Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Mafia Keadilan: Inilah Indonesia

$
0
0



Bada shalat subuh Rumondang keluar dari biliknya. Hawa dingin segera menyergap wajahnya begitu kakinya menuruni tangga kayu sopo godang1 milik kakeknya. Sebuah rumah adat Batak berbentuk panggung tinggi, terbuat dari kayu-kayu jati yang kokoh. Biliknya dari anyaman bambu dengan atap rumbia. Ketika dirinya masih kecil, di bawah panggung itulah sudut favoritnya tempat bermain rumah-rumahan bersama sepupu-sepupunya.
Di kampungnya sopo godang milik Ompung2 terbilang bangunan paling bagus. Sebab Ompung Ni Sahat adalah orang yang sangat kayaraya. Sabak3-nya tak terhitung banyaknya, lumbungnya yang selalu penuh berada di tiap sudut pekarangan dengan luas entah berapa hektar. Belum lagi hewan peliharaannya, kambing, sapi, kerbau, ayam, bebek….
Monyet-monyet bergelantungan dari pohon yang satu ke pohon lainnya sambil menjerit-jerit riuh.“Iiih, bikin halak4  kaget  saja!” gumamnya.
Rumondang Siregar, seorang gadis berumur 16,  dengan rambut panjang lebat tersembunyi di balik jilbab kaos berwarna putih. Tubuhnya yang tinggi ramping terbalut dalam stelan baju olah raga. Dia baru usai Ebtanas SMU di Padang Sidempuan, masih harap-harap cemas nilai-nilainya akan sebagus prestasi sebelumnya. Rasa cemasnya sesungguhnya tidak perlu. Sebab siapapun sudah tahu, Rumondang hampir tiap tahun menyabet peringkat pertama di sekolahnya.
Ia tersenyum simpul sendiri. ”Kalian itu tak bisa kompak pula rupanya, ya?” katanya sambil memerhatikan makhluk-makhluk lucu yang bergelayunan tak jauh dari atas kepalanya. Dia sama sekali tidak merasa takut. Sebab sejak kecil dirinya sudah akrab dengan binatang-binatang lucu itu.
Rindu pula rupanya kalian itu sama aku, ya? Hihi, sudah lama juga tak ketemu kita nih. Salah siapa coba? Aku sibuk Ebtanas sementara kalian sibuk bergelayunan terus, ya? Rumondang terus berceletoh dalam hatinya.
Mulanya dia berjalan santai, menapaki jalan setapak menuju Utara kampungnya. Hanya saat dia melintasi sungai tiba-tiba entah mengapa bulu romanya meremang. Sepi, senyap dan memang sungguh lengang. Ke mana saja orang-orang itu? Kan biasanya juga ramai di sungai ini?
“Wuiih! Wuiih….” Tangannya sibuk menepis-nepiskan rumput ilalang yang menghalangi jalannya. Ilalang setinggi orang dewasa begitu lebat bagai tak bertepi. Namun tubuh ramping itu terus menyelusup di antara ilalang, pepohonan dan semak belukar.
“Ooh, iya, ya…. Ini musim panen raya,” gumamnya membatin.
Rumondang baru teringat kembali akan percakapannya tadi malam dengan Bou5 Taing, saudara perempuan ayahnya.
“Tiap subuh orang sini sudah berangkat ke sabak. Bagaimana dengan kau? Apa kau mau ikut kami besok itu, Butet?” tanya Bou Taing.
“Iya, bantulah kami panen, Butet!” kata Tigor, suami Taing.
“Maaf, kalau besok aku tak bisa. Aku mau ke kubur Ompungboru7,” sahutnya tegas. Tak ada yang melarang atau membantah, bahkan tak ada yang berkata-kata lagi. Memang sejak dulu pun sikap mereka selalu begitu. Tak pedulian terhadap dirinya. Biarlah, daripada mendengar omelan dan sumpah serapah Bou Taing. Sebab sekalinya bicara, omongan perempuan itu sering amat melukai hatinya.
“Anak Cina itu takkan kerasanlah lama-lama di kampung. Seharusnya kau  tinggal di kotalah itu, Amoy!”
“Pergilah ke keluarga Cina kau itu di Medan!”
Baiklah, anak Cina, katanya tandas. Tanpa tedeng aling-aling. Ibu yang melahirkan dirinya memang seorang wanita keturunan Tionghoa. Wu Siao Lien nama Tionghoanya. Nama pribuminya Maharani Sanjaya. Cantik jelita wajah ibuku itu dalam potretnya, pikir Rumondang. Ya, dia hanya mengenalnya dalam potretnya. Sebab dia sudah ditinggalkan oleh ibunya sejak berumur setahun. Bukan ditinggalkan ke alam baka, tapi entah pergi ke mana.
Rumondang takkan melupakan hari-harinya ketika kanak-kanak. Perilaku neneknya dan saudara-saudara ayahnya sering menyakiti perasaannya. Bahkan bukan saja secara batiniah melainkan juga fisiknya. Serasa masih terngiang-ngiang di telinganya omongan Ompungboru.
“Ibu kau itu minggat, Butet!”
“Kalau sudah besar nanti, kau pun akan benci sama ibu macam si Siao Lien itu. Percayalah sama aku!” ujarnya ketika Rumondang kelas enam SD.
“Tapi kenapa, Pung?”
“Si Siao Lien  itu bukan boru8 baik-baik, mengerti?!” cetusnya bernada penuh kegeraman dan kebencian.
“Eh…. Jadi, macam perempuan mana pula Ibuku itu, Pung?”
“Pokoknya perempuan tak baiklah Ibu kau itu, Butet!” dengusnya mengulang-ulang, entah untuk ke berapa kalinya.”Dia itu tak bisa diajak hidup sengsara sama suami….”
“Artinya, dulu memang betul orang tuaku itu pernah hidup sengsara di kampung kita, ya Pung?” tukas Rumondang.
“Hanya sebentar. Tak ada kerjanya pula selain mengurung diri di kamar. Entah bikin apa itu, mengetik…?”
“Mengetik, Pung? Mengetik apa? Sebenarnya apa pekerjaan ibuku dulu, Pung?” Ini kesempatan baik untuk mengorek perihal orang tuanya. Biasanya tak ada seorang pun yang mau menyinggung perihal mereka. Terutama tentang ibu kandungnya. Seakan-akan telah menjadi tabu, pantangan berat bagi keluarga besar ayahnya.
“Kurasa dia itu cuma ikut-ikutan anakku saja,” kata perempuan tua itu sambil menumbuk padi dengan kekuatannya yang luar biasa. Sering Rumondang merasa heran akan kekuatan fisik yang dimiliki perempuan tua berperawakan tinggi besar itu. Ompungboru mengerjakan segalanya seorang diri!
“Kata  Uda Tigor, ayahku itu seorang seniman, Pung?”
“Iyalah, betul itu! Sudah jadi seniman terkenal anakku itu sebelum kawin sama si Siao Lien. Orang bilang penyair, begitulah…. Gara-gara kawin sama halak Cino, kacau  pulanya hidup anakku itu! Jadi Sampuraga8-lah dia itu. Bah!”
Tiba-tiba perempuan tua itu berhenti menumbuk. Sepasang matanya dilayangkan ke kejauhan, ke ufuk langit berwarna biru bening. Rumondang sering berpikir, adakah Ompungboru pernah merindukan putranya? Anak laki-lakinya semata wayang? Sebab seingatnya, neneknya tak pernah memperlihatkan kerinduannya kepada siapapun. Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, penyokong utama keluarga besarnya sudah menguras seluruh enerjinya.
Namun, kalau untuk urusan sumpah serapah…. Dialah biangnya!
“Hei, sudahlah jangan mau tahu cerita orang tua kau. Sekarang kau ini kan sudah lama ditinggalkan sama mereka. Kau ini dibuang, Butet. Makanya kau harus bisa menitipkan diri. Jangan banyak main. Sekolah juga tak usahlah tinggi-tinggi. Diam sajalah kau di rumah. Kerja di sabak, menyangkul, panen, menggembala ternak, bantu-bantu aku…. Cukuplah begitu kehidupan kau itu, Butet!” ceracaunya tak tertahankan lagi.
Syukurlah, Sang Maha Pencipta menjemput neneknya tak lama setelah Rumondang lulus SD dan sangat menginginkan melanjutkan sekolah. Neneknya meninggal akibat dehidrasi, muntaber. Tak mau dibawa ke Puskesmas atau dokter. Bahna malas dan kikirnya mengeluarkan isi kocek yang selalu disimpannya dengan sangat telaten di lemari tuanya.
Memang ada bagusnya bagi Rumondang ditingalkan oleh Ompungboru. Karena perilaku dan keinginan sang nenek sangat berbeda dengan nenek-nenek temannya. Apabila nenek temannya punya keinginan melihat dan memajukan anak cucu, mengejar cita-cita. Seperti Ompung si Liani, meskipun sangat miskin, bersikukuh menyekolahkan anak dan cucu ke perguruan tinggi. Dibela-bela walau harus berutang sana-sini, menggadaikan bahkan sampai menjual seluruh harta benda.
“Kalau Ompungboru masih ada, tentu aku takkan bisa sekolah di Sidempuan macam sekarang, ya Pung?” cetus Rumondang ketika diantar oleh kakeknya ke tempat kos di Kabupaten. Saat itu dia akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMU. Di kampungnya belum ada SMP. Jadi ketika SMP pun dia harus berjalan kaki sepuluh kilometer pulang dan pergi ke kecamatan.     
"Iyalah. Aku pun takkan kawin lagi sama si Joruk, bekas teman kau itu,” sahut kakeknya sambil terkekeh.
Rumondang mesem dan menggoda kakeknya.”Jadi, lebih suka mana, Pung? Saat masih ada Ompungboru atau sekarang?”
“Ah, macam mana pertanyaan kau itu? Menggoda aku saja, ya?” elaknya tersiup malu, tapi sesaat kemudian dilanjutkannya. ”Tapi Butet, kalau aku pikir-pikir pula, bah! Enakan sekaranglah kita ini, ya Butet? Tak ada lagi tukang sumpah-serapah di rumah. Artinya, dingin kuping bening matalah kita ini. Iya kan, Butet?”
Rumondang tertawa tergugu melihat kelakuan kakeknya. Belum 40 hari meninggal Ompungboru, ketika Ompung menikah lagi. Joruk, bekas sobat kecilnya, teman bermain di sungai dan mengaji di surau. Tentu saja mulanya tindakan kakeknya  itu menjadi gunjingan orang sekampung. Namun, kemudian reda sendiri.
Siapa pula yang berani ganggu-gugat kakeknya? Orang yang paling berkuasa, banyak harta, baik budi, ringan hati dan selalu berbagi dengan masyarakat sekitarnya.
Seorang pelopor pendidikan di desa mereka. Karena pernah berkelana ke Malaysia, Makkah dan Irak. Biarlah Sang Khalifah punya istri lagi, pikir mereka. Lagipula, memang diwenangkan meski dia ingin punya istri sampai empat sekalipun. Iya kan? Apalagi ini sedang melajang kembali. Siapa pula yang mau kedinginan sendirian, menjelang hari-hari senja dalam hidupnya? Nah, yang penting dia tetap baik hati, selalu ikhlas berbagi hartanya dengan masyarakat.
Walau mendapat tentangan hebat juga dari anak-anak Ompungboru. Ompung tetap melanjutkan niat dan hasratnya, menikahi remaja belasan sebaya cucunya. Dia merasa sudah cukup adil, membagikan sebagian hartanya dengan anak-anaknya. Hidup akan terus berlanjut baginya. Setelah dua per tiga hidupnya dihabiskan dengan seorang istri nyinyir. Dia masih ingin menikmati sisa-sisa  hidupnya dalam suasana yang sangat berbeda.
“Hmm, Ompung… Ompung,” gumam Rumondang sambil mesem-mesem sendiri. Teringat kembali bagaimana saat kakeknya begitu keras kepala, melaksanakan keinginannya menikahi Joruk. “Tak takut dimusuhi anak-anaknya, tetap berkeras menikahi Joruk. Hm, sebenarnya  alasan apa, ya Ompung itu? Segitu umurnya konon sudah 105 tahun?!”
Ah, tapi meskipun sudah lebih seabad begitu, penampilan kakeknya tampak tegar. Gigi-giginya masih banyak, rapi dan kokoh. Matanya pun masih awas, tanpa kacamata. Perawakannya juga sama sekali tidak bungkuk, apalagi peot. Ompung masih gagah, kuat dan tegar sekali. Dan suaranya bila sedang mengajari anak-anak mengaji atau markobar9 itu; subhanallah, begitu lantang dan bening!
“He, tunggu!”
Di atas sebuah rambin10 bambu. Ada seseorang yang menyapanya lantang. Rumondang merandek dan kehilangan seluruh lamunannya. Di depannya menjulang seorang wanita separuh baya. Dia meletakkan bawaannya berupa sekarung padi, yang semula dijunjung di atas kepalanya. Agaknya hendak dibawa ke poken11. Hari Kemis memang hari pasar di kampung mereka.
“Ya?” Rumondang menatapnya. Peluh bercucuran di sekujur tubuh wanita perkasa itu. Wajahnya yang persegi, wajah khas wanita Batak tampak memerah dan kehitaman. Seraut wajah yang akrab dengan sengatan matahari.
“Cucunya si Ompung Ni Sahat kau ini, ya?” cetusnya sambil tersengal-sengal, berusaha meredakan napasnya.
“Eee, iya…. Siapa, ya?” Rumondang balik bertanya. Dia sungguh mengagumi kekuatan dan kemandirian wanita-wanita perkasa di kampungnya. Termasuk wanita di hadapannya juga mendiang neneknya.
“Alaaah kau ini….” Ditepuknya pipi Rumondang agak keras, hingga gadis itu terkejut. ”Sombong ‘kali, bah!  Aku ini Inangboru kaulah itu, Butet! Si Sagala, ingat kau sama anak sulungku itu kan?”
“Bang Sagala  yang di kampung seberang. itu, ya?”
“Iyalah itu! Masa pula kau lupa sama anakku itu? Calon suami kaulah dia itu, Butet…. Kapan kau datang dari Sidempuan?”
“Eeeh, eeh, tadi malam…” sahut Rumondang dengan wajah bagai terbakar. Orang tua ini kok tanpa tedeng aling-aling ‘kali, bah! Pake mengaku-aku anaknya calon suamiku segala? Rumondang mendumel dalam hati.
“Sudah lulus kau sekarang, ya Butet?”
“Sudah, eeh, maksudku lagi tunggu pengumumanlah…”
“Kalau kau ini pastilah lulus. Pintar kan kau ini, Butet. Macam Ibu kau itu, cantik dan pintar…. He, mau ke mana memangnya kau ini?”
“Ke kubur Ompung, Bou.”
“Jangan lupa nanti mampir ke rumah kami, ya. Abang kau si Sagala lagi di rumah. Menganggur dulu dia sekarang, motor ojeknya lagi ngadat….” Berkata begitu tangan-tangannya yang kokoh mengangkat kembali karung bawaannya. Pleeek, ditempelkan kembali di punggungnya. Tanpa minta bantuan siapapun. Selang sesaat perempuan itu sudah berjalan cepat melintasi sisa rambin menuju poken.
Rumondang geleng kepala. Kekuatan perempuan itu mengingatkannya kepada mendiang neneknya. Kuat bagai banteng ketaton neneknya itu. Kalau musim panen neneknya akan turun langsung sendiri. Sering mengangkuti padi berkarung-karung dari pesawahan ke rumah mereka. Perjalanan jauh lima-enam kilometer, terus diangkuti bolak-balik dan berhari-hari demikian. Sejak muda hingga tua. Aneh, padahal neneknya seorang istri orang berada.
“Menyuruh halak kau bilang, Butet? Bah! Baiknya aku kerjakan saja sendiri. Biar hematlah kita!” begitu dalihnya selalu setiap kali Rumondang mengasihaninya.
Menurut cerita Ompung, saat pertama kali mereka menikah pernah neneknya diajari membaca dan menulis. Sekali-dua masih mau mematuhi suami. Namun, hari-hari selanjutnya neneknya lebih suka memilih mengambil cangkul dan pergi ke sawah. Mendingan mencangkul tanah keras bagai cadas daripada belajar baca tulis, katanya. Karena itu sampai akhir hayatnya neneknya tetap seorang buta huruf.
Namun, anehnya dalam hal hitung menghitung penjualan hasil panen…. Tak perlu kalkulator lagi!
Orang sekampung sudah mengetahui hal itu. Kakek gemar membaca, mencari ilmu dunia-akhirat seakan tak pernah henti. Sebaliknya neneknya mengelola harta peninggalan leluhur dengan telaten dan cermat.
Sering pula neneknya mengeluh. ”Mau tahu kerja Ompung kau itu, Butet? Begitu sajalah dari dulu, baca buku, kitab, mengaji. Kalau bosan pergi dia ke lapo tuak12 sama teman-temannya!”

@@@
1rumah adat Batak
2kakek atau nenek
3sawah
4orang
5sebutan untuk tante, adik perempuan bapak
7nenek perempuan
8 perempuan
8 nama tokoh legenda Batak kisahnya mirip Malin Kundang
9 berbicara dalam suatu pertemuan adat keluarga
10 jembatan
11 pekan, pasar kaget seminggu sekali

12 kedai tuak


Cerpen Pipiet Senja: Berita Dari Palestina

$
0
0





Mih Encun ini siapa sebenarnya, ya, pikir Pak Erte. Ujug-ujug datang ke wilayahnya, minta menjadi tukang bersih-bersih di Masjid Al-Wusqo. Karena perilakunya yang sangat santun, terutama terbuka terhadap anak-anak, Mih Encun segera disukai warga desa Gombong. Anak-anak suka mendengarkan kisah-kisah para Nabi dan para sahabat dari perempuan paro baya itu.

Dia memang agak misterius, tapi disukai semua orang. Pak Erte tahu itu, maka ia tak pernah mempermasalahkan keberadaannya sejak beberapa tahun yang silam.
Hari ini sepucuk surat untuk Mih Encun nyelonong ke rumah Pak Erte.

“Surat ti saha, Mih? Teu aya ngaran anu ngirimna geuningan1?” Pak Erte tak urung merasa penasaran.
“Duka atuh, nya Jang Erte. Bade diaos heula mah, mangga we2,” katanya tulus dan sarat dengan rasa sumerah.

“Eh, hehe… ini era reformasi, Mih Encun. Zamannya hak azasi manusia mestinya ditinggikan di negeri kita. Nggak kayak dulu lagi atuh. Sudah, saya mah pamit saja, ya…” Pak Erte berlalu dengan wajah tersipu.

“Apa dia mulai curiga kepadaku, ya?” pikir Mih Encun saat kembali bersendiri.
Ia bergegas masuk ke biliknya di belakang masjid, mencari tempat nyaman di atas bale-bale untuk menimbang surat misterius itu. Saat membaca tulisan tangan pada sampul surat itu, mata Mih Encun seketika nanar dan jari-jari tangannya gemetar.

“Ya Allah, ini tulisan tangan putraku yang telah pergi tiga tahun tanpa kabar berita.Buah hati Ummi, Haekalku sayang, darah daging yang masih tersisa. Putraku yang suka bikin heboh dengan aktivitas keagamaannya. Sehingga aparat mencapnya sebagai seorang aktivis radikal, golongan kanan, separatis, teroris?”  lirihnya masih tak percaya.

Oooh, tudingan itu sama sekali tidak benar! Itu hanya fitnaaah!
Serentak hati keibuan Mih Encun memekik-pekik pilu. Segala rindu, resah pasah yang dipilinnya selama itu di relung kalbunya seketika buncah. Memenuhi dadanya yang tipis karena usia dan nestapa. Untuk beberapa saat lamanya ia hanya merunduk, memandangi surat di tangannya. Perlahan dan semakin gemetar, jari-jarinya kemudian menyobek sampul surat itu dan mulai membaca isinya.

“Ummi yang dirakhmati Allah, dalam ketakpastian inilah ananda justru baru punya keberanian untuk berkirim kabar kepada Ummi. Lagipula, alamat Ummi baru saya tahu dari seorang sohib…. Nanda sekarang berada di sebuah kota bernama Nablus…”

Neraka itu bernama Nablus. Orang pers menyebutnya sebagai Jenin kedua. Hingga Ahad pertengahan April yang lalu sudah sekitar sembilanratus warga Palestina tewas. Sebanyak limaratus di antaranya tewas di Jenin. Ratusan lainnya terluka parah. Mereka menjadi korban kekejaman, kekejian Israel, adik kandung Amerika Serikat di Timur Tengah.

Kemudian agresi militer Israel merambat ke wilayah-wilayah di sekitar Tepi Barat. Ada delapan kota di sini di antaranya adalah Nablus.

“Saya bergabung dengan  kru Al-Jazirah sebagai reporter, Ummi. Al-Jazirah ini jaringan televisi terdepan dan terakurat, paling terpercaya di kawasan Timur Tengah. Kami meliput banyak kejadian dan tragedi kemanusiaan sepanjang zaman di sini, Ummi…”

“Mengapa, Nak, mengapa? Bertahun lamanya tak ada berita, tahu-tahu kini kau ada di tengah gejolak peperangan paling sengit sepanjang zaman itu?”
“Neraka, katamu tadi, Nak?” Setitik kristal jatuh menuruni pipinya, parat membasahi surat di tangannya.

Mih Encun mengais matanya dan melanjutkan membaca surat.
“Tentara Israel dengan arogannya telah menggempur Jenin dan kota-kota lain sejak akhir Maret yang lalu, Ummi. Termasuk Nablus, tempat kami berada. Mereka tak peduli konvensi internasional. Wanita dan anak-anak pun dibabat habis, rIbuan lainnya diusir.”

Seorang aktivis Fatah yang kami wawancarai berkata, “Israel sudah membuat kuburan massal di kamp yang dibangun khusus untuk warga Palestina…”

“Mayat Ahmed Fashafshi, istrinya Shamira dan anak mereka Bassam tergeletak di bawah puing sampai beberapa hari lamanya. Pemberlakuan jam malam oleh tentara Israel itu tak memberi kesempatan bagi penguburan secepatnya,” kata Issam Fashafshi, putra keluarga Fashafshi yang berhasil selamat dari pembantaian itu.

“Mereka terjepit hingga tank menembakkan bom ke rumah itu. Saya mendengar suara orang menjerit. Kemudian buldozer-buldozer datang dan menggilasnya. Dinding itu ambruk dan menimpa orang-orang yang sedang bersembunyi di dalamnya…”

Aksi tentara Israel memang tak terekam semua oleh media internasional. Karena diblokade Israel. Namun ceceran kisah kekejian  mereka dicatat oleh Haekal dan rekan-rekannya  aktivis HAM.

Suatu hari Haekal melihat Aisha, bocah perempuan berumur duabelas tahun sedang asyik bermain di halaman pemukiman pengungsi Askar di Nablus.
“Mereka dataaang!” teriak para Ibu.
”Cepat sembunyi, cepaaat!” Para Ibu itu berusaha mengingatkan anak-anak, kemudian menyeretnya ke tempat berlindung.

Tiba-tiba… blaaar, bluuuaaar, buuum!
Ketenangan pecah berganti dengan hiruk pikuk, jerit dan lolong kesakitan. Berbaur dengan gencar tembakan, derak tank-tank dan buldozer tentara Israel. Haekal ingin sekali menghambur dari tempatnya berada.

“Jangan, akhi! Anda masih dIbutuhkan untuk tugas lain!” Ahmed Abu Attiya, rekannya aktivis HAM mencegahnya dan memegangi pergelangan tangannya kuat-kuat.
“Taa…” Bibirnya urung berkata-kata.

Disaksikannya bagaimana tank-tank Israel menghunjani pagar, tembok, rumah dengan tembakan, bahkan kemudian rudal.

Ya Robb! Malang sekali, Aisha tak sempat ikut berlari dan bersembunyi ke tempat perlindungan. Timah panas menghajar perut dan dadanya. Ia menggelepar dan berdarah-darah.

Bibirnya yang mungil masih sempat berseru dengan gagah berani, sebagaimana para mujahid lain yang telah mendahuluinya syahid.    

“Allahu Akbar! Hiduplah Palestina!”
Entah berapa lama kehirukpikukan yang menebar kekejaman dan tragedi kemanusiaan itu berlangsung. Hingga suatu saat tiba-tiba menjadi senyap. Keheningan yang telah menggugurkan bunga-bunga bangsa pilihan Tuhan. Haekal belum sempat beranjak dari tempatnya berpijak, ketika Ali Assad mengabarkan tentang keadaan Ummi Fathiya. Dia istri sahabatnya, Abdullah Fatouh.

“Dia akan melahirkan bayinya. Tak ada obat-obat, tak ada peralatan. Dia sudah banyak pendarahan,” lapor reporter asal Aljazair itu.
“Mereka tak mengizinkan bantuan datang ke sini,” desis Ahmed.

Haekal mengikuti Ahmed untuk memberi bantuan sebisanya. Di ruangan dalam yang tersembunyi tampak suami Fathiya. ”Bantulah saya, bantulah,” kata Abdullah Fatouh panik.“Ini mungkin sekali anak kami yang terakhir…”

“Mereka pernah memiliki tujuh orang putra dan semuanya gugur belum lama ini,” bisik Ahmed.

“Ketujuh putranya itu para remaja yang gagah berani. Satu per satu mereka jihad, melakukan aksi bom bunuh diri… menghancurkan barak-barak militer Israel,” tukas Ali Assad.

Haekal menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seketika ia terkenang kepada keluarganya di Indonesia. Abi dan keempat kakak tercinta juga telah syahid demi kebenaran itu, pekiknya membatin. Dan Ummi! Ia harus mencoba mengontaknya kembali, untuk ke sekian kalinya setelah berakhir sia-sia bertahun lamanya. Seorang aktivis HAM dari Indonesia memberinya informasi penting tentang keberadaan ibunya kini.

“Kami para lelaki hampir tak bisa berbuat banyak. Hanya menunggu yang di dalam kamar berjuang membantu persalinan. Rasanya detik demi detik berlalu begitu lama dan panjang sekali. Sementara di luar kekejian terus jua berlangsung. Kami tahu, Nablus dengan penghuni 180 rIbu jiwa jadi target si Jagal. Hari itu, sedikitnya 75 warga Palestina tewas dan 450 lainnya terluka parah.”

“Alhamdulillaaah, akhirnya putraku lahir dengan selamat!” seru sang ayah yang berbahagia. Ia bersujud syukur di sudut ruangan.

“Kami menyalaminya dan ikut merasa bahagia. Namun, setengah jam kemudian tiba-tiba kondisi bayi memburuk. Akhirnya putra pasangan Fathiya dan Abdullah Fatouh meninggal. Menyusul para mujahidin, menghadap Sang Khalik…”

“Ya Allahu Robbi,  aku sudah tak tahan lagi membaca suratmu ini!”
Mih Encun merasakan sekujur tubuhnya gemetar hebat. Teriakan anak-anak, jeritan pedih dan rintih kesakitan para lansia, perempuan tak berdaya di Nablus itu… menjejali gendang pendengarannya. Merobek telak jantung dan ulu hati perempuan itu.

Perempuan itu terkapar, tapi kenangannya segera terbetot ke masa silam. Sebuah peritiwa yang telah melibatkan Haekal dan suami serta keempat putranya yang lain dalam tragedi. 

Peristiwa yang membuatnya kemudian hidup bagai seorang pengecut. Karena ia tak sanggup menghadapi traumatis jiwanya, berikut masalah-masalah yang harus dihadapinya.

Malam itu empat tahun yang lalu. Jakarta sedang digonjang-ganjing oleh berbagai kerusuhan, pembakaran, penjarahan dan bom-bom meledak di mana-mana. Pemerintah kelimpungan dan mencari kambing hitam.

Tiba-tiba serombongan lelaki berseragam menggerebek rumahnya yang asri di kawasan Jagakarsa. Selain Haekal, keempat putranya sedang ada bersamanya. Begitu pula suaminya, karena sedang merasa tak enak badan mengurungkan niatnya berceramah.
“Kami akan membawa Anda, Pak Kyai…”
“Apa salah saya?”
“Anda sudah mengompori umat melalui ceramah-ceramah…”

“Itu tidak benar. Saya hanya berceramah seperti biasanya, syiar dan dakwah sesuai keyakinan kami…”
“Tapi massa yang bikin rusuh keluar dari tempat terakhir Anda berceramah! Ayo, jangan persulit kami, ikutlah!”
“Mana surat perintahnya?” Haidar, putra tertua mahasiswa semester akhir jurusan hukum, mencoba menghalangi mereka membawa ayahnya.

“Kamu mau melawan, hah?”
“Bukan begitu, kami hanya ingin keadilan…” Adik-adik Haidar ikut membentenginya. Mereka membentuk formasi, hingga sang ayah terlindungi.
“Jangan coba-coba melawan kami!”
“Kita harus membawa mereka semuanya!”

“Ya, kalian semuanya terlibat gerakan pengacau keamanan!”
Haidar dan adik-adiknya dIbuat babak belur. Sang ayah direnggut paksa dari sisi mereka. Kemudian seseorang mendudukkannya di kursi dan mulai menginterogasi dan menterornya.

“Anak-anak kamu mengacau Jakarta dan sekitarnya!”
“Ya, kamu sudah mengompori umat, agar mereka melakukan aksi anarkis. Mengaku saja, mengakuuu!”

“Kalian tak bisa menginterogasi Ayah kami di sini. Kami memerlukan pengacara… aaah!” Haidar terjengkang, perutnya dihantam popor senapan.

Kekejian itu dalam sekejap telah berlangsung di depan matanya. Suami dan keempat putranya diseret oleh orang-orang misterius itu. “Tabah dan tawakallah, ya Mi... Abi minta keluasan hati Ummi, jangan kaitkan Haekal dengan persoalan kita hari ini,” bisik suaminya saat ia diberi kesempatan menghampirinya untuk pamitan.

Sejak saat itu, ia tak pernah melihat suami dan putra-putranya. Hingga suatu hari ia dijemput beberapa pemuda yang mengaku teman Haekal. Mereka membawanya ke pemakaman umum dan menunjukkan kebenaran itu. Sebuah kuburan massal, di mana keempat putra dan suaminya konon dikuburkan di dalamnya.

Belum terdengar azan zuhur ketika Mih Encun keluar dari biliknya. Wajahnya tampak bersinar perbawa semangat yang berkobar-kobar dalam dadanya. Ya, kabar dari Nablus yang dituturkan Haekal melalui suratnya telah mengubah segalanya!

Surat itu telah memberinya inspirasi dan kekuatan maha. Hingga ia bagai terbangun dari mimpi buruknya. Kemudian siap untuk menentang ketakadilan itu. Ya, ia tidak merasa gentar lagi terhadap siapapun selain kepada Allah!

“Mau ke mana, Mih Encun?” tanya Pak Erte yang berpapasan dengannya di mulut gang.
“Saatnya sudah tiba, Jang Erte… Assalamualaikum!” sahutnya tanpa memberikan luang sedetik pun kepada lelaki itu untuk menanyainya lebih lanjut.

Lelaki itu terperangah memandangi Mih Encun yang berjalan tegar bagai mujahid hendak tandang laga.“Sudah saatnya aku menghadapi persoalan. Semua Muslim harus berjihad untuk menegakkan syiarnya masing-masing. Jangan membiarkan citra Islam selalu dipojokkan, difitnah, dipinggirkan, dikambinghitamkan. Ya, ini memang sudah saatnya!” ceracaunya riuh dalam hati.

@@@


1“Surat dari siapa, Mih? Kok nggak ada nama pengirimnya?”

2”Entahlah, Nak Erte. Kalau mau dibaca sih, silakan saja.”








Tuhan Jangan Tinggalkan Aku

$
0
0



Plot
Fatin terlahir dari keluarga Muslim sejati, ayahnya seorang petani miskin di kawasan Cianjur yang sering diakali, dtipu oleh para tengkulak.  Sebagai anak suung, Fatin ingin sekali berbakti kepada orang tua. Ia sering menangis diam-diam, melihat adik-adiknya sampai sering berebut makanan. Makan hanya dengan kerupuk dan kecap dengan nasi impor pera jelek. Padahal, hatta, Cianjur gudang beras pulen wangi yang sudah terkenal ke seantero Indonesia. Mereka nyaris tak pernah makan nasi pulen yang ditanam oleh ayah dan kelompok petani di desanya.

Prestasi Fatin luar biasa di sekolah. Sebelum lulus SMK, Fatin disalurkan oleh KepSek bekerja sebagai karyawan hotel berbintang di Jakarta. Ketika menjadi karyawan hotel inilah ia bertemu dengan Rimbong. Seorang Bos perusahaan bonafide yang sudah punya tiga istri, tetapi belum memiliki keturunan.

Rimbong menyelamatkan Fatin dari upaya pelecehan seksual seorang turis. Fatin merasa sangat berterima kasih dan berhutang budi. Ketika Rimbong yang umurnya lebih tua dari ayahnya, melamarnya sebagai istrinya yang keempat, Fatin menerima tanpa minta persetujuan orang tua.

Rimbong menyembunyikan Fatin di bungalownya di Lombok. Mereka sempat hidup berbahagia, apalagi tak berapa lama kemudian Fatin hamil. Rimbong sangat memanjakannya. Fatin dibelikan bungalow dan kendaraan mewah, perhiasan-perhiasan mahal.

Namun setelah melahirkan Ridho, anak laki-laki, sikap Rimbong berubah drastis. Rimbong sering melecehkannya baik secara psikhis hinaan dengan kata-kata, maupun secara fisik; memukul, menjambak dan menendang. Rimbong memaksanya agar menyerahkan hak asuh Ridho kepadanya. Fatin selalu menolaknya.

Penderitaan Fatin bertambah dengan teror yang berdatangan dari istri-istri Rimbong. Puncaknya adalah istri-istri Rimbong menyambangi Fatin. Mereka berusaha merebut Ridho yang baru berumur 2 tahun. Mujur, Fatin berhasil menyelamatkan diri, disembunyikan pembantunya. Istri tua Rimbong membatalkan pernikahannya dengan alasan tidak ada persetujuan istri tua.

Fatin berkenalan dengan Frankie melalui Facebook. Frankie keturunan Indonesia yang telah lama mukim di Holland. Fatin sangat percaya akan kebaikan hati Frankie yang mau membeli seluruh aset yang dimilikinya. Bungalow dan kendaraan atasnamanya dijual kepada Frankie. Meskipun baru dibayar sebagian saja, Fatin telanjur percaya. Frankie melamarnya menjadi istrinya, memintanya datang ke Belanda.

Fatin nekad terbang ke Holland bersama anaknya. Malam itu ia sempat dikejar oleh ketiga istri Frankie, tetapi Fatin berhasil meloloskan diri naik pesawat menuju Holland.  Baru beberapa jam kebersamaannya dengan Frankie, Fatin sudah mulai tak nyaman. Frankie langsung memaksanya agar membuka kerudungnya. Saat Fatin berusaha menolak, Frankie menarik kerudungnya hingga terlepas, kemudian membuangnya ke tong sampah.

Sesungguhnya penderitaan Fatin baru dimulai di sini. Frankie ternyata selain seorang scammer juga seksmaniak. Fatin dipaksa melayani Frankie, sambil diancam anaknya akan dibunuh kalau menolak. Ridho kecil dikurung di kamar mandi, sementara Fatin diperkosa.

Demikian terus berlangsung selama dua bulan. Tak jarang Frankie memperlakukan Fatin begitu kejinya. Kelainan seks yang diidapnya membuat Frankie suka memasuk-masukkan benda ke vagina Fatin. Saat-saat inilah Fatin sering menyeru nama-Nya:”Tuhan, jangan tinggalkan aku! Tuhan, jangan tinggalkan aku!”

Perjuangan Fatin dalam meloloskan diri bersama anaknya sungguh dahsyat. Mulai dari mencari lubang di ruang bawah, menggedor dinding untuk menerobos, hingga berusaha mengirim pesan melalui internet. Frankie memergokinya, kemudian mengurung Fatin dan anaknya di lantai tiga.

Dalam keputusasaan begitu, Fatin berserah dri kepada Sang Pencipta. Ia mendirikan sholat meskipun hanya dengan tayamum. Hanya keberadaan Ridho yang membuatnya tetap bertahan dan punya semangat untuk menyelamatkan diri.

Satu malam ketika Frankie puang dalam keadaan mabuk, Fatin nekad menghantamkan botol minuman berkali-kali ke kepala Frankie. Lelaki itu terkapar. Fatin nekad turun dari lantai tiga sambil menggendong anaknya.

Salju pertama yang dilihatnya seumur hidupnya, menyambut mereka dengan hawa dingin membeku. Fatin menggendong anaknya, terus berjalan, entah berapa kilo. Ia terus berzikir dan menyeru nama-Nya.”Tuhan, hamba mohon.... Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku!”

Dari rahimnya mengucur darah segar tapak penganiayaan Frankie. Fatin merasa sudah nyaris pingsan, ketika matanya masih bisa melihat satu bangunan. Ternyata itu sebuah kapel, gereja kecil di tengah salju yang kian menebal. Andaikan ada mesjid atau mushola, tentu ia lebih suka ke sana, Namun, inilah, kapel yang disediakan oleh Tuhan untuk dirinya dan anaknya. Agar terbebas dari nestapa.

Seorang pendeta tua, Romo Hartland, warganegara Belanda, menyambut kedatangannya. Fatin benar-benar pingsan setelah mengatakan pesan, agar Romo Hartland berkenan melindungi anaknya. Romo Hartland berjanji akan merawat mereka.

Sejak itulah Fatin dan anaknya tinggal di apartemen Romo Hartland di belakang kapel. Begitu tulus dan sungguh-sungguh Romo Hartland merawat Fatin hingga kondisinya membaik. Ia pun melindungi dan merawat Ridho dengan sangat baik, dibantu oleh Oma Roselin, istrinya yang juga menyayangi Fatin dan anaknya.

Fatin mendapatkan semangat hidup dan kepercayaan diri yang sempat hancur lebur di rumah keluarga kecil Romo Hartland. Fatin pun menyayangi anak Romo Hartland dan Roselin, yakni Hans Hartland, seorang anak laki-laki down syndrome.

Ketika Frankie memperkarakannya hingga ke pengadilan, Fatin memutuskan menerima tawaran Romo Hartland menjadi anak angkatnya.

Terpaksa Fatin melepas kewarganegaraan Indonesia, demi mendapatkan pelayanan hukum dan hak-hak yang sama seperti Frankie di Holland. Keluarga besar Romo Hartland bersama komunitas gereja mendukung Fatin sepenuhnya. Hingga Frankie dinyatakan bersalah dan harus menanggung hukuman akibat kejahatannya terhadap Fatin dan sejumlah korban lainnya.

Saat inilah Fatin merasakah Harmoni antar bangsa lintas agama. Ia tidak pernah dipaksa keluarga Romo Hartland agar melepas keyakinannya. Ia tetap bisa beribadah, berkerudung dan menikmati hari-hari yang damai.

Terbebas dari perkara hukum, Fatin mendapatkan kesempatan terbaik dalam hidupnya. Yakni disekolahkan ke Paris sebagai perancang busana. Kemudian diberi modal untuk membuka butik.

Kehidupan Fatin sudah terasa sangat baik, nyaman, ketika Romo Hartland jatuh sakit karena usia tua. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, Romo Hartland meminta Fatin agar merawat Oma Roselin dan Hans Hartland.

Fatin berjanji akan melaksanakan permintaan Romo Hartland. Tak berapa lama kemudian Oma Roselin menyusul suami tercinta. Fatin pun semakin mantap untuk merawat, mengayomi, membesarkan anaknya serta adik angkatnya Hans Hartland. Ia meminta maaf kepada ibu bapaknya di Cianjur. Meskipun ibu bapak kecewa, tetapi mereka tetap mendoakannya. Kini Fatin bisa sering mengirimkan dana untuk keluarganya.

Kariernya sebagai perancang busana melejit, busana hijab yang didesainnya memikat dunia mode. Hingga rancangannya mulai dilirik dan ditampilkan di even-even busana internasional di Paris. Satu hari ia pun diundang oleh agen besar di Indonesia untuk menampilkan rancangan busana muslim hijabnya.

Setelah 10 tahun meninggalkan Tanah Air, akhirnya Fatin punya keberanian menengok keluarganya di Cianjur. Pertemuan yang sangat mengharukan. Cerita diakhiri dengan keikhlasan orang tua Fatin melepas kepulangannya ke Holland.

“Meskipun warganegaraku, tempat tinggalku, mata pencaharianku di Belanda. Namun, darahku, jiwaku tetap tinggal di Indonesia. Aku takkan pernah melupakan akarku. Apapun yang terjadi, aku tetap Cinta Tanah Airku Indonesia!”



Dari 99 Cerita Hikmah:Dahsyatnya Kekuatan Doa

$
0
0


Ilustrasi:Googling

Doa Ibu
Bayi mungil yang barusan menolak disusuinya itu diyakininya masih bernapas. Anakku harus hidup, harus bertahan, demikian yang terpeta dan mengakar di otak Mak Musa. Bayi yang terbaring lemah di ranjang mungil ini telah dinantikannya selama lima belas tahun. Betapa sukacita ia dan suami saat dokter menyatakan dirinya hamil. Meskipun selang kemudian suaminya harus pergi ke Malaysia. Demi masa depan mereka, sebab di kampung sulit mendapatkan pekerjaan.
Pukul satu dinihari, suasana di ruangan rawat tak pernah tidur. Ada saja tangis, rengekan dan suara kesakitan pasien anak-anak di sebelah menyebelahnya. Para penunggu, ibu dan bapak harus punya kesabaran tinggi untuk menenangkan anak masing-masing.
Dokter jaga didampingi perawat memasuki ruangan. Mak Musa gegas menghampiri mereka.”Bagaimana, Dokter? Sudah adakah tempat kosong di NICU?”
Dokter cantik dengan jilbab biru itu menggeleng.”Belum ada yang kosong, Ibu Musa. Apa tidak ada kabar dari keluarga yang bantu cari NICU untuk Musa?”
Mak Musa menggeleng lesu. Keluarganya tinggal jauh di kampung. Keluarga suami nyaris tak peduli, satu pun tak ada yang menengok. Sejak awal mereka tak pernah menyukainya. Teman-teman di pabrik sudah repot dengan urusan mereka. Hanya satu-dua yang sempat menengok sejak ia melahirkan tiga bulan yang lalu.
“Bagaimana kondisinya sebenarnya, Dok? Tolong dijelaskan saja sejujurnya,” bisiknya sesaat membiarkan dokter memeriksa bayinya. Sosok mungil yang telah diberi nama oleh ayahnya sejak tujuh bulan dalam kandungan, tampak bergeming, tak bereaksi sama sekali. Hancur rasanya hati keibuan Mak Musa.
“Seperti yang sudah kami jelaskan kemarin,” kata dokter dalam nada serius, meskipun berusaha menenangkannya.”Bayi Ibu punya kelainan jantung. Ia harus dirawat secara ntensif di ruang NICU. Bertahap nanti akan dilakukan operasi jantung kalau dia sudah besar dan kuat....”
Mak Musa tak sanggup mendengar kelanjutannya lagi. Kelainan jantung harus dirawat di NICU, karena peralatan yang menunjang kehidupannya harus lengkap. Titik. Tapi tak ada NICU yang kosong dengan biaya surat keterangan tidak mampu yang dimilikinya. Semua NICU rumah sakit terdekat yang dihubunginya menyatakan; penuh!
Ini adalah malam ke-9 bayinya menunggu mendapatkan tempat di ruangan NICU. Mak Musa tidak mau membawa bayinya pulang dalam kondisi parah. Karena di rumah pun ia hidup seorang diri. Seketika sesak serasa dadanya mengingat betapa perjuangannya demi memiliki keturunan. Mulai dari konsultasi ke bidan, dokter kandungan, hingga menemui orang-orang pintar bahkan dukun.
“Ya Robb, ampunilah hamba yang lemah ini. Agaknya saat itulah hamba telah berbuat dosa besar, menduakan-Mu,” gumamnya kini.
Terbayang yang terakhir dilakukannya tanpa sepengetahuan suami adalah menemui kuncen di Pangandaran. Sang kuncen mengatakan akan memanggil Buta Hejo untuk memberinya keturunan. Syaratnya ia tak boleh mengucapkan asma Allah seumur hidupnya.
Ketika ia mengandung tak berapa lama sepulang dari Pangandaran imannya nyaris gugur. Ia percaya bahwa kehamilannya berkat perantara si Kuncen. Berkat perutnya dipegang oleh Kuncen yang katanya adalah perantara si Buta Hejo. Naudzubillahi min dzalik!
Sekarang tubuhnya bergetar hebat, tersuruk di atas sejadah dengan air mata bersimbah. Ia menjeritkan rasa penyesalannya kepada Sang Maha Penguasa Semesta. Ia berharap ampunan dari Sang Maha Penyayang.
Ya Rahiim, Ya Rahiim, Ya Rahiim!
“Hamba ikhlas dengan segala kehendak-Mu. Ya Rahiim, apapun keputusan-Mu kini hamba pasrah lilahi Taala,” desisnya nyaris tak putus-putusnya berdoa, zikir, berdoa, zikir. Itu saja yang masih bisa dilakukan Mak Musa mengisi sisa dinihari.
Pagi telah datang, tim dokter memeriksa semua pasien kecil di ruangan Permata. Mak Musa menunggu rombongan dokter dengan hati tenang. Ya, ia telah menyerahkan segala urusan bayinya kepada Sang Pencipta.
Dipimpin seorang Profesor ahli jantung, mereka memeriksa Musa dengan cermat sekali. Mata Mak Musa tak lepas-lepasnya dari sosok buah hatinya yang tampak tenang. Ya Rahiim, Ya Rahiim, Ya Rahiim!
“Bagaimana Prof, apa sudah ada tempat di NICU?” tanyanya menatap Profesor penuh harap saat dilihatnya lelaki paro baya itu selesai memeriksa bayinya.
“Untuk apa pindah ke NICU?” balik Profesor tersenyum ramah.
“Maksud Profesor?” Mak Musa belum paham.
“Musa boleh dirawat di sini saja sampai kondisinya lebih membaik. Ibu tidak perlu mencari kamar di NICU lagi, ya,” suaranya terasa bagaikan air dingin, menyejukkan segala resah pasah jiwanya.
Rombongan dokter meninggalkan ruang perawatan anak. Mak Musa masih tertegun-tegun, nyaris tak bisa memercayai daya pendengarannya. Hingga tiba-tiba mendengar suara meringik dari ranjang mungil bayinya. Ya Rahiim, Ya Rahiim, Musa bisa menangis meskipun hanya ringikan lembut!
“Terima kasih, Ya Robb. Engkau telah mendengar doa hamba-Mu yang sempat menduakan asma-Mu,” kesahnya terharu sangat. Air mata Mak Musa berlinangan, membasahi rambut bayi dalam dekapannya.
Mak Musa tahu, perjuangannya masih panjang demi pengobatan buah hati. Artinya Allah Swt masih memberinya kesempatan menikmati kebersamaannya dengan buah hati yang didamba belasan tahun.
Ilustrasi: Mak Musa berdoa khusuk di samping ranjang kecil bayinya yang terbaring sakit parah di ruang perawatan anak.
@@@
       

        

99 Cerita Hikmah: Putriku Digaet Geng Motor

$
0
0



Ilustrasi:Google



Dari 99 Kisah Hikmah : 

Malam  mulai larut, mie ayam dagangannya tinggal sedikit. Dilihatnya kios-kios di sekitar perumahan tempatnya mangkal, satu per satu telah ditutup. Tinggal kios warnet yang masih buka. Tampak beberapa anak muda asyik bermain game-online.

Setiap kali melihat anak-anak muda pikirannya jadi melayang kepada anak sulungnya. Fadli putra kebanggaannya yang selalu meraih prestasi hingga mendapat beasiswa belajar ke Yaman. Bagaimana kabarnya sekarang di tengah pergolakan politik di sana?
           
“Kami para mahasiswa masih aman-aman saja, Bah. Tapi kami sudah diintruksikan untuk bersiap dievakuasi,” demikian pesan singkat Fadli beberapa hari yang lalu. Sejak itu ia belum terhubung kembali dengan putranya.
            
Seketika Bah Dira menekur, menengadahkan kedua telapak tangan mendoakan putra sulungnya. Begitu khidmat dan khusuk ia mendoakannya, tanpa terasa air mata meleleh dari sudut-sudut matanya. Teringat saat Fadli pamitan, minta keikhlasannya. Agar ia tak terlalu mengharapkannya pulang dalam waktu dekat.

"Ikhlaskan anakmu berjihad di bumi para Nabi, ya Bah,” demikian salam perpisahan anaknya yang saleh.

Ia pun tak lupa mendoakan anak perempuannya si Fadliyah. Putrinya ini bertolak belakang dari kakaknya. Ia sering bolos sekolah hingga akhirnya dikeluarkan. Anak itu bertingkah tak lama setelah ibunya nekad kerja sebagai TKW di Hongkong. Bah Dira tidak berdaya, dirinya memang tak mampu menghidupi keluarganya sesuai tuntutan istrinya.

“He, bengong saja si tua ini! Kasih mie ayamnya sepuluh!” hardikan lantang membuyarkan seluruh lamunan Bah Dira. Seorang anak muda berteriak-teriak dari atas sadel motornya.

Dalam sekejap rombongan anak muda telah memarkir motor di depan kios mie ayam Bah Dira. Sekilas ia menghitung dengan sudut matanya ada 10 orang. Mereka berpasangan, lelaki dan perempuan. Geng motor anak baru gede, orang menyebut yang perempuan sebagai cabe-cabean.

Jantungnya seketika serasa digodam palu raksasa. Betapa tidak, salah satu anak baru gede yang baru turun dari sadel motor paling depan itu tak lain tak bukan adalah putrinya sendiri.

Ya Allah, Fadliyah!
"Eh, malah bengong nih si Tua?” sergah anak muda berbadan kerempeng dengan celana jins bolong-bolong, rambut  dicat warna-warni. Tahu-tahu anak itu sudah mencelat berada di depan gerobaknya.

“Tahu saja lihat si Lience keren....”
Sejak kapan ganti nama, sentak Bah Dira terkejut sekali, hanya dalam hati.
“Lience paling keren dan asli looooh!”
“Maklum baru keluar dari sarangnya....”
“Hooh! Ibarat kata fresh oven, hahaha!”

Suara-suara kurang ajar saling bersahutan membuat pasangan mereka cemberut, iri. Mana ada yang berani kepada Boyke, ketua geng yang baru berhasil menarik perawan tingting itu keluar rumahnya di gang kumuh.

Sambil meracik mie ayam Bah Dira sesekali mencuri pandang ke arah putrinya. Anak baru gede itu berlagak tidak mengenalnya sama sekali. Pakaiannya itu, ya Robb, dari mana dia mendapatkan baju aneh begitu? Celana jins belel jumbai-jumbai ala koboy, dipadu t-shirt dengan pusar terbuka, berbalut jaket kulit yang mengepas badannya.

Ya Malik, Ya Malik, Ya Malik!
Bah Dira mengumpulkan seluruh kekutan iman yang dimilikinya agar tidak terpancing emosi. Dengan sigap ia menyelesaikan pesanan, mengantarkannya ke meja anak-anak muda itu.

Ia tak merasa sakit hati jika putrinya tak memedulikan keberadaannya. Ia tak sanggup melihat penampilan putrinya. Satu hal yang dipegangnya detik ini adalah teguh zikrullah, digemakan tak putus-putusnya di dalam dadanya.

Ya Malik, Ya Malik, Ya Malik!
Bah Dira berhasil mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya Satpam perumahan. Beberapa saat sebelum geng motor yang telah sukses mengambil putrinya menghabiskan mie ayam, tiba-tiba satu regu keamanan menyerbu kiosnya.

Bah Dira menyaksikan bagaimana anak-anak geng motor itu mencoba melawan. Mereka berontak, menendang, memukul bahkan mengeluarkan senjata tajam. Namun sahabatnya dan kawan-kawan sudah terlatih. Dalam hitungan menit mereka berhasil meringkus anak-anak geng motor, menggiringnya ke Pos Satpam, menunggu jemputan polisi.

Malam semakin larut, tetapi Bah Dira masih bertahan di kiosnya. Ia telah berpasrah diri, ikhlas lilahi Taala dengan nasib putrinya, saat sahabatnya kembali ke kiosnya.

“Putrimu tidak terbukti bersalah, Bah. Silakan bawa pulang,” ujar Bah Dodi, menggandeng anak baru gede itu ke hadapan ayahnya.

“Maafkan aku, Bah, maafkan, ampuuuun,” lirih Fadhliyah bercucuran air mata.
Bah Dira memeluknya erat-erat. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya yang menggeletar saking terharu kecuali; alhamdulillah. Rasa bersyukur atas anugerah-Nya, telah mengembalikan putrinya ke pangkuannya.

Ilustrasi:Bah Dira sibuk menyajikan mie ayam kepada geng motor yang telah menggaet putrinya.
@@@


Dikira Camat Euy!

$
0
0



Tahukah Anda apa maknanya Camat? Kepala Kecamatan, ya? Oh, kalau itu sih semua juga tahu. Tapi Camat yang saya maksudkan di sini adalah Calon Mayat. Ya, pada hakekatnya kita ini semuanya juga Calon Mayat, bukankah?

Beberapa kali dalam hidupku, terutama ketika berada di rumah sakit dan sedang sendirian, aku pernah disangka sebagai jenazah alias Camat tersebut.

Satu saat, kejadiannya di RSCM, awal 1990, aku sedang mengandung 7 bulan anak ke-4. Ya, jika ada dan terlahir dengan selamat, aku memang pernah mengandung sebanyak lima kali. Dua adiknya Haekal, artinya anak ke-2 dan ke-3  mengalami keguguran karena kondisiku sangat lemah.

Dua kali kehamilan itu baru  berusia 8 mingguan. Kemudian adiknya Butet, yakni anak ke-5 setelah usia 6 bulan pun mengalami keguguran. Ini akibat kecelakaan, perutku membentur jok mobil Kowanbisata yang dikebut ugal-ugalan.

"Eeh, ini masih hidup, yaaaak?" seru Profesor.

Setiap kali hamil, sebagai pasien kelainan darah bawaan, aku diharuskan ditransfusi secara berkala lebih sering dari biasanya. Hampir tiap pekan harus ditransfusi demi menjaga takaran darah pada kisaran 10.

Hari itu, setelah dicek darah di Poliklinik Haematologi, dinyatakan HB (takaran darah) hanya 6. Harus ditransfusi, tidak boleh menunggu lagi, terpaksa pilihannya hanya di UGD. Suasana UGD seperti biasa crowded, rusuh bukan main, apalagi saat itu masih disatukan antara pasien penyakit dadakan dengan pasien kecelakaan lalu-lintas.

Darah yang sebelumnya telah kupesan ke PMI Pusat di Kramat Raya, dijanjikan baru datang dalam enam jam kemudian. Jadi, karena tak punya sanak-saudara, kuupah seorang cleaning service untuk mengambilnya.

“Ibu tunggu di sini, ya, tenang saja, nanti saya ambilkan,” janji si abang cleaning service.
Aku mengangguk, tapi bagaimana mau tenang, coba? Di sekitarku semakin hiruk-pikuk saja. Ada banyak korban keracunan biskuit yang berdatangan dari pelosok Jakarta. Mulai dari suara muntah-muntah hebat, melolong-lolong kesakitan, sampai tindakan cuci perut yang mengeluarkan bau busuk ke pelosok ruangan.

Karena di ruang dalam sudah penuh, maka aku pun ditaruh di selasar alias lorongnya saja, di antara pasien lainnya yang belum tertangani. Brankar kami dideretkan, tepatnya diantrikan tepat di depan kamar-kamar yang telah penuh pasien gawat tersebut.

Di depanku brankar berisikan seorang tunawisma,  menurut suster sudah ada di situ sejak tiga hari yang lalu, dibawa oleh seorang polisi. Entah apa penyakitnya, dan entah bagaimana pula penanganannya, pokoknya begitu aku tiba di situ kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri dia bersuara; cekleuk alias gameover!

Kucermati keadaan jenazah tunawisma, kubayangkan polisi menemukannya di pinggir jalan dan sudah dalam kondisi parah. Bisa ditebak, tidak akan pernah ada yang menanganinya karena tak ada keluarga yang siap menjamin. Jadi, ya, dibiarkan saja selain diberi infusan alakadarnya, sampai tiba waktunya dipanggil Sang Pencip[ta.

Lalat-lalat hijau agaknya sudah menyukainya sejak awal, tampak kian banyak berseliweran di sekitar mayat itu. Sebagian bahkan melayang-layang ke arahku, menclok sana-sini. Bingung dan kesal juga dikerumuni lalat hijau, jadi kurungkupkan mukena yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi, menutupi sekujur tubuhku.
Ndilalah, malah langsung tidur pulas!

Ketika mendusin, aku merasa brankar bergerak alias dijalankan oleh orang, masak iya sih jalan sendiri kan? Jujur saja, otakku belum konek bin bête, jadi kubiarkan saja air mengalir (ciee!), istilahnya ngartis banget!

Kudengar ada yang bercakap-cakap sbb; “Ini kasihan amat, ya, lagi hamil gak ada suaminya, eh, malah meot!”
“Hmm, perasaan tadi siang masih kulihat dia ke kamar mandi, ambil wudu, katanya.”
“Ya, namanya juga umur, gak ada yang tahu….”

Kali ini otakku mulai konek, sepenuhnya sadar, mereka telah mengira aku mati agaknya. Serentak kukuakkan mukena yang menutup wajahku, dan berkata lantang: ”Woi, aku belum meot, tauuuk!”
Alih-alih menghentikan gerakannya, dua perawat laki-laki muda itu malah serentak balik kanan, dan ngacir!

Beberapa saat aku celingukan duduk di atas brankar, baru kusadari ternyata aku telah berada tak jauh dari kamar jenazah.  Untunglah tidak terlalu lama menanti, kedua perawat muda itu kembali berlarian menghampiriku. Keduanya langsung mengambil tanganku, menciumi tanganku dan menyatakan perasaan bersalahnya.

“Duh, maafkan, ya Bu, kami salah ambil rupanya….”
“Iya, seharusnya brankar satunya lagi….”
“Mohon jangan dikasih tahu siapapun, ya Bu, pliiiissss….”

@@@


Pesantren Idaman:Inilah Gerakan Santri Menulis

$
0
0

Karya Santri Darul Ulum Banyuanyar Madura

Antologi karya santri putri Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan-Madura, sebagai persembahan dari program Kelas Menulis bersama Pipiet Senja. Terdiri dari puisi-puisi ringkas, kisah inspirasi, cerita fiksi, resensi dan artikel. Disunting oleh Sang Mentor yang suka disebut Manini oleh para cucu Kyai, dengan bahasa komunikatif, bernas dan lugas. Sungguh layak dicermati dan dimiliki, kemudian diambil hikmah dan diikat maknanya. Selamat menikmati: Pesantren Idaman!



Kelas Menulis Pontren Putri
Telah beberapa kali singgah dan memberi pelatihan menulis di pondok pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan-Madura, kali ini diminta buka kelas menulis agak lama. Targetnya mencetak para penulis Islami langsung dari basisnya. Dengan senang hati saya menerima undangan Hj. Salma, pimpinan pondok pesantren putri Darul Ulum. Terhitung sejak 20 September-27 September 2014, kelas menulis bersama saya berlangsung.

Mengambil tempat di ruang perpustakaan, jadwalnya diambil tiga kali pertemuan pada awalnya; pagi bada subuh, sore bada ashar dan malam bada isya. Namun, melihat anak-anak banyak yang kelelahan dan mengantuk, boring, terutama saat bada isya akhirnya ditiadakan. Digeser dan waktunya ditambahkan satu jam ke kelas sore hari.

Materi yang saya berikan sudah disiapkan, spesial modul menulis yang pernah saya dan tim lakukan di beberapa tempat. Mulai dari motivasi mereka menjadi seorang penulis, mengatur waktu, menangkap ide dan mengeksplorasinya menjadi sebuah tulisan memikat, hingga berurusan dengan media, mencermati surat perjanjian, aktif menjual karya yang telah diterbitkan sebagai buku.

Absensi Bergeming
Hari pertama di ruang perpustakaan, tanpa bangku dan kursi alias santri duduk lesehan sementara saya di depan dengan bangku dan laptop serta perangkat LCD. Peserta  tercatat 52 santriwati setingkat Aliyah. Dua orang panitia, Mbak Uul dan Mbak Iil, demikian saya diperbolehkan memanggil nama kedua akhwat ini, siap dan cekatan sekali membantu jika diperlukan. Ditambah Mbak Ifa, putri KH. Muhammad Syamsul Arifin, pimpinan pesantren.

“Nanti juga akan terseleksi sendiri. Mana saja yang bisa bertahan dan siapa saja yang akan mundur. Tidak tahan dengan gaya saya, mungkin,” kataku berseloroh.
“Insha Allah, semoga tetap istiqomah, Teteh,” ujar Mbak Uul, terdengar penuh harap.

Hari kedua yang hadir berkurang 10, hari ketiga pun berkurang belasan, bahkan hari ketiga hatiku langcung menciut. Tinggal dua baris saja.
Artinya tidak lebih dari belasan peserta!

“Nah, lihat kan, Mbak Uul, Mbak Iil, apa kata Teteh waktu itu?” ujarku menahan perasaan tidak enak dalam hati.
“Tenang saja, Teteh. Hari ini kebetulan ada ulangan, mungkin anak-anak ingin fokus. Nanti sore mudah-mudahan mereka sudah bisa atur waktu,” kata Mbak Iil menenangkan.

Syukurlah, ternyata pernyataan Mbak Iil ini ada benarnya. Kelas menulis bersama saya sampai sesi terakhir, tetap dihadiri oleh peserta yang tak bergeser jauh dari hari pertama.

Serunya Lintas Alam Malam
Untuk menyemangati dan mengarahkan para santri putri dalam hal menemukan ide, menggalinya langsung dari orang atau lingkungan mereka, saya ajak mereka lintas alam. Waktunya diambil malam Jumat, karena esok hari mereka libur.

“Asyiiiik! Aku di depan, di depan, aaah!” seru Sarah, cucu Kyai, semangat sekali.
“Aku juga mau di depan,” kata Khadijah, sepupunya, tak mau kalah semangat.
“Aku di mana, Manini Teteh?” cetus Amatullah, putri Neng Salma.

Tiga cucu Kyai ini memang paling semangat dan kompak sekali. Biasanya mereka lebih dahulu menyerahkan tugas berupa tulisan; puisi, resensi, cerpen.

Malam Jumat itu terasa semarak, barisan kader penulis, para calon mujahid pena pontren putri berderap. Barisan bergerak menyusuri jalanan di seputra pondok pesantren. Tiba di lapangan terbuka di bawah cahaya lampu, saya meminta mereka berhenti.

“Silakan, anak-anak cantik dan solehah, tuliskan apa saja yang kalian lihat sepanjang jalan tadi,” pinta saya yang segera disambut mereka dengan semangat.
Baru beberapa menit mereka menulis tiba-tiba; preeeet!

“Yaaaa, mati lampunya!” seru para santri.
“Tidak apa, ayo kita geser ke sebelah sana,” ajak Mbak Iil dan Mbak Uul  segera memompakan semangat. Dalam sekejap barisan calon mujahid pena pun bergerak ke depan gedung Tsanawiyah.

Hening beberapa saat lamanya, semua konsentrasi menulis di buku harian masing-masing. Saya wajibkan mereka membawa catatan setiap kali mengikuti kelas menulis. Hingga saat ini pun penulis sepuh begini masih juga selalu membawa catatan harian. Penting untuk seorang penulis untuk segera menuangkan ide yang berseliweran di sekitar kita.

Keakraban Mengharu Biru
Hari demi hari berlalu, kelas menulis pun terus berlangsung. Terasa keakraban di antara peserta dengan saya kian mengental. Pernah satu sesi lintas alam kedua, lima peserta tidak bisa ikut karena bentrok dengan kegiatan lain.

Salah seorang santri putri sedih sekali, seraya menggelendot manja di lengan berbisik kepadaku:”Tapi hatiku tetap bersama Bunda,” lirihnya mengharukan hati.

“Halaaaah, lebaaaay!” teman-teman meledeknya, ia tersenyum manis.
Dari hari ke hari tugas-tugas rutin mulai terkumpul, bersama Mbak Uul dan Mbak Iil, kami menyeleksi naskah-naskah yang mburudul. Ada tugas akhir yang sejak hari pertama diwartakan, yakni; menulis kisah inspirasi seputar sukaduka selama tinggal di pontren putri 
Darul Ulum Banyuanyar.

Satu demi satu tugas akhir pun disetorkan, langsung saya cermati sebelum tidur. Semakin rapi, tertata apik dengan bahasa yang bagus, ada karakter, penglataran dan dialog-dialog nyambung.

“Bagaimana, Teteh, sudah terjaring siapa saja yang berpotensi menjadi penulis?” tanya Hj. Salma pada hari kelima. Artinya telah lebih dari 10 pertemuan kelas menulis berlangsung.
Putri sulung Kyai inilah yang punya gagasan kelas menulis, mencetak kader-kader penulis yang selanjutnya akan menjadi ujung tombak, menyebarkan virus menulis di kalangan santriwati.

Dari diskusi rutin kami ada banyak gagasan yang diharapkan bisa terwujud satu demi satu. Mencetak SDM dari kalangan santriwati, memberdayakan mereka yang memiliki potensi masing-masing.

Saya mencoba untuk membantu dan akan terus memantau hasil kelas menulis, minimal mempertahankan dan menguatkan para santri yang ingin menjadi seorang penulis profesional. Terutama santri yang bercita-cita menjadi seorang mujahid pena, melahirkan karya-karya Islami yang mencerahkan. 

“Konsultasi menulis Online, mari, tetap berlangsung,” himbau saya yang segera disambut hangat oleh Hj. Salma.

Diberi Judul Pesantren Idaman
Setelah kembali dari Banyuanyar, baru beberapa hari saja sudah terasa kerinduan menggelitik hati ini. Ingin merasakan senantiasa nuansa pondok pesantren putri. Sensasi, ghirah menuntut ilmu yang menguar dari pelosok pondok, sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Maka, segeralah saya menyunting kumpulan naskah yang dikirimkan oleh Mbak Uul dan Mbak Iil. Dengan menambah nuansa dan pelataran serta dialog segar, tanpa mengurangi esensi naskah aslinya, saya menyelesaikan naskah ini.

Pesantren Idaman, akhirnya saya mengajukan judul yang diambil dari salah satu tulisan karya Mila El-Mans, sebelum dipertimbangkan oleh Hj.Salma yang selalu terhubung dengan saya melalui telepon jarak jauh.

Boleh jadi buku ini masih belum bisa disebut sempurna, tetapi bila mengingat bahwa Yang Sempurna hanya milih Allah Swt. semata. Kiranya buku ini patut diapresiasi, baik oleh warga Darul Ulum pada khususnya, maupun masyarakat literasi dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tahniah, Pesantren Idaman!

Daftar Isi;
i.  Sekapur Sirih: Baca dan Menulislah! – Hj. Salma Syamsul Arifin
ii.  Prolog: Pesantren Idaman -  Pipiet Senja
1. Berkas Cahaya – Amatullah Zaini
2. Celoteh Penulis Cilik – Sarah Hasbunalla
3. Assalamu’alaikum Manini – Khadijah Hannan
4. Catatan Mini Anak Kecil – Sumayyah Zaini
5. Pesantren Idaman – Mila El-Mans
6. Makna Kehidupan – Zhopie
7. Cinta Bersemi di Tanah Suci – Someone
8. Engkau Harapan – Insan Addaif
9. Satu Kisah Menanti – As Syarief bintu Sholeh
10. Allah Maha Pengasih – Amatullah Zaini
11. Siapa Bilang Aku Idiot – Ray Star
12. Menoreh Asa – Ayrha Pasir
13. How To Ustad Your Habits: Felix Y. Siauw – Kaifa Shams
14. Lintas Malam Jumat – Sobah Hasbullah
15. Benteng Suci Darul Ulum –  Olivia Syahrozy
16. Pencarian – Chemry
17. Hening Itu Indah – Imroatul Mufida
18. Inilah Ceritaku – Ruqoyyah
19. Karena Cahaya Ilahi – Kaifa Shams
20. Cinta Anak Rohis – Kaifa Shams
21. Menanti Restu – Kaifa Shams
22. Suara Hati Santri - Maiyah Arrosyid & Kartini
23. Pemuda Tonggak Kebangkitan – Kaifa Shams
24. Perlu Beristighfar – Kaifa Shams
25. Sebuah Eksistensi Dinanti – Kaifa Shams
iv. Biodata Para Penulis
v. Album Kelas Menulis

  

Artikel Ini: Senantiasa Mengalirkan Airmataku

$
0
0

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata-bata memberikan petuah: “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan Cinta Kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah hanya kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, Sunnah dan Al-Qur’an. Barang siapa yang mencintai Sunnahku berarti mencintai aku, dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku,".
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Ustman menghela nafas panjang dan Ali menundukan kepalanya dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba “Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana sepertinya tengah menahan detik-detik berlalu.
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang yang berseru mengucapkan salam.
“Assalaamu’alaikum… Bolehkah saya masuk ?” tanyanya.
Tapi Fatimah tidak mengijinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah.
“Siapakah itu, wahai anakku?”
“Tak tahulah aku ayah, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut. Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya ditatapnya seolah hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. dialah Malaikat Maut,” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan tangisnya.
Malaikat Maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit untuk menyambut ruh kekasih Allah dan Penghulu dunia ini. (kemudian diketahui Malaikat Jibril tidak sanggup melihat Rasulullah dicabut nyawanya)
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?”  Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah dibuka, para malaikat telah menanti Ruhmu, semua pintu Surga terbuka lebar menanti kedatanganmu” kata Jibril. Tapi itu semua ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini, Ya Rasulullah?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya’,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan Ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,” ujar Rasulullah mengaduh lirih.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah engkau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu, wahai Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direngut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.”
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
“Peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu”
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii. ummatii. ummatii.”
“Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam jannah-Ku.”
‘Aisyah ra berkata: ”Maka jatuhlah tangan Rasulullah, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.”
Dia berkata: ”Aku tidak tahu apa yg harus aku lakukan, tidak ada yg kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yg disana ada para sahabat, dan kukatakan:
”Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.”
Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kiri dan kekanan.
Adapun Umar bin Khathab berkata: ”Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa pergi untuk menemui Rabb-Nya.”
Adapun orang yg paling tegar adalah Abu Bakar, dia masuk kepada Rasulullah, memeluk beliau dan berkata: ”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.”
Kemudian dia mencium Rasulullah dan berkata: ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”
Keluarlah Abu Bakar ra menemui orang-orang dan berkata: ”Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.”
‘Aisyah berkata: “Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”
Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah manusia yang paling mulia, manusia yangg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. Shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi tercinta Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Betapa cintanya Rasulullah kepada kita sebagai ummatnya, sehingga ajal pun sudah di ujung ubun-ubunnya masih tetap saja memikirkan nasib ummatnya. (Sumber : Misteri Dunia)

Small Things, Kecil Tapi Penting : Muthia: Jadi Editor Nggak Sekedar Memelototi Naskah :)

Cerpen Pipiet Senja: Sepotong Pagi

$
0
0


Bada shalat subuh di sepenggal pagi Ahad bulan Rajab.
Langkah sudah kuayun dari rumah kecil di rumpun bambu kampung Cikumpa. Harus mencari sarapan untuk orang serumah. Tak ada uang sepeser pun di tangan. Biarlah, nekad saja menebalkan muka cari pinjaman kepada Farah. Salah satu sohib terbaik yang pernah kumiliki dalam dua tahun terakhir.
Di pengajian, beberapa kali dia pernah bilang;”Kalau ada apa-apa, jangan sungkan ke rumahku, ya Teh Ais…”
            Oke, sekaranglah saatnya yang tepat, pikirku sambil gegas menembus kegelapan kebun bambu, menyibak sekumpulan kuburan kuno yang tak terawat, menyeberang lapangan milik proyek perumahan real-estate Mutiara.
Dulu pernah dikabarkan, pemilik real-estate yang masih kroni Cendana itu akan membebaskan tanah-tanah di sekitarnya. Begitu krismon, rencana pengembangan rumah mewah pun mandeg. Jadilah sebagian tanah yang sempat dibebaskan telantar begitu saja.
Anak-anak kampung Cikumpa yang diuntungkan. Lapangannya mereka manfaatkan untuk main bola, dangdutan, pesta tujuhbelas, layar tancap bahkan baku hantam antar warga.
Sempat juga terlintas di kepalaku, seandainya mereka mau membeli tigaratus meter persegi beserta rumah mungil di atasnya. Hmm, tentu masih ada lebihnya untuk pergi ke Tanah Suci, selain beli rumah baru nun lebih masuk ke pinggiran kawasan Cileungsi.
            Kuperbaiki letak jilbab kaos lebar yang tersambar begitu saja dari kapstok. Baru kusadari gamis yang kukenakan masih yang kemarin, dan alas kakiku hanya sepasang sandal jepit murahan, tanpa kaos kaki.
Allah… Ada kesah yang hampir menyesak dalam dada. Ujian-Mu kali ini, Ya Robb. Memang hanya masalah belitan keuangan yang tambal sulam. Bukan ujian sakit sebagaimana biasanya yang mendera keseharianku. Namun, terasa cukup merepotkan juga. Selalu kumohonkan dalam tiap sujudku, agar ini taklah menjadikan diriku kufur nikmat.
Sudah enam bulan berlalu, hidup serasa sendirian, tanpa pengayom yang biasa mencukupi nafkah. Rasanya pontang-panting, sibuk menulis, mengedit, menawarkannya ke redaksi-redaksi majalah dan penerbitan. Tentu saja bukannya tak membuahkan hasil. Bahkan kurasakan betul dalam segala keterbatasan ini, pintu rezeki-Nya selalu terbuka bagiku.
Ternyata kalau dikalkulasikan antara pendapatan dengan pengeluaran sungguh tidak seimbang. Kebutuhan belanja sehari-hari, ongkos sekolah anak-anak, uang les si Butet, uang kuliah kakaknya. Belum untuk biaya berobat rutin, meskipun keharusan ditransfusiku coba ditunda-tunda sedemikian rupa.
Sedang kocar-kacir urusan keuangan begitu, muncul pula himbauan dari kampung. Berkata adik bungsuku, Masruroh; “Teh Ais, kumohon jangan diam saja dong. Inii soal biaya pengobatan Emak kita…” Terdengar ngilu di telepon.
Siapa bilang tak mau merawat ibunya gering? Kalau mampu kepingin saja menerbangkan Emak tercinta ke Medical Central di Singapura. Sreseeet, sreeet tuh jantung Emak dioperasi by-pass. Biar tak kumat-kumat lagi selamanya, ya?
Tapi, apalah daya? Jangankan untuk perawatan semewah itu, buat ikutan gotong royong mengobatinya di RS. Dustira saja pakupek, euy!1
Kepala mendadak serasa nyut-nyutan. Kenapa mesti dibebankan semuanya di atas bahu-bahu ini, ya? Mending kalau wanita karir, punya penghasilan tetap. Ini kan cuma penulis free-lance.
Berapalah penghasilan seorang penulis di Indonesia? Buktinya puluhan tahun sudah malang melintang di dunia kangouw, eeeh, kepenulisan begitu. Kok nggak kaya-kaya, ya? Jangankan beli mobil, lha wong sepeda ontel saja, henteu gaduh2, Neng!
Kok nggak punya perhitungan!” sulungku tak urung menggugat ayahnya.
“Iya tuh gimana sih si Papa?” adiknya nimbrung. Tampang ABG-nya ditekuk, melas.
“Demi bikin rumah kontrakan, harus mengorbankan kebutuhan sehari-hari?” kata si Abang lagi.
“Iya, makanan kita jadi morat-marit,” tukas adiknya terdengar sengak.
“Begini urusannya sih, bisa-bisa pas kontrakannya rampung kita semua keburu busung lapaaarrr!” omel mahasiswa semester tiga itu makin merepet, dan menimbulkan kebat-kebit di hatiku.
"Iya, ya, hiksss…” Butet seketika mengisak. "Masa makanan kita ini cuma supermi lagi, kerupuk lagi, kecap lagi…”
“Mana nasinya beras taskin lagi, ya Tet?” abangnya terus mengompori.
“Eh, bener juga. Mamaaa! Nasinya kok banyak batunya nih… hueekk!”
“Iiiih, melarat, sengsaranya kok dibikin sendiri sih? Demi masa depan, demi masa depan… Gimana mo raih masa depan kalohari ini nggak diberesin?”
Ugh, mentang-mentang mantan ketua MPK di SMU-nya tuh anak!
Apa yang punya lakonnya marah digugat begitu? Iiih, mesem-mesemkalem saja tuh. Paling buru-buru menyingkir. Menutup diri di kamarnya. Bukannya mikir, ya?
Aku sendiri lebih suka bungkam, duduk di belakang mesin ketik butut si Denok. Muter mereka-reka cerita apa yang bisa menghasilkan duit kali ini. Hanya kalau dibawa lapar, digendangi lagu keroncong perut, kok rasanya mendadak kosong nihotak. Segala ilham, ide dan apapun namanya itu, phuuussss!
Terbang bersama awan digondol si jurig3lapar.
Semalam Butet senggukan tapi tidur juga akhirnya. Lelah, lapar dan sedih. Dia nggak kebagian nasi barang sekepal pun. Aneh memang yang jadi bapaknya itu. Segitu lauknya cuma sayur daun singkong boleh metik dari kebun orang, kerupuk dan kecap.
Hiiih, kayaknya nikmat aja tuh. Sampe lupa anak bini, asal kenyang sendiri ‘kali, ya?
Kalau sudah begitu, apa yang bisa kulakukan selain tersungkur di atas sejadah usang. Menumpahkan segala sesak di dada, memohon kemurahan-Nya. Agar Dia selalu memberi kami kekuatan, tak jemu membukakan pintu-pintu rezeki-Nya.
            Tiba di jalan raya tekadku kian bulat. Ya, semoga saja Farah mau diajak deal.Deueu, tibang  niat gadaikan naskah novel juga. Kuraba saku gamis, disket novelnya masih aman di situ. Celingak-celinguk sebentar, masih senyap dan lengang selain satu-dua angkot. Langkahku terus memintas jalan raya, gapai pintu gerbang perumahan Griya Mutiara.
Ups… ternyata di kawasan perumahan mewah suasananya telah hangat. Denyut kehidupan sudah terasa sejak ambang gerbang griya. Para pedagang sayur mirip pasar kaget. Dirubungi para pembeli.
            Seketika ada yang meremas perih dalam dada. Sudah hampir dua bulan aku tak mampu lagi belanja secara normal. Begitu saja, beli makanan alakadarnya di warung dekat rumah. Seperti supermi, kecap, krupuk dan sekali-sekali telur yang terpaksa mesti kucecah-cecah, biar awet.
Langkah lebih kupercepat, supaya jangan kelamaan memperhatikan orang yang sibuk belanja. Tiba di seberang lapangan tenis, eh, masha Allah! Di sini pun sudah banyak orang. Mulai dari bocah ingusan, anak baru gede, gadis, bujang sampai nenek-nenek dan kakek-kakek. Macam-macam kostum yang mereka kenakan. Oh, senam bugar rupanya!
Musik pocho-pocho digembreng habis. Bisa bikin kotoran kuping berloncatan. Euleuh-euleuh, itu orang kontan deh sibuk geal-geol berpocho-ria.
Mari malenggang patah-patah. Mari malenggang patah-patah…
            Beberapa jenak aku malah berdiri tertegun-tegun di seberang lapangan tenis. Sedetik terbersit di otakku, betapa menyenangkan jadi orang kaya. Begitu melek langsung disambut sukacita, dilumuri musik hingar-bingar. Tak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari. Mau makan tinggal makan, mau belanja tinggal belanja. Buru-buru bibirku mengucap istigfar. Tapi kepala ini kok rasanya makin berdenyara-denyar.
Sampailah di depan rumah Farah. Sebuah rumah megah, tiang-tiang gaya Spanyol dengan balkon indah, kolam hias. Dan air terjun buatan yang memperdengarkan bunyi gemericik  nan merdu. Airnya tentu hasil bendungan pihak pengembang. Dulu sebelum ada griya-griya di sekitar Cikumpa, air sungai di belakang rumahku mengalir deras. Sulungku suka berkecipak-kecibung bersama teman kecilnya. Aku pun kadang mencuci baju di situ bila musim kemarau menyusutkan air pompa di rumah.
Kini tidak ada sungai mengalir lagi. Karena Haji Tobe, tuan tanah di kampung Cikumpa, memutuskan melepas seluruh sawah dan kebunnya ke pihak pengembang. Mereka membelokkan arus sungainya, lalu memanfaatkannya demi keindahan kawasan real-estate.
Perlahan tanganku terulur dan memijit bel di pinggir pintu gerbang.
"Assalamualaikuuuum…"  bunyinya bernuansa Islami.
            Farah seorang muslimah diberkahi banyak prestasi, komisaris sebuah penerbitan Islam di Jakarta. Begitu banyak aktivitasnya, pendidikannya S3, lulusan mancanegara. Dalam usia belum tigapuluh itu, entah berapa banyak penghargaan yang pernah diraihnya dalam bidang kepenulisan. Suaminya keturunan Pakistan yang saleh, sukses dalam bidang entertainment.
            Farah prototipe muslimah sukses masa kini. Dia juga bendahara sebuah parpol, takperlu disebutkan namanya. Nanti dituding kampanye. Seorang gadis muda muncul dari samping. Mungkin salah seorang pengasuh anaknya, kalau dilihat dari bajunya yang mirip perawat. Dia menyambut ramah dan santun begitu kuperkenalkan diri.
            "Oh, Ibu Aisha dari Cikumpa itu, ya? Bu Farah suka ceritaBu Aisha, lho. Ibu kan pengarang terkenal itu, ya? Wah, subhanallah!” pendar kagum membias dari sepasang bening matanya.
            "Ah, Bu Farah mah suka menyanjung,” kataku tersipu. Iya lagi, siapa coba yang suka dibilang terkenal? Kalau kenyataannya begini sengsaranya. Bahkan datang ke situ pun untuk minta bantuan nyonya rumah.
"Saya ini pengagum Bu Aisha, lho…"
"Begitu, ya, terima kasih atuh,” rasanya semakin jengah. Kutahu di rumah ini ada tiga anak kecil. Menurut Farah, masing-masing ada pengasuhnya. Sekilas kulihat ada pula Mang Kebon asyik menyirami taman. Tentu ada sopirnya untuk tiga mobilnya. Mungkin ada juga Bu Cuci, Bu Masaknya? Jadi, di rumah saja pegawainya ada sembilan orang, begitu?
Ups, kok jadi ceriwis ngitunginkeberuntungan orang nih?
"Apa tadi Bu Aisha nggak ketemu Ibu di depan sana? Ibu kan lagi ikutan senam jantung sama Bapak…"
“Pasangan semuda itu?”
“Cuma menyemangati warga aja kok, Bu.”
            "Oh, kira-kira kapan pulangnya, ya Mbak?”
            "Biasanya sih langsung bawa anak-anak renang di Pesona. Yaah, sekitar pukul tujuhanlah. Gimana, apa mau tunggu di sini?” Aku lebih memilih pamitan saja. Masa sih mesti nungguin selama dua jam?
Anak-anak nanti keburu ngeh ibu mereka raib dari sudut ruang kerjanya. Meskipun hari libur, perut tetap nggak bisa dikompromi kan?  Lapar berbaur dengan cemas, ibu raib entah ke mana. Kalau ada ibu ‘kali aja perut, tetap kelaperan, ya?
Kutitipkan saja disket novel dan pesan singkat. Agak siang aku akan balik ke situ.
Baru saja keluar dari rumah Farah, berpikir ke mana lagi langkah ini dituju untuk cari pinjaman. Sekonyong-konyong dari seberang ada yang berseru-seru, melambaikan tangan ke arahku. Penasaran langkah kutujukan ke arahnya. Seorang perempuan sebaya Emak menyambutku hangat.
            "Salah masuk, ya Mpok? Sini rumah yang iniii!" katanya dalam nada sukacita.
            “Eee…” aku gamang. Tapi keramahan, sukacita dan penerimaan yang tak kusangka membuang gamangku. Apalagi tanganku sudah berada dalam gandengannya, separuh diseret dia menghelaku masuk.
            Sebuah rumah yang tak kalah megahnya dari rumah sohibku.
            "Sudah ditunggu-tunggu dari tadi… Mbak Mila pesen, biar langsung kerja aja hari ini. Nggak apa-apa kerja harian juga, ya Mpok. Enakan juga gitu. Lihat deh di belakang, udah numpuk banget tuh cuciannya. Bibi Cuci yang dulu, nggak bilang-bilang berhentinya. Jadi aja kita di sini kerepotan…"
            Entah apalagi yang dicelotehkannya. Intinya yang kurekam di otakku. Putrinya semata wayang berakhir pekan ke Anyer bersama suami dan anak-anak. Sudah tiga hari Bibi Cuci berhenti mendadak. Meskipun banyak omong, tapi dia lebih mirip orang yang terdesak curah hati.
Di bagian belakang rumah, tiga jolang besar cucian sudah menantiku.
            “Nah, tolong, ya Mpok, tolooong…” katanya melas.”Nanti saya bikinkan kopi susu yang enak buat Mpok, ya,” bujuknya pula sebelum berlalu.
            Hmm, baiklah, apa susahnya, jadi Bibi Cuci dadakan. Sekejap ingat akan cucian di rumah. Kalau libur begini, biasanya dikerjakan oleh Butet. Syukurlah, di sini pakai mesin cuci berikut pengeringnya. Tak sampai satu jam aku sudah berhasil merampungkan tugas unik ini.
            Seumur hidup rasanya baru kali inilah ada orang mengiraku tukang cuci. Hmm, nikmat-Mu jua. Nggak apa-apa, kan selain penulis pangkatku juga sejibun; tukang cuci, tukang masak, tukang pijit, tukang macam-macamlah di rumah!
 “Waaah, cepetamat kerjanya,” majikan dadakanku dalam nada puas.
“Saya akan menjemurnya di atas, ya Bu.”
“Ya, ya, terus saja ke atas sana,” dia mempersilakanku mengangkut cucian ke loteng, suatu tempat khusus buat menjemur.
Sepanjang aku bekerja, sang majikan itu hampir tak pernah jauh dariku. Terus menguntit dan mengajakku ngobrol. Lebih tepatnya dia sendirian yang celoteh. Benar, dia memang butuh teman untuk menampung segala uneg-uneghatinya. Rasa iba menyingkirkan gamang di hatiku. Kasihan, sudah sepuh kok ditinggalkan seorang diri di rumah semegah dan seluas begini. Dengan segala urusan tetek bengeknya pula.
            Terbawa suasana hati iba dan kasih kepada Bu Sepuh, puyeng di kepalaku perlahan sirna saat turun dari loteng. Bu Sepuh sudah menyiapkan sarapan yang dibilang “jamuan khusus” untukku.
            Secangkir kopi enak campur krimer dan sepotong bakeri lezat, sekejap sudah pindah ke perutku yang sejak kemarin dibawa shaum Rajab.
“Nah, ini ada duapuluh ribu, ya Mpok,” katanya ketika akan melepas kepergianku di teras.
“Eh, ya, terima kasih,” aku terkesiap.
“Sudah ditambah sama saya. Besok-besok jangan nyasar lagi, ya Mpok. Langsung ke sini aja!" katanya sambil menyelipkan upah ke telapak tanganku.
“Ya, insya Allah,” gumamku datar.
Entah bagaimana suasana hatiku saat ini. Ada haru, ada sendu, ada juga pilu. Semua berbaur membentuk keasingan dalam sepenggal pagiku.
Begitu keluar dari pintu gerbang, sejenak membetulkan jilbab kaosku yang terasa lembab dan basah. Suara yang tak asing lagi berseru-seru dari rumah Farah. Nah, itu dia sohibku tersayang!
            “Teteh Aisha! Teteeeh… Masha Allah, kok nunggudi situ sih?”
            Khawatir menimbulkan heboh dan dipergoki Bu Sepuh, aku buru-buru menyeberang ke arah wanita cantik itu. Ups, selamat dan mujur sang majikan itu nggak kelihatan lagi batang hidungnya.
            “Ngapain aja di rumah Mbak Mila, Teh Ais?” tanya Farah menyelidik.
            "Eh, tahu tuh kok disuruh nyuci gitu aja,” sahutku ketawa lugas.
            "Masha Allah, si Mbah Nia itu kok…” Farah berseru kaget.
            “Psst, biarlah, dikasih upah kok. Lihat nih apa!”
Sekalian saja kuimingkan selembar duapuluh ribuan baru di depan hidungnya. Farah tertawa haru sambil merangkulku masuk ke rumah. Katanya, Bu Sepuh sudah sering melakukan salah kaprah begitu. Barangkali memang sengaja melakukannya. Saking kepingin punya teman curah hati. Lagipula orang kaya kan suka nyentrik kelakuannya, ya?
            Tanpa harus kuungkap kesulitanku pun Farah sudah memaklumi kemunculanku yang mendadak di rumahnya. Ia menyodorkan sebuah amplop tebal yang kelihatannya sudah disiapkan untukku.
            “Ini lho, Teh Ais, de-pe novel Kidung Kembara tempohari. Sudah siap naik cetak tuh. Biar saya tambahkan saja sekalian untuk de-pe novel baru ini, ya Teh Ais… Saya sudah lama lho tunggu Teh Ais muncul di kantor. Kok nggakpernah telepon?”
            “Yaah, teleponnya juga sudah lama diblokir.”    .
            “Afwan, ya, saya belum tausyiah ke rumah Teteh…”
"Saya yang minta maaf, jam segini sudah merepotkan.”
“Jangan begitu, kan sudah sering saya bilang. Rumah ini welcome untuk Teteh. Sok atuh dihitung dulu, eh, mana minumannya, Mbaaak…”
            Aku buru-buru bangkit. ”Alhamdulillah, sudah terima kasih, Dinda Farah. Nggak usah bikin minuman segala. Baru dijamu oleh majikanku tadi, hehe…”
Namun, Farah memaksaku untuk diantarkan oleh sopir dengan sedannya.
Ya Robb, terima kasih, bibirku terus menerus berkerumut mengucap puji syukur. Allah tak pernah meninggalkan hamba-Nya yang daif ini. Tanpa terasa ada butir-butir bening berderai dari sudut-sudut mataku.
            Tepat pukul delapan aku sudah kembali ke rumah dengan banyak bawaan. Kulihat dari lapangan sosok putriku baru selesai menjemur cucian. Dia segera berlari menyongsongku begitu kupanggil namanya.
“Abaaang, Abaaang! Mama pulang niiih!” serunya heboh.
Diambilnya sebagian kantong bawaanku dengan wajah sumringah. Sebentar kemudian dia berlari ke belakang, mengambilkan minuman untukku. Beuh, segitu sibuknya nih anak.
            "Ini teh hangatnya. Tapi belum diberi gula. Mama bawa gulanya, ya? Sok atuh, Butet gulain dulu, ya,” katanya agak terengah-engah, tapi pendar sukacita di bening matanya bisa kurasakan.
            “Abaaang! Mama bawa bakeri kesukaan kita nih, Baaang!” kembali dia berteriak manakala belum ada reaksi dari kakaknya. Tentu saja sulungku lagi berkutat menyelesaikan program komputernya. Dia kerja bareng teman-temannya di teknik informatika. .
            “Mama dari mana saja sepagian begini?” tanyanya sambil menatapku dengan sorot cemas.
            “Iya, Mama kok nggak bilang-bilang mau pergi. Butet udah bersih-bersih, cuci piring, cuci baju,” adiknya terdengar menahan haru. Tali batin ibu-anak memang akan selalu saling mengait.
            “Nggak jauh-jauh kok, ke rumah Mbak Farah,” kuusap jilbabnya yang miring kanan kiri itu.
            “Jadi menggadaikan novel Mama yang baru itu, ya? Nggakmalu, Ma?”
            “Pssst, Baaang!” Butet mendelik. “Sudahlah, sekarang yang penting kita bisa makan besar, siiippp!”
“Huuu… dasar anak kecil!” sembur kakaknya, menjawil pipinya.
            Tanpa banyak bicara lagi, kutatap sepasang mutiaraku yang sedang menikmati bakeri. Makanan semewah begini merupakan barang langka di sini. Sekilas kulihat kamar depan, terkunci rapat dari dalam. Apa belum muncul sejak subuh?
Seperti bisa menebak arah pikiranku, Butet tiba-tiba berteriak nyaring.
            "Papaaa mau makanan nggaaak?"
            “Pssst… Sama orang tua kok gitu!” tegurku.
            “Abiiis, nggak pedulian amat sih,” gumamnya lirih.
            Sedetik kemudian kepala itu muncul dari celah pintu. Detik berikutnya langkahnya yang panjang mendekat. Begitu matanya melihat banyak penganan, sekilas kulihat mimik wajahnya segera ditekuk. Meskipun tangannya mulai menyentuh bakeri, sepasang matanya yang tajam mengarah kepadaku.
            “Kamu ambil juga uang saya di bawah tumpukan baju itu, ya? Tahu nggak, itu kan buat            bayar tukang sore nanti. Asalnya tiga juta, tadi kuhitung sudah kurang seratus ribu. Kamu ini kok…”
            Semburan kata demi kata yang menikam tajam itu bagai mengguncang bom simpanan di hatiku. Kepala yang sempat ringan seketika mendadak berat kembali. Sebelum segalanya menjadi berantakan, kuraih cepat benteng cahaya itu. Melalui dua pasang segara nan teduh yang senantiasa menjanjikan kasih tak terbatas, kekuatan tak terhingga. Selamanya. Anak-anakku. (Depok, Rajab 1423 Hijriyah)

@@@





1 sibuk sekali, oi!
2 tak punya
3 hantu

Kisah Inspirasi Pipiet Senja: Suatu Hari di Pegadaian

$
0
0


            Keluar dari kamar mandi berbasah-basah, setelah mencuci dua jolang besar, mataku langsung mengedar ke ruang tengah. Celingak-celinguk, iih, serasa maling kesiangan aja nih.
 Orang serumah sudah pergi semuanya. Kedua buah hati ketika aku sibuk membilas tadi, menyeling dulu untuk mereka cium tangan dengan takzim. Sulungku sambil mengeluh, minta tambahan uang saku. Karena ada praktikum sampai sore, nanti kelaparan, katanya. Harus fotokopi buku kuliah, banyak juga bisa seratus ribuan.
“Insya Allah, nanti Mama usahakan, sabar dulu, ya Nak,” kataku hanya bisa menjanjikan.
Eh, bungsuku seperti tak mau kalah. Ikut mengeluh soal sepatu olah raganya yang sudah mangap. Nasibnya sama dengan abangnya, hanya bisa dengar janji dari mulutku. Hmm, janji yang entah kapan bisa terpenuhi.
Dan suami, dia sulit diketahui sudah pergi atau belum dari rumah. Kalau sempat dan dipergoki, dia mengucap salam. Tapi kalau kebetulan aku sibuk di dapur, pergi begitu saja.
Jadi ingat cerita di sinetron-sinetron Indonesia. Suami-istri begitu mesra, harmonis apalagi saat akan berpisah. Istri yang sudah berias fancy, bahkan sampai pakai gaun indah atau kebaya macam mau pergi kondangan saja. Sang istri yang berbahagia itu akan mengantarkan suami sampai teras, membawakan tasnya. Kemudian, celepeet, celepeeet… kecup pipi kiri kanan.
Dasar, cerita di sinetron, sering banyak bunga mimpi daripada realitanya. Tapi aku percaya kok, masih ada juga pasangan normal yang harmonis. Meskipun tak terlalu berlebihan macam di sinetron. Ada saja, tapi inilah takdir yang harus kuusung, iya kan Sang Sutradara?
Hening, kulepas jilbab yang sudah lepek, usai sudah menjemur pakaian. Kulirik jam di dinding di ruang tamu. Pukul tujuh lewat dikit, gumamku. Beberapa jenak kuamati jam dinding yang telah berumur lebih 20 tahun itu. Kado pernikahan dari seorang sohib, kuingat lagi itu. Mereknya mahal, terbukti awet dan masih mengkilat karena suka kurawat baik-baik.
Baiklah, bagaimana kalau jam dinding ini saja, ya? Kira-kira berapa harganya kalau digadaikan? Ah, tapi ini bisa bikin heboh orang serumah!
Lesu kutinggalkan ruang tengah. Mungkin shalat dhuha dulu, biar otak tak terlalu suntuk. Semoga Allah membukakan pintu rezeki-Nya untuk kami, pikirku sambil masuk ke kamar.
Desakan kebutuhan sehari-hari rasanya semakin mburudul. Belakangan terutama untuk biaya kuliah sulungku dan beli buku-bukunya yang setebal-tebal dua-tiga kali Al-Quran itu. Bahkan bungsuku yang kelas dua SMP, harus beli buku per paket yang harganya ratusan ribu. Anehnya sistem kurikulum pendidikan di Indonesia. Ganti Menteri, ganti kebijaksanaan, ganti sistem. Intinya bagi orang tua tetap saja sami mawon; biaya pendidikan kian melangit!
Sulungku semester lima, ongkosnya per hari sepuluh ribu, maklum dikejar dari Depok ke Bogor. Kadang pukul lima subuh sudah berangkat, megejar kereta pertama karena kuliahnya dimulai pukul tujuh. Dengan abodemen tiket KRL, sepuluh ribu itu sering membuatnya kelaparan.
“Makananku kayak Abang Becak lho, Ma,” katanya ketawa kecil. ”Nasi ditambah kuah sayur dan sepotong tempe. Seribu tuh!”  Sering hatiku miris, tak tega makan lebih dulu sebelum mereka pulang, dan kupandangi wajah keduanya yang baru sabililah.
Dan belanja sehari-hari yang meskipun lauknya alakadarnya, tetap saja lebih dari limabelas ribu karena harus beli beras juga. Yang parah kalau sudah saatnya ditransfusi, ya Allah! Gaji pegawai negeri golongan tiga, ditambah honorariumku sebagai penulis. Ah, tetap saja hidup morat-marit. Ampuni aku, ya Robb, bukannya tak menerima situasi hanya…
Sudah seminggu tak sepeser pun uang di tanganku. Belanja sehari-hari terpaksa menebalkan muka, utang ke warung Bude Nik. Mujurlah, aku memiliki tetangga tukang warung yang baik hati begitu. Nanti begitu sudah ada uang cepat kulunasi. Yap, siapa lagi yang kepingin punya utang? Terpaksa karena butuh, meskipun muka entah harus disembunyikan di mana…
Usai shalat dhuha pikiran agak terang. Setidaknya sudah ada ide. Sambil melipat mukena, mataku langsung mencari-cari si Denok. Nah, ini dia. Kuangkat mesin ketik portable merek Brother dari tempat istirahatnya di sudut kamar. Sekarang aku sudah mengetik dengan komputer pentium dua. Uang bea-siswa sulungku itu bukannya dipakai keperluan kuliah, malah dibelikan komputer bekas. Saking ingin meringankan beban ibunya ‘kali, ya?
“Duuuh, sayangku, Denok,” gumamku sambil membersihkan penutupnya yang penuh debu. Mesinnya masih mulus, tapi ada beberapa huruf yang tak jelas. Huruf a mirip o, dan d kadang mirip g juga. Semuanya suka bikin salah kaprah. Misalnya kata ‘sayang’ tampak seperti ‘soyong’. Ingin kutulis ‘garing’ kok malah mirip ‘darino”. Setidaknya dipahami begitu oleh Bung Daktur, hehe…
Akhirnya ada banyak redaksi yang sempat komplain, gara-gara tulisanku kurang dipahami. Kaciaaan deh… daku!
“Mohon keikhlasanmu, Denok. Kamu akan dititipkan dulu di pegadaian!”

Kutinggalkan rumah sambil menjinjing si Denok dan menggendong sekarung koran bekas. Mampir dulu di warung Bude Nik. Korannya lebih dari limabelas kilo. Aku hanya minta dua ribu saja, sisanya buat sambelan, sayur asem, ditambah ikan teri nasi. Belanjaannya nanti saja diambil kalau pulang.
Matur nuwun, nggih, Bude…”
“Oh, iya, nggih Bu Lies, sama-sama,” sahut wanita Solo itu santun sekali.
Tiba di kantor pegadaian tampak sudah banyak orang. Barang-arang yang akan digadaikan pun sudah bertumpuk di depan pintu. Masih terkunci rapat dari dalam, terlambat dibuka agaknya.
Sekilas kuperhatikan barang-barang yang antri itu. Mulai dari barang elektonik seperti televisi, video, magicjar, mixer, blender sampai sepeda motor. Nah lihat, sudah mburudul lagi yang baru datang. Ada yang menggendong buntalan sampai terbungkuk-bungkuk. Mungkin isinya kain-kain, seprai entahlah.
Bahkan seorang lagi sambil menderek sedan!
“Kebanjiran! Daripada rusak terendam banjir mending diderek ke sini, gadaikan sajalah!” kata wanita muda, terengah-engah. Pakaiannya jauh dari bagus. Hanya daster murah, sendal jepit dan syal kembang-kembang mengikat rambutnya yang pendek kriting.
Tanpa ada yang meminta, dia langsung saja celoteh pengalamannya terendam banjir di perumahan Griya Lembah. Kejadian terparah tiga hari yang lalu. Pukul dua dinihari tiba-tiba saja air bah menyerbu. Anaknya yang lima orang sudah diungsikan ke rumah famili di Bogor. Sampai hari itu mereka belum berkumpul kembali.
“Huuh… baru sekarang mengalami banjir besar model begini!” katanya mengakhiri keluh-kesahnya sambil njemprak di teras begitu saja.
“Banjir kiriman dari Bogor!” ada yang nyeletuk dari belakangku.
“Ini kan gara-gara masyarakat kita juga yang malas bersih-bersih, tak peduli lingkungan. Banyak yang membangun di bantaran sungai, bikin rumah hunian liar. Tentu saja semua itu menghalangi arus air!”
“Rakyat yang kebanjiran, para petinggi negeri sibuk saling menyalahkan. Kata Gubernur, jangan salahkan pihaknya. Karena merasa sudah cukup mengingatkan warga. Agar selalu memelihara kebersihan dan melestarikan lingkungan…”
“Alaaah! Mereka cuma banyak omong, bikin seminar ini-itu soal banjir. Rakyat mah nggak peduli macam-macam. Bantuannya saja, bantuannya man-naaa?” Mahasiswa ‘kali, lihat tampangnya yang dinamis begitu.
“Pemerintah juga seenak udelnya saja memberi izin proyek perumahan real-estate. Membetoni lahan kosong…”
“Pasti ada suapnya tuh!”
“Ironisnya, musibah rakyat kok diseminarkan di hotel-hotel berbintang!”
Rasanya makin banyak saja yang beri komentar, bahkan mengompori.  Suasananya jadi hangat. Perlahan kuhampiri  Bu Korban Banjir, wajahnya pucat mungkin belum minum sejak malam. Ada rasa iba di hatiku. Lucu, ya, kok mengasihani orang yang mau gadaikan sedan bagus, rumahnya di real-estate.
Welas asih nggak bisa diusir-usir biar di hati orang sengsara juga, ya kan?                       
“Minum dulu, Bu,” bekal minuman di botol aqua kusodorkan kepadanya.
“Ooh, ya, makasih, Bu,” sambarnya, nah kan? Dia memang kehausan.
“Sudah dapat bantuan dari Pemkot, Bu?” Dikembalikannya setengah botol aqua itu kepadaku.”Huuh! Boro-boro ada bantuanlah, Bu!” keluhnya dilemparkan lagi ke udara di sekitar kami.
Ia juga mengaku kebingungan. Seorang pembantunya sejak dua hari lalu tak pulang-pulang. Mana familinya dari Sukabumi sudah menyusul, katanya. Sementara itu tampak di belakang pintu kaca seorang petugas membukakan pintu masuk. Orang-orang serentak bangkit dan merangsek maju.
Begitu pintu terbuka, mereka semakin merangsek, saling desak, saling dorong. Termasuk aku yang terbawa arus masuk, doyong ke kiri doyong ke kanan.
“Aduuuh, biyuung! Pake nginjek lagi! Entaran ngapa, ini nenek-neneek!” Jeritan itu tepat di belakang punggungku. Nenek-nenek yang menggendong buntalan gede itu rupanya.
Gue juga tahu nenek-nenek! Whee, siapa lagi yang bilang ABG!”
Ups, siapa lagi yang berkomentar. Iseng amat, ya?
Orang-orang, termasuk aku lantas sibuk menyambar formulir. Ada yang mencolek pinggangku, kulirik ke belakang, eits! Nenek lagi!
“Maaf, Neng, ambilin terus tolong isiin, yee. Nenek mah apan buta huruf,” pintanya lugu.
Aku mengiyakan. Dalam hati muji dengan keluguan dan kejujurannya, mengakui kelemahannya. Di kampungku, kutahu banyak ibu-ibu sebayaku yang memiliki kasus serupa. Tapi mereka akan berkilah dengan gaya, lagi sakit mata, ketinggalan kacamata, hurufnya terlalu kecil, kalau kebetulan harus mengisi formulir dari PKK. Sungguh sulit untuk berjujur-ria rupanya, ya?
Usai mengisi formulir sekalian milik Nenek, kami mencari tempat duduk. Jadi ingat Indung di Cimahi. Umurnya sebaya perempuan lansia di sebelahku ini.
Indung, tentu saja nggakperlu keluyuran ke pegadaian segala. Pensiunan peninggalan Abah lebih dari cukup, kalau untuk kebutuhan sehari-hari. Tujuh anak selain aku yang empot-empotan, lainnya selalu mengiriminya wesel. Memenuhi keperluan Indung. Panjang umur, ya Ndung, gumamku membatin.
Sambil menunggu dipanggil oleh juru penaksir barang, kupasang kuping dan mata sekaligus. Kebiasaan atau naluri penulis ‘kali, ya? Kucoba terus merekam nuansa sekitarku. Orang yang hendak menggadaikan barang semakin banyak. Formulir permintaan menggunung di depan petugas.
Nah, dimasukkan dulu datanya ke komputer, barulah keluar dari printer kuno yang bunyinya; gruuueek, gruuueeek… 
Kayak  suara orang asma kebanjiran ‘kali, ya?
Petugas penaksir barangnya kenapa cuma seorang, ya? Lagian rasanya banyak tingkah tuh nona-nona magang. Kerdip-kerdip centil segala, melayani godaan ceriwis lelaki hidung belang. Ah, kasihan ibunya di rumah!
“Nenek mah punya tanggungan lima orang cucu. Ibunya lagi pergi ke Saudi, jadi TKW. Dulu sih suka dikirim tiga bulan sekali. Tapi belakangan anak Nenek itu nggak mau ngirimin uang lagi. Mau disimpan di Bank saja, katanya. Ini gara-garanya si Boneng, mantu Nenek yang nggak tanggung jawab itu. Duitnya  dihabisin mulu sama dia …“
Carita klasik keluarga TKW Indonesia. Ibu nekad ke negeri orang, banting tulang untuk menafakahi keluarga. Eee, suaminya malah kawin lagi.
“Tapi kan suami diwenangkan oleh agama juga, kalau mau punya istri lebih dari satu. Bahkan empat boleh kok…”
“Boro-boro empat, huuh!” Nenek geram.”Ini punya satu juga disuruh jadi TKW . Artinya kan kagak mampu tuh si Boneng!”
“Dasar saja itu mah lakinya… aseeem!”
Lha, kok makin banyak saja provokatornya?
“Apa anak Nenek sudah tahu?” tanyaku.
“Ya, tahu, makanya duitnya ditahan saja di Bank. Biar bakal modal kalo pulang nanti, katanya,” sahutnya sambil menyusut keringat di dahinya dengan ujung kerudungnya.”Nenek butuh duit bakal nambahin modal jualan getuk lindri. Abiiis, duitnya dipinjeminbocah mulu dah, ah…”
Terbayang nenek kurus dan bungkuk ini keliling kampung, menjajakan getuk lindri bikinannya. Sudah setua begini, masih juga harus menanggung nafkah para cucu. Berbahagialah hidup ibuku, gumamku mensyukuri.
Bagaimanakah jadinya kelak diriku bila seumur Nenek ini, ya? Seketika ada yang membeku di kisi-kisi kalbuku. Kuhembuskan napas, berharap pesimisme berubah menjadi sebaliknya.
“Apalagi saya, terpaksa gadai gelang buat nebus cucu di klinik bersalin,” berkata seorang wanita paro baya di belakangku. Aku menghadap ke arahnya. Cerita baru apalagi nih?
“Menantu saya itu ganteng banget kayak bintang sinetron, cuma lontang-lantung. Dari awal sudah dibilangin anak saya itu, jangan cuma lihat tampang, jangaaan! Dasar ajaanaknya bengal. Demi cinta, demi ganteng saja ngomongnya. Buktinya sekarang apa, coba? Orang tua saja ketempuhan. Makan tuh cinta, makan tuh tampaaang!” ceracaunya gemas sekali dan sarat benci.
Mataku sekilas melirik ke dua pergelangan tangannya, wuiih, sampai berkeroncong begitu bunyinya. Belum kalung berlian, giwangnya bermata intan. Kok nggak ikhlas membela anak cucu, darah daging sendiri, ya?
“Ibu Lieeess!” Nona Magang berteriak nyaring.
“Yaaa!”  sahutku setengah loncat memburu loket.
“Huuh, kok dia duluan sih? Perasaan datangnya kita dulu!” Bu Gelang melempar cibiran sinisnya ke arahku.
“Mesin ketik nih, Bu?” cetus Non Magang ketus. Sudah tahu kok nanya, gumamku dalam hati.”Hmm, sudah nggak kelihatan lagi mereknya. Butut amat nih mesin ketik…” Gupraaak, si Denok diguprak-guprak kasar.
Ada yang menonjok ulu hatiku bersamaan hawa panas membakar wajah. Teringat akan segala jasa dan pengorbanan si Denok selama lebih dua puluh tahun, aahh! Kalau tak ingat desakan bungsuku, sepatunya yang mangap itu, rasanya ingin saja loncat masuk. Lalu kuambil, kupangku dan kupeluk si Denok dibawa pulang. Menyimpannya kembali di tempat pensiunnya yang nyaman.
“Masih bisa dipake nggak sih nih…?” cetusnya semakin ketus.
“Coba saja, Mbak, pakai dulu,” tukasku menahan jengkel.
Seorang temannya, pria, menyodorkan selembar kertas. Kemudian tanpa bicara memasukkan kertas ke si Denok. Terektek, teek, toook…!
“Bisa kan, Mbak?” kataku puas melihat wajah Nona Magang seperti kecewa. Seorang petugas resmi bergabung dan mengangguk santun ke arahku.
“Mau berapa, Bu?” tanya lelaki tigapuluhan itu ramah.
“Eeeh, entahlah… berapa bisanya, ya Pak?” balikku menahan jengah.
Aduuuh, serasa ikut melecehkan si Denok saja!
“Empatpuluh lima, mau?”
“Appaa…” aku terpelongoh.
“Ya, sudah, dibulatkan saja. Limapuluh ribu!” Aku masih terpelongoh. Denoook, ikhlaskan, ya, ikhlaskan.
Gantian Nona Magang lagi yang bilang, “Nih…  sana ngantrinya!”
Masya Allah, apa tak ada yang mengajarinya sopan santun? Sorot matanya yang begitu sinis, melecehkan. Seolah ingin bilang; “Kasihaaan deh kamu, he, gembeell…!”
Melihat gamis usang, jilbab lusuh ‘kali, ya?
Agak lama juga mengantri di depan loket penerimaan uang. Pikiranku mendadak suntuk, hati serasa hampa dan tubuhku bak mengawang. Omongan dari kiri-kanan seliweran dan menguap begitu saja. Perut mulai terasa menagih isi. Sejak malam baru diisi makanan pembuka shaum alakadarnya. Tak sampai hati ikut mengambil jatah untuk anak-anak. Takut mereka masih kelaparan.
Akhirnya tiba juga giliranku, tapi kepalaku mulai keleyengan.
 “Bu Lies… limapuluh ribu, ya!” kata petugas wanita, yang ini ramah dan murah senyum.”Ada limaratusan, Bu, buat biaya perawatannya.”
“Ngng, ya, ini ada!” cepat kusodorkan kepadanya limaratusan logam satu-satunya yang kumiliki.”Terima kasih, Mbak,” kataku sambil memasukkan selembar limapuluh ribuan ke saku gamisku.
“Menggadaikan apa sih kok cuma segitu?” Bu Gelang nyeletuk.
Gegas aku keluar dari antrian. Kepala makin keleyengan, pandangan mata pun berkunang-kunang. Perut malah mulai mual, tak nyaman sekali. Baiklah, sebentar nanti harus kuisi juga, mungkin sepotong pisang goreng dan secangkir teh manis di warung seberang.
Langkahku baru akan lepas dari pintu gerbang pegadaian, ketika tiba-tiba serombongan petugas berloncatan dari mobil polisi. Mereka segera merubungi sedan bagus yang terparkir di pekarangan. Bukankah itu milik Bu Korban Banjir? Sosoknya tak kelihatan lagi. Seorang wanita cantik dan lelaki muda, mungkin suami-istri, segera memeriksa sedan bagus itu.
“Betul, ini dia mobilnya, Pak! Ooh, sudah diderek ke sini rupanya…”
Nggak tahu malu si Ining itu, ya! Pake ngaku-ngaku pemilik sedan…”
“Ke mana sekarang orangnya? Yaah, cepat cari, tangkap dia, Paak!”
“Pssst, sudahlah, Bu. Yang penting barangnya masih selamat…”
Perlahan kuminum teh manis dari cangkir. Terasa cairan hangat manis melewati kerongkongan. Ya Rabb, alhamdulillah, nikmat-Mu ini. (Depok, Rajab, 1423 Hijriyah)

@@@

Di Balik Layar: Dari Negeri Dua Benua FLP Turki

$
0
0




Kontribusi “Dari Negeri Dua Benua

Bagi kalangan penulis, nama Pipiet Senja (penulis senior yang banyak bergiat dalam kegiatan literasi nusantara dan motivator di kalangan Buruh Migran Indonesia di Hongkong) tentu tak asing lagi. Pipiet Senja adalah nama pena Etty Hadiwati Arief, lahir di Sumedang, 16 Mei 1956 dari pasangan Hj.Siti Hadijah dan SM. Arief (alm) seorang pejuang’45. Novel yang telah ditulisnya ratusan dan puluhan buku karyanya juga telah terbit.

Pipiet Senja harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidupnya karena penyakit kelainan darah bawaan, memiliki dua orang anak yang selalu membangkitkan semangat; Haekal Siregar dan Adzimattinur Siregar. Aktivitasnya saat ini sebagai anggota Majelis Penulis Forum Lingkar Pena, sering diundang seminar kepenulisan ke pelosok Tanah Air dan mancanegara. Salah satunya beliau menjadi pembimbing dan penasihat sejak awal pendirian FLP Turki.

Saya punya pengalaman tak terlupakan bersama beliau, meski dalam jarak maya, komunikasi lewat jejaring fiber internet. Ketika awal pendirian FLP Turki, dengan gencar Teh Pipiet—begitu beliau biasa kami sapa, rajin sekali menagih karya kami, tulisan yang produktif dari penulis yang siap mental pula, karena konsekuensi digemblengTeh Pipiet berarti siap pula dikritik, diminta ini dan itu dalam upaya perbaikan tulisan.

Saya sendiri memberanikan diri mengirimkan rangkaian tulisan cerpen bersambung yang telah beberapa lama bertengger di laman blog pribadi. Alih-alih menjadi pengalaman pertama menjajaki dunia menulis yang lebih kontinu, saya justru dengan polosnya mengirimkan email berisi karya mentahan dalam bentuk link blog. Ulala~ hal ini benar-benar menunjukkan kemalasan dan kepolosan yang teramat sangat.

Hingga suatu sore, alih-alih mendapat respon isi tulisan, Teh Pipiet dengan gamblangnya mengkritik mengenai etika pengiriman naskah kepada saya, Dari A hingga Z. Calon penulis tidak boleh malas dan manja, harus siap berjibaku dengan naskahnya sendiri. Bahkan penulis terkenal sekalipun tidak menyerahkan naskahnya lantas berleha-leha pasrah pada editornya. Menulis itu passionyang harus diseimbangkan dengan keluhuran.

Sejak saat itu, setiap kali ingin mengirimkan naskah, entah untuk lomba cerpen atau sejenisnya (meski jarang yang berhasil), namun saya mencoba lebih berhati-hati, mundur sejenak meyakinkan bahwa persyaratan minimal untuk sebuah naskah layak kirim dan layak diproses telah terpenuhi. Setelah menelan pahit ditolak Teh Pipiet, saya diberikan kesempatan untuk ikut menulis kembali bersama teman-teman FLP Turki dalam antologi cerpen.

Buku yang berisi kumpulan berbagai cerpen dari banyak penulis ini diterbitkan oleh Pipiet Senja Publishing, diedit langsung oleh tim FLP Turki dengan suntingan tangan penulis senior Pipiet Senja. Dalam salah satu potongan kalimat endorsement-nya, Pipiet Senja menuliskan untuk mengapresiasi segala karya yang hadir.

Antologi cerpen berjudul Dari Negeri Dua Benua ini bertabur alur cerita yang beragam, kombinasi taburan sejarah Utsmani dan juga gambaran modern lika-liku perjuangan mahasiswa di perantauan ranah Utsmani. Bumi Ottoman yang menyimpan banyak sejarah juga menjadi unsur intrinsik kuat dalam penajaman latar cerita dari berbagai cerpen yang termuat. Tentu cerpen ini juga tak luput dari tebaran kisah cinta dan asam manisnya.

Bersanding dengan rekan FLP Turki lainnya dalam antologi ini membuat saya bangga, setidaknya saya berterima kasih kepada Teh Pipiet yang selalu on membangunkan kami yang tidak produktif menulis. Malu sendiri melihat perjuangan Teh Pipiet yang seperti nama penanya, sudah berusia senja namun tetap produktif menulis dan berkarya di tengah perjuangan sakitnya.

Banyak potensi menulis yang belum tergali, banyak karya-karya yang masih luput tak termuat, banyak karya yang ada tak jauh dari compang-camping perbaikan. Namun jika teman-teman semua berkenan membaca buku antologi cerpen rekan-rekan FLP Turki—yang saya tahu begitu antusias, saya pikir akan ada satu dua masukan membangun untuk memperbaiki dunia sastra Indonesia yang haus akan sastra berbudi, sastra berisi dan sastra yang berhikmah.

Jika tertarik membeli buku antologi cerpen pertama FLP Turki   “Dari Negeri Dua Benua”, silakan kontak ke 0856 6918 5619, insha Allah rekan-rekan FLP Turki sangat berterima kasih karena setidaknya, setiap satu buku yang dibaca telah menyalakan satu obor cahaya untuk terus menulis dan berkarya.

Salam hangat dari saya, yang tak akan melupakan Teh Pipiet Senja. Semoga Allah karuniakan banyak rizki dan nikmat sehat kepadanya.

Fatimah Azzahra,
Bursa, Turki

Hari ke 16 Ramadhan di tahun 2015

Cerpen Nominasi Ke-4 Bilik Sastra Award 2014: Sarah Hafidz, Taiwan

$
0
0

 

Malaikat Kecil di Gerbang Firdaus
Sarah Hafidz

Mataku semakin berkunang. Entah tersebab tangisku sejak kemarin pagi, atau karena terlalu mabuk. Sebulan terakhir iniaku juga merasakan kondisi kesehatan semakin menurun. Batukku pun tak kunjung sembuh. Sering pula kesulitan tidur karena tak nyaman dengan badanku yang basah berkeringat. Terhuyung aku melangkahkan kaki menuju ujung lorong. Sebentar lagi, aku pasti sampai di tempat itu. Membebaskan diri dari bau alkohol yang semakin memuakkan. Ah, seluruh badanku pun penuh aroma minuman haram itu. Haram? Apalah makna kata itu untukku? Setelah kujalani kehidupan yang hitam ini.
Sesampai di pintu belakang, seperti biasa aku duduk di tangga. Tak ada yang indah di sana. Kecuali gang kecil yang sepi. Di sana terjajar beberapa tong sampah. Juga beberapa pot bunga bugenvil yang layu. Aku selalu lupa menyiramnya. Begitupun temanku yang lain. Bunga itu hanya menunggu hujan yang sesekali datang di musim panas ini. Barangkali hingga akhir tahun nanti akan tampak lebih segar, mungkin pula berbunga di musim semi.
Sekilas aku lihat sosok bocah dekil. Tangannya mengais sesuatu dari tong paling ujung. Aku mengucek mata tak yakin. Apakah itu anakku? Ah, tentu saja bukan. Anakku lebih dewasa darinya, tentu lebih rapi, pun bersih. Perlahan kulambaikan tangan. Dan bocah kurus yang tak pernah kulihat sebelumnya itu segera berlari. Mungkin ketakutan, atau jijik dengan aroma alkohol di badanku.
Aih, bukankah tong sampah itu juga lebih tak sedap baunya. Tapi aku menikmatinya. Sesekali, kalimat Alif dalam percakapan kemarin pagi terngiang di pendengaranku.
"Kumohon pulanglah sebentar dampingi Alif, Bu! Embah juga sering sakit-sakitan. Kami semua menunggu Ibu pulang."
"Bukankah ada Ayah pula yang nemenin. Alif harus tahu, Ibu di sini berjuang untuk Alif."
"Iya, Bu. Tapi apa sedikitpun, Ibu tak kangen Alif? kenapa kontrak kerja Ibu kali ini begitu lama?" Pertanyaan itu membuatku pening.
Masih terdengar isakannya yang tertahan. Bayi merah yang kutinggal duabelas tahun lalu sudah berani minta dikhitankan. Dan aku tak bisa mendampinginya. Selama tiga periode kutinggalkan, dan hanya dua kali cuti barang seminggu atau sepuluh hari saja. Rasa sakit hati tersebab mertuaku yang selalu memanas-manasi telingaku.
"Di luar negri enak kan? Gajinya gede. Nanti kamu harus berhasil. Lihat tetangga pada punya rumah tingkat, punya mobil. Kita akan malu kalau nggak bisa seperti mereka."
Suamiku hanya diam. Kulirik Alif yang saat itu berusia hampir tujuh tahun. Dan belum mengenalku sebagai ibunya. Dia selalu melekat di pangkuan ayahnya, sesekali ke pelukan mertuaku. Aku tak bisa berontak. Meski selama kerja di luar negeri uangku kemana? Aku hanya mengelus dada. Demi Alif, anakku.
"Kamu gila, Kinasih?" suamiku terperanjat. Matanya hendak menelanku bulat-bulat. Aku gemetaran. Antara menahan sesak di dada dan tangis yang hampir meruah.
"Ini demi masa depan kita, Mas. Apa Mas kira aku mau selamanya jadi babu? Aku juga capek. Ingin sesegera mungkin menjaga Alif. Sedangkan uang hasil kerjaku habis buat modal Ibu tanpa hasil. Apa Mas mau, selamanya kita berpisah?" Sesenggukan aku mulai berontak.
Suamiku memilih diam. Begitupun aku tak berani bersuara lagi.  Dia imamku yang sangat patuh terhadap ibunya. Dan pewaris lelaki tunggal keluarganya. Hanya sesekali suara isak tangis kami kemudian bersahut. Namun naluriku bersikeras untuk menerima tawaran kerja ilegal sebagai pemetik buah dengan gaji menggiurkan. Tentu aku ingin meraup uang lebih banyak dibandingkan pekerjaan rumah tangga atau merawat lansia. Dan itulah kali terakhir aku bicara dengan suamiku, meminta restunya sebelum meninggalkan rumah. Setelahnya, aku hanya mengirimkan pesan. Atau bicara dengan anakku saja.
Sebenarnya aku tak menyangka bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh Lim, sopir taxi itu adalah menjadi kupu-kupu malam. Dia menjanjikan gaji dua kali lipat. Tidak menyolok layaknya di Gang Doly memang, tapi itulah pekerjaanku. Setiap malam melayani pria-pria hidung belang. Mereka yang sekedar ingin minum-minum atau bahkan mengajakku ke ranjang.
Selama kurang lebih enam tahun ini, aku selalu berpindah-pindah tempat. Dari kota satu ke lainnya. Tapi di bawah naungan Lim, aku selalu terlindungi. Bagaimana pun uang hasil kerja malamku lebih dari cukup untuk mengirimi setiap permintaan mertuaku.
Meski sempoyongan, kupaksakan untuk berdiri dan meninggalkan tangga itu. Dari dalam kuperhatikan bayangan bocah kurus itu mengendap-endap. Di tangan mungilnya ada kumpulan plastik berisi aneka kotak makanan. Astaga! kotak itu yang tadi sore kubuang. Masih kuingat apa yang tersisa di dalamnya. Aku paling benci sushi(1)Karena tak bisa mengkonsumsi seafood(2) mentah yang selalu ada di antaranya. Kucomot sebagian saja, selebihnya aku masukkan tong sampah. Dan sekarang berpindah ke tangan bocah dekil itu. Rupanya, dia masih memilih-milih  apa saja yang bisa dimakan. Dan mungkin waktuku juga untuk kembali ke ruang pengap itu. Bergumul dengan pria-pria yang hendak memberiku uang, harapan ataupun mimpi.
Pagi ini aku tak kan tidur seperti biasanya. Akan kusempatkan sedikit waktuku untuk menyiram bunga bugenvil di gang kecil belakang rumahku, sekaligus tempat kerjaku ini. Kembali aku mengucek mata. Kali ini, sungguh lebih jelas sosok kurus bocah semalam. Tinggi badannya aku perkirakan tak lebih dari empat kaki saja. Berbaju kumal, begitupun rambutnya seperti terlalu lama tidak tercuci bersih. Ada sorot ketakutan saat melihatku. Meski sudah kucoba tersenyum.
”Kamu sudah makan?" klise saja kutanyakan itu agar tak mengganggunya.
"Ini pagi kedua aku mencari makan di sini. Kenapa pagi hari selalu tak ada makanan?" jawaban polosnya seperti menghujam jantungku.
"Tunggu sebentar yah!"
Aku tergopoh lari ke dapur. Kuambil apa saja sisa makanan dalam kulkas, laci. Karena aku dan teman-teman hanya hidup di malam hari dan tidak pernah masak. Aktifitas kami berawal dari sore, hingga menjelang fajar. Pantas saja dia tak mendapatkan sisa makanan di tong sampah sepagi ini. Dia hanya akan mendapat kotak sisa makanan kami pada malam hari. Tentu sebelum mobil sampah mengangkutnya.
"Ini semua masih bersih. Makanlah!" Segera kusodorkan seplastik makanan padanya. Matanya berbinar, tangannya memeriksa apa-apa di dalam plastik dariku.
"Ada coklat...."
Seketika dibuka kotak coklat itu dengan tangan kotornya dan mencomot satu. Dengan penuh gairah segera dimasukkan ke mulutnya. Kemudian mencomot satu lagi.
"A Yi, ini untukmu," disodorkannya coklat itu hampir menyentuh bibirku. Seketika ada trenyuh di hatiku. Apakah Alif akan melakukan hal yang sama suatu hari nanti? Ah, mataku tiba-tiba berkaca. Tangan bocah itu masih tegak hendak menyuapiku coklat.
"Titi saja yang makan. A Yi tidak suka coklat. Makanya semua A Yi kasihkan Titi," tolakku. Dengan segera dia pun melahap coklat yang hampir lumer di jemarinya. Senyum sumringahnya memperlihatkan gusinya yang bengkak. Aku yakin dia jarang menggosok gigi sehingga bakteri merusak gusinya.
"Aku harus segera pulang. Mama sedang menungguku menyuapinya sarapan. Jam segini pasti sudah lapar." Dia pun berlari meninggalkanku yang masih bengong. Masih banyak pertanyaan yang belum sempat kuungkapkan.
"A Yi.., boleh aku main lagi nanti?" Pertanyaan itu membuatku terkesiap. Ternyata dia balik lagi untuk meminta persetujuanku. Dan aku hanya mengangguk. Kemudian dengan cepat dia pun lenyap di balik tembok gang kecil itu.
"Dulu, Mama sangat rajin bekerja. Uangnya selalu dihabiskan Papa untuk berjudi. Tapi sejak sakit, Papa marah dan mengusirnya. Hampir semua yang tahu penyakit aids(5) Mama selalu mengusir. Baru tiga hari ini, kami pindah di kost-an sebelah." Matanya berkaca-kaca. Jantungku berdegup kencang dan semakin ingin mendengar ceritanya.
"Tapi A Yi janji yah, jangan bilang yang lain. Kasihan Mamaku. Aku takut harus pindah lagi. Takut semua orang tahu penyakit Mama." Aku mengangguk, batinku bergemuruh. Bocah sekecil itu harus menanggung beban untuk memperjuangkan kehidupan mamanya? Apakah dia akan mampu? Ah .., mungkin aku terlalu merindukan dan merasa bersalah pada Alif sehingga terharu seperti ini.  Tenggorokanku terasa sangat sakit menahan tangis. Mungkin juga sariawan yang menyebar bebas di area tenggorokanku sejak lama lalu.
"Apakah Mamamu sudah berobat?"
"Mama bilang, sakitnya tak bisa diobati. Lagipula uang Mama hanya cukup untuk membayar rumah kost. Makanya Mama tak ada uang buat kami makan."
Aku masih tak percaya. Pengidap aids tanpa berobat? Bagaimana mungkin kehidupan rakyat Taiwan bisa sepedih itu. Apalagi bocah yang aku perkirakan sepuluh tahunan ini begitu kuatnya. Tanpa jijik mengorek tong sampah bahkan mengkonsumsi sisa makanan apapun yang ditemukannya. Bukankah negeri ini selalu memberi keringanan untuk rakyatnya berobat dengan kartu asuransinya?Atau mamanya sudah tak mau berobat? Dan begitu kejikah ayahnya? Aku tak berhenti berpikir.
"Papamu tak pernah datang?"
"Papa sudah tidak peduli keberadaan kami. Papa bilang, penyakit Mama bisa menular. Papa melarangku ikut Mama. Tapi aku tidak takut. Aku akan melindungi Mama," ucapannya sangat antusias.
"Kamu tak ingin pulang?"
"Aku ingin bersama Mama." Dia menunduk. Tapi wajah polos itu sepertinya tak mengkhawatirkan apapun yang akan terjadi. Sejak saat itu, aku sering menawarkan diri untuk menjenguk mamanya. Tapi bocah itu menolak.
Mama pasti akan marah." 
Aku tak memaksanya untuk ke sana, bahkan sekedar tahu rumah kontraknya. Yang bisa kulakukan hanya menyiapkan jatah makanan lebih dari biasanya. Ada dua nyawa lagi yang kelaparan menunggu uluran tanganku. Kadang, aku merasa seperti bidadari penolong.
Beberapa malam ini, aku merasa makin malas meladeni tamu-tamuku. Aku lebih sering terduduk di tangga seperti biasa. Menunggu bocah yang belum sempat kutanyai namanya itu bicara denganku. Tapi dia tak kunjung datang lagi.
"Kinasih! Lian mencarimu ..." Panggilan itu mengejutkanku.
Claire mengisyaratkan untukku segera datang. Benar saja, lelaki putih bermata sipit pelangganku itu sudah menunggu di kursi paling pojok. Di bawah sinaran lampu yang selalu menyilaukan mata, di sana selalu ada uang yang bisa aku kantongi.
Kepalaku terasa sangat pusing, saat kudengar gedoran pintu besi belakang. Aku gemetaran, gugup dan entah apalagi. Ada rasa takut bahwa itu polisi yang datang, mengetahui keberadaanku yang ilegal di negeri formosa ini. Tapi suara bocah itu sangat kukenal dan membuatku sedikit tenang.
"A Yi .., A Yi ..." Aku segera menuruni tangga, menuju lorong sempit itu.
Saat kubuka pintu, kulihat wajah bocah itu basah oleh airmata. Aku menjadi gugup lagi dan tak tahu harus melakukan apa. Sontak kupeluk tubuhnya yang gemetar, bibirku masih kelu tak bersuara.
"Mama tak mau bicara lagi. Badannya demam tinggi beberapa hari lalu. Sekarang kejang-kejang dan aku takut, A Yi."
Itukah alasan bocah yang kutunggu ini tak datang beberapa hari lalu? Tidak mau bicara? Mungkinkah dia? Tanganku gemetaran menelfon Lim. Aku yakin dia tak buta hati. Berharap dia bisa lakukan sesuatu untuk bocah malang ini.
Aku terduduk lemas. Kabar terakhir dari Lim, membuat badanku panas dingin. Bocah dekil itu kembali ke keluarganya karena mamanya harus diisolasi di rumah sakit khusus pengidap aids. Aku jadi sangat merindukannya. Celotehnya, perjuangannya, semua tak sedikit pun kulupakan.
"A Yi, pasti sangat menyayangi anak A Yi. Kenapa tak diajak saja ke sini biar bisa main sama aku?" tanyanya suatu pagi. Aku hanya tersenyum. Karena tak mungkin aku menjelaskan posisiku di tempat ini.
"Jadi, A Yi harus segera pulang. Biar seperti aku dan Mama, tak pernah berpisah."
Ah, bocah kecil, itulah yang engkau harapkan. Dan faktanya penyakit itu harus memisahkan kalian kan? Percakapan terakhir dengannya seperti sebuah pesan untukku. Apalagi akhir-akhir ini aku semakin sering kelelahan. Setiap sendi di tubuhku terasa sakit. Dan sering pula mendadak demam tinggi. Apakah musibah yang terjadi pada bocah itu berdampak buruk bagiku? Bocah yang kukenal tak lebih dari sebulan saja. Bahkan sampai saat ini pun tak kutahu namanya.
"Kinasih, kamu terlihat sakit. Badanmu berubah kurus sangat drastis. Kamu harus ke dokter!"
"Aku tidak sakit. Beri aku waktu untuk istirahat beberapa hari saja, Lim."
"Tidak. Kamu harus ke dokter. Lihat dirimu! Aku tak mau mengurusi orang sakit. Sekarang ganti baju! Aku antar ke sana."
Aku harus menurut. Karena aku paling jengkel mendengar suara keras lelaki tambun itu. Belum lagi kebiasannya mengunyah sirih dengan baunya yang menyengat. Aku semakin tak tahan dibuatnya.
"Untuk apa mengambil sampel darah, Dok? apa sakitku?" perasaanku mendadak kacau balau.
"Harus menunggu empat hari lagi untuk tahu persis hasil dari lab. Jadi kamu harus sabar." Aku seperti orang linglung. Dokter menyarankanku untuk melakukan tes antibodi. Sejak sore itu, aku rehat total dan dilarang melayani tamu di klub lantai dasar. Sesekali aku turun dan langsung menyusuri lorong. Selalu pintu kecil itu yang menjadi tujuanku. Entah, aku rasakan ada sesuatu yang hilang di sana.
Berhati-hati aku keluar dari kabin pesawat. Kutenteng tas baju yang terasa lebih berat dari badanku. Karena sejak beberapa hari lalu, aku tak selera makan. Kecuali beberapa butir obat ARV yang diberikan dokter Taiwan padaku. Dia berpesan padaku untuk rutin mengkonsumsinya.
"Jumlah CD4 dalam tubuh normal umumnya 700 per µL. Dan kamu memilikinya kurang dari 200 saja. Jadi kamu harus menjalani pengobatan rutin. Kontinyu dengan terapi antivirus di negaramu!"
Sekarang aku merasa lebih sehat dan bahagia. Keputusan akhirku untuk pulang dan setidaknya menghirup udara tanah airku. Tidak! Tentu bukan itu saja. Aku ingin bertemu Alif, juga suamiku untuk meminta maaf. Bagaimana mereka memaafkanku? Sedangkan aku masih tak ingin pulang. Bagaimana jika mertuaku masih memintaku untuk kerja lagi keluar negeri? Sedangkan aku sudah tak mungkin kembali bekerja sejauh itu.  Kuberanikan menekan tombol beberapa angka. Di seberang sana, seperti biasa kudengar suara Alif.
"Benarkah Ibu sudah sampai Jakarta?" Dia sangat terkejut. Aku seperti ingin menghentikan waktu beberapa saat. Karena aku tak tahu harus bicara apa.
"Bu! Besok Alif sama Ayah ke sana. Alamatnya di mana, Bu?"
Aku masih bungkam. Perbincangan kami sangat kaku. Di belakangnya, kudengar suara suamiku kegirangan. Tuhan, hukuman ini sangatlah berat untuk kutanggung. Tapi aku masih berharap permaafan mereka, orang-orang yang kucintai.
Usai sholat subuh dan berdoa, aku rebahan di ranjang. Perasaan berdebar menunggu kedatangan Alif dan suamiku. Mereka berangkat dari stasiun Blitar kemarin sore. Pagi ini, pasti mereka sampai jika tak terjebak macet di ibukota. Ada rasa tak sabar. Ingin pula menyalahkan pemerintah dengan program mobil murahnya. Karena dengan adanya program gila itu, akan semakin memperpadat jalanan ibukota. Kenapa bukan perbaikan sarana transportasi massal? Hatiku semakin berdetak tak karuan.
Kupandangi langit-langit kamar sambil menghitung hari. Sejak virus itu memvonis usiaku, kucoba kuat dengan memulai lagi sholat lima waktuku. Sekian tahun aku bahkan lupa caranya berdoa. Dan semakin kuhitung, hanya kerdipan bintang yang bermain di bola mataku. Meski kupejamkan tetap saja gemerlapan. Aku coba mengingat berapa uang yang sudah aku dapatkan selama lima tahun ini? Berapa lelaki yang mengencaniku, tidur bersamaku? Aku kesulitan mengingat nominalnya.
Rasa mulas membuatku sulit untuk konsentrasi. Tapi aku takut untuk ke dokter lagi. Aku merasa pandangan mereka menghujamku setelah melirik beberapa lembar kertas hasil tes yang aku sodorkan. Aku jadi ingat kisah bocah dekil itu. Pasti mamanya merasa takut, malu, terkucil, sama sepertiku saat ini.
Ah, biar saja aku bermalas-malasan di kamar kontrakku. Dengan bolak-balik ke toilet saja sudah cukup lelah. Perlahan kukatupkan mata.
Ada bayangan bocah dekil itu mengajakku bermain dengannya. Senyum itu masih sama, dengan memamerkan gusinya yang bengkak berdarah. Pun suara gaduh dan tangis beberapa orang, entah sedang menghebohkan apa. Hangat, kurasakan Alif memelukku sangat erat. Aku  sangat bahagia melihat malaikat kecil itu saling memperebutkan tanganku.

@@@

Wisata MenulisTurkey: Bersama Pipiet Senja, Jonru dan Ust Azzam Mujahid Izzulhaq

$
0
0
Jalan jalan ke Turkey hayu bersama teteh Pipiet Senja, Ustad Azzam Mujahid Izzulhaq Full dan Jonriah Jonru Ukur.

Jalan-jalan ke Turki sambil mengikuti pelatihan penulisan bersama @pipietsenja @jonru @AzzamIzzulhaq. Transit di Paris dan Amsterdam. Pulangnya menerbitkan buku.  #WisataMenulisTurki bersama Jonru, Pipiet Senja dan ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq.  Jadwal: 27 November s/d 6 Desember 2014  Yuk Ikutan!   Kapan lagi bisa jalan2 bersama penulis terkenal Pipiet Senja, juga dengan saya dan ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq, sambil menimba ilmu kepenulisan. Dan pulangnya menerbitkan buku.  Untuk info lengkap dan pendaftaran, silahkan hubungi panitia acara ini:  Aurora Travel Management Expert: Mobile Phone: 0811 49 12 122 WhatsApp: 0812 20 30 22 11 PIN BBM: 7F95EB0F

Jalan-jalan ke Turki sambil mengikuti pelatihan penulisan bersama @pipietsenja @jonru @AzzamIzzulhaq.
Transit di Paris dan Amsterdam. Pulangnya menerbitkan buku.
‪#‎WisataMenulisTurki bersama Jonru, Pipiet Senja dan ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq.
Jadwal: 27 November s/d 6 Desember 2014
Yuk Ikutan!
Kapan lagi bisa jalan2 bersama penulis terkenal Pipiet Senja, juga dengan Jonriah Jonru Ukur dan ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq, sambil menimba ilmu kepenulisan. Dan pulangnya menerbitkan buku.
Untuk info lengkap dan pendaftaran, silakan hubungi panitia acara ini:
Aurora Travel Management Expert:
Mobile Phone: 0811 49 12 122
WhatsApp: 0812 20 30 22 11
PIN BBM: 7F95EB0F

Grasberg Mine Negeri di Atas Awan

$
0
0



Tembagapura, 21 November 2012
Sesuai rencana, rombongan kami, saya, Elly Lubis dan Evatya Luna hanya beberapa saat saja bersosialisasi dengan warga asli suku Banti. Camat Tembagapura, Slamet Sutejo mengingatkan kami agar segera bergabung kembali dengan Syafii yang baik hati dan murah senyum itu.

“Terimakasih, Pak Camat, catatan perjalanannya nanti akan saya emailkan, ya,” kataku sebelum berpisah di parkiran kediamannya. Sungguh, kami merasa beruntung telah diantar keliling pemukiman salah satu suku asli Papua.

“Eva, eh, itu suku Banti apa ada hubungannya dengan suku Bantu, Negro itu loh?” usikku membuat Evatya Luna terpelongoh. Apa hubungannya coba, Banti di Papua sementara Bantu di Afrika.

“Mungkin yang ada justeru kesamaannya, Bunda. Banti dan Bantu sama-sama hitam dan serba tertinggal. Halaaaah, gak tahu jugalah, Bunda,” jelas Evatya Luna malah membuat diriku bingung. Habis, dia membuat opini, tetapi dalam sekejap dibantah dan diragukannya sendiri. 

Halaaah!
Kami tiga pendekar perempuan pendek dan kekar, akhirnya tibalah di halte tram pada ketinggian 4000 meter. Perlengkapan yang kami kenakan berupa rompi, kacamata dan sepatu boot. Tak jauh beda dengan kostum yang dikenakan oleh para penambang.

Elly Lubis dan Evatya Luna mendapatkan sepatu yang bagus sesuai ukuran. Sementara aku sepasang boot besar yang cukup berat dan mengganggu gerakan. Tapi, mau bagaimana lagi, ya, sudahlah!
“Mengapa harus selalu dipakai rompinya yang mirip begini, Mas?” tanyaku ingin tahu kepada Syafii.

“Yah, agar dikenali, dan mudah menemukan kalau hilang,” sahutnya ringan.
“Maksudmu, rompi ini apa ditempeli semacam microship. Eh, ini semua buatan Amrik, iya toh?” buruku.
“Hehe, iya, barangkali, Teteh.” Bapak dari dua anak itu nyengir, menatapku lucu.

Karena sudah diwanti-wanti jangan bicara urusan politik dan aktivitas Freeport dengan karyawan, aku memutuskan tidak melanjutkan kicauan. Sementara sebagai seorang penulis, imaji liarku tanpa bisa ditahan lagi secara terus-menerus berkelindan di dalam otakku.

Melihat peralatan konsentrat bebatuan di Mil 74, imajinasiku mewujud batang-batang emas, perak dan tembaga yang telah jadi, memenuhi tantangan pasar dunia. Lantas, dikemanakan hasil penjualannya?

Betapa kaya rayanya bumi Papua, ini realita yang tak bisa dipungkiri. Namun, lihatlah kondisi pemukiman Banti. Mereka tinggal di honai-honai (rumah) yang tak lebih mirip kandang babi.
Mendadak aku merasa gulana, limbung dan bingung. Sampai ada yang bilang:” Ya, sudahlah, mereka ada yang mengurusnya.” Iyakah, sungguhkah?

“Nah, kita sudah sampai!” kalimat seseorang menyadarkanku akan keberadaanku kini.”Kita akan naik tram dari sini, Teteh,” lanjut Syafii.

Evatya Luna dan Elly Lubis ditemani Syafii langsung meloncat dari kendaraan. Aku p0elan-pelan saja sambil megukiur kekuatan tubuhku. Berjalan di tengah gerimis yang turun renyai, hawa dingin langsung menyengat dan oksigen sangat menipis.

Kedua rekanku itu semakin semangat untuk mengambil momen-momen bagus, pemandangan di skeitar kami memang sangat indah. Rugi sekali jika tak membawa kamera canggih.
Kami menaiki tangga menuju halte tram. Tiga orang petugas berseragam langsung menghampiri kami, dan menanyai Syafii: ”Siapa ini dan dari mana?”

“Ini tamu dari Jakarta. Surat izinnya ada di Pak Bambang, silakan konfirmasi,” jelas Syafii meyakinkan.

Dengan mudah kami bertiga ditemani Syafii naik tram. Tampaklah pemandangan yang luar biasa indahnya. Untuk beberapa jenak aku hanya terperangah, mengatur napas dan menikmati gelaran lanskap terindah dari Sang Pencipta.
Jeprat, jepreeeet!
Sesampai di seberang, kami melanjutkan perjalanan menuju Grasberg Mine.
 Dan inilah foto-foto kami. (Pipiet Senja, Timika, November 2012)









Bottom of Form

Ini Sebagian Karya Pipiet Senja

Menyebar Virus Menulis

$
0
0

Tips Menulis Buku Dari Pipiet Senja

  
22
 
1
Bagi pecinta buku atau karya sastra, nama Pipiet Senja pasti bukan sosok yang asing. Perjalanan kariernya sebagai penulis sudah dimulai sejak umur 20 tahun. Selama itu pula, ratusan karya sudah dihasilkan. Buku-bukunya pun juga sudah beredar di pasaran. Di balik semangatnya untuk terus menulis, dalam tubuh Pipiet berdiam penyakit thalasemia atau kelainan darah bawaan yang mengharuskan dia untuk rutin transfusi darah setiap dua bulan sekali.
Namun, bagi Teh Pipiet Senja, menulis menjadi salah satu terapi sehatnya. Hidup sebagai penderita thalassemia, dengan Limpa yang sudah ditiadakan dari tubuhnya. Tahun 2013, beliau mengatakan di rawat di ICCU, jantung beliau hanya berfungsi 30% di dalam ruangan yang super steril itu beliau tidak diperbolehkan beraktivitas kemana-mana.
“Apa yang saya lakukan? Menulis ”. Di dalam ruangan yang steril itu, laptop dan peralatan tidak di perbolehkan masuk, hape juga tidak boleh dipegang pasien. “Dok, mau gak liat pasiennya gila? Sudah sakit gila pula?” ucap Teh Pipiet menceritakan lagi kisahnya.
“Wah, jangan dong, kenapa jadi gila?” ucap Teh Pipiet mengikuti perkataan dokter saat itu.
“Saya gila kalau tidak menulis, makanya jangan diumpetin dong hapenya…” jawab Teh Pipiet. Akhirnya sang dokter memberikan izin Teh Pipiet untuk menulis di Blackberry nya. Menulis bisa menjadi terapi, menulis bisa menunda kepikunan.
Terdapat slide materi yang disiapkan Teh Pipiet Senja, beberapa materinya mengenai kepenulisan. Menulis hanya berpegang dengan teori-teori tanpa mempraktikan, keinginan menjadi penulis hanya MIMPI. Untuk menjadi seorang penulis yang harus kamu lakukan adalah… menulis-menulis-menulis! tak peduli menulis apa, biarkan kata-kata mengalir-mengalir-mengaliiir.
Dan berikut tips menulis dari pipiet senja yang bisa kita pelajari :
  1.  Mulailah menulis setelah tahu apa yang ingin kita tulis
  2. Setting/latar jangan banyak-banyak, paling 1 atau 2 lokasi
  3. Karakter tokoh juga jangan terlalu banyak, tidak perlu dirinci secara detail
  4. Gunakan kalimat-kalimat yang komunikatif, tidak bertele-tele, dan jangan terlalu banyak memakai bunga bahasa
  5. Ambil tema yang jarang diangkat penulis lain, khas, unik, dan menarik
  6. Kirimkan naskah sebanyak-banyaknya, jangan menunggu naskah dimuat, teruslah menulis dengan tema baru
  7. Bila mentok/mandek ide di tengah jalan boleh di tinggalkan dan menggarap tulisan baru. Suatu saat kita bisa membuka file tersebut setelah merasa siap untuk melanjutkan / menuntaskannya
  8. Biasakan untuk memiliki catatan harian. Ketika kita menemukan ide dijalan umpamanya, cepat dicatat point / garis besarnya sebelum hilang dari pikiran
  9. Wajib untuk selalu meningkatkan wawasan melalui buku bacaan dan membandingkan karya-karya penulis dalam dan luar negeri
  10. Bakat hanyalah sekian persen, selebihnya adalah bagaimana mendisiplinkan diri untuk selalu menulis, menulis dan menulisss!
  11. Menulis itu sungguh menyenangkan. inilah sikap yg harus kita tanamkan pada diri sendiri
  12. Bila karya anda ditolak oleh redaksi, jangan pernah putus asa. menulis dan menulis lagi! Teror saja redaksi dengan tulisan kita, bukan dengan bom!
  13. Bergabunglah dengan paguyuban, organisasi / forum kepenulisan, sehingga kita bisa berbagi ilmu dan saling menyemangati untuk kreatif menulis.
  14. Bisa juga bergabung dengan milis-milis sastra di internet. Tetapi berhati-hati, jangan sampai terjebak kedalam suatu paham yang menyimpang dari ajaran, keyakinan dan kaidah-kaidah Islam
  15. Bila anda sudah merasa berjuang sedemikian keras dalam mencapai cita-cita sebagai penulis, tapi belum juga berhasi. Tak mengapa, mungkin Allah SWT telah menyediakan langkah lain yang lebih menguntungkan Anda di suatu tempat.

Reportase Rinta:Menulis Sebagai Terapi dan Menunda Kepikunan

$
0
0

14042547561948208695

dpk. Pribadi. Teh Pipiet Senja memberikan materi

Minggu (29/06/14) Pukul setengah 2 siang, aku sudah di tempat. 
Jalan Ki Maja, gedung bertempat di belakang Alfamart besar di jalan 
Ki Maja ini. Alhamdulillah, kali ini ada salah satu kelas menulis yang 
me-Nasional. Karena narasumber adalah penulis nasional.
Setelah sebelumnya ada mbak Sinta Yudisia selaku penulis nasional 
dan ketua Forum Lingkar Pena Pusat datang ke Bandarlampung. 
kali ini, tak kalah hebat dan dinanti, yakni kedatangan narasumber 
sekelas Teh Pipiet Senja. Penulis senior nasional yang telah menerbitkan 150 macam judul buku. 

Suatu kebanggan bagi Forum Lingkar Pena Wilayah Lampung, 
dan FLP cabang Bandarlampung, karena Teh Pipiet Senja datang untuk menyalurkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami, para manusia yang 
suka menulis.

Talkshow & Workshop bertajuk ‘Gerakan Zakat melalui Goresan Pena’ 
disponsori oleh Dompet Dhuafa dan bekerjasama dengan FLP Lampung. 
Teh Pipiet Senja dengan busana Ungu Syar’i yang beliau kenakan, 
tampak begitu segar di usia senja nya. Di awal Teh Pipiet menceritakan 
sedikit perjalanan kepenulisannya, mengenai pengalaman beliau dalam 
membuat cerita. Teh Pipiet mengatakan, penulis butuh kepekaan, 
dari sekitar, seorang anak pengamen dengan alat musik sederhananya,
bisa dijadikan bahan tulisan yang bermakna.
14042547001510962432
dok. pribadi
Salah satu peserta termuda menjadi salah satu sasaran teh Pipiet, 
mengenai pertanyaan “Mengapa suka menulis?”. Si Anak kecil berjilbab putih, 
Siti Atikah Azzahrah namanya, menjawab karena hobi dan senang menulis. Ternyata, menulis merupakan kesenangan bagi banyak orang, 
sebagian orang mengatakan menulis merupakan kebutuhan.

Teh Pipiet juga menceritakan sedikit kisah hidupnya, bahwa beliau 
merupakan salah satu penderita thalassemia, yang di diagnosa sejak 
usia 17 tahun oleh dokter. Namun, bagi Teh Pipiet Senja, menulis 
menjadi salah satu terapi sehatnya. Hidup sebagai penderita thalassemia,
 dengan Limpa yang sudah ditiadakan dari tubuhnya. 

Tahun 2013, beliau mengatakan dirawat di ICCU, jantung beliau hanya 
berfungsi 30% di dalam ruangan yang super steril itu beliau tidak diperbolehkan beraktivitas kemana-mana.
“Apa yang saya lakukan? Menulis ”. Di dalam ruangan yang steril itu, 
laptop dan peralatan tidak di perbolehkan masuk, hape juga tidak
boleh dipegang pasien. “Dok, mau gak liat pasiennya gila? 
Sudah sakit gila pula?” ucap Teh Pipiet menceritakan lagi kisahnya.
“Wah, jangan dong, kenapa jadi gila?” ucap Teh Pipiet mengikuti perkataan
dokter saat itu.
“Saya gila kalau tidak menulis, makanya jangan diumpetin dong hapenya…” 
jawab Teh Pipiet. 

Akhirnya sang dokter memberikan izin Teh Pipiet untuk menulis di 
Blackberry nya. Menulis bisa menjadi terapi, menulis bisa menunda 
kepikunan.

Terdapat slide materi yang disiapkan Teh Pipiet Senja, beberapa materinya mengenai kepenulisan. Menulis hanya berpegang dengan teori-teori tanpa mempraktikan, keinginan menjadi penulis hanya MIMPI. Untuk menjadi 
seorang penulis yang harus kamu lakukan adalah… menulis-menulis-menulis! 
Tak peduli menulis apa, biarkan kata-kata mengalir-mengalir-mengaliiir.
1404254888519994898
dok.pribadi. salah dua peserta termuda. Feyna dan Tika :D
Seorang yang hendak menulis, pasti sudah punya gambaran mengenai apa yang akan ditulis, tidak mungkin blank seutuhnya. Teh Pipiet juga mengatakan, pernah mendapatkan inspirasi menulis puisi dari orang gila. Orang gila yang ditemui beliau saat sedang tranfusi, terlahirlah puisi pendek;
Lelaki itu bertelanjang dada
Wara-wiri dan berteriak: ‘Tuhan Tidak Ada!’

“Namanya juga orang gila, pasti tidak punya Tuhan. Puisi tersebut, termasuk dalam puisi mbeling”, tutur Teh Pipiet.
Beliau menulis dan menulis, kemudian mengirimkannya. Pede-pede saja menyebarkan karya ke media. Karena sekarang, sudah sangat mudah melalui Email, bisa sharing di twitter website. Kalau zaman dulu, saya menggunakan mesin TIK. 

Setelah diketik kemudian dikirimkan ke pos. Buku yang sudah ada di media, jangan sama dengan mereka. Janganlah diikuti buku yang sudah ada. jika ada buku tentang muhasabah cinta, janganlah kita mengikuti ide yang sama. Jadilah diri kita sendiri pakai style kita sendiri.
1404254963169327937
dok.pribadi
“Daripada Mengekor Singa, Lebih Baik Kita Jadi Kambing, Tapi Kepalanya”.
Dalam materi Teh Pipiet Senja, bila seseorang sudah digariskan menjadi seorang penulis, pasti Ada sesuatu yang akan terjadi pada diri kita, yakni; sesuatu itu sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga dia akan memburu, menguntit ke mana pun kita melangkah.
1404255328121470669
screen capture power point by: Pipiet Senja
Modal paling utama seorang penulis adalah dorongan dari dalam. Menulislah dari hal yang kecil, tak perlu terlalu luas, njelimet-njelimet. Menulislah mulai dari catatan harian, pengalaman sendiri, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.Jadi jangan terlalu berharap buku yang telah kita terbitkan menjadi best seller. Biarkanlah pembaca yang menilai.
1404255001462551573
dok.pribadi


Gadis Kecil Pesert Termuda.
Di sisi lain, setelah acara. Kami dipersilahkan untuk menulis. menulis apa saja dengan tema Zakat. Ada hal unik di ruangan itu, ada dua orang gadis kecil berusia 11 tahun, sedang mengetik dengan antusias. Mereka adalah Feyna si gadis berjilbab pink, berkacamata frame merah di sebelahnya ada pula seorang gadis kecil berjilbab putih dengan gaya mengetik yang super cepat, Siti Atikah namanya.
“Hei, ngetiknya jangan cepet-cepet, nanti kamu haus..” tuturku pada Tika panggilan Siti Atikah.
“Ah gak haus kok, kan cuma ngetik. Nih pake 2 jari…” jawab Tika polos. Kemudian dia meneruskan mengetik di netbooknya.

Dari sana aku berkenalan dengan dua gadis kecil berbakat. Mereka sangat bersemangat. Sedangkan aku? Aaak sebenarnya aku bukan tipe orang yang bisa menulis dengan tema yang ditentukan, dan harus segera selesai beberapa jam saja. Jadilah aku memilih untuk menyelesaikan tulisan dirumah, dan mengirimkannya kemudian hehe.

Peserta lainnya masih tekun dengan tulisan mereka. Namun dua bocah itu menghampiri tempat duduk aku dan ka Nora. Mereka berkenalan pada kami. si Feyna mengatakan kalau sudah besar mau jadi guru dan penulis, sedangkan Siti Atikah mengatakan kalau sudah besar pingin jadi dokter dan penulis.
14042551141937587439
dok.pribadi. mereka dalam obrolan untuk menjadi dokter.. hmm
“Nah, kalau kamu mau jadi dokter, tanya jurusnya tuh sama Ka Nora…” tuturku.
“Sini-sini aku bisikin caranya…” ujar Ka Nora, akhirnya mereka masuk kedalam obrolan tentang cara menjadi dokter. Gak salah-salah si Tika juga tanya tentang foto di ruang operasi. Semangat yang menggebu dan kereeen untuk si Tika :D
Kemudian kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan, ah semoga bisa ketemu sama bocah-bocah ini lagi, ohya kami sempat bertukar email :D
140425527997853805
dok.pribadi. bersama dua bocah cerdaas
Di akhir acara, tulisan yang telah dibuat para peserta dikoreksi oleh Teh Pipiet Senja sendiri. Teh Pipiet pun mengumumkan peserta yang berhak mendapat hadiah buku dari Teh Pipiet. Mereka adalah…. Adik Siti Atikah dan Ka Nora Ramkita, yeey! 

Siti atikah dengan kisahnya yang berjudul indahnya berbagi, dan cerita kak Nora tentang kisah Ruang Melatinya. Ah kka Nora yang ngakunya ga bisa buat fiksi, malah juara kaaan. Keren!
1404255220143650111
dok.pribadi. pemberian hadiah buku dari penulisnya langsung. selamat selamaat! :D

Puasa hari pertama, diisi dengan kegiatan bermakna. Menambah ilmu, menambah persaudaraan serta bermanfaat. Dari sini aku belajar bagaimana menjadi penulis yang baik, bagaimana mengkondisikan diri untuk konsisten. Menemukan Golden Time dalam menulis. Teh Pipiet mengajak kami bersyukur lebih dalam terhadap kesehatan. 

Di mana beliau yang memiliki berbagai sakit dari Allah, terutama sakit Thallasemia yang di alami sejak usia remaja, namun beliau tetap aktif, tetap dapat melakukan aktifitas secara baik, secara tersirat kami diajak lebih memaknai kehidupan dan bersyukur dengan berbagai nikmat yang diberikan oleh Allah. Semoga Teh Pipiet Senja tetap sehat, dipanjangkan usianya, dilancarkan aktivitasnya, agar dapat memberi manfaat untuk sebanyak-banyaknya umat. Aamiin.
14042551611407311357
screen capture power point by: Pipiet Senja
1404255368128324742
dok.pribadi. foto bersamaaaa

Proses Panjang Novel Jejak Cinta Sevilla: Semoga Tak Sia-Sia

$
0
0



Novel Jejak Cinta Sevilla: Garsini Merupakan Gabungan Tiga Karakter
Penghujung Desember, 1997, seorang produser mendatangiku ke rumah kami yang mewah alias mepet sawah dan mepet kuburan, kampung Cikumpa. Dia meminta naskah cerbungku yang dimuat di majalah Mangle, majalah bahasa Sunda untuk disinetronkan. Jadi, aku harus menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan dalam bentuk naskah skenario sinetron; enam episode.

Dengan mesin ketik jadul yang dinamai si Denok, aku pun taktiktok, hingga belepotan peluh dan jari-jemariku sakit-sakit, ngilu. Mesin ketik ini sungguh sudah tidak layak lagi digunakan. Karena huruf-hurufnya sungguh telah sangat pabaliut. Bayangkan saja huruf b bulatannya sudah tak tampak, huruf q dan j juga tinggal titik dan bulatan separo.

Halaaah, pokoknya bikin mata sakit dan menyedihkan buangeeet!

Apa boleh buat, karena butuh, ya, daku paksakan jugalah. Sepanjang siang dan malam itu, jika sudah lepas dari urusan dapur, aku akan mengetik, menulis, menulis dan menulis. Bunyinya sering kali membuat bapak si Butet ngomel-ngomel yang sama sekali taklah membuatku berhenti menulis.

Apalagi karena sang produser itu begitu percaya, langsung menyerahkan honorariumnya; 3 juta rupiah. Bayangkan, untuk saat itu uang sebegitu jumlahnya, terutama bagi diriku, sungguh sangat banyak!

Bukan masalah bagiku untuk belajar menulis skenario. Kubeli bukunya Arswendo Atmowiloto tentang panduan menulis skenario. Aku juga menemukan contoh naskah skenario jadul karya Motinggo Boesye; Malam Jahanam. Belakangan setelah mengenal Rumah Dunia, jujur saja, diam-diam, aku belajar banyak dari skenario karya Gola Gong.

Ceritanya selesai sudah keenam naskah skenario pesanan yang diangkat dari cerbung dengan judul baru; Sebening Hati. Jika ditelisik jumlah halamannya per naskah 90 halaman, kalikan enam saja sama dengan; 540 halaman!

Tunggu punya tunggu sampai Mei 1998, reformasi terjadi, kegoncangan ekonomi terjadi. Termasuk dunia perfilman, persinetronan apalagi penerbitan. Sang produser raib tanpa jejak, entah pergi ke mana.

Setiap kali mataku menclok di tumpukan naskah Sebening Hati, ada yang meruyak jauh di dada ini. Rasanya mubazir, sia-sia, jika dibiarkan begitu saja, pikirku. Beberapa saat lamanya terpaksa kubiarkan mengonggok di sudut kamar. Aku beralih ke buku anak-anak saja. Beberapa buku anak karyaku dibeli oleh Inpres. Setidaknya dari situlah aku bisa menghidupi kebutuhan anak-anak dan dana berobatku.

Namun, semangat juang ‘45 yang diwariskan ayahku senantiasa membalun jiwa dan ragaku. Dari honorarium 3 juta itu, aku bisa membeli seperangkat komputer jadul yang sering membuat listrik kami braypet-braypet.

Dengan kesabaran yang tiada mengenal batas (cieeeh!) akhirnya aku berhasil mengetik, tepatnya merangkum naskah skenario tersebut menjadi dua naskah novel. Judulnya kuubah menjadi Riak Hati Garsini dan Kapas-Kapas di Langit.

Riak Hati Garsini kuserahkan kepada Halfino Berry (Asy-Syamil) ketika jumpa pertama kali di lesehan Forum Lingkar Pena di Gedung Muhammadiyah, jalan Menteng. Dia menyetujui untuk menerbitkannya, setahun kemudian.

Malangnya, nasib Kapas-Kapas di Langit, ternyata harus mengalami beberapa kali penolakan. Awalnya kuserahkan melalui Korrie Layun Rampan, ketika itu editor majalah Sarinah. Dia sudah menyetujui bahwa naskahku itu akan dimuat secara bersambung. Bahkan sebagian DP (uangmuka) sudah kuterima sejumlah 150 ribu rupiah. Eh, tahu-tahu itu majaah yang sempat menjadi sengketa antara dua kubu, dibangkrutkan!
Dan, tralalala, naskahnya hilang!

Okelah, kalau begitu, kembali aku mengetik ulang, kali ini sudah dengan komputer yang rada benar, sudah pentium satu. Sempat raib dari hardisk gara-gara virus, demikian pula dari disketnya. Mujurlah, Sarah Handayani, waktu itu Ketua FLP Depok, masih menyimpan disketnya, meskipun hanya sampai halaman 94 dari 156.

Kembali dengan tekun dan teliti (kunti ‘kali yee!) aku mengetik segala hal dari sisa memori otakku tentang novel Kapas-Kapas di Langit, sebagai episode kedua, lanjutan Riak Hati Garsini.

Begitu telah selesai, kutawarkan kepada Ali Muakhir (DAR! Mizan), entah dengan pertimbangan, mungkin sebab sudah ada beberapa naskahku yang siap cetak, pokoknya Kapas-Kapasdi Langit ditolak!

“Maaf, ya Mbak, novel ini terpaksa kami tidak bisa menerbitkannya.”
“Boleh tahu, apa alasannya?” tanyaku ingin tahu.
“Saya tidak menangkap tema globalnya, ya Mbak Pipiet,” demikian kilah Ali Muakhir yang hingga detik inipun, sumpeee deeeh, daku sama sekali tidak paham!

Naskah itu akhirnya lama tersimpan di komputerku. Sampai sekitar bulan Juni 2002, Asma Nadia memberiku nomer seseorang yang kabarnya sedang membutuhkan naskah untuk diterbitkan. Jadi, aku menbghubungi nomer tersebut. Dia malah memberiku nomer lain yang ternyata kantornya Remon Agus, bos penerbit Zikrul Hakim.

Ketika kami jumpa di kantornya di jalan Pramuka, Remon Agus, minta waktu untuk mempelajarinya. Belum sampai rumah, tiba-tiab dia sudah menghubungiku dan menyatakan suka sekali dengan naskah Kapas-Kapas di Langit.

“Mau dijual berapa?” tanyanya ketika kami jumpa kembali keesokan harinya.
“Maksudnya, jual putus, ya?”
“Terus terang, ini pertama kalinya saya akan menerbitkan buku fiksi. Selama ini baru buku Yassin dan beberapa buku Yusuf Mansur.”
“Bagaimana kalau 5 juta saja, ya Pak Remon?”
“Ini kan penerbit baru, Teteh, boleh kurang dong?”

Aku bergeming di angka tersebut. Akhirnya dicapai kesepakatan, 4 juta dibayar lunas saat itu, sisanya setelah bukunya terbit. Ternyata, Kapas-Kapas di Langit angsung diserap oleh pasar.

Alhamdulillah, bahkan setahun kemudian, meraih Islamic Book Fair Award, 2006 sebagai novel terlaris. Menjejeri Fahri Asiza yang meraih IBF Award sebagai Penulis Favorit.
Ternyata kemudian aku mendapat “teror” dari para pembacaku, mendesak agar novelnya dilanjutkan. 

Adakalanya aku tersenyum geli, bahkan tak jarang kebingungan sendiri, jika ada yang bertanya: “Teteh Pipiet, apa kabarnya Garsini? Bagamana tuh nasib dokter Haekal?” dan banyak pertanyaan seputar tokoh rekaanku itu.
Seakan-akan Garsini itu memang hidup dan eksis dalam kenyataan, duhai!

“Iya Teteh, lanjutkanlah novel Kapas-Kapas di Langit. Bikin penasaran saja,” ujar bos Zikrul Hakim, Remon Agus.

Aku baru bisa memenuhinya 2009, kugabungkan dua novel itu kemudian kutambah satu episode yang kuberi judul; Jejak Cinta Sevilla. Baru keluar dari percetakan setahun kemudian, 2010. Bayangkan, betapa panjangnya proses kreatif novel paling tebal yang pernah kutulis ini. Jika dihitung sejak 1997 hingga 2010, totalnya; 13 tahun!

Beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa S2 Universitas Jakarta, Supiyatna, menemuiku dan mengabarkan bahwa dia mengambil Kapas-Kapas di Langit sebagai penelitian untuk thesisnya.

Tentu saja aku merasa sangar terharu sekaligus surprise. Ternyata proses kreatif yang begitu panjang ada juga hikmahnya. Selain menambah deretan penggemar, akhirnya ada juga karyaku yang diangkat ke dunia akademisi.

Supiyatna bertanya banyak hal seputar karakter tokoh rekaanku, Garsini Siregar.
Sesungguhnya aku ingin mengambil karakter Helvy Tiana Rosa, Rahmadiyanti dan seorang penulis pemula yang tak ingin disebut namanya. Kami sering chatting sehubungan kebutuhanku urusan penglataran Jepang, dan suasana kampus serta dunia mahasiswa di negeri Sakura.

Garsini merupakan tokoh impianku sejak kecil. Aku ingin menuangkan harapan, cita-cita dan mimpi-mimpiku dalam bentuk tokoh utama rekaanku. Bahwa Garsini meskipun terlahir dari keluarga yang tidak harmonis, ternyata ia mampu membuktikan kepada dunia; Bisa Berprestasi!

Garsini, bagiku bukan sekadar tokoh imajinatif. Ketika aku menuliskannya, memolesnya dan mewujudkannya, serta melakoni peristiwa demi peristiwa, konflik demi konflik, jujur saja hatiku ikut merasai. Seakan-akan diriku, jiwaku dan ragaku merasuk dalamn tokoh Garsini.
Duhai, duhai, Garsini….

Seperti kata HTR suatu kali, kira-kira begini, dalam endorse Riak Hati Garsini: “Ketika Garsini berhasil menyelesaikan konfliknya, sesungguhnya Pipiet Senja yang pasien thallasemia masih panjang lakonnya….”
Betul, betul, betul!

Aku masih harus berjuang dalam mempertahankan sepotong nyawa ini. Tetapi, apa bedanya, siapapun memang melakoninya demikian. Bukankah?

Pada Pebruari 2015, saya mendapat kabar dari salah satu juri Festival Film Bandung 2015 bahwa film pendek yang diangkat dari novelet bahasa Sunda, Garsini telah berhasil meraih Juara Pertama. Novelet Garsini inilah yang mengawali episode pertama dari tiga episode dalam novel tebal Jejak Cinta Sevilla. 

Alhamdulillah, terima kasih Dym, Akhi Dirman dari Bima yang telah sukses membesutnya menjadi sebuah film pendek yang inspiratif.

Saat ini novel Jejak Cinta Sevilla sedang berada di tangan Aditya Gumay, dalam proses dicarikan produser untuk diangkat ke layar lebar. Penglataran tujuh negara yang diambil untuk novel ini semoga tidaklah menjadi kendala urusan dananya. Indonesia, Singapura, Malaysia, Jepang, Prancis, Tazmania dan Mekkah. (Pipiet Senja, revisi Pebruari 2015)

Catatan; Pipiet Senja, menulis sejak remaja, kelahiran Sumedang, 1956, telah melahirkan ribuan cerpen, ratusan novel, tetapi yang diterbitkan baru 165 buku. Bermukim di di bumi Allah alias nomaden, karena tidak memiliki rumah sejak bercerai.



Pesantren Idaman:Inilah Gerakan Santri Menulis

$
0
0

Karya Santri Darul Ulum Banyuanyar Madura

Antologi karya santri putri Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan-Madura, sebagai persembahan dari program Kelas Menulis bersama Pipiet Senja. Terdiri dari puisi-puisi ringkas, kisah inspirasi, cerita fiksi, resensi dan artikel. Disunting oleh Sang Mentor yang suka disebut Manini oleh para cucu Kyai, dengan bahasa komunikatif, bernas dan lugas. Sungguh layak dicermati dan dimiliki, kemudian diambil hikmah dan diikat maknanya. Selamat menikmati: Pesantren Idaman!



Kelas Menulis Pontren Putri
Telah beberapa kali singgah dan memberi pelatihan menulis di pondok pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan-Madura, kali ini diminta buka kelas menulis agak lama. Targetnya mencetak para penulis Islami langsung dari basisnya. Dengan senang hati saya menerima undangan Hj. Salma, pimpinan pondok pesantren putri Darul Ulum. Terhitung sejak 20 September-27 September 2014, kelas menulis bersama saya berlangsung.

Mengambil tempat di ruang perpustakaan, jadwalnya diambil tiga kali pertemuan pada awalnya; pagi bada subuh, sore bada ashar dan malam bada isya. Namun, melihat anak-anak banyak yang kelelahan dan mengantuk, boring, terutama saat bada isya akhirnya ditiadakan. Digeser dan waktunya ditambahkan satu jam ke kelas sore hari.

Materi yang saya berikan sudah disiapkan, spesial modul menulis yang pernah saya dan tim lakukan di beberapa tempat. Mulai dari motivasi mereka menjadi seorang penulis, mengatur waktu, menangkap ide dan mengeksplorasinya menjadi sebuah tulisan memikat, hingga berurusan dengan media, mencermati surat perjanjian, aktif menjual karya yang telah diterbitkan sebagai buku.

Absensi Bergeming
Hari pertama di ruang perpustakaan, tanpa bangku dan kursi alias santri duduk lesehan sementara saya di depan dengan bangku dan laptop serta perangkat LCD. Peserta  tercatat 52 santriwati setingkat Aliyah. Dua orang panitia, Mbak Uul dan Mbak Iil, demikian saya diperbolehkan memanggil nama kedua akhwat ini, siap dan cekatan sekali membantu jika diperlukan. Ditambah Mbak Ifa, putri KH. Muhammad Syamsul Arifin, pimpinan pesantren.

“Nanti juga akan terseleksi sendiri. Mana saja yang bisa bertahan dan siapa saja yang akan mundur. Tidak tahan dengan gaya saya, mungkin,” kataku berseloroh.
“Insha Allah, semoga tetap istiqomah, Teteh,” ujar Mbak Uul, terdengar penuh harap.

Hari kedua yang hadir berkurang 10, hari ketiga pun berkurang belasan, bahkan hari ketiga hatiku langcung menciut. Tinggal dua baris saja.
Artinya tidak lebih dari belasan peserta!

“Nah, lihat kan, Mbak Uul, Mbak Iil, apa kata Teteh waktu itu?” ujarku menahan perasaan tidak enak dalam hati.
“Tenang saja, Teteh. Hari ini kebetulan ada ulangan, mungkin anak-anak ingin fokus. Nanti sore mudah-mudahan mereka sudah bisa atur waktu,” kata Mbak Iil menenangkan.

Syukurlah, ternyata pernyataan Mbak Iil ini ada benarnya. Kelas menulis bersama saya sampai sesi terakhir, tetap dihadiri oleh peserta yang tak bergeser jauh dari hari pertama.

Serunya Lintas Alam Malam
Untuk menyemangati dan mengarahkan para santri putri dalam hal menemukan ide, menggalinya langsung dari orang atau lingkungan mereka, saya ajak mereka lintas alam. Waktunya diambil malam Jumat, karena esok hari mereka libur.

“Asyiiiik! Aku di depan, di depan, aaah!” seru Sarah, cucu Kyai, semangat sekali.
“Aku juga mau di depan,” kata Khadijah, sepupunya, tak mau kalah semangat.
“Aku di mana, Manini Teteh?” cetus Amatullah, putri Neng Salma.

Tiga cucu Kyai ini memang paling semangat dan kompak sekali. Biasanya mereka lebih dahulu menyerahkan tugas berupa tulisan; puisi, resensi, cerpen.

Malam Jumat itu terasa semarak, barisan kader penulis, para calon mujahid pena pontren putri berderap. Barisan bergerak menyusuri jalanan di seputra pondok pesantren. Tiba di lapangan terbuka di bawah cahaya lampu, saya meminta mereka berhenti.

“Silakan, anak-anak cantik dan solehah, tuliskan apa saja yang kalian lihat sepanjang jalan tadi,” pinta saya yang segera disambut mereka dengan semangat.
Baru beberapa menit mereka menulis tiba-tiba; preeeet!

“Yaaaa, mati lampunya!” seru para santri.
“Tidak apa, ayo kita geser ke sebelah sana,” ajak Mbak Iil dan Mbak Uul  segera memompakan semangat. Dalam sekejap barisan calon mujahid pena pun bergerak ke depan gedung Tsanawiyah.

Hening beberapa saat lamanya, semua konsentrasi menulis di buku harian masing-masing. Saya wajibkan mereka membawa catatan setiap kali mengikuti kelas menulis. Hingga saat ini pun penulis sepuh begini masih juga selalu membawa catatan harian. Penting untuk seorang penulis untuk segera menuangkan ide yang berseliweran di sekitar kita.

Keakraban Mengharu Biru
Hari demi hari berlalu, kelas menulis pun terus berlangsung. Terasa keakraban di antara peserta dengan saya kian mengental. Pernah satu sesi lintas alam kedua, lima peserta tidak bisa ikut karena bentrok dengan kegiatan lain.

Salah seorang santri putri sedih sekali, seraya menggelendot manja di lengan berbisik kepadaku:”Tapi hatiku tetap bersama Bunda,” lirihnya mengharukan hati.

“Halaaaah, lebaaaay!” teman-teman meledeknya, ia tersenyum manis.
Dari hari ke hari tugas-tugas rutin mulai terkumpul, bersama Mbak Uul dan Mbak Iil, kami menyeleksi naskah-naskah yang mburudul. Ada tugas akhir yang sejak hari pertama diwartakan, yakni; menulis kisah inspirasi seputar sukaduka selama tinggal di pontren putri 
Darul Ulum Banyuanyar.

Satu demi satu tugas akhir pun disetorkan, langsung saya cermati sebelum tidur. Semakin rapi, tertata apik dengan bahasa yang bagus, ada karakter, penglataran dan dialog-dialog nyambung.

“Bagaimana, Teteh, sudah terjaring siapa saja yang berpotensi menjadi penulis?” tanya Hj. Salma pada hari kelima. Artinya telah lebih dari 10 pertemuan kelas menulis berlangsung.
Putri sulung Kyai inilah yang punya gagasan kelas menulis, mencetak kader-kader penulis yang selanjutnya akan menjadi ujung tombak, menyebarkan virus menulis di kalangan santriwati.

Dari diskusi rutin kami ada banyak gagasan yang diharapkan bisa terwujud satu demi satu. Mencetak SDM dari kalangan santriwati, memberdayakan mereka yang memiliki potensi masing-masing.

Saya mencoba untuk membantu dan akan terus memantau hasil kelas menulis, minimal mempertahankan dan menguatkan para santri yang ingin menjadi seorang penulis profesional. Terutama santri yang bercita-cita menjadi seorang mujahid pena, melahirkan karya-karya Islami yang mencerahkan. 

“Konsultasi menulis Online, mari, tetap berlangsung,” himbau saya yang segera disambut hangat oleh Hj. Salma.

Diberi Judul Pesantren Idaman
Setelah kembali dari Banyuanyar, baru beberapa hari saja sudah terasa kerinduan menggelitik hati ini. Ingin merasakan senantiasa nuansa pondok pesantren putri. Sensasi, ghirah menuntut ilmu yang menguar dari pelosok pondok, sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Maka, segeralah saya menyunting kumpulan naskah yang dikirimkan oleh Mbak Uul dan Mbak Iil. Dengan menambah nuansa dan pelataran serta dialog segar, tanpa mengurangi esensi naskah aslinya, saya menyelesaikan naskah ini.

Pesantren Idaman, akhirnya saya mengajukan judul yang diambil dari salah satu tulisan karya Mila El-Mans, sebelum dipertimbangkan oleh Hj.Salma yang selalu terhubung dengan saya melalui telepon jarak jauh.

Boleh jadi buku ini masih belum bisa disebut sempurna, tetapi bila mengingat bahwa Yang Sempurna hanya milih Allah Swt. semata. Kiranya buku ini patut diapresiasi, baik oleh warga Darul Ulum pada khususnya, maupun masyarakat literasi dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tahniah, Pesantren Idaman!

Daftar Isi;
i.  Sekapur Sirih: Baca dan Menulislah! – Hj. Salma Syamsul Arifin
ii.  Prolog: Pesantren Idaman -  Pipiet Senja
1. Berkas Cahaya – Amatullah Zaini
2. Celoteh Penulis Cilik – Sarah Hasbunalla
3. Assalamu’alaikum Manini – Khadijah Hannan
4. Catatan Mini Anak Kecil – Sumayyah Zaini
5. Pesantren Idaman – Mila El-Mans
6. Makna Kehidupan – Zhopie
7. Cinta Bersemi di Tanah Suci – Someone
8. Engkau Harapan – Insan Addaif
9. Satu Kisah Menanti – As Syarief bintu Sholeh
10. Allah Maha Pengasih – Amatullah Zaini
11. Siapa Bilang Aku Idiot – Ray Star
12. Menoreh Asa – Ayrha Pasir
13. How To Ustad Your Habits: Felix Y. Siauw – Kaifa Shams
14. Lintas Malam Jumat – Sobah Hasbullah
15. Benteng Suci Darul Ulum –  Olivia Syahrozy
16. Pencarian – Chemry
17. Hening Itu Indah – Imroatul Mufida
18. Inilah Ceritaku – Ruqoyyah
19. Karena Cahaya Ilahi – Kaifa Shams
20. Cinta Anak Rohis – Kaifa Shams
21. Menanti Restu – Kaifa Shams
22. Suara Hati Santri - Maiyah Arrosyid & Kartini
23. Pemuda Tonggak Kebangkitan – Kaifa Shams
24. Perlu Beristighfar – Kaifa Shams
25. Sebuah Eksistensi Dinanti – Kaifa Shams
iv. Biodata Para Penulis
v. Album Kelas Menulis

  
Viewing all 195 articles
Browse latest View live