Aku heran. Lebih heran lagi ketika kutanya perihal ini kepada ibuku, "Bu, kasihan sekali orang itu, ya? Mungkin sekarang dia sadar bahwa cintanya tak bisa dimiliki."
Sontak ibuku bicara dengan nada tinggi. "Sudah jangan pedulikan dia. Sekuat apapun dia menantang langit, langit atau siapapun tak akan mengerti."
Aku terdiam. Memoriku berputar kembali ke masa kecilku. Kala itu aku terheran-heran melihat tingkah seorang lelaki di bukit samping rumahku. Saat kubertanya pada ibuku, maka beliau pun bercerita.
"Akhmad namanya. Pemuda tetangga desa yang soleh. Dahulu dia mencintai seorang gadis, namun keluarga sang gadis tak merestui. Hingga cinta mereka terpaksa terpisah."
Aku kecil mengangguk seolah maklum. Saat itu pula muncul iba di relung hatiku akan kesedihan lelaki itu.
Dalam benakku terpatri, "Dia tidak gila. Pak Akhmad bukan orang gila."
Senja tercipta di ufuk barat. Warna keemasan mentari mulai berubah kuning tembaga. Kelelawar satu per satu keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Aku melihatnya. Dari kusen jendela kamarku yang catnya mulai mengelupas. Aku menangkapnya. Sosok perempuan berjalan tergesa-gesa turun dari bukit samping rumahku. Dia adalah ibuku.

Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di kepalaku, "Sedang apa Ibu di bukit itu?"
Aku semakin tersentak ketika kutangkap lagi bayangan di belakang Ibu. Berjalan tergesa-gesa mencoba menjajari langkah Ibu. Dialah Pak Akhmad, lelaki penantang langit.
"Oh, Tuhan. Apa yang akan dilakukan Pak Akhmad pada ibuku?" Tak terasa aku memekik lirih.
Kutangkap dengan jelas dua bayangan. Di bukit samping rumahku. Dengan senja yang telah berganti malam. Mereka adalah Pak Akhmad dan ibuku.
Seketika itu pula aku tak lagi percaya, hanya berubah semakin yakin.
"Pak Akhmad tidak gila. Lelaki penantang langit itu orang waras," gumamku.
"Dia mati..." ucap Ibuku.
Lelaki penantang langit itu gantung diri."
Aku tersentak. Mataku membelalak tak percaya.
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Beberapa waktu lalu aku masih berbicara dengannya."
Kini ibuku yang bergantian menatapku tajam. Dari sorot matanya terpancar tanya yang meluap-luap. Aku takut. Aku menunduk.
"Maafkan aku, Bu. Aku melanggar perintah Ibu," bisikku.
Masih teringat jelas. Saat usiaku menginjak remaja. Di kala masa puber itu aku berniat menemuinya. Lelaki penantang langit. Namun ibu mencegahku.
"Jangan sekali-kali kau menemui orang gila itu." Pesan ibu. Yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku. Namun beberapa waktu lalu terpaksa kulanggar.
"Dia tidak gila, Bu. Pak Akhmad orang waras."
Ibuku terdiam kaku. Kerut tanda usia beliau sudah tak muda lagi makin nampak jelas di parut wajahnya.
"Dia bilang aku mirip sekali dengan Ayah," ucapku takut-takut.
Ibuku tersenyum sinis.
"Lagipula..."
"Lagipula apa?" Nada tanya yang keluar masih beraroma tak suka.
“Aku melihatnya. Di kala senja. Ibu dan Pak Akhmad berbincang di sana. Di bukit itu." Ibu Membisu.
Bumi seakan terbelah ketika tak sengaja kudengar perbincangan tetangga. Di antara hiruk pikuk pasar. Beraneka aroma terbaur di sana.
"Sudah barang tentu Halimah senang akan kematian Akhmad," ucap seorang ibu-ibu pedagang kelontong.
"Dia pasti tertawa bahagia dendamnya terbalaskan." Ibu pembeli yang umurnya agak sedikit muda menimpali.
Aku terdiam menajamkan telinga. Melawan berbagai macam suara yang tercipta.
Tidak, ibuku tak seperti itu. Perbincangan tetangga itu pasti bohong.
"Tapi kasihan juga ya, Halimah. Bagaimanapun juga diperkosa itu pasti meninggalkan trauma." Lagi Ibu-ibu pedagang kelontong berujar.
"Untung saja dia tidak gila seperti Akhmad," Ibu pembeli menimpali.
Bohong. Semua yang kudengar ini pasti bohong.
Lantas aku bergegas pergi. Lantas begitu saja di sudut mata ini basah. Lantas begitu saja aku pasrah.
"Aku tak percaya. Aku tak mau percaya," teriakku sambil berlari.
"Mungkin itu yang dinamakan cinta abadi," komentar Nenek. Saat aku menanyakan kematian Pak Akhmad lelaki penantang langit.
"Dia akhirnya bisa bersatu dengan orang yang dicintainya," lanjut Nenek.
Aku masih terdiam tak menyangkal. Di pikiranku masih terbesit tanya tak terucap.
"Salahku dulu tak merestui hubungan mereka." Nenek berucap lagi. Ada sendu di matanya. Ada penyesalan tersirat di antaranya.
"Mereka bilang ibu dendam pada Pak Akhmad," aku berucap takut-takut.
"Orang-orang itu bilang dulu ibu diperkosa Pak Akhmad."
Mata Nenek menerawang jauh. "Orang-orang itu tak mengerti."
Di pikiranku semakin timbul tanya yang semakin memuncak.
"Orang-orang itu tak bisa mengenali Halimah, Ibumu."
Wanita itu berdiri berkacak pinggang. Kepalanya tengadah dengan mata terpejam. Dia seperti Pak Akhmad menantang langit. Di bukit yang sama di samping rumahku.
"Senja sudah hampir tiada, Bu. Mari kita pulang," ucapku pada wanita itu. Yang tak lain adalah ibuku.
Ia diam tak bergeming.
"Berapa umurmu sekarang, Nak?" Hampir saja aku tertawa. Tak mungkin Ibu bisa lupa sudah berapa lama membesarkan aku anaknya.
"Dua puluh tujuh tahun, Bu." Aku menjawab juga. Aku sedang ingin berdamai dengan keadaan kali ini.
"Sudah cukup dewasa untuk tahu hal yang sebenarnya." Kemudian ibuku beringsut duduk bersila di rerumputan dan aku mengikutinya.
"Kau harus tahu satu hal, Nak. Halimah adalah kakak kembarku."
Aku kaku. Lidahku kelu. Aku tak bisa mencerna kata-kata yang Ibu ucapkan padaku.
"Seperti yang pernah kuceritakan padamu, Akhmad dan Halimah adalah sepasang kekasih. Nenek tak merestui hubungan mereka."
Aku mencoba menerima kejadian yang ada. Aku mencoba tegar mengetahui kenyataan yang terjadi.
Namaku Hidayah, Nak."
"Lantas kata mereka? Tentang Halimah yang diperkosa? Tentang dendamnya pada penantang langit?" kejarku.
Aku sudah tak sabar ingin mengetahui lebih lagi.
"Itu hanya alasan untuk menutupi aib. Ibumu, Halimah mengakhiri hidupnya tak lama setelah melahirkanmu. Dan aku menggantikan posisinya. Mereka hanya tahu, Hidayah yang dikubur di pemakaman itu. Mereka hanya mengerti Hidayah yang selalu sakit-sakitan itu yang mati."
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Serasa semua tanya yang ingin kuungkapkan tenggelam bersama senja.

Tak sengaja aku menemukannya, sebuah album foto lama. Tak sengaja pula aku membacanya, sebuah tulisan dengan tinta yang hampir pudar di selembar kertas usang.
Aku mencintaimu lelakiku. Meski kau tak pernah tahu. Aku menyayangimu lelakiku. Meski cintamu terpaut pada saudara kembarku. Aku akan tetap mencintaimu lelakiku, seperti engkau begitu mencintai saudaraku.
Hidayah.

Aku menatap foto usang itu. Mirip tak ada beda. Kedua orang di foto itu memang sama.
"Maafkan aku, Nak. Telah berbohong padamu selama ini." Ibuku berkata. Lirih tak terdengar.
"Boleh aku tanya satu hal lagi, Bu?" Beliau mengangguk. Ibuku menatapku dengan lembut. Tangannya mengelus-elus kepalaku.
"Apa yang ibu katakan pada Pak Akhmad waktu senja itu?"
Ibuku menghela napas panjang. Diam sesaat lantas berujar, "Aku katakan padanya yang sesungguhnya. Aku bercerita padanya tentang Halimah. Aku ungkapkan padanya bahwa aku adalah Hidayah. Dan kau tahu selanjutnya, dia memilih mati menyusul ibumu."
Titik air mata membasahi kulit tua Ibuku. Dan aku menghapusnya. Aku ingin menghilangkan kesedihannya. Aku ingin membahagiakannya. Dan aku memeluknya. Aku mendekap ibuku, memberi kekuatan untuk ibuku, yang kutahu namanya; Hidayah. (Taiwan,27.06.12)
@@@





Lelang Naskah Memoar Pipiet Senja

$
0
0

Prolog


Anno, akhir 2015.
Ketika aku tulis prolog untuk buku memoar yang masih kuberi judul Dalam Semesta Cinta ini, kondisi kesehatanku boleh dikatakan tidak stabil. Kadang jantung terasa nyeri dengan napas yang sesak tiba-tiba. Kadar gula pun sejak 2012 turun naik, sehingga pernah mencapai di angka 300 setelah sarapan.
Sementara takaran darah masih terjaga di tataran 7, sebab aku berusaha memenuhi jadwal transfusi darah secara rutin tiap tiga bulan sekali. Dengan penyakit kelainan darah bawaan plus jantung bermasalah dan pancreas terganggu, terus terang aku harus melakoni hari-hari yang cukup sulit.
Satu pagi di penghjung tahun 2012, ketika aku baru mengambil air wudhu untuk sholat Dhuha. Tiba-tiba napasku sesak sekali disertai rasa nyeri luar biasa di bagian kiri dada. Rasanya menusuk-nusuk bahkan dalam sekejap rasa nyeri itu seakan merambah ke punggung. Tak tahan dengan sesak dan rasa nyeri yang semakin menghebat aku pun ambruk.
Sepertinya aku sempat tak sadarkan diri, entah berapa lama. Seseorang mengguyah-guyah badanku, menepuk-nepuk wajahku sambil meracau dan memanggilku dengan panik.
“Bu Haji, sadar, ya Bu Haji….”
“Pingsan nih si Ibu, aduh….”
“Gak ada siapa-siapa lagi….”
Perlahan aku membuka mata, masih terasa nyeri di dada bagian kiri, tetapi tidak begitu sesak lagi.
“Tolong, minta minum,” pintaku susah payah mengucapkan sepatah dua kata.
Perempuan 45-an yang telah lama menjadi asistenku itu tergesa mengambilkan air hangat dari galon. Ia tinggal di rumah kontrakan sebelah rumah yang selama itu kutempati bersama putriku.
“Terima kasih, Bi. Untunglah Bibi belum pulang,” kutatap wajahnya yang tampak mencemaskanku.
“Iya, tadi mau ambil cucian di mesin cuci…. Eh, lihat Bu Haji dikira lagi tiduran, tapi masa iya depan kamar mandi. Pingsan ternyata, ya Bu Haji?”
Aku tak bisa meladeninya, karena rasa nyeri yang aneh itu masih bersemayam di dadaku, kepalaku pun mendadak sakit. Aku jadi teringat dengan penyebab kedua orang tuaku meninggal. Bapak terkena stroke, tensi tinggi. Emak terkena serangan jantung.
Jangan-jangan mulai menghinggapi tubuhku? Sebab dokter sudah pernah mengingatkan, dampak pengangkatan limpa dan kandung empedu tahun 2009, dipastikan bakal terjadi komplikasi. Masalah kesehatan yang disebutnya akan jauh lebih serius selain penyakit abadiku, thallasemia.
“Bibi, mau ya antar aku ke HGA?” tanyaku.
“Iya, iya, bisa!” sahutnya terdengar semangat membantu.
“Baik, kita pergi ke UGD-nya. Eh, panggil becak dulu, ya, tolong….”
Bibi berlari keluar rumah, kudengar teriakannya memanggil anaknya. Beberapa saat ia kembali menghampiriku dan mengatakan becak sedang dipanggil oleh anaknya.
Aku sama sekali tidak beranjak dari tempatku ambruk, tidak ganti baju pula selain merangkapnya dengan gamis dan mengenakan jilbab ungu kesayangan. Otakku segera menghitung cepat, kira-kira ada dana berapa di ATM? Sepertinya tinggal 300-an ribu saja. Bagaimana kalau harus dirawat?
Sambil dipapah si Bibi naik becak, otakku terus berputar, bagaimana caranya mendapatkan dana besar dalam tempo sesingkat ini?
Saat ini aku baru saja keluar dari sebuah perusahaan penerbitan Nasional. Bosnya sahabatku dan sangat baik terhadapku, banyak buku karyaku yang diterbitkan di sana. Dia memberiku keleluasaan untuk mengatur waktu dalam berkarya, diselang menyebar virus menulis ke pelosok Tanah Air.
Belakangan bahkan semakin sering ke mancanegara. Jadi waktu kerjaku boleh dipilih dan disesuaikan dengan kegiatanku di luar. Dengan catatan yang penting tiap bulan ada naskah yang bisa diterbitkan, dicetak.
Ternyata perlakuan istimewa Bos ini tidak disukai oleh beberapa karyawan tetapnya. Mereka yang baru bergabung di perusahaan tersebut menganggap; si Teteh dianakemaskan!
Aku menerima keputusan jajaran Direksi, berhenti tanpa diberi pesanggon. Ada perjanjian lisan dengan Bos, mendapatkan kontrak eklusif. Caranya mengajukan proposal untuk menulis sejumlah buku anak-anak, dibayar honornya per bulan atau secara periodik.
“Boleh, sebentar akan ditransfer, Teteh. Semoga sehat kembali dan tetap berkarya,” demikian balasan dari sahabatku si Bos, atas permintaan pinjaman dana.
Benar saja, ketika dokter telah memeriksa hasil laborat dan menyarankanku untuk diopname di RSCM, transferannya telah masuk ke rekeningku. Alhamdulillah.
Dibutuhkan sekitar tiga jam untuk mendapatkan izin dokter UGD, karena tidak jua ada yang bisa mengantar ke RSCM. Kuputuskan menandatangani keterangan, minta pulang sendiri. Kemudian aku memanggil taksi langganan. Sore itu aku pun meluncur ke UGD RSCM, seorang diri.
Anak sulung sibuk di kantornya, adiknya belum lama menikah dan hamil muda, mengalami pendarahan. Tidak, aku tidak ingin merusuhi anak-anak. Mereka sedang menghadapi banyak masalah. Biarlah, semuanya harus ditanggulangi sendiri.
Demikianlah, selama dua hari dua malam aku dirawat di ICCU, didiagnosa terkena serangan jantung ringan. Katanya, ada penyumbatan di jantung, kalau tidak membaik juga harus dilakukan tindakan, yakni; dikateter jantung. Kemungkinan terburuk adalah dipasang ring, aduh, entahlah!
Seorang koas cantik berkerudung sering menemaniku, menjadi teman berbincang jika dia sedang santai dan aku boleh duduk.
“Sejak sekarang Ibu tidak boleh melakukan kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran,” ujarnya suatu saat.
“Misalnya apa, Dok?”
“Naik tangga, bepergian jauh….”
Tuiiing!
Jadwal sisa tahun itu masih padat; kelas menulis di pesantren-pesantren, undangan ke USA, Yaman, Iran dan Tunisia.
Semua itu harus dibatalkan!
Ya Allah, betapa berat ujian-Mu kali ini, kesahku membatin. Belum lama cerai, kemudian harus pergi dari rumah, hanya membawa baju yang dipakai saja dan sebuah laptop.
Hari ketiga aku diperbolehkan pulang. Dua anakku tak ada yang tahu kalau ibu mereka sempat ambruk di ICCU. Sekali ini dengan komplikasi; jantung error plus diabetes melitus.
Si sulung mengira aku berada di rumah adiknya di Halim. Adiknya mengira aku berada di rumah si abang di Citayam. Aku melanjutkan perjalanan, masih seorang diri.
Sudh memsuki tahun baru 2013. Beberapa hari lamanya aku tinggal di Masjid At-Tin. Berbaur dengan para penumpang lainnya, mereka yang tinggal atau singgah di Masjid yang dibangun oleh Tien Suharto.
Di sinilah aku mendapatkan hikmah dari ujian-Nya, berupa rezeki yang tak disangka-sangka. Dana sejumlah 35 juta terkumpul dari pengajian Ratih Sang, melalui perantara Ustad Bobby Herwibowo.
Kemudian jumpa Ustad Jefry Al Bukhori alias Uje, bersama manager sebuah televisi swasta, Aku didapuk sebagai bintang tamu program acara yang diberi nama; “Assalamualaikum Ustad”.
Sempat curhatan dengan Uje di ruang tunggu, ia menyemangatiku. “Jangan didengerin tuh diagnosa dokter. Seenaknya saja bilang umur orang sebentar lagi. Umur mah hnya Allah Swt yang Maha Tahu. Mana tahu ane yang sheta kuat begini malah duluan pergi….”
“Jadi, bersdia nih kalau kita bikin even di Taiwan, Tad?” tanyaku.
“Mau banget. Iya, jadwalkan sajalah, Teh. Kalau sudah fiks, hubungi langsung manager ane, ya Teteh.”
Kami foto bareng sebelum tampil di acara yang dipandu Farhan tersebut. Siapa mengira ketika undangan dari Taiwan baru kuterima, tiba-tiba ada BBM dari Ratih Sang dan Teddy Snada.
“Teteh, kita telah ditinggal oleh saudara kita, Uje….”
Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun.
Berkat bantuan sahabat-sahabat, terutama Ustad Yusuf Mansur, Ustad Bobby Herwibowo dan jemaah taklimnya Ratih Sang, akhirnya aku mendapat sebuah rumah cicilan di Cibubur.
Aku mengira di sinilah tempat tinggalku slmnya hingga dpanggil Sang Pencipta. Ternyata tidak, sebab putriku memutuskan bercerai. Matan suaminya alias menantu tidak berkenan kami tetap tinggal di rumah yang mereka cicil tersebut. Maka, kembali aku tak punya rumah tinggal.
Patungan dengan anak-anak, kami pun bisa menempati sebuah rumah kontrakan di kawasan Lippo Cikarang. Ada sahabat budiman yang berkenan memberi hak guna pakai sebuah Ruko untuk kantor bisnis kami.
Agaknya beliau merasa simpati dan sangat mendukung ikhtiarku dan anak-anak. Kami telh mewujudkan keinginannya memiliki sebuah Biografi yang mencerahkan. Alhamdulillah, semoga Allah Swt membalas ketulusan hatinya dengan pahala dan rezki berlimpah.
Seorang sahabat berhati mulia lainnya mengucurkan sejumlah dana untuk memodali perusahaan penerbitan dan percetakan yang kami beri label Pipiet Senja Publishing House.
Terima kasih, Kang Budi Sulistianto. Berkat dukungan dan kepercayaan Anda, sepanjang tahun 2015 Pipiet Senja Pubslishing House telah menerbitkan 12 buku.
Sementara kondisi kesehatanku belum stabil, semangat yang kumiliki masihlah terpelihara. Semua bersumber dari sosok-sosok yang kusayangi, terutama anak-anak dan cucu-cucu. Setiap kali bersama mereka, aku merasa masih dibutuhkan, masih bermanfaat. Setidaknya sebagai penyemangat mereka di kala terpuruk, tempat mereka memohon restu dan doa.
Pada 16 Mei 2016 mendatang, umurku akan genap 60 tahun.
Sebagai rasa syukur yang tiada terhingga, atas waktu dan kesempatan yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi, maka aku ingin mencetak ulang buku Dalam Semesta Cinta ini. Berharap masih bisa berbagi dengan saudara-saudara perempuan, mereka yang merasa terpinggirkan.
@@@


Catatan:
Naskah ini, judunya Dalam Semesta Cinta, saya lelang kepada para penerbit. Silakan hubungi langsung ke nomer 085669185619. Say sangat membutuhkan dana untuk meanjutkan engobatan. Terima kasih. 

Arwah Gentayangan di Rumah Sakit

$
0
0


Arwah Gentayangan di Rumah Sakit Tentara

Kalau bicara urusan hantu, jin belau, kuntilanak, genderewo, rasanya tidak bakalan ada habisnya, ya Sodara? Ada yang mengalaminya sendiri, ada juga yang sekadar mendengar kisah dari temannya yang entah benar atau tidak, wallahu alam.

Ini pengalamanku yang sering bolak-balik ke rumah sakit, dan tiga kali mengalami masa yang disebut "in-coma" oleh paramedis.

Rumah Sakit Dustira di Cimahi, pertama kali menjadi pasiennya ditempatkan di kamar untuk kelas perwira menengah, karena waktu itu ayahku seorang Kapten. Dari kamarku bisa kulihat bangunan bangsal 13, tempat pasien sakit jiwa.

Entah mengapa harus ditempatkan di bangsal bernomer 13, tapi kutahu, beberapa rumah sakit menempatkan mereka memang di ruangan bernomer 13.

Acapkali kudengar lolongan menyayat dari arah bangsal 13, mereka menyebutnya Blok Zal. Tepatnya meratap, tak sudi menerima diri mereka disebut orang gila.
Suara-suara jeritan, lolongan yang terdengar mengerikan itu terutama akan semakin sering menggema dari Blok Zal ini, tengah malam sampai subuh.

Acapkali kubayangkan mereka sengaja saling sahut menyahut, mungkin menjeritkan kekecewaan dan kemarahan terhadap dunia. Mulailah segala imaji liarku bermain-main di benak, meskipun saat itu aku tak bisa menuangkannya.

Namun, suasana macam itu sungguh melekat dalam kenangan dan memori otakku. Kelak, bertahun kemudian aku akan menuangkannya dalam bentuk cerpen, novelet atau novel.

Suatu hari, aku ditransfusi, entah untuk ke berapa kalinya, lah wong sudah 17-an, sedang aku ditransfusi sejak umur 9 tahun. Emak sedang gering, adik-adikku sibuk sekolah dan ujian. Jadi, aku harus membiasakan diri tidak ada yang menjaga, harus mandirilah sebagai pasien penyakit kelainan darah bawaan, seumur hidup!

Oya, waktu itulah aku baru menyadari betul bahwa diriku ini pasien yang takkan tersembuhkan. Intinya, jika disiplin berobat bisalah bertahan, tetapi jika tak pedulian dipastikan bakal gameover sebentar lagi.

Dokter Prie keturunan Tionghoa, dialah yang menanganiku ketika itu, tengkiyuuuu, mhuuuaaa!

Nah, di sebelah kananku pasien entah apa penyakitnya, sudah sepuh dan kabarnya telah tiga minggu dalam kondisi; mati ogah, hidup pun enggan. Dia pun tidak ditunggui keluarganya. Padahal, konon beliau ini ibu seorang Gubernur di Sulawesi sana.

Kalau suuzon, kemungkinan sekali keluarganya sudah tak bersedia merawatnya, maka dititipkanlah si Oma di rumah sakit nun jauh di mata. Bayangkan saja jarak Cimahi-Sulawesi, woooow, apa bukan dibuang tuh namanya, Gubernur?

Aku sedang menerima botol darah yang keempat menjelang malam itu. Darahnya belum dicuci, jadi masih darah lengkap yang sering membuatku menggigil setengah mati, dan berhenti sebentar diganti infusan, kemudian dilanjutkan kembali setelah reda demamnya. Demikian berhari-hari dan bermalam-malam.

Pukul sepuluh malam, kudengar bunyi dentang lonceng dari kejauhan. Di Cimahi ada beberapa gereja tua peninggalan Belanda, maklum kota tentara sejak zaman kolonial. Mendadak dari arah pasien di sebelahku terdengar ngorok yang berbunyi keras sekali; groooook, groooook, groooook!

"Oma, ngoroknya pelanikan saja, ya Oma," pintaku bagai orang gila saja, kan gak mungkin juga disahuti. Wong sudah koma berpekan-pekan.
"Gheeeerrrrr!"
Ops, dia menyahuti, meeen!

Iseng kusibak pelan tirai putih yang menghalangi kami. Oya, bangsal itu terdiri dari tiga pasein, ya, aku di tengah-tengah. Ranjang sebelah kiriku kosong melompong.

Hmm, dia ternyata masih dalam posisi semula yaitu; terbujur tak berdaya dengan selang oksigen menempel di hidung, selang-selang lainnya menempel di mana-mana. Ya, di bagian perut, di bagian bawah juga untuk mengalirkan urine ke kantongnya, selang infus berwarna kuning dan putih. Halaaah!

"Oma, marah, ya?" tanyaku pula masih iseng.
"Gheeerrrrr!"

Benar loh, ada yang menyahutiku begitu saja; gheeer, gheeer, tetapi tak tahu dari mana munculnya. Wong hidungnya dan mulutnya ada selang-selang!

Mendadak bulu kudukku meremang. Kayaknya bukan si Oma yang menyahuti. Hiiiy, kutarik selimut yang melorot, bruuuk, kututup wajahku. Kemudian aku berusaha keras tak mau peduli dengan sekitarku. Ya wis, merem, mereeeem!

Ehh, beberapa saat kemudian ada yang berdehem;"Eheeeeem!" demikian bunyinya.
Tanpa sadar kubalas;"Eheeem!"
Mendadak ada yang balas dehemku:"Ehem! Eheeeemmm!"

Darah mudaku sontak naik ke ubun-ubun. Meskipun lagi ditransfusi dan takaran darahku cuma 5 saja, tetapi aku dididik gaya militer oleh bapakku sang pejuang ‘45.

Jadi, kukuakkan selimut, tanganku kembali menggerayang tirai pembatas, kuintip si Oma. Kelakuannya masih seperti sebelumnya, terbujur kaku dan lemah, kunampak. Napasnya tinggal satu-satu, woaaaaaa!

Lantas siapa itu yang dehem-dehem dan bilang; gheeer-gheeer?
Malam terasa sangat panjang. Mataku sungguh tak bisa terpejam barang sedetik pun. 

Perawat datang memeriksaku. Seorang perawat cantik, aku biasa memanggilnya Teh Elly.
"Teh, temani aku saja di sini, ya, pliiiis," pintaku memelas.
"Sebentar saja, ya sayang. Di kamar sebelah ada pasien gawat baru datang. Aku ditugaskan di sana."

"Memang yang jaga berapa orang?"
"Hanya tiga orang..."
"Untuk 50 pasien?" seruku kaget.

Dia mengangguk dan tersenyum. Beberapa saat aku punya teman. Kami ngobrol ngalor-ngidul sampai sekitar pukul satu malam, seketika si Oma kembali ngorok keras-keras. Ghroooook, ghrooook, heeekkkkk!

Tiba-tiba terjadi kesibukan luar biasa. Suster Elly memanggil teman-temannya dan dokter jaga. Mereka pun melakukan tindakan, entah apalah nama medisnya, yang jelas, aku tak mau menyaksikannya. Kututup mata, meskipun kubiarkan suara-suara itu memasuki gendang pendengaranku.

Innalilahi, si Oma akhirnya pergi juga menghadap Sang Penctipa pukul 01.36. Demikian perawat Elly menyatakan.Ia kemudian dibantu temannya mengurusi Oma, sehingga rapi dikafani.

“Oke, selesai. Tunggu dua jam lagi kita angkat ke kamar jenazah,” entah suara siapa itu yang jelas mendesir di telingaku. 

Setelah para perawat pergi, tinggallah aku dengan jenazah si Oma di kamar yang semakin hening itu. Kurasa hatiku sudah kebas dari rasa takut dan ngeri. Ini bukan kali pertama diriku berada satu kamar dengan jenazah. Bahkan pernah di dalam satu kamar untuk tiga orang, dirikulah yang masih bernapas. Artinya, aku berada di antara dua jenazah!

Malam itu, masih kuingat adalah malam Selasa. Aku pun berusaha melanjutkan sisa waktuku, meskipun aneh bin ajaib, secara samar-samar kupingku masih saja mendengar suara aneh itu;"Gheeerrrr, ghrooook, gheeeer, ghrooook!"

Entahlah, suara apakah gerangan itu. Sampai pulang sekalipun, bahkan sampai detik kutulis postingan ini dan kusajikan kepada kalian, sobatku di manapun; aku tak pernah tahu milik siapakah suara itu.


Wallahoalam bissawab.

Cinta Dalam Kulkas - Pipiet Senja

$
0
0

        

Ilustrasi: Keluarga Pipiet Senja


Setiap kali melewati toko elektronik di Pasar Antri, terutama yang memamerkan lemari pendingin atau kulkas, kaki-kakinya serentak berhenti. Beberapa saat ia akan berdiri di depan toko itu, sedang matanya mengawasi deretan kulkas yang bisa tersapu oleh pandangannya. Ia tahu persis rincian yang diinginkannya. Mulai dari merek-mereknya, daya listrik yang dibutuhkan hingga garansi dan harganya tentu saja.

Seperti yang dilakukannya petang itu, sepulang kerja dan harus belanja untuk makan malam keluarganya. Beberapa detik ia berdiri terpaku depan etalase. Seorang gadis muda pelayan toko, menghampiri dan menyapanya ramah.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu Haji?”
Bu Haji, katanya. Di pasar ini para pedagang semakin sering saja menyapa calon pembeli dengan sebutan begitu. Entah apa maksudnya. Apa itu sekadar basa-basi, atau ada udang di balik batu. Tapi yang pasti ia selalu merasa jengah setiap kali orang menyebutnya demikian.

“Eee…, saya belum Haji kok,” bantahnya tersipu malu.
“Hmmm…” Entah apa pula makna dengusnya itu.
Pelayan toko itu kemudian memandanginya lebih perhatian. Dan ia segera merasa rikuh di bawah sorot selidik begitu. Sepertinya diperhatikan mulai dari sandal jepit, gamis lusuh, jilbab kaos sampai tas kain yang diselempangkan di bahunya.

Gadis ini tentu sudah tahu bagaimana isi kocekku, bisiknya dalam hati. Namun, ia masih terpaku di tempatnya, pandangannya kembali dialihkan ke sebuah kulkas yang baru kali ini dilihatnya. Lebih tinggi, warnanya cemerlang hijau turkis, merek terkenal. Dua pintu, oh, tentu bisa memuat banyak makanan dan minuman.

Sekejap terlintas di benaknya, bila barang mewah itu memasuki rumahnya yang sederhana di sudut kampung. Di mana ia akan meletakkannya? Di ruang tamu yang selalu dipenuhi buku-buku, literatur milik suami dan sulungnya? Di ruang tengah, tempat si bungsu menaruh meja belajar mungil sejak TK hingga SMU.

Di kamarnya yang juga selalu dihiasi macam-macam buku bacaan, sebuah komputer tua dengan printer yang tak kalah tua, bila dipasang akan berbunyi; grueeek, gruuueeek…. Macam bunyi orang bengek saja!

“Kulkas ini baru datang, Bu Haji,” jelas seorang rekannya, lelaki muda dengan wajah lebih ramah. “Ibu nggak akan rugi kalau pilih barang berkualitas begini….”
“Harganya dua juta!” rekannya cepat menyambung sambil lalu, menghampiri calon pembeli lainnya.

Ia terdongak menatap punggung gadis berkaus ketat pendek dengan celana jeans itu. Ada celah mengerikan di bagian pinggulnya yang membuatnya cepat-cepat melengos, spontan mengucap istighfar. Mode busana anak muda sekarang, kok malah melecehkan dirinya sendiri? Merendahkan harkat dan kehormatannya sebagai perempuan. Mengundang para lelaki untuk menjahilinya.

Untuk sesaat hatinya riuh meracau. Dan ia segera mensyukuri tak memiliki anak seberani itu dalam berbusana. Putrinya sejak kelas lima SD sudah minta dijilbab apik. Meskipun dengan malu-malu waktu masuk SLTP bilang, bahwa dirinya sudah akhwat. Lugu tapi sungguh mengharukan, sekaligus membanggakan hati ibunya.

“Ya…, gimana Bu Haji?”
“Eeh, iya, nanti saja. Maaf….”
“Huuu….” Dengung itu menggebah dirinya seringkas mungkin dari toko.
Sambil melanjutkan perjalanan, diam-diam ia menyesali dirinya.
Aaah, masih juga tergoda, mengapa?

Itu kan soal gaya hidup modern! Jangan pernah kita tergoda. Karena sekali tergoda, kita akan terus-menerus menjadi budak modernisasi. Yang notabene hanya mengusung kesenangan duniawi yang semu belaka. Bukankah begitu selalu diucapkan oleh suaminya, apabila anak-anak merengek minta dibelikan kulkas?

Ini memang sudah menjadi penyakitku, gumamnya semakin menyesali diri. Tepatnya adalah mulai marah atas ketakberdayaan dirinya, tak mampu menghindari godaan untuk melihat-lihat barang mewah. Marah pula untuk ketakberdayaannya menentang disiplin suami.

Ah, bahkan sebuah kulkas pun begitu sulitnya mereka miliki!
Padahal, apa susahnya beli kulkas seharga dua juta? Penghasilan suaminya lebih dari cukup. Ditambah penghasilannya sebagai penulis lepas. Tahun-tahun terakhir ia sangat produktif. Sekali mendapatkan royalti, bisa saja beli lima kulkas sekaligus!
***

“Apa sih keberatan Ayah kalau kita beli kulkas?” bungsunya yang suka dipanggil Butet itu, suatu kali menggugat sang bapak.
Lelaki paro baya itu hanya mesem-mesem. Sedikit mengangkat wajahnya dari buku tebal yang digenggam erat-erat di tangannya. Besok akan berdiri di hadapan puluhan mahasiswa S2. Kuliah teknologi mutakhir, sebab ia guru besar lulusan S3 universitas bergengsi di Jerman.

“Yaaah…, kita memang nggak begitu membutuhkannya. Ya kan, Nda?” tanyanya malah balik mengerling Nur, yang sedang asyik menulis di depan komputernya.
Sesungguhnya diam-diam kupingnya menyimak percakapan mereka. Ruang keluarga berseberangan dengan kamar kerjanya yang tak berpintu. Ia sangat menyukai sudutnya, di mana dirinya bisa berkarya sekaligus mengintip kegiatan keluarganya.

“Hmmm, terserah kalianlah,” sahutnya asal.
Saat itu ia sungguh tak ingin ada konflik dengan suami tercinta. Dia tengah sibuk menulis novel trilogi yang membutuhkan konsentrasi penuh, riset dan terutama dukungan suami. Jangan cari masalahlah!

“Tapi, Nda, Yaaah…, di kampung ini mana ada lagi rumah tanpa kulkas?” protes Butet, terdengar sarat ketakpuasan. “Bahkan warung Bude itu sampai dua kulkasnya. Gede-gede laaagiii!”
“Warung memang membutuhkannya. Buat menyimpan daging, ikan atau sayuran yang nggak laku,” ujar ayahnya seperti puas telah menemukan celah untuk mematahkan segala hasrat memiliki lemari pendingin.

“Uuuh, Ayaaah!” Butet mengerucutkan bibirnya.
Nur mengintip dari balik komputernya. Lucu tapi memang ironis, pikirnya.
Sang profesor diundang sana-sini untuk seminar teknologi mutakhir. Sementara di rumahnya sendiri hampir tak ada teknologi mutakhir yang membanggakan. Selain dua komputer butut keluaran 90-an, televisi berwarna mungil dibeli di awal pernikahan.

Rumah mereka di perkampungan, sangat sederhana sama sekali tak ada garasi. Bahkan tanpa pintu gerbang dan pagar besi. Menurut suaminya, mereka harus hidup memasyarakat, menyatu dengan lingkungan perkampungan. Pendeknya, puluhan tahun mereka berumah tangga, suaminya selalu menekankan disiplin kesahajaan. Teman-temannya sampai menyebut mereka sebagai keluarga sufi. Ejekan atau sarkastik tentunya.

“Apa coba alasan Ayah sekarang?” desak Butet semakin gerah.
“Buat kita apa sih pentingnya kulkas? Hanya demi es batu? Beli saja di warung, cuma lima ratus rupiah. Hemat, nggak pake listrik sendiri.
“Kalau kita punya kulkas….”
Ucapannya mengambang, keburu dipintas sang ayah.

“Baik, kalau ada kulkas! Gimana coba kalau pas kita nggak punya uang? Kulkasnya bakal kosong melompong. Bisa-bisa Bunda kalian sakit hati setiap kali melihatnya. Penyakit baru pula itu!” cetusnya dengan aksen Bataknya yang khas.

Untuk beberapa detik sang profesor heboh sendiri, memaparkan argumen penolakan keberadaan kulkas di rumahnya. Nampak Butet manyun dan gelisah ditelan ketakberdayaannya.
“Itu bukan jawaban yang dimaui si Butet, Yah,” sulungnya yang lagi sibuk menyusun skripsi, akhirnya nimbrung. “Soalnya kalau cuma demi kepentingan, itu tuh…. Mang Dedet, rumahnya saja masih ngontrak. Dia kok punya kulkas juga. Lagian, kalau soal penyakit hati, Bunda nggak punya kulkas juga suka sakit hati kok. Tanya saja sama Bunda, hehe….”

Nur senyum kecil mendengar ucapan sulungnya. Tumben, anak itu biasanya kan pendukung Ayah. Maklum, sama-sama predator buku. Sama-sama ilmuwan. Kompak pula hidup sahaja nian. Adiknya sudah mulai ribut soal ponsel. Mahasiswa teknik nuklir itu kalem-kalem saja.

“Ngapain juga pake punya ponsel kalo masih bisa telepon di wartel,” dalihnya ringkas, malah bikin bibir adiknya kian mengerucut. 

Padahal, kalau soal pulsa pasti dia bisa tanggulangi. Toh biar umurnya baru 21-an, sudah asisten dosen, termasuk mahasiswa cemerlang, tawaran bea-siswa dari mana-mana….
Ups, tahu-tahu terdengar suara-suara keras!

Tahu-tahu terlihat bayangan Butet berlari kecil ke kamarnya. Tahu-tahu pula terdengar isaknya sayup sampai. Posisi ketiga manusia di ruang keluarga itu telah berubah total. Dan frontal!
Wah, waaah…?!
“Pokoknya, Butet kepingn beli kulkaaas!” teriak Butet sebelum lenyap ditelan pintu kamarnya.
Whoooi, Nur melihat bayangan dirinya di sana!

Ia bangkit dari depan komputer, meninggalkan adegan paling seru yang pernah ditulisnya dalam semua karyanya selama hampir 30 tahun. Kelihatannya ada yang lebih seru di depan matanya, tapi ia telah melewatkannya begitu saja.
“Apa yang terjadi, Bang?” tanyanya ke arah sulungnya yang wajahnya juga merah padam. Anak muda itu melintas gegas di seberang meja kerjanya.
“Tahulah, Nda…. Kok mendadak panas saja rumah ini! Memang sudah saatnya dibutuhkan lemari pendingin, barangkali!” sahutnya sambil ngeloyor ke kamarnya.

Dikerlingnya suaminya. Sang khalifah keluarga itu hanya mengangkat bahunya. Dan buru-buru kembali menekuni referensi untuk makalahnya.
***

Suatu hari, Butet pulang sekolah dengan wajah sumringah.
“Kabar gembira, ya Cinta?” sapa Nur.
“Iyalah, Nda. Tebak dulu, ayo tebaaak!” remaja berjilbab putih itu menggelendot manja di lengannya.
“Ya, apa dong, yaaa?” Nur berlagak menyerah.
“Intinya menang dan lomba, begitu Nda!”
“Lantas?” buru Nur.
“Yeah…, lihat saja sendiri!”

Nur menatap gadis yang konon wajahnya mirip dengannya itu. Penasaran. Rasanya, begitu banyak lomba yang pernah diikuti kedua anaknya. Hingga berderet tropi penghargaan di ruang tamu. Nur sering terkagum-kagum bila berdiri di depan rak kuno, khusus dirancang oleh suaminya itu.

Tiba-tiba Nur seolah tersadarkan, betapa rumah ini sesungguhnya telah dipenuhi kebahagiaan. Kebanggaan, kemenangan dan berkah. Dan tentu saja, di atas semuanya itu ada cinta kasih yang senantiasa tersimpan. Bahkan mengkristal dari saat ke saat di hati para penghuninya.
Ya, bahkan meskipun tanpa perabotan mewah. Termasuk kulkas.
Tapi tiba-tiba, ia dikejutkan oleh keputusan yang telah diambil putrinya.

“Naaah…, tuh mereka datang, Nda!” serunya.
“Aaah…, apa itu, Butet?”
Dara berbusana muslimah itu hanya tersenyum-senyum kecil. Dalam sekejap ia segera sibuk, meminta dua orang pendatang itu untuk meletakkan barang pesanannya. Dibelinya sendiri, langsung sepulang menerima hadiah lomba menulis karya ilmiah tingkat Nasional.

Sebuah kulkas berpintu dua, hijau turkis, cemerlang, merek terkenal. Benda itulah yang pernah dilihat Nur tempohari di toko elektronik Pasar Antri.
“Tapi…, bagaimana kalau Ayah nggak setuju?”

Nur terpaku di depan benda yang pernah sangat ingin dimilikinya. Namun, kini tiba-iba berubah menjadi sumber kegamangan hatinya.
“Alaaah, masak iya sih segitunya…?”

Kemanjaan itu mengapung di udara rumah yang telah bertambah isinya. Pandangan Nur masih terhunjam di atas penghuni baru itu. Seketika dadanya merasakan sesuatu yang aneh. Berrrr…. Ada dingin di sini!

Sementara Butet telah berhasil meletakkan benda mewah itu di sudut yang diinginkannya. Di ruang keluarga, menambah sesak meja belajar dan tumpukan buku miliknya.
“Permisi, Buuu….” Dua pengantar barang pamitan setelah diberi tips alakadarnya oleh Butet.

Nur semakin terpaku di depan kulkas baru itu. “Cinta, begini ya.…”
“Nda ini aneh-aneh saja,” tukas Butet manakala Nur mengapungkan lagi perasaan yang merayapi dadanya.
“Kenapa aneh?” Nur menatap gadisnya bingung dan kian gamang.
“Tentu saja dingin, Nda sayang…. Namanya juga lemari pendingin!”
***

Reaksi sang profesor dan putranya sungguh mengejutkan.
Paling tidak bagi Nur. Sebab Butet acuh tak acuh saja menanggapi reaksi orang serumah atas tindakannya itu. Lagipula, dia segera disibukkan urusan SPMB1-nya. Tak ada waktu lagi untuk memikirkan hal remeh-temeh. Dia ingin masuk Kedokteran PTN bergengsi di Tanah Air. Kalau bisa, sukses pula meraih bea-siswa Monbusho dari pemerintah Jepang.

“Pssst, jangan mau makanan dan minuman dari kulkas,” bisik suaminya yang segera dianggukkan oleh putra kesayangan.
“Memangnya kenapa begitu?” Nur mulai gerah.

Semenjak ada kulkas, suaminya dan sulungnya sulit makan dan minum bikinannya. Bila pulang keduanya seperti kompak membawa minuman aqua dan lauk sendiri.
“Sayur, ikan atau daging yang sudah disimpan di kulkas banyak berkurang kandungan gizinya!” tegas sang profesor.
“Iya, Nda, nggak alami lagi!” sambung si sulung.
Sungguh, pendukung ayahanda sejati!

“Baiklah! Bunda hanya akan masak dengan sayur, ikan atau daging segar seperti biasanya. Tanpa disimpan dulu di kulkas,” janji Nur di depan suami dan kedua buah hatinya.
“Naaah, begitu dooong!” kompak lagi ayah-anak itu.
“Huuu…, kalian ini? Kenapa sih jadi hobi neror Bunda!” jengek Butet, memelototi abangnya dengan gemas. Kepada sang ayah tentu saja dia tak berani.

Untuk beberapa saat suasana rumah kembali normal. Namun, sesungguhnya tetap ada ganjalan di hati Nur. Sekarang tiap kali ia melintasi kulkas itu, dirinya serasa disergap hawa dingin yang kian menghebat. Kesia-siaan. Persis seperti keberadaan benda itu di rumahnya. Hanya berisi botol-botol minuman yang semakin jarang pula disentuh. Sebab ia sendiri tak suka minuman dingin.

“Apa nikmatnya memiliki benda mewah ini?” tanyanya berulang kali dalam hatinya.
Pertanyaan itu mengapung sesaat, kemudian lenyap bak ditelan lemari pendingin yang berdiri angkuh di sudutnya.

Butet semakin larut dalam ghirah-nya, dan semangat juangnya untuk berkompetisi. Seperti telah diperkirkan semua orang, anak itu sukses menjadi mahasiswi Kedokteran PTN bergengsi.
“Saya pamit, mohon restu Bunda dan Ayah,” ucapnya pula beberapa bulan kemudian.

Ia pun berhasil meraih bea-siswa Monbusho. Subhanallah!
Lama Nur hanya memandangi wajah oval nan jelita, rambut tertutup jilbab, kepalanya tentu saja berisi sebongkah otak cemerlang. Rasanya baru kemarin ia tertawa sukacita, mengetahui bungsunya sudah bisa baca di usia kurang tiga tahun. Mengantar-antarnya ke TK Al Quran, menontoninya karnaval 17-an untuk pertama kalinya, dan pidato di panggung terbuka pinggir jalan.
Betapa cepatnya waktu berlalu, kesahnya.
***

Dan kini, setahun sudah sejak Butet pamitan pergi ke Negeri Sakura. Setahun pula sejak sulungnya menikah, kemudian boyongan ke pedalaman Kalimantan. Ia pun kembali berdiri termangu-mangu di depan kulkas. Masih dalam perasaan aneh. Dingin, hampa dan sunyi nian.
Akan diapakan benda yang baginya sama sekali tak mewah lagi, bahkan tak berguna ini? Diberikan kepada orang lain? Atau dibuangkah?

Ah, kasihan yang membelinya, ralatnya sendiri.
“Sudah, jangan dipakai sajalah. Biarkan tetap di situ, dikunci barangkali. Sampai si Butet pulang kelak,” usul suaminya tiba-tiba telah berdiri di sebelahnya. Dan memandanginya sepenuh cinta.
“Setelah itu?” tanyanya mengapung di udara yang seketika mulai bias.

Telah berapa lamakah ia tak pernah mendengar suara suaminya yang hangat, dan tatapan sepenuh cinta begini? Begitu padat jadwal sang profesor bulan-bulan terakhir. Sehingga Nur nyaris saja berprasangka bahwa dingin kulkas itu telah merembet pula kepada suaminya.

“Ya…, bagaimana nanti sajalah. Begitu saja kok dipikirkan. Mending ikut Ayah, ayo, sini,” ajak suaminya sambil merengkuh pinggangnya dengan mesra.

Cahaya petang mengintip malu-malu melalui ventilasi ruangan. Sinarnya jatuh sebagian di wajah paro baya yang masihlah jantan dan perkasa itu. Sedetik Nur merasa tersipu-sipu, sebab seketika dadanya dibaluri nuansa bulan madu. Namun, detik-detik berikutnya adalah rangkaian wangi melati, dan kembang setaman.

Sepenggal tarian cinta seperti dulu mereka lakoni di awal-awal pernikahan. Semuanya lebur dalam greget kasih sang profesor, hingga suatu saat ia mendadak menggeliat.
“Ada apa?”
“Oh, ngng…, kulkas itu kita hibahkan saja ke panti asuhan dhuafa.”
Depok, Rajab 1424 Hijriyah

***





1 Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Jejak Jejak Mas Gagah: Helvy Tiana Rosa, dkk

$
0
0


Pesan ke 085669185619

Ketika Tiga Mas Pergi
Helvy Tiana Rosa

Banyak orang berkata mereka tergugah saat membaca buku Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP), termasuk engkau, Mas. Lebih dari sekadar menyukai dan tergugah dengan kisah KMGP, kau kemudian menjadi orang yang sangat mendukung munculnya film Ketika Mas Gagah Pergi.
“KMGP kisah yang sangat bagus, menginspirasi dan menyentuh. Kalau difilmkan KMGP ini akan menyentak kesadaran berislam para pemuda Indonesia!” katamu penuh semangat.
Tahun 2004. Kau duduk di hadapanku sambil memakan sate kambing kesukaanmu. Kau Chaerul Umam, sutradara terkemuka yang menghasilkan berbagai film terkenal seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Ramadhan danRamona, Fatahillah, dan lain-lain.
Aku tersenyum mendengar kalimat-kalimatmu. Mas Mamang, begitu panggilan akrabmu. “KMGP ini akan jadi film keren! Saya sudah bisa bayangkan tiap adegannya!” tambahmu antusias.
Masih tahun yang sama: 2004.
Kau, sang penghibur terkemuka, sambil menyantap buah kesukaanmu dengan semangat berkata padaku, “Mbak Helvy, ini konsep yang saya buat!” Kau perlihatkan isi laptop dan beberapa kertas serta bagan yang telah kau print. “Kita akan buat acara televisi untuk mencari Mas Gagah!”
Aku menatap kertas-kertas di hadapanku. “Mencari Mas Gagah?”
“Ya, kita akan buat semacam acara atau kuis untuk “Mencari Mas Gagah”. Jadi konsepnya kita mencari sosok-sosok yang memiliki wawasan keislaman, akhlak, karakter dan postur mirip Mas Gagah. Ini bisa berdasarkan usulan yang dikirimkan ke kita, atau kita hunting. Orang-orang yang terkumpul nanti bisa “diadu” lagi di acara tersebut, sampai final. Saya yakin, lewat acara ini nanti insha Allah kita bisa menemukan Mas Gagah….”
“Terima kasih, Mas Pepeng, ini keren sekali,” ujarku dengan mata berbinar.
“Fungsi televisi yang informatif, mendidik sekaligus menghibur terpenuhi melalui”Mencari Mas Gagah” ini! Acara ini akan menginspirasi terutama buat anak-anak muda, Mbak!” katamu lagi.
Aku manggut-manggut melihat engkau, Mas Pepeng, begitu bersemangat.
“Mas Gagah itu akan jadi role model para pemuda Indonesia. Tidak bisa sembarang orang yang main. Kita cari orang yang kualitas diri, yang kesehariannya sama dengan Mas Gagah di buku dan filmnya. Itu baru mantap! Saya dukung!” tambahmu sambil tertawa.
Namun sejak 2004 hingga kini, film Ketika Mas Gagah Pergi belum kunjung dibuat. Ada beberapa kendala, antara lain ketidakcocokan dengan PH yang ingin memproduksinya.
Tahun 2005 engkau, Mas Pepeng, terkena penyakit langka multiple sclerosis yang menyebabkan kau lumpuh dan kemudian makin lama kian lemah serta hanya bisa terbaring di rumah, namun kau selalu ingat pada Mas Gagah, termasuk menanyakan perkembangan filmnya saat aku menjengukmu.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya Januari 2013, sebuah PH besar yang ingin memproduksi film Ketika Mas Gagah Pergi membuat castinguntuk film ini. Aku, Mas Mamang, Niniek El Karim dan kau: Mas Didi Petet, menjadi juri. Kita melihat penampilan lebih dari 500 orang dari sekitar seribu yang mendaftar dalam sehari!
Saat istirahat, kau yang familiar dalam perfilman Indonesia sebagai aktor kawakan, menghampiriku.  Lalu terdengar warna suara kalem itu,“Mbak Helvy, udah ketemu sama Mas Gagah?”
“Belum, Mas. Belum ada yang benar-benar cocok dari castingini….”
“Saya suka ceritanya. Ini akan jadi film yang berkarakter, apalagi kalau ketemu pemeran Mas Gagah seperti gambaran dalam buku. Kerenlah pokoknya. Si Boy aja mah lewat,” candamu lagi. “Itu tokoh 3 preman insap temannya Mas Gagah juga seru.”
“Ya, Mas. Tulisan itu lebih tua dari usia anak saya, semoga kita segera ketemu para pemerannya, ya.”
Namun sejak pagi hingga malam makin larut kita merasa belum menemukan Mas Gagah. “Adanya separuh Mas Gagah!” ujarmu sambil garuk-garuk kening.
Ketika malam itu kita selesai merekap, kita belum juga mendapat sosok Mas Gagah yang sesuai dengan bayangan kita saat membaca KMGP.
Dengan wajah lelah, sebelum pulang, kau berkata, “Nanti kalau mbak Helvy duluan ketemu sama Mas Gagah, tolong kenalin sama saya ya! Biar saya bisa belajar juga dari Mas Gagah. Sekarang jamannya orang tua belajar sama anak muda!”
Aku tersenyum dan mengangguk menatapmu, Mas Didi.
“Terima kasih buku Ketika Mas Gagah Pergi sangat menginspirasi saya!” tambahmu sebelum berlalu.
Tahun 2013 itu aku masih bertemu kalian bertiga dan berinteraksi. Mas Mamang dan Mas Didi hadir saat acara Solidaritas Sastra untuk Palestina yang kugelar bersama Bengkel Sastra Jakarta. Usai mengisi acara baca puisi, kalian masih saling bertanya:
“Mbak Helvy, datang nggak nih Mas Gagah di acara ini? Cinta nggak dia sama Palestina? Harus cinta kayak kita ya!”
Aku ingat beberapa kali kita bicarakan keprihatinan yang sama terhadap anak-anak muda Indonesia sekarang. Para pemuda kita yang gampang marah, mudah membenci, hingga terjerat drugs dan narkoba. Para pemuda harapan bangsa kini banyak yang miskin peduli terhadap sesama, terhadap agama, bangsa dan negara.
“Mas Gagah ini film yang diperlukan anak-anak muda kita!”
“Ketika Mas Gagah Pergi akan jadi film yang mendekatkan kita dengan Allah, keluarga dan sesama.”
            “Film yang menumbuhkan karakter!”
Suara-suara kalian masih terasa dekat di telinga.
Dan kini sudah tahun 2015. Mozaik kisah bersama kalian berkelebat kembali, seperti sebuah film yang tayang berulangkali di benakku dan membuat airmata bergulir, menderas membuat sungainya sendiri….
3 Oktober 2013 engkau Mas Chaerul “Mamang” Umam, wafat dalam status sebagai sutradara yang dipilih sebuah PH untuk film yang kita cita-citakan:  Ketika Mas Gagah Pergi. Kepergianmu pada akhirnya menjadi awal aku mengambil kembali naskah ini dari PH yang bersangkutan, selain kontrak yang sudah selesai.
6 Mei 2015, engkau Mas Ferrasta “Pepeng” Soebardi wafat. Aku sesenggukan. Menyesal sekali menunda-nunda menjengukmu kembali setelah pertemuan kita sebelumnya. Maafkan aku, ya, Mas….
15 Mei 2015 engkau Mas Didi “Petet” Widiatmoko meninggal dunia. Ini hanya beberapa saat setelah aku menemukan pemeran Mas Gagah untuk film KMGP.  Sayang, aku belum sempat memperkenalkannya padamu, Mas, karena kau lebih dulu pergi….
23 tahun usia kisah KMGP, 11 tahun sudah perjuangan menuju layar lebar, kalian tiga “Mas Gagah” dalam perjuangan ini pun satu persatu telah dipanggilnya. Meski selalu ada perih yang mengiris-iris setiap kali mengingat hal itu, aku tahu Allah lebih mencintai kalian, Mas.
Ya, akhir 2014, untuk menjaga keaslian cerita, ruh dan spirit KMGP, kuputuskan untuk memfilmkannya dengan cara crowdfunding (pendanaan gotong royong). Aku melibatkan tim yang dari dulu selalu bekerjasama dengan engkau, Mas Mamang, dan kami beranikan diri menghadapi jalan terjal ini. Kau tahu, Mas, ternyata banyak yang mendukung kita. Film ini akan menjadi karya sastra Indonesia pertama yang dibiayai pembuatan filmnya dari dana patungan para pembacanya, insha Allah.
Selamat jalan Mas Mamang, selamat jalan Mas Pepeng, selamat jalan Mas Didi! Kalian memang telah pergi, tapi semangat yang pernah kalian pahatkan, terus terpatri di sini. Oh ya, kalian tahu? Saat ini setiap pekan aku keliling Indonesia untuk sosialisasi dan crowdfunding film KMGP. Setelah kalian pergi, teman-teman Forum Lingkar Pena dan kawan-kawan dari Aksi Cepat Tanggap menjadi tim tangguh untuk merealisasikan film ini. Kau ingat Mas Firmansyah, Mas Adha, Mas Fredy? Mereka juga ada di sini, Mas. Aku merasa diberkati karena kian hari kian banyak yang mendukung gerakan budaya “Patungan Bikin Film” ini. Aku menyebutnya selebrasi, sebuah perayaan memenangkan gagasan untuk proyek idealis seperti KMGP. Ya, seperti katamu, Mas, idealis bukan berarti tak bisa komersil, bukan? Doakan banyak pengusaha muslim yang tergugah, agar kami dapat investor dan sponsor yang mau mempertahankan nilai-nilai Islam yang kuat dalam film ini, ya, Mas….
Insha Allah kami akan terus bergerak dan lanjutkan perjuangan, hingga film ini tayang dan membawa seberkas cahaya bagi Indonesia.
Selamat jalan menuju Maha Cahaya, Mas!(Depok, 25 Mei 2015)
@@@


Daftar Isi 
Pengantar Ketua Komisi Bidang Seni dan Budaya MUI Pusat:Habiburrahman El Shirazy
II.  Prolog: Gotong Royong Memenangkan Gagasan Patungan Bikin Film
1.    Ketika Tiga Mas Pergi – Helvy Tiana Rosa
2.    Karenamu Aku Menemukan Duniaku – Afifah Afra
3.    Sepasang Mata Bening - Pipiet Senja
4.    Emang Cerita Pendek Bisa Difilmkan? – Firman Syah
5.    Ingin Seperti Mas Gagah - Abrar Rifai
6.    Mas Gagah: Siapa Peduli Sastra? -  Benny Arnas
7.    Dua Mas Gagah – Aisya Avicenna
8.    Jejak Cinta Mas Gagah - Sudiyanto
9.    Ong, Aku dan Mas Gagah - Alimin Samawa
10.  Gerak Gagah Mas Gagah – Billy Antoro
11.  Izinkan Aku Berguru - Marnarita Yarsi
12.  Saat Hidup Lebih Berpelangi – Keisya Avicenna
13.  Antara Amar dengan Mas Gagah – Arya Noor
14.  Ketika Mas Gagah Menjalani Takdir-Nya – Irfan Azizi
15.  Kang Lijer Si Raja Desain – Muthi’ Masfu’ah
16.  Ketika Mas Gagah Memaksa – Dwi Septiawati Djafar
17.  Mbak Gagah dan Mas Gagah – Akhi Dirman Al-Amin
18.  Mas Gagah di Bumi Kinanah  – Putri Rezeki Rahayu
19.  Inspirasi Mas Gagah – Hikaru
20.  Ingin Jumpa Pengarang Mas Gagah – Jaenal Jalalludin
21.  Langkahku Makin Mantap – Rifia FN
22.  Mas Gagah di Negeri Jiran - Dewie DeAn
23.  Sastra Dakwah Bidah: Kado Untuk Mas Gagah – M.Irfan Hidayatullah
24.  Mas Gagah Sang Idola - Rita Audriyanti
25.  Salam Kenal Mas Gagah – Tyas Maulita
26.  Mengeja Jejak Mas Gagah – TaQ Shams
27.  Sebab Mas Gagah Menggugah - Ulka Chandini Pendit
28.  Inspirasi Menulis – Yanuardi Syukur
29.  Kemana Kau Akan Pergi, Mas Gagah? - Fahri Asiza
III. Biodata Para Penulis

Anekdot A Chin: Memarahi Dewa Kwan Tung

$
0
0




Guangzhou, Minggu 2 Oktober 2011
Pemandu turing bernama A Chin yang suka guyonan itu, berbagi anekdotnya kepada kami, rombongan Alibaba dari Hong Kong ke Guangzhou.

“Ibu-ibu, saya orang China dari kawasan Selatan. Saya belajar bahasa Indonesia begitu lulus SMA Pariwisata di Guangzhou ini, ya ibu-ibu,” ujarnya mengawali. “Lidah saya masih belum bisa bilang eeeerrrrrr. Jadi, saya biasanya pilih tergesa-gesa atau cepat-cepat untuk mengajak turis; burrrruuuuu-burrruuu… Nah, kan dengaaaaarrr, ibu-ibu? Bulu-bulu ibu berdiri, naaah! Gawaaat kaaan?”

Semua yang ada dalam bis wisata ketawa geli mendengar cakap si A Chin. Pantasnya dia gabung saja dengan grupnya Srimulat atau saudaraan dengan Sule, pikirku.

“Ini ada anekdot kita, ya ibu-ibu tentang para Dewa. Kami ada menyembah Dewi Kan Im, ada juga yang nyembah Dewa Kwan Tung. Tapi banyak juga anak China sekarang yang tidak ada agamanya, tidak pakai dewa-dewa. Yah, buat apa pake dewa-dewa, cuma ngabisin suguhan, buah-buahan mahal. Mending dimakan sendiri saja…”

Gheeeerrrrr, tawa lagi deh!
Alkisah, ada seorang pedagang tahu yang sukses di daratan China. Namanya A Can, dia gemar sekali menyembah Dewa Kwan Tung. Gambar Dewa Kwan Tung dipajang gede-gede di pintu tokonya. A Can sangat hormat, sangat respek dan sangat sayang sama Dewa Kwan Tung.

Sebelum buka tokonya, A Can tak pernah lupa memberi sesajen kepada Dewa Kwan Tung. Demikian pula kalau mau tutup tokonya, A Can akan menjura dan mengucapkan:”Terima kasih, Dewa Kwan Tung, tokoku banyak pembelinya. Hari ini banyak untung, terima kasih, terima kasiiiih….”

Sampai satu hari, setelah menutup tokonya, tiba-tiba A Can ditelepon dari rumah sakit.
Petugas rumah sakit bilang:”Bapak A Can, ada kabar sedih untuk kamu. Anakmu sekarang ada di rumah sakit. Dia kecelakaan, mobilnya tertabrak!”

A Can kaget sekali, sebelum pergi ke rumah sakit, dia menjura di depan gambar Dewa Kwan Tung. A Can berdoa dengan segenap kesungguhan hatinya.
Doanya sebagai berikut:”Dewa Kwan Tung, mohon bantulah anakku. Aku cuma punya anak satu-satunya laki-laki, mohon selamatkanlah putraku, ya Dewa Kwan Tung!”

Namun, ketika sampai di rumah sakit, A Can menemukan putra semata wayang dalam kondisi kritis. Dokter menjelaskan bahwa kalaupun selamat, putranya itu mustahil akan bisa memiliki keturunan. Betapa sedihnya A Can, maka bergegaslah dia pulang, dan kembali menghadap Dewa Kwan Tung.

Sekali ini, dia bukan hormat, bukan sayang lagi melainkan marah besar. A Can bilang begini:”Hayyyaaaaa, Kwan Tung, Kwan Tung, kejamnya kamu, haaah! Selama ini, seumur hidup aku selalu menyembah kamu. Mengapa kamu tidak peduli, aku cuma minta bantuanmu; selamatkan putraku. Haaaayyaaa, dasaaar, yaaah, Dewa tidak bergunaaaa!”
Pendeknya ngamuklah A Can yang malang!

Sesi ini, kalau mengikuti gaya sinetron Indonesia dilebay-lebaykan ya, sampai pake merobek gambar sang dewa kali yeeeh.
Nah, tiba-tiba ada yang melesat dari kepala gambar Dewa Kwan Tung, menjelmalah di depan A Can. Agaknya itu adalah ruhnya Kwan Tung, entahlah, ya (gak ditanyain si A Chin, hihi!). Bayangan itu bilang begini, Sodara!

“Woooooi, A Can! Dengarlah baik-baik! Anakmu itu ngebutnya di tol pake mobil mewah buatan Eropa. Sedangkan aku hanya pake kuda. Jadi, bagaimana bisa aku mengejar anakmu? Gak kuatlah, boooo!”

Wuakakakaaaaa, gubraaak deh, aaarrrgh!
Catatan; mohon tidak ada yang tersinggung, ya, ini hanya menyampaikan anekdotnya A Chin saja.
Sampai jumpa, Coy Kin!


Album Haji Travel Cordova 2006

Ketika Media Memelintir Sastra Islami

$
0
0

Ilustrasi: Jejak Jejak Mas Gagah, contoh Sastra Islami bisa dipesan via 085669185619


Demi Kasih Pada-Mu Versus Gelinjang Cinta Dara-Dara
Novel yang kuberi judul berbau agamis adalah Demi Kasih Pada-Mu. Inilah novel pertama yang kutulis selama idek liher, mondok-moek, di ponpes kawasan Cililin, 1975. Tema remaja, setingnya pondok pesantren, pesisian Jawa Barat. Mengisahkan tentang pergulatan batin seorang gadis yang divonis dokter, umurnya tidak lama lagi karena mengidap kanker darah.
Sebuah benchmarking yang menengarai karya “Pipiet Senja banget” melibatkan; pengalaman batin, pergulatan jiwa sebagai cerminan diriku sendiri. Acapkali aku menulisnya sambil bercucuran air mata, geram, kesal dan nyaris putus asa. Ternyata kemudian hal itu menjadi semacam terapi jiwa. Meskipun pengetahuan ini, kesadaran ini, baru terasa manfaat dan maknanya bagi diriku, belasan tahun kemudian.
Awalnya Demi Kasih Pada-Mu kuserahkan ke redaksi majalah Kartini via Titie Said. Entah bagaimana urusannya, beberapa bulan kemudian tahu-tahu muncul di majalah Variasi yang dikuasai oleh Abdullah Harahap dan Motinggo Boesye. Mungkin dengan pertimbangan tema remajanya, sementara majalah Kartini pangsa pasar wanita dewasa.
Entah dengan pertimbangan apa pula, sang redaktur kemudian mengganti judulnya yang Islami itu dengan Gelinjang Cinta Dara-Dara. Ilustrasinya pun tak kalah seram dan berbau ngesek polesan Delsy Syamsunar. Nama ini memang lagi naik daun kala itu sebagai illustrator duapertiga ke bawah alias seputar dada, paha dan sekitarnya.
Tentu saja novel karyaku yang dijadikan cerita bersambung itu sempat membuat gerah kakak-kakak di pondok serta para guru spiritualku. Padahal isinya sungguh jauh panggang dari api, tak ada urusan ngesek-ngesek. Sumpah!
“Kok jadi begini, ya Pak,” ujarku miris sekaligus geram bukan alang kepalang, mendiskusikannya dengan bapakku. “Padahal niat Teteh nulis novel itu, dengan nuansa agamisnya, Pak. Kalau penulis noni mudah-mudah saja nyelipin nuansa gerejaninya, kenapa kita susah, ya Pak? Ini malah jadi fitnah.” Air mataku tak urung berderaian, ada luka menganga dan begitu menghujam dadaku.
Sebab tak tahan pula dengan serbuan-serbuan pertanyaan, aku memutuskan pulang ke rumah orang tua di Cimahi. Bagaimana tidak, setiap aku jalan serasa ada banyak mata (mungkin hanya perasaanku belaka) di sekitarku yang menggugat, menghujat.
“Ngapain sih kamu ikutan nulis yang ngesek-ngesek begitu?”
“Di mana nuranimu?”
“Percuma atuh ngaji di sini!”
Hadeuh, pendeknya malunya gak ketulungan!
“Bukan salahmu, Teteh. Kamu itu hanya dipelintir mereka,” hibur bapakku seperti biasa selalu menenangkan dengan kata-kata bijaknya.
“Dipelintir, bagaimana itu maksudnya, Pak?” tanyaku tak paham.
“Ya, karyamu itu dimanfaatkan, dipelintir demi kepentingan mereka. Media itu kan majalah hiburan yang mengedepankan hal-hal beraroma pornografi. Begitu ada naskah macam karyamu itu, ya sudah. Karya bernuansa agamis saja bisa masuk ke media mereka. Kan hebat tuh, nilai plus kredibilitas media itu, bla, bla…”
Paham atau tak paham dengan perkataan bapakku, toh aku bisa berbuat apa? Lagi pula, mau tak mau aku harus memejamkan mata. Karena tak mampu mengelak dari kenyataan bahwa aku sangat membutuhkan honorariumnya. Bahkan dari cerbung itu aku bisa membeli si Denok 2, obat-obatan, ditransfusi sekaligus berbagi dengan adik-adik dan orang tua. 
Demikian nasibnya novel agamis pertama yang pernah kutulis, ketika aku sendiri belum paham sepenuhnya makna fiksi Islami itu. Sejatinya sastra Islami harus seperti apa? Yang bisa kuperbuat di antara kecemerlangan para penulis noni dengan penulis muslim tapi doyan karya ngesek, paling sebatas memagari karya-karyaku. Supaya aku tidak terjebak menjadi latahi, melahirkan karya bernuansakan pornografi dan vulgar.
Seingatku hanya beberapa gelintir penulis muslim, ini di kalangan penulis populer, masa itu yang bisa bertahan dengan fiksi Islami. Tentu saja kala itu istilahnya bukan demikian.
Bisa dicatat dengan jari antara lain di kalangan penulis perempuan; Ike Soepomo dan mendiang Yatty M Wiharja. Di dalam karya mereka sering diselipkan tentang tokohnya yang sedang melakukan sholat, membingkai kisah dengan nilai-nilai ketimuran.
Meskipun ditulis secara samar-samar, toh masih terasa bahwa keduanya memang memiliki visi dan misi yang jelas; menentang vulgar dan pornografi.

@@@
Viewing all 195 articles
Browse latest View live