↧
Serial Balita Pipiet Senja
↧
Peraih Bilik Sastra VOI RRI Award 2014
Peraih Bilik Sastra VOI RRI Award 2014
Jakarta, 29 September 2014
Bermula Dari Apresiasi Sastra Migran
Bilik Sastra adalah sebuah program VOI RRI yang mengedepankan sastra migran, membincang karya berupa cerpen, kisah inspirasi dari WNI yang bermukim di luar negeri. Digagas oleh Kabul Budiono dan Pipiet Senja di penghujung tahun 2010, diluncurkan secara resmi untuk pertama kalinya siaran langsung di gedung Pusat Dokumentasi HB Jassin Taman Ismail Marzuki, Januari 2011.
Mengudara tiap hari Minggu pukul 13.05 – 14.00, disiarkan langsung dari studio RRI Siaran Luar Negeri Voice of Indonesia jalan Merdeka Barat, Jakarta. Karya-karya yang masuk berupa cerpen dan kisah inspirasi, dibacakan penyiar kemudian dibincang atau dikritisi oleh Pipiet Senja. Tidak lupa penulisnya akan dihubungi dan diwawancarai seputar kreativitas kepenulisannya.
Pada tahun pertama, 2011, karya-karya yang masuk didominasi oleh Taiwan, Jenny Ervina dkk. Menyusul karya-karya dari Hongkong, Macau, Singapura dan Malaysia. Beranjak ke tahun-tahun selanjutnya, karya-karya dari para penulis yang bermukim di mancanegara ini semakin banyak, menyerbu meja Bilik Sastra.
Hingga saat ini tercatat antara lain dari negara-negara; Hongkong, Taiwan, Macau, Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, USA, Kanada, Arab Saudi, Yaman, Mesir dan Turkey.
Anugerah Bilik Sastra VOI Award
Kemudian timbul usulan untuk membukukan karya-karya terbaik dan memberikan penghargaan untuk para penulis. Tidak mengira setelah diselenggarakan malam Anugerah Bilik Sastra Award, sejak 2011, semakin banyak karya berlahiran dari kalangan WNI yang sedang bermukim di luar negeri.
Cerpenis Terbaik Versi Bilik Sastra
Dewan Juri untuk memilih karya terbaik pun dibentuk, dari tahun ke tahun tidak sama jurinya. Namun, kriteria tetap tidak berubah, sehingga memunculkan karya-karya yang memang terbaik di antara ratusan cerpen yang masuk setiap tahun.
Tahun pertama Bilik Sastra Award terpilih dua penulis, yakni; Nadia Cahyani dari Hongkong dan Nessa Kartika dari Singapura. Tahun kedua; Julie Nava daru USA dan Indira Margareta dati Hongkong. Tahun ketiga ; Arul Chairullah dari Yaman dan Rahayu Wulansari dari Taiwan.
Dwitra Zaky, USA
Bilik Sastra VOI RRI Award 2014
Tiba saatnya pemenang untuk tahun ini, Dewan Juri yang terdiri dari; Pipiet Senja, Irwan Kelana dari Republika dan Syarif dari UNJ. Maka, menimbang dan memutuskan, dari 44 karya yang telah dibacakan dan dibincang, terpilihlah lima nominasi, yakni;
1. Puteri Rahayu Rezeki (Mahasiswa Al Azhar-Kairo, Mesir)
Cerpen berjudul; Menjemput Cahaya
2. Dwitra Zaky (Penggiat seni, USA)
Cerpen berjudul; Belajar dari Ambika Shangmu
3. Kuan Ami (BMI Taiwan)
Cerpen berjudul; Riany
4. Sarah Hafidz (BMI Taiwan)
Cerpen berjudul; Malaikat Kecil di Gerbang Firdaus
5. Andi Fikri Al-Fatih (Mahasiswa Turkey)
Cerpen berjudul; Nyanyian Dari Dua Benua
Bagi pemenang pertama dan kedua, yakni Puteri Rezeki Rahayu, Mesir dan Dwitra Zaky, USA, akan diundang ke Jakarta untuk menerima Anugerah Bilik Sastra VOI RRI Award 2014. Tiket pp dari domisili masing-masing ditanggung oleh pihak VOI RRI.
1. Puteri Rahayu Rezeki (Mahasiswa Al Azhar-Kairo, Mesir)
Cerpen berjudul; Menjemput Cahaya
2. Dwitra Zaky (Penggiat seni, USA)
Cerpen berjudul; Belajar dari Ambika Shangmu
3. Kuan Ami (BMI Taiwan)
Cerpen berjudul; Riany
4. Sarah Hafidz (BMI Taiwan)
Cerpen berjudul; Malaikat Kecil di Gerbang Firdaus
5. Andi Fikri Al-Fatih (Mahasiswa Turkey)
Cerpen berjudul; Nyanyian Dari Dua Benua
Bagi pemenang pertama dan kedua, yakni Puteri Rezeki Rahayu, Mesir dan Dwitra Zaky, USA, akan diundang ke Jakarta untuk menerima Anugerah Bilik Sastra VOI RRI Award 2014. Tiket pp dari domisili masing-masing ditanggung oleh pihak VOI RRI.
Selamat untuk para pemenang.
Perlu diberitahukan bahwa ini bukan lomba, melainkan sebagai apresiasi atas kesungguhan, ketelatenan dan kecintaan para penggiat sastra migran. Mereka, warganegara Indonesia yang bermukim di luar negeri, tetapi tetap mencintai dan peduli dengan kesenian, kebudayaan khususnya bidang sastra literasi. Mereka yang telah setia, mengikuti program Bilik Sastra VOI RRI setiap hari Minggu melalui siaran langsung yang bisa diikuti via streaming http://voi.co.id (Pipiet Senja, penggiat sastra migran, novelis Indonesia)
↧
↧
Popong Djundjunan: Potret Ketangguhan, Kemandirian dan Kesantunan Perempuan Sunda
Foto:detik.com
Mengiraku Masih Anak-Anak
Beberapa pekan lalu jumpa dengan Ceu Popong, demikian kami memanggilnya, pada pertemuan Patrem; paguyuban sastrawati Sunda yang diselenggarakan di Garut. Sebagai orang Sunda, tentu saja saya sudah mengenal namanya sejak lama. Bahkan sejak kecil, nama Ceu Popong ini tidak asing lagi, sebab sering diceritakan oleh mendiang Emak.
“Popong itu putrinya Pak Samya, Kepsek SMP dua Regol. Waktu Emak di SKP, regu volina Popong suka datang dan tandang di sekolah. Hebat, menang terus,” tutur Emak jika mengenang masa-masa sekolahnya.
Beberapa kali pula pernah jumpa Ceu Popong, sama di acara kesenian dan kebudayaan di Bandung. Hanya kami tak pernah ada kesempatan untuk berbincang, sekadar bersalaman, diperkenalkan oleh panitia.
Pada panglawungan kumpul ngariung dengan Patrem inilah, akhirnya saya punya kesempatan untuk mengenal lebih dekat. Ceu Popong turun dari kendaraan bersama para senior sastrawati Sunda, siang itu di pekarangan rumah cinta Mien Ardiwinata Kusdiman, Garut.
Saya menghampiri dan menyalaminya sambil nikukur, istilah Sunda untuk memperkenalkan diri.”Punten, Ibu, abdi Pipiet Senja.” Agak kurang enak jika menyebutnya Ceuceu, mengingat usianya seangkatan emak saya.
Sontak, dia menyambut dan memeluk saya, kemudian menepuk-nepuk bahu saya sambil berkomentar dengan logatnya yang khas nyunda pisan:”Oh, ieu nya Pipiet Senja teh. Ari panyana budak keneh….” Begitu akrab, hangat sambil terus berceloteh dengan riangnya, gepyak pisan. Sungguh, itulah sambutan terhangat, terakrab sekaligus menggelitik hati yang pernah saya terima dari tokoh gegeden, sosok elit politik kita.
Semua yang hadir adalah para sastrawati senior, hanya beberapa yang masih muda. Kulihat semua tertawa mendengar komentarnya tentang nama pena saya yang diulang-ulang; sugan tea budak keneh nya Pipiet Senja teh, ari sihoreng simanahoreng…. Kirain masih anak kecil ya Pipiet Senja itu, eh, ternyata-ternyata….
“Tos tilu pun incu mah, Ceu Popong,” akhirnya saya menyamakan panggilan akrab yang sudah populer di kalangan budayawan ini.
Pada panglawungan itulah saya perhatikan dengan takjub, bagaimana gerak-geriknya, gaya bicaranya yang khas Sunda sejati. Celetukan-celetukannya yang humoris, riang, membuat suasana semarak, akrab dan genah nian. Ceu Popong ditanggap untuk memberi sambutan tentang organisasi sastrawati Patrem.
Maka meluncurlah perjuangan, sukaduka bahkan anekdot tentang sastrawati Patrem zaman baheula dan wacananya ke depan.
Sekilas ia pun berbagi pengetahuannya, pengalamannya sebagai anggota Dewan kepada kami. Bagaimana ia bersama rekan seperjuangan menggodok berbagai UU, antara lain UU Pilkada yang menghebohkan itu.
Memenuhi Undangan Ceu Popong
Sepulang dari Garut, pikiran saya terus dipenuhi dengan sosok sepuh keibuan yang humoris ini. Kiprahnya, perjuangannya sebagai budayawan dan anggota Dewan patut direkam dalam wujud buku. Mulailah rajin menghubunginya melalui pesan singkat, SMS. Ternyata disambut positif, sampai beberapa hari kemudian saya diundang ke ruang kerjanya di Gedung Nusantara 2, Senayan.
Siang itu, Ceu Popong mengenakan kain kebaya pulas oranye, bersanggul dan selop.. Memang itulah agaknya busana yang dikenakan sehari-hari, khas busana angkatan ibu kita. Ditemui di ruang kerjanya, ia baru saja usai menghadiri sidang paripurna. Ini hari-hari terakhir masa jabatannya periode 2009-2014.
“Nanti kalau sudah pelantikan, harus pindah dari sini. Semua berkas yang menumpuk ini harus diangkut,” jelasnya menunjuk tumpukan berkas kerja di sudut ruangan. “Sepertinya kita memilih tetap di sini sajalah. Tidak harus mengeluarkan enerji, dana, dan lain sebagainya. Cape ongkoh,” lanjutnya pula sambil tegur sapa dengan dua orang stafnya, diseling menandatangani berkas yang disodorkan di meja kerjanya.
Makan Siang Sederhana
Ceu Popong mengajak saya ke kantin untuk makan siang. Ia terbiasa puasa Daud, hari ini sedang kurang enak badan jadi tidak shaum. Saya agak heran, mengapa ia harus membawa serta dompet mungilnya, dalam asumsiku untuk anggota Dewan jika ingin makan sudah tersedia begitu saja.
Ternyata Ceu Popong harus pergi ke kantin di lantai bawah, makan bersama tamu dengan menu sederhana. Ia memilih sop, tumisan aneka sayur dan lalap sambal tomat. Minumannya selain air putih, pesan es cincau mutiara, sempat ditawarkan kepadaku, tetapi saya menolak mengingat kadar gula agak tinggi.
“Ceu Popong mah da alhamdulillah teu geringan iwal ti salesma. Tah, mun ceuk jelema mah, nya, ayeuna keur flu ieu teh,”celotehnya dalam nada riang gembira, mengingatkanku kepada Emak yang telah tiada. Meskipun Emak sedang sakit, biasanya tetap saja ingin tampak sehat wal afiat, nyaris tak pernah mengeluh.
Melihat penampilannya, wajahnya yang segar awet muda, Ceu Popong memang tersirat sehat wal afiat. Dalam usia 76, aktivitasnya luar biasa padat, selain sebagai anggota Dewan, ia pun memegang jabatan sebagai ketua, penasehat, pembina dari berbagai organisasi sosial, pendidikan, kesehatan, kesenian, dan entah apa lagi.
Kisah-Kasih Istri Prajurit
Sambil makan, Ceu Popong berkenan menjawab pertanyaanku seputar kebersamaan dengan suaminya, Otje Djundjunan. Mendiang ayah saya sering cerita tentang komandannya, Otje Djundjunan, sesama prajurit Batalyon 11 April Siliwangi, Jawa Barat.
Pernah menjabat Walikota Bandung, Otje Djundjunan yang telah berjuang bersama pasukan Siliwangi zaman Revolusi, meninggal karena serangan jantung usai menghadiri upacara ulang tahun 11 April pada tahun 1986.
“Ada kesepakatan dengan Bapak,” ujarnya mengenang masa-masa sebagai istri prajurit.”Kami gantian setahun sekali menjadi pimpinan dalam rumah tangga. Umpamanya, tahun ini Bapak yang mengurus berbagai hal kerumahtanggaan. Mulai dari bayar listrik, telepon, pajak mobil, urus SIM, gaji pembantu, bayar sekolah sampai ambil raport anak-anak. Tahun berikutnya bagian Ceu Popong.”
“Mengapa begitu, Ceu Popong?”
“Satu hari Papi bilang, kita tidak tahu umur itu kan milik Gusti Allah. Tetapi seandainya ajal itu datang, Papi lebih pilih yang pergi mendahuluimu. Karena dirimu perempuan tangguh, tidak cengeng. Nah, kalau dibiasakan mengurus semuanya itu, kelak akan menjadi biasa. Kan alah bisa karena biasa.”
Ketika suratan takdir memisahkan pasustri bahagia dan harmonis ini, Ceu Popong memang tidak lantas berkubang dalam dukacita perkabungan, apalagi mengalami kebingungan berlama-lama. Sebab sudah terbiasa mandiri dan mampu mengatur semua urusan rumah tangga.
“Rasanya Bapak masih ada saja. Ceu Popong melaksanakan semua tugas itu seakan-akan sedang giliran,” paparnya tersenyum ikhlas, keibuan.
Lima Periode Sebagai Anggota Dewan
Ceu Popong diamanahi oleh rakyat sebagai wakil dari fraksi Golkar, pildapil Jawa Barat. Era Orde Baru dua kali, rehat selama sepuluh tahun pasca reformasi, kemudian aktif kembali pada tahun 2009 hingga sekarang.
Pada Sidang Paripurna DPR beberapa hari yang lalu, sosok perempuan Sunda ini menjadi bintang. Sebagai anggota Dewan tertua, Ceu Popong diamanahi menjadi pimpinan sidang sementara. Gayanya yang tegas, berwibawa dengan logat Sunda yang khas, sontak menyedot perhatian; bukan saja semua anggota Dewan yang hadir melainkan juga berjuta mata pemirsa bangsa Indonesia yang mengikuti Sidang Paripurna yang ditayang melalui televisi.
Dinihari ini, tanpa mengharap balasan, mengingat ia sedang menjadi bintang dan sorotan berjuta rakyat Indonesia, saya SMS juga sbb:”Ceu Popong anu geulis tur solehat, damang?”
Ternyata selang kemudian mendapat balasannya, begini:”Aduh, Ceu Popong meuni GR disebat geulis tur solehat, hehe.”
"Reueus, Ceu Popong, kereen!"
"Ngawakilan urang Sumedang."
Subhanallah, ia memang sosok luar biasa. Di tengah kesibukannya yang super padat, masih berkenan meluangkan waktu membalas SMS dari seniman macam saya. Wilujeng, Ceu Popong, mangga diduakeun sing sehat salawasna, berjuang tak kenal lelah demi menunaikan amanah para pemilihmu. Bravo, Ceu Popong! (Jakarta, 3 Oktober 2014)
↧
Kelas Menulis: Pontren Darul Ulum Banyuanyar-Madura
Banyuanyar, September 2014
Kelas Menulis Pontren Putri
Telah beberapa kali singgah dan memberi pelatihan menulis di pondok pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan-Madura, kali ini diminta buka kelas menulis agak lama. Targetnya mencetak para penulis Islami langsung dari basisnya. Dengan senang hati saya menerima undangan Hj. Salma, pimpinan pondok pesantren putri Darul Ulum.
Terhitung sejak 20 September-27 September 2014, kelas menulis bersama saya berlangsung. Mengambil tempat di ruang perpustakaan, jadwalnya diambil tiga kali pertemuan pada awalnya; pagi bada subuh, sore bada ashar dan malam bada isya. Namun, melihat anak-anak banyak yang kelelahan dan mengantuk, boring, terutama saat bada isya akhirnya ditiadakan. Digeser dan waktunya ditambahkan satu jam ke kelas sore hari.
Materi yang saya berikan sudah disiapkan, spesial modul menulis yang pernah saya dan tim lakukan di beberapa tempat. Mulai dari motivasi mereka menjadi seorang penulis, mengatur waktu, menangkap ide dan mengeksplorasinya menjadi sebuah tulisan memikat, hingga berurusan dengan media, mencermati surat perjanjian, aktif menjual karya yang telah diterbitkan sebagai buku.
Absensi Turun Naik
Hari pertama di ruang perpustakaan, tanpa bangku dan kursi alias santri duduk lesehan sementara saya di depan dengan bangku dan laptop serta perangkat LCD. Peserta tercatat 52 santriwati setingkat Aliyah. Dua orang panitia, Mbak Uul dan Mbak Iil, demikian saya diperbolehkan memanggil nama kedua akhwat ini, siap dan cekatan sekali membantu jika diperlukan. Ditambah Mbak Ifa, putri Kyai Syamsul Arifin, pimpinan pesantren.
“Nanti juga akan terseleksi sendiri. Mana saja yang bisa bertahan dan siapa saja yang akan mundur. Tidak tahan dengan gaya saya, mungkin,” kataku berseloroh.
“Insha Allah, semoga tetap istiqomah, Teteh,” ujar Mbak Uul, terdengar penuh harap.
Hari kedua yang hadir berkurang 10, hari ketiga pun berkurang belasan, bahkan hari ketiga hatiku langcung menciut. Tinggal dua baris saja alias tidak lebih dari belasan peserta!
“Nah, lihat kan, Mbak Uul, Mbak Iil, apa kata Teteh waktu itu?” ujarku menahan perasaan tidak enak dalam hati.
“Tenang saja, Teteh. Hari ini kebetulan ada ulangan, mungkin anak-anak ingin fokus. Nanti sore mudah-mudahan mereka sudah bisa atur waktu,” kata Mbak Iil menenangkan.
Serunya Lintas Alam Malam
Untuk menyemangati dan mengarahkan para santri putri dalam hal menemukan ide, menggalinya langsung dari orang atau lingkungan mereka, saya ajak mereka lintas alam. Waktunya diambil malam Jumat, karena esok hari mereka libur.
“Asyiiiik! Aku di depan, di depan, aaah!” seru Sarah, cucu Kyai, semangat sekali.
“Aku juga mau di depan,” kata Khadijah, sepupunya, tak mau kalah semangat.
“Aku di mana, Manini Teteh?” cetus Amatullah, putri Neng Salma.
Tiga cucu Kyai ini memang paling semangat dan kompak sekali. Biasanya mereka lebih dahulu menyerahkan tugas berupa tulisan; puisi, resensi, cerpen.
Malam Jumat itu terasa semarak, barisan kader penulis, para calon mujahid pena pontren putri berderap. Barisan bergerak menyusuri jalanan di seputra pondok pesantren. Tiba di lapangan terbuka di bawah cahaya lampu, saya meminta mereka berhenti.
“Silakan, anak-anak cantik dan solehah, tuliskan apa saja yang kalian lihat sepanjang jalan tadi,” pinta saya yang segera disambut mereka dengan semangat.
Baru beberapa menit mereka menulis tiba-tiba; preeeet!
“Yaaaa, mati lampunya!” seru para santri.
“Tidak apa, ayo kita geser ke sebalah sana,” ajak Mbak Iil dan Mbak Uul segera memompakan semangat. Dalam sekejap barisan calon mujahid pena pun bergerak ke depan gedung Tsanawiyah.
Hening beberapa saat lamanya, semua konsentrasi menulis di buku harian masing-masing. Saya wajibkan mereka membawa catatan setiap kali mengikuti kelas menulis. Sebab hingga saat ini pun saya penulis sepuh begini masih juga selalu membawa catatan harian. Penting untuk seorang penulis untuk segera menuangkan ide yang berseliweran di sekitar kita.
Keakraban Mengharu Biru Hati
Hari demi hari berlalu, kelas menulis pun terus berlangsung. Terasa keakraban di antara peserta dengan saya kian mengental. Pernah satu sesi lintas alam kedua, lima peserta tidak bisa ikut karena bentrok dengan kegiatan lain. Salah seorang santri putri sedih sekali, seraya menggelendot manja di lengan berbisik kepadaku:”Tapi hatiku tetap bersama Bunda,” lirihnya mengharukan hati.
Dari hari ke hari tugas-tugas rutin mulai terkumpul, bersama Mbak Uul dan Mbak Iil, kami menyeleksi naskah-naskah yang mburudul. Ada tugas akhir yang sejak hari pertama diwartakan, yakni; menulis kisah inspirasi seputar sukaduka selama tinggal di pontren putri Darul Ulum Banyuanyar.
Satu demi satu tugas akhir pun disetorkan, langsung saya cermati sebelulum tidur. Semakin rapi, tertata apik dengan bahasa yang bagus, ada karakter, penglataran dan dialog-dialog nyambung.
“Bagaimana, Teteh, sudah terjaring siapa saja yang berpotensi menjadi penulis?” tanya Hj. Salma, hari kelima, artinya telah lebih dari 10 pertemuan kelas menulis berlangsung.
Putri sulung Kyai inilah yang punya gagasan kelas menulis, mencetak sejumlah kader penulis yang selanjutnya menjadi ujung tombak, menyebarkan virus menulis di kalangan santriwati.
Dari diskusi rutin kami ada banyak gagasan yang diharapkan bisa terwujud satu demi satu. Mencetak SDM dari kalangan santriwati, memberdayakan mereka yang memiliki potensi masing-masing. Saya mencoba untuk membantu dan akan terus memantau hasil kelas menulis, minimal mempertahankan dan menguatkan para santri yang ingin menjadi seorang penulis profesional. Terutama santri yang bercita-cita menjadi seorang mujahid pena, melahirkan karya-karya Islami yang mencerahkan. (Pipiet Senja, Madura, September 2014)
↧
Turing Menulis Keliling Turkey Bersama Pipiet Senja dan Jonru
Bangunan ini bukanlah istana kerajaan. Bukan pula rumah tempat tinggal. Bangunan yg megah ini dulunya adalah sebuah perpustakaan. Celsus, demikian perpustakaan ini diberi nama di zaman Yunani Kuno.
Perpustakaan Celcus terletak di 'komplek' Ephesus, Kota Yunani Kuno di sebelah barat dari Anatolia, kota Selçuk, Provinsi Izmir.
Sebetulnya, di Izmir tidak hanya ada kota tua Ephesus. Kekhilafahan Islam sebelum Ottoman, Selçuk juga ada di provinsi ini. Maka sebetulnya, selain Istanbul, Izmir juga adalah negeri seribu peradaban. Usianya rentanya menjadi saksi peradaban Yunani Kuno, Romawi, Selçuk, Ottoman dan Turki modern saat ini. Gak sampai seribu kan? Hehehe...
Ephesus dulunya adalah kota yang dikuasai oleh Lysimachia, salah seorang jendral perang Alexander Agung. Sepeninggal Alexander Agung, wilayah-wilayah taklukan diperebutkan dan dibagi-bagi oleh para jendralnya karena Alexander mati muda dan tidak mempunyai anak sebagai penerusnya. Ephesus kemudian dikuasai oleh Kekaisaran Romawi pada 88 SM. Sempat terjadi pemberontakan, tapi kemudian berhasil dikuasai kembali oleh Romawi dibawah pimpinan Lucius Cornelius Sulla dua tahun kemudian, 86 SM.
Diceritakan bahwa Kaisar Romawi Mark Anthonius dan Ratu Mesir Cleopatra pernah berkunjung pada musim semi ke Ephesus pada 33 SM untuk berbulan madu. Pada masa kaisar Augustus, 27 SM, Ephesus dijadikan ibukota untuk provinsi Anatolia Barat dari Kekaisaran Romawi, sejak inilah Ephesus berkembang menjadi kota besar masa itu. Puncak kejayaan Ephesus terjadi pada abad ke-2 Masehi.
Anda tahu? bahwa bangunan-bangunan zaman kuno ini terbuat dari batu marmer yg mengkilat (pada zamannya). Dari mulai lantai, tiang, atap bahkan jalannya. Saya sendiri bertanya-tanya, teknologi apa yg dipakai pada zaman itu sehingga menghasilkan karya yg luar biasa.
Karena Ephesus adalah sebuah 'komplek' kota kuno, maka di dalamnya pun ibarat sebuah komplek yg serba ada. Pasar, teater tempat menyaksikan para gladiator bertarung entah memperebutkan apa, rumah, pemandian bahkan hingga 'WC Umum' dan tempat prostitusi.
Bahkan, ada jalan bawah tanah yg ternyata ditemukan dari perpustakaan Celsus ke Rumah Bordir di seberangnya. Ckckckck... Jadi mungkin, para pria zaman dahulu pamit ke istrinya di rumah, "Mamih, Papih ke perpustakaan dulu ya. Ada tugas kampus nih...". Eh sampai di perpustakaan malah nyasar ke seberangnya baca buku yg lain. Skip...
Di Izmir juga ada rumah Bunda Maria atau Siti Maryam ibunda Nabi Isa as. Rumah Bunda Maria atau disebut “Panaya Kapulu” terletak di selatan Ephesus di kaki Gunung Bülbül yg tenang dan berpemandangan indah. Pada awalnya, Bunda Maria dibawa ke Ephesus oleh pengikutnya karena Yerusalem sudah dianggap tidak aman lagi. Bunda Maria ditinggal dan akhirnya meninggal di tempat ini. Baru pada akhirnya tahun 1891, rumah ini ditemukan sesuai dengan detail yang digambarkan oleh Biarawati Catherine Emmerich.
Berkeinginan untuk mengunjungi Izmir? Melihat dan merasakan bagaimana percampuran budaya membentuk peradaban masyarakat modern Turki saat ini, dan menuliskan segala sesuatunya menjadi buah karya yg dinikmati banyak orang? JOIN NOW pada program Wisata Menulis: Dari Turki kami MENULIS, Di Indonesia kami BERKARYA. Bagi dunia kami MEMBANGUN PERADABAN,
Anda akan diajak berwisata selama 10 hari di Turki mengunjungi tempat-tempat bersejarah yg menjadi pusat peradaban pada era Byzantium, Romawi, Selcuk, Ottoman dan juga Turki modern saat ini.
Sahabat akan ditemani dan dimentori oleh Bunda Pipiet Senja, seorang living legend dalam dunia kepenulisan. Berbagai tips dan trik dunia menulis dan penerbitan.
Belum cukup, Anda juga ditemani oleh Azzam Mujahid Izzulhaq, seorang pengamat sosial, budaya dan politik internasional. Dia juga adalah seorang mindset motivator yg akan berbagi kepada Anda menganai sejarah, budaya, politik Turki dulu dan kini. Serta berbagi tips dan trik agar selalu ON dalam berbagai aspek kehidupan.
Anda akan diajak berkeliling negara Turki mulai dari Istanbul, Bursa, Kusadasi, Pamukkale, Konya, Cappadocia, dan Ankara, ibukota negara Turki. Ssstt... Sangat mungkin Anda akan diajak mengunjungi Istana Kepresidenan dan bertemu Erdogan (syarat dan kondisi terbatas).
Investasi untuk sejuta pengalaman, ilmu dan juga kenyamanan ini adalah mulai dari USD 1.850 per orang. Kabar buruknya, program ini terbatas untuk 30 orang saja. SEGERA! Seat hanya tinggal 15 orang lagi atau Anda akan menyesal dan ketinggalan.
Siapkan baju hangat ya, kita akan menikmati dinginnya udara Eropa di 27 November hingga 6 Desember.
Layanan Informasi selanjutnya silakan menghubungi: Aurora Travel Management Expert di nomor 0811 49 12 12 2
↧
↧
Wisata MenulisTurkey: Bersama Pipiet Senja, Jonru dan Ust Azzam Mujahid Izzulhaq
Jalan-jalan ke Turki sambil mengikuti pelatihan penulisan bersama @pipietsenja @jonru @AzzamIzzulhaq. Transit di Paris dan Amsterdam. Pulangnya menerbitkan buku. #WisataMenulisTurki bersama Jonru, Pipiet Senja dan ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq. Jadwal: 27 November s/d 6 Desember 2014 Yuk Ikutan! Kapan lagi bisa jalan2 bersama penulis terkenal Pipiet Senja, juga dengan Jonriah Jonru Ukur dan ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq, sambil menimba ilmu kepenulisan. Dan pulangnya menerbitkan buku. Untuk info lengkap dan pendaftaran, silakan hubungi panitia acara ini: Aurora Travel Management Expert:
Mobile Phone: 0811 49 12 122
WhatsApp: 0812 20 30 22 11
PIN BBM: 7F95EB0F
Mobile Phone: 0811 49 12 122
WhatsApp: 0812 20 30 22 11
PIN BBM: 7F95EB0F
↧
Grasberg Mine Negeri di Atas Awan
Tembagapura, 21 November 2012
Sesuai rencana, rombongan kami, saya, Elly Lubis dan Evatya Luna hanya beberapa saat saja bersosialisasi dengan warga asli suku Banti. Camat Tembagapura, Slamet Sutejo mengingatkan kami agar segera bergabung kembali dengan Syafii yang baik hati dan murah senyum itu.
“Terimakasih, Pak Camat, catatan perjalanannya nanti akan saya emailkan, ya,” kataku sebelum berpisah di parkiran kediamannya. Sungguh, kami merasa beruntung telah diantar keliling pemukiman salah satu suku asli Papua.
“Eva, eh, itu suku Banti apa ada hubungannya dengan suku Bantu, Negro itu loh?” usikku membuat Evatya Luna terpelongoh. Apa hubungannya coba, Banti di Papua sementara Bantu di Afrika.
“Mungkin yang ada justeru kesamaannya, Bunda. Banti dan Bantu sama-sama hitam dan serba tertinggal. Halaaaah, gak tahu jugalah, Bunda,” jelas Evatya Luna malah membuat diriku bingung. Habis, dia membuat opini, tetapi dalam sekejap dibantah dan diragukannya sendiri.
Halaaah!
Kami tiga pendekar perempuan pendek dan kekar, akhirnya tibalah di halte tram pada ketinggian 4000 meter. Perlengkapan yang kami kenakan berupa rompi, kacamata dan sepatu boot. Tak jauh beda dengan kostum yang dikenakan oleh para penambang.
Elly Lubis dan Evatya Luna mendapatkan sepatu yang bagus sesuai ukuran. Sementara aku sepasang boot besar yang cukup berat dan mengganggu gerakan. Tapi, mau bagaimana lagi, ya, sudahlah!
“Mengapa harus selalu dipakai rompinya yang mirip begini, Mas?” tanyaku ingin tahu kepada Syafii.
“Yah, agar dikenali, dan mudah menemukan kalau hilang,” sahutnya ringan.
“Maksudmu, rompi ini apa ditempeli semacam microship. Eh, ini semua buatan Amrik, iya toh?” buruku.
“Hehe, iya, barangkali, Teteh.” Bapak dari dua anak itu nyengir, menatapku lucu.
Karena sudah diwanti-wanti jangan bicara urusan politik dan aktivitas Freeport dengan karyawan, aku memutuskan tidak melanjutkan kicauan. Sementara sebagai seorang penulis, imaji liarku tanpa bisa ditahan lagi secara terus-menerus berkelindan di dalam otakku.
Melihat peralatan konsentrat bebatuan di Mil 74, imajinasiku mewujud batang-batang emas, perak dan tembaga yang telah jadi, memenuhi tantangan pasar dunia. Lantas, dikemanakan hasil penjualannya?
Betapa kaya rayanya bumi Papua, ini realita yang tak bisa dipungkiri. Namun, lihatlah kondisi pemukiman Banti. Mereka tinggal di honai-honai (rumah) yang tak lebih mirip kandang babi.
Mendadak aku merasa gulana, limbung dan bingung. Sampai ada yang bilang:” Ya, sudahlah, mereka ada yang mengurusnya.” Iyakah, sungguhkah?
“Nah, kita sudah sampai!” kalimat seseorang menyadarkanku akan keberadaanku kini.”Kita akan naik tram dari sini, Teteh,” lanjut Syafii.
Evatya Luna dan Elly Lubis ditemani Syafii langsung meloncat dari kendaraan. Aku p0elan-pelan saja sambil megukiur kekuatan tubuhku. Berjalan di tengah gerimis yang turun renyai, hawa dingin langsung menyengat dan oksigen sangat menipis.
Kedua rekanku itu semakin semangat untuk mengambil momen-momen bagus, pemandangan di skeitar kami memang sangat indah. Rugi sekali jika tak membawa kamera canggih.
Kami menaiki tangga menuju halte tram. Tiga orang petugas berseragam langsung menghampiri kami, dan menanyai Syafii: ”Siapa ini dan dari mana?”
“Ini tamu dari Jakarta. Surat izinnya ada di Pak Bambang, silakan konfirmasi,” jelas Syafii meyakinkan.
Dengan mudah kami bertiga ditemani Syafii naik tram. Tampaklah pemandangan yang luar biasa indahnya. Untuk beberapa jenak aku hanya terperangah, mengatur napas dan menikmati gelaran lanskap terindah dari Sang Pencipta.
Jeprat, jepreeeet!
Sesampai di seberang, kami melanjutkan perjalanan menuju Grasberg Mine.
Dan inilah foto-foto kami. (Pipiet Senja, Timika, November 2012)
↧
Ini Sebagian Karya Pipiet Senja
↧
Menyebar Virus Menulis
Tips Menulis Buku Dari Pipiet Senja
Bagi pecinta buku atau karya sastra, nama Pipiet Senja pasti bukan sosok yang asing. Perjalanan kariernya sebagai penulis sudah dimulai sejak umur 20 tahun. Selama itu pula, ratusan karya sudah dihasilkan. Buku-bukunya pun juga sudah beredar di pasaran. Di balik semangatnya untuk terus menulis, dalam tubuh Pipiet berdiam penyakit thalasemia atau kelainan darah bawaan yang mengharuskan dia untuk rutin transfusi darah setiap dua bulan sekali.
Namun, bagi Teh Pipiet Senja, menulis menjadi salah satu terapi sehatnya. Hidup sebagai penderita thalassemia, dengan Limpa yang sudah ditiadakan dari tubuhnya. Tahun 2013, beliau mengatakan di rawat di ICCU, jantung beliau hanya berfungsi 30% di dalam ruangan yang super steril itu beliau tidak diperbolehkan beraktivitas kemana-mana.
“Apa yang saya lakukan? Menulis ”. Di dalam ruangan yang steril itu, laptop dan peralatan tidak di perbolehkan masuk, hape juga tidak boleh dipegang pasien. “Dok, mau gak liat pasiennya gila? Sudah sakit gila pula?” ucap Teh Pipiet menceritakan lagi kisahnya.
“Wah, jangan dong, kenapa jadi gila?” ucap Teh Pipiet mengikuti perkataan dokter saat itu.
“Saya gila kalau tidak menulis, makanya jangan diumpetin dong hapenya…” jawab Teh Pipiet. Akhirnya sang dokter memberikan izin Teh Pipiet untuk menulis di Blackberry nya. Menulis bisa menjadi terapi, menulis bisa menunda kepikunan.
Terdapat slide materi yang disiapkan Teh Pipiet Senja, beberapa materinya mengenai kepenulisan. Menulis hanya berpegang dengan teori-teori tanpa mempraktikan, keinginan menjadi penulis hanya MIMPI. Untuk menjadi seorang penulis yang harus kamu lakukan adalah… menulis-menulis-menulis! tak peduli menulis apa, biarkan kata-kata mengalir-mengalir-mengaliiir.
Dan berikut tips menulis dari pipiet senja yang bisa kita pelajari :
- Mulailah menulis setelah tahu apa yang ingin kita tulis
- Setting/latar jangan banyak-banyak, paling 1 atau 2 lokasi
- Karakter tokoh juga jangan terlalu banyak, tidak perlu dirinci secara detail
- Gunakan kalimat-kalimat yang komunikatif, tidak bertele-tele, dan jangan terlalu banyak memakai bunga bahasa
- Ambil tema yang jarang diangkat penulis lain, khas, unik, dan menarik
- Kirimkan naskah sebanyak-banyaknya, jangan menunggu naskah dimuat, teruslah menulis dengan tema baru
- Bila mentok/mandek ide di tengah jalan boleh di tinggalkan dan menggarap tulisan baru. Suatu saat kita bisa membuka file tersebut setelah merasa siap untuk melanjutkan / menuntaskannya
- Biasakan untuk memiliki catatan harian. Ketika kita menemukan ide dijalan umpamanya, cepat dicatat point / garis besarnya sebelum hilang dari pikiran
- Wajib untuk selalu meningkatkan wawasan melalui buku bacaan dan membandingkan karya-karya penulis dalam dan luar negeri
- Bakat hanyalah sekian persen, selebihnya adalah bagaimana mendisiplinkan diri untuk selalu menulis, menulis dan menulisss!
- Menulis itu sungguh menyenangkan. inilah sikap yg harus kita tanamkan pada diri sendiri
- Bila karya anda ditolak oleh redaksi, jangan pernah putus asa. menulis dan menulis lagi! Teror saja redaksi dengan tulisan kita, bukan dengan bom!
- Bergabunglah dengan paguyuban, organisasi / forum kepenulisan, sehingga kita bisa berbagi ilmu dan saling menyemangati untuk kreatif menulis.
- Bisa juga bergabung dengan milis-milis sastra di internet. Tetapi berhati-hati, jangan sampai terjebak kedalam suatu paham yang menyimpang dari ajaran, keyakinan dan kaidah-kaidah Islam
- Bila anda sudah merasa berjuang sedemikian keras dalam mencapai cita-cita sebagai penulis, tapi belum juga berhasi. Tak mengapa, mungkin Allah SWT telah menyediakan langkah lain yang lebih menguntungkan Anda di suatu tempat.
↧
↧
Reportase Rinta:Menulis Sebagai Terapi dan Menunda Kepikunan
dpk. Pribadi. Teh Pipiet Senja memberikan materi
Minggu (29/06/14) Pukul setengah 2 siang, aku sudah di tempat.
Jalan Ki Maja, gedung bertempat di belakang Alfamart besar di jalan
Ki Maja ini. Alhamdulillah, kali ini ada salah satu kelas menulis yang
me-Nasional. Karena narasumber adalah penulis nasional.
Setelah sebelumnya ada mbak Sinta Yudisia selaku penulis nasional
dan ketua Forum Lingkar Pena Pusat datang ke Bandarlampung.
kali ini, tak kalah hebat dan dinanti, yakni kedatangan narasumber
sekelas Teh Pipiet Senja. Penulis senior nasional yang telah menerbitkan 150 macam judul buku.
Suatu kebanggan bagi Forum Lingkar Pena Wilayah Lampung,
dan FLP cabang Bandarlampung, karena Teh Pipiet Senja datang untuk menyalurkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami, para manusia yang
suka menulis.
Talkshow & Workshop bertajuk ‘Gerakan Zakat melalui Goresan Pena’
disponsori oleh Dompet Dhuafa dan bekerjasama dengan FLP Lampung.
Teh Pipiet Senja dengan busana Ungu Syar’i yang beliau kenakan,
tampak begitu segar di usia senja nya. Di awal Teh Pipiet menceritakan
sedikit perjalanan kepenulisannya, mengenai pengalaman beliau dalam
membuat cerita. Teh Pipiet mengatakan, penulis butuh kepekaan,
dari sekitar, seorang anak pengamen dengan alat musik sederhananya,
bisa dijadikan bahan tulisan yang bermakna.

dok. pribadi
Salah satu peserta termuda menjadi salah satu sasaran teh Pipiet,
mengenai pertanyaan “Mengapa suka menulis?”. Si Anak kecil berjilbab putih,
Siti Atikah Azzahrah namanya, menjawab karena hobi dan senang menulis. Ternyata, menulis merupakan kesenangan bagi banyak orang,
sebagian orang mengatakan menulis merupakan kebutuhan.
Teh Pipiet juga menceritakan sedikit kisah hidupnya, bahwa beliau
merupakan salah satu penderita thalassemia, yang di diagnosa sejak
usia 17 tahun oleh dokter. Namun, bagi Teh Pipiet Senja, menulis
menjadi salah satu terapi sehatnya. Hidup sebagai penderita thalassemia,
dengan Limpa yang sudah ditiadakan dari tubuhnya.
Tahun 2013, beliau mengatakan dirawat di ICCU, jantung beliau hanya
berfungsi 30% di dalam ruangan yang super steril itu beliau tidak diperbolehkan beraktivitas kemana-mana.
“Apa yang saya lakukan? Menulis ”. Di dalam ruangan yang steril itu,
laptop dan peralatan tidak di perbolehkan masuk, hape juga tidak
boleh dipegang pasien. “Dok, mau gak liat pasiennya gila?
Sudah sakit gila pula?” ucap Teh Pipiet menceritakan lagi kisahnya.
“Wah, jangan dong, kenapa jadi gila?” ucap Teh Pipiet mengikuti perkataan
dokter saat itu.
“Saya gila kalau tidak menulis, makanya jangan diumpetin dong hapenya…”
jawab Teh Pipiet.
Akhirnya sang dokter memberikan izin Teh Pipiet untuk menulis di
Blackberry nya. Menulis bisa menjadi terapi, menulis bisa menunda
kepikunan.
Terdapat slide materi yang disiapkan Teh Pipiet Senja, beberapa materinya mengenai kepenulisan. Menulis hanya berpegang dengan teori-teori tanpa mempraktikan, keinginan menjadi penulis hanya MIMPI. Untuk menjadi
seorang penulis yang harus kamu lakukan adalah… menulis-menulis-menulis!
Tak peduli menulis apa, biarkan kata-kata mengalir-mengalir-mengaliiir.

dok.pribadi. salah dua peserta termuda. Feyna dan Tika :D
Seorang yang hendak menulis, pasti sudah punya gambaran mengenai apa yang akan ditulis, tidak mungkin blank seutuhnya. Teh Pipiet juga mengatakan, pernah mendapatkan inspirasi menulis puisi dari orang gila. Orang gila yang ditemui beliau saat sedang tranfusi, terlahirlah puisi pendek;
Lelaki itu bertelanjang dada
Wara-wiri dan berteriak: ‘Tuhan Tidak Ada!’
“Namanya juga orang gila, pasti tidak punya Tuhan. Puisi tersebut, termasuk dalam puisi mbeling”, tutur Teh Pipiet.
Beliau menulis dan menulis, kemudian mengirimkannya. Pede-pede saja menyebarkan karya ke media. Karena sekarang, sudah sangat mudah melalui Email, bisa sharing di twitter website. Kalau zaman dulu, saya menggunakan mesin TIK.
Setelah diketik kemudian dikirimkan ke pos. Buku yang sudah ada di media, jangan sama dengan mereka. Janganlah diikuti buku yang sudah ada. jika ada buku tentang muhasabah cinta, janganlah kita mengikuti ide yang sama. Jadilah diri kita sendiri pakai style kita sendiri.

dok.pribadi
“Daripada Mengekor Singa, Lebih Baik Kita Jadi Kambing, Tapi Kepalanya”.
Dalam materi Teh Pipiet Senja, bila seseorang sudah digariskan menjadi seorang penulis, pasti Ada sesuatu yang akan terjadi pada diri kita, yakni; sesuatu itu sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga dia akan memburu, menguntit ke mana pun kita melangkah.

screen capture power point by: Pipiet Senja
Modal paling utama seorang penulis adalah dorongan dari dalam. Menulislah dari hal yang kecil, tak perlu terlalu luas, njelimet-njelimet. Menulislah mulai dari catatan harian, pengalaman sendiri, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.Jadi jangan terlalu berharap buku yang telah kita terbitkan menjadi best seller. Biarkanlah pembaca yang menilai.

dok.pribadi
Gadis Kecil Pesert Termuda.
Di sisi lain, setelah acara. Kami dipersilahkan untuk menulis. menulis apa saja dengan tema Zakat. Ada hal unik di ruangan itu, ada dua orang gadis kecil berusia 11 tahun, sedang mengetik dengan antusias. Mereka adalah Feyna si gadis berjilbab pink, berkacamata frame merah di sebelahnya ada pula seorang gadis kecil berjilbab putih dengan gaya mengetik yang super cepat, Siti Atikah namanya.
“Hei, ngetiknya jangan cepet-cepet, nanti kamu haus..” tuturku pada Tika panggilan Siti Atikah.
“Ah gak haus kok, kan cuma ngetik. Nih pake 2 jari…” jawab Tika polos. Kemudian dia meneruskan mengetik di netbooknya.
Dari sana aku berkenalan dengan dua gadis kecil berbakat. Mereka sangat bersemangat. Sedangkan aku? Aaak sebenarnya aku bukan tipe orang yang bisa menulis dengan tema yang ditentukan, dan harus segera selesai beberapa jam saja. Jadilah aku memilih untuk menyelesaikan tulisan dirumah, dan mengirimkannya kemudian hehe.
Peserta lainnya masih tekun dengan tulisan mereka. Namun dua bocah itu menghampiri tempat duduk aku dan ka Nora. Mereka berkenalan pada kami. si Feyna mengatakan kalau sudah besar mau jadi guru dan penulis, sedangkan Siti Atikah mengatakan kalau sudah besar pingin jadi dokter dan penulis.

dok.pribadi. mereka dalam obrolan untuk menjadi dokter.. hmm
“Nah, kalau kamu mau jadi dokter, tanya jurusnya tuh sama Ka Nora…” tuturku.
“Sini-sini aku bisikin caranya…” ujar Ka Nora, akhirnya mereka masuk kedalam obrolan tentang cara menjadi dokter. Gak salah-salah si Tika juga tanya tentang foto di ruang operasi. Semangat yang menggebu dan kereeen untuk si Tika :D
Kemudian kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan, ah semoga bisa ketemu sama bocah-bocah ini lagi, ohya kami sempat bertukar email :D

dok.pribadi. bersama dua bocah cerdaas
Di akhir acara, tulisan yang telah dibuat para peserta dikoreksi oleh Teh Pipiet Senja sendiri. Teh Pipiet pun mengumumkan peserta yang berhak mendapat hadiah buku dari Teh Pipiet. Mereka adalah…. Adik Siti Atikah dan Ka Nora Ramkita, yeey!
Siti atikah dengan kisahnya yang berjudul indahnya berbagi, dan cerita kak Nora tentang kisah Ruang Melatinya. Ah kka Nora yang ngakunya ga bisa buat fiksi, malah juara kaaan. Keren!

dok.pribadi. pemberian hadiah buku dari penulisnya langsung. selamat selamaat! :D
Puasa hari pertama, diisi dengan kegiatan bermakna. Menambah ilmu, menambah persaudaraan serta bermanfaat. Dari sini aku belajar bagaimana menjadi penulis yang baik, bagaimana mengkondisikan diri untuk konsisten. Menemukan Golden Time dalam menulis. Teh Pipiet mengajak kami bersyukur lebih dalam terhadap kesehatan.
Di mana beliau yang memiliki berbagai sakit dari Allah, terutama sakit Thallasemia yang di alami sejak usia remaja, namun beliau tetap aktif, tetap dapat melakukan aktifitas secara baik, secara tersirat kami diajak lebih memaknai kehidupan dan bersyukur dengan berbagai nikmat yang diberikan oleh Allah. Semoga Teh Pipiet Senja tetap sehat, dipanjangkan usianya, dilancarkan aktivitasnya, agar dapat memberi manfaat untuk sebanyak-banyaknya umat. Aamiin.

screen capture power point by: Pipiet Senja

dok.pribadi. foto bersamaaaa
↧
Bookgrafi Pipiet Senja
Pipiet Senja adalah nama pena Etty Hadiwati Arief, lahir di Sumedang, 16 Mei 1956 dari pasangan Hj.Siti Hadijah dan SM. Arief (alm) seorang pejuang’45. Ia adalah penulis yang sangat produktif. Tidak kurang ratusan novel telah digarapnya, baik dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Sunda.
Pipiet Senja harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidupnya karena penyakit kelainan darah bawaan, memiliki dua orang anak yang selalu membangkitkan semangat; Haekal Siregar dan Adzimattinur Siregar .
Aktivitasnya saat ini sebagai penasehat Forum Lingkar Pena, sering diundang seminar kepenulisan ke pelosok Tanah Air dan mancanegara seperti ke Mesir, Hong Kong, China, Macau, Malaysia, Singapore, UEA, Saudi Arabia, Taiwan.
Email : pipietsenjaa@gmail.com
Website: http://www.pipietsenja.net
Website: http://www.pipietsenja.net
Bookgrafi
1. Biru Yang Biru (Karya Nusantara, 1978)
2. Sepotong Hati di Sudut Kamar (Sinar Kasih, 1979)
3. Serenada Cinta (Rosda Karya, 1980)
4. Mawar Mekar di Taman Ligar (Rosda Karya, 1980)
5. Nyanyian Pagi Lautan (Alam Budaya,1982)
6. Payung Tak Terkembang (Aries Lima,1983)
7. Masih Ada Mentari Esok (Aries Lima,1983)
8. Mencoba Untuk Bertahan (Aries Lima,1983)
9. Selendang Sutra Dewangga (Aries Lima, 1984)
10. Orang-orang Terasing (Selecta Group,1985)
11. Adzimattinur (Selecta Group,1985)
12. Kembang Elok Rimba Tampomas (Selecta Group,1985)
2. Sepotong Hati di Sudut Kamar (Sinar Kasih, 1979)
3. Serenada Cinta (Rosda Karya, 1980)
4. Mawar Mekar di Taman Ligar (Rosda Karya, 1980)
5. Nyanyian Pagi Lautan (Alam Budaya,1982)
6. Payung Tak Terkembang (Aries Lima,1983)
7. Masih Ada Mentari Esok (Aries Lima,1983)
8. Mencoba Untuk Bertahan (Aries Lima,1983)
9. Selendang Sutra Dewangga (Aries Lima, 1984)
10. Orang-orang Terasing (Selecta Group,1985)
11. Adzimattinur (Selecta Group,1985)
12. Kembang Elok Rimba Tampomas (Selecta Group,1985)
Buku Anak-anak;
1. Prahara Cimahi (Margi Wahyu, 1991)
2. Jimbo dan Anak Jin (Margi Wahyu, 1992)
3. Si Boyot Sang Penyelamat (Margi Wahyu, 1993)
4. Jerko dan Raja Jin (Margi Wahyu, 1993)
5. Kisah Seekor Mawas (Margi Wahyu, 1994)
6. Rumah Idaman (Margi Wahyu, 1994)
7. Keluarga Besar di Sudut Gang (Margi Wahyu, 1994)
8. Bunga-Bunga Surga (Margi Wahyu, 1994)
9. Si Hitam (Margi Wahyu, 1994)
10. Bip Bip dan Boboy (Margi Wahyu, 1995)
11. Pentas Untuk Adinda (Margi Wahyu, 1995)
12. Buntalan Ajaib (Margi Wahyu, 1996)
13. Sanghiyang Wisnukara (Margi Wahyu, 1996)
14. Nunik Sang Maestro (Margi Wahyu, 1997)
15. Melati Untuk Ibu Negara, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
16. Nyanyian Tanah Air, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
17. Rumah Idaman, edisi revisi (Gema Insani Press, 2002)
18. Putri Tangan Emas (Zikrul Hakim, 2004)
19. Bip Bip dan Boboy, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
20. Buntalan Ajaib, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
21. Jenderal Kancil (Zikrul Hakim, 2004)
22. Jenderal Jerko (Zikrul Hakim, 2004)
23. Jenderal Nyungsep (DAR! Mizan, 2004)
24. Masih Ada Hari Esok (Zikrul Hakim, 2004)
25. Lukisan Kenangan (Zikrul Hakim, 2004)
26. Si Hitam, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
27. Ikan Beranting Emas (Zikrul Hakim, 2004)
28. Kwartet Jang Jahid (Dian Rakyat, 2006)
1. Prahara Cimahi (Margi Wahyu, 1991)
2. Jimbo dan Anak Jin (Margi Wahyu, 1992)
3. Si Boyot Sang Penyelamat (Margi Wahyu, 1993)
4. Jerko dan Raja Jin (Margi Wahyu, 1993)
5. Kisah Seekor Mawas (Margi Wahyu, 1994)
6. Rumah Idaman (Margi Wahyu, 1994)
7. Keluarga Besar di Sudut Gang (Margi Wahyu, 1994)
8. Bunga-Bunga Surga (Margi Wahyu, 1994)
9. Si Hitam (Margi Wahyu, 1994)
10. Bip Bip dan Boboy (Margi Wahyu, 1995)
11. Pentas Untuk Adinda (Margi Wahyu, 1995)
12. Buntalan Ajaib (Margi Wahyu, 1996)
13. Sanghiyang Wisnukara (Margi Wahyu, 1996)
14. Nunik Sang Maestro (Margi Wahyu, 1997)
15. Melati Untuk Ibu Negara, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
16. Nyanyian Tanah Air, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
17. Rumah Idaman, edisi revisi (Gema Insani Press, 2002)
18. Putri Tangan Emas (Zikrul Hakim, 2004)
19. Bip Bip dan Boboy, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
20. Buntalan Ajaib, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
21. Jenderal Kancil (Zikrul Hakim, 2004)
22. Jenderal Jerko (Zikrul Hakim, 2004)
23. Jenderal Nyungsep (DAR! Mizan, 2004)
24. Masih Ada Hari Esok (Zikrul Hakim, 2004)
25. Lukisan Kenangan (Zikrul Hakim, 2004)
26. Si Hitam, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
27. Ikan Beranting Emas (Zikrul Hakim, 2004)
28. Kwartet Jang Jahid (Dian Rakyat, 2006)
29. Serial Balita Muslim 12 Episode (Bestari Kids, 2012)
30. Serial Adik Balita 12 Episode (Bestari Kids, 2012)
31. Serial Balita Wisata 12 Episode (Bestari Kids, 2013)
32. Serial Balita Indonesia 12 Episode (Bestari Kids, 2013)
33. Serial Balita Spesial 12 Episode (Bestari Kids, 2013)
Novel Islami
1. Namaku May Sarah (Asy-Syaamil, 2001)
2. Riak Hati Garsini (Asy-Syaamil, 2002)
3. Dan Senja Pun Begitu Indah (Asy-Syaamil, 2002)
4. Serpihan Hati (DAR! Mizan, 2002)
5. Menggapai Kasih-Mu (DAR! Mizan, 2002)
6. Memoar; Cahaya di Kalbuku (DAR! Mizan, 2002)
7. Trilogi Kalbu (DAR! Mizan, 2003)
8. Trilogi Nurani (DAR! Mizan, 2003)
9. Trilogi Cahaya (DAR! Mizan, 2003)
10. Lukisan Rembulan (DAR! Mizan, 2003)
11. Rembulan Sepasi (Gema Insani Press, 2002)
12. Kidung Kembara (Gema Insani Press, 2002)
13. Tembang Lara (Gema Insani, 2003)
14. Kisi Hati Bulani, bareng Nurul F Huda (FBA Press, 2003)
15. Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim, 2003)
16. Rembulan di Laguna, duet dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
17. Pilar Kasih, novelet duet dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
18. Lukisan Perkawinan, kolaborasi keluarga (Zikrul Hakim, 2004)
19. Lakon Kita Cinta (MVM, 2004)
20. Lukisan Bidadari (Lingkar Pena Publishing, 2004)
21. Sang Rocker; Perjalanan Sunyi (Beranda, 2004)
22. 9000 Bintang (Cakrawala Publishing, 2004)
23. Meretas Ungu (Gema Insani Press, 2005)
24. Langit Jingga Hatiku (Gema Insani Press, 2005)
25. Mr. Dee One & Tante Centil duet dengan Fahri Asiza (ZH, 2005)
26. Lapak-Lapak Metropolitan (KBP, 2006)
27. Pembersih Lantai Sastra (KBP, 2006)
28. Bagaimana Aku Bertahan (KBP, 2006)
29. The Legend Of Snada (KBP, 2006)
30. La Dilla (Zikrul Hakim, 2006)
31. Biarkan Aku Menangis (Duha Publishing, 2006)
32. Kupenuhi Janji (Duha Publishing, 2007)
33. Mom & Me #1, duet dengan Adzimattinur Siregar (Indiva, 2007)
34. Bloggermania! duet dengan Adzimattinur Siregar (ZH, 2008)
35. Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku! (Zikrul Hakim, 2008)
1. Namaku May Sarah (Asy-Syaamil, 2001)
2. Riak Hati Garsini (Asy-Syaamil, 2002)
3. Dan Senja Pun Begitu Indah (Asy-Syaamil, 2002)
4. Serpihan Hati (DAR! Mizan, 2002)
5. Menggapai Kasih-Mu (DAR! Mizan, 2002)
6. Memoar; Cahaya di Kalbuku (DAR! Mizan, 2002)
7. Trilogi Kalbu (DAR! Mizan, 2003)
8. Trilogi Nurani (DAR! Mizan, 2003)
9. Trilogi Cahaya (DAR! Mizan, 2003)
10. Lukisan Rembulan (DAR! Mizan, 2003)
11. Rembulan Sepasi (Gema Insani Press, 2002)
12. Kidung Kembara (Gema Insani Press, 2002)
13. Tembang Lara (Gema Insani, 2003)
14. Kisi Hati Bulani, bareng Nurul F Huda (FBA Press, 2003)
15. Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim, 2003)
16. Rembulan di Laguna, duet dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
17. Pilar Kasih, novelet duet dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
18. Lukisan Perkawinan, kolaborasi keluarga (Zikrul Hakim, 2004)
19. Lakon Kita Cinta (MVM, 2004)
20. Lukisan Bidadari (Lingkar Pena Publishing, 2004)
21. Sang Rocker; Perjalanan Sunyi (Beranda, 2004)
22. 9000 Bintang (Cakrawala Publishing, 2004)
23. Meretas Ungu (Gema Insani Press, 2005)
24. Langit Jingga Hatiku (Gema Insani Press, 2005)
25. Mr. Dee One & Tante Centil duet dengan Fahri Asiza (ZH, 2005)
26. Lapak-Lapak Metropolitan (KBP, 2006)
27. Pembersih Lantai Sastra (KBP, 2006)
28. Bagaimana Aku Bertahan (KBP, 2006)
29. The Legend Of Snada (KBP, 2006)
30. La Dilla (Zikrul Hakim, 2006)
31. Biarkan Aku Menangis (Duha Publishing, 2006)
32. Kupenuhi Janji (Duha Publishing, 2007)
33. Mom & Me #1, duet dengan Adzimattinur Siregar (Indiva, 2007)
34. Bloggermania! duet dengan Adzimattinur Siregar (ZH, 2008)
35. Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku! (Zikrul Hakim, 2008)
36.Dalam Semesta Cinta (Jendela Zikrul Hakim, 2009)
37.Jejak Cinta Sevilla (Jendela Zikrul Hakim, 2010)
38.Jurang Keadilan (Jendela Zikrul Hakim, 2010)
39.Catatan Cinta Ibu dan Anak duet dengan Adzimattinur Siregar (Jendela, 2010)
40.Kepada YTH Presiden RI (Jendela, 2011)
41. Menoreh Janji di Tanah Suci (KPG, 2011)
42.Imperium (dalam proses editing)
Antologi Cerpen Bersama
1. Rumah Tanpa Cinta (Alam Budaya, 1983)
2. Bunga Rampai Penulis Perempuan Indonesia (Bentang, 2001)
3. Suatu Petang di Kafe Kuningan (FBA Press, 2001)
4. Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002)
5. Merah di Jenin (FBA Press, 2002)
6. Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002)
7. Kado Pernikahan (Asy-Syaamil, 2002)
8. Semua Atas Nama Cinta (Ghalia, 2003)
9. Bulan Kertas (FBA Press, 2003)
10. Kanagan (Geger Sunten, 2003)
11. Surga Yang Membisu (Zikrul Hakim, 2003)
12. Menjaring Angin (Zikrul Hakim, 2004)
13. Kalung Dari Gunung (Bestari, 2004)
14. Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2004)
15. Berlalu Bersama Angin (Senayan Abadi, 2004)
16. Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2004)
17. Matahari Tak Pernah Sendiri I (LPPH, 2004)
18. Lelaki Semesta (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
19. Sahabat Pelangi (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
20. Dan Bintang Pun Tersenyum (Gema Insani Press, 2005)
21. Membasuh Kalbu (Gema Insani Press, 2005)
22. Jendela Cinta (Gema Insani, 2006)
23. Ketika Cinta Menemukanmu (Gema Insani, 2006)
24. Surat Untuk Abang (Cakrawala Publishing, 2006)
25. Selusin kompilasi cerpen anak Bobo (Pustaka Bobo 1997-2004)
26. Catatan Hati Seorang Istri (LPPH, 2007)
1. Rumah Tanpa Cinta (Alam Budaya, 1983)
2. Bunga Rampai Penulis Perempuan Indonesia (Bentang, 2001)
3. Suatu Petang di Kafe Kuningan (FBA Press, 2001)
4. Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002)
5. Merah di Jenin (FBA Press, 2002)
6. Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002)
7. Kado Pernikahan (Asy-Syaamil, 2002)
8. Semua Atas Nama Cinta (Ghalia, 2003)
9. Bulan Kertas (FBA Press, 2003)
10. Kanagan (Geger Sunten, 2003)
11. Surga Yang Membisu (Zikrul Hakim, 2003)
12. Menjaring Angin (Zikrul Hakim, 2004)
13. Kalung Dari Gunung (Bestari, 2004)
14. Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2004)
15. Berlalu Bersama Angin (Senayan Abadi, 2004)
16. Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2004)
17. Matahari Tak Pernah Sendiri I (LPPH, 2004)
18. Lelaki Semesta (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
19. Sahabat Pelangi (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
20. Dan Bintang Pun Tersenyum (Gema Insani Press, 2005)
21. Membasuh Kalbu (Gema Insani Press, 2005)
22. Jendela Cinta (Gema Insani, 2006)
23. Ketika Cinta Menemukanmu (Gema Insani, 2006)
24. Surat Untuk Abang (Cakrawala Publishing, 2006)
25. Selusin kompilasi cerpen anak Bobo (Pustaka Bobo 1997-2004)
26. Catatan Hati Seorang Istri (LPPH, 2007)
27. Jangan Jadi Perempuan Cengeng (Indiva, 2008)
28.Desperate Of Wife (LPPH, 2008)
29. Persembahan Cinta (Zikrul Hakim, 2008)
30. Ungu Pernikahan (Zikrul Hakim, 2008)
29. Persembahan Cinta (Zikrul Hakim, 2008)
30. Ungu Pernikahan (Zikrul Hakim, 2008)
31. 30 Wanita Pilihan (Jendela, 2009)
32.Aku Mencintaimu Karena Allah (Grasindo, 2010)
33.Duhai Muslimah Bersyukurlah (Jendela, 2010)
34.Rahasia Penulis Hebat (Gramedia, 2011)
35.Bersyukur Menjadi Perempuan (Prisma, 2012)
36.Jadikan Aku Nyai (proses editing)
Dalam Bahasa Sunda
1. Jalur Sutra Jalur Cinta, cerber (Majalah Sundamidang, 2008)
2. Ratusan cerpen dan puluhan novel yang dimuat secara bersambung
1. Jalur Sutra Jalur Cinta, cerber (Majalah Sundamidang, 2008)
2. Ratusan cerpen dan puluhan novel yang dimuat secara bersambung
di majalah Mangle 1990-2006
↧
Proses Panjang Novel Jejak Cinta Sevilla: Semoga Tak Sia-Sia
Novel Jejak Cinta Sevilla: Garsini Merupakan Gabungan Tiga Karakter
Penghujung Desember, 1997, seorang produser mendatangiku ke rumah kami yang mewah alias mepet sawah dan mepet kuburan, kampung Cikumpa. Dia meminta naskah cerbungku yang dimuat di majalah Mangle, majalah bahasa Sunda untuk disinetronkan. Jadi, aku harus menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan dalam bentuk naskah skenario sinetron; enam episode.
Dengan mesin ketik jadul yang dinamai si Denok, aku pun taktiktok, hingga belepotan peluh dan jari-jemariku sakit-sakit, ngilu. Mesin ketik ini sungguh sudah tidak layak lagi digunakan. Karena huruf-hurufnya sungguh telah sangat pabaliut. Bayangkan saja huruf b bulatannya sudah tak tampak, huruf q dan j juga tinggal titik dan bulatan separo.
Halaaah, pokoknya bikin mata sakit dan menyedihkan buangeeet!
Apa boleh buat, karena butuh, ya, daku paksakan jugalah. Sepanjang siang dan malam itu, jika sudah lepas dari urusan dapur, aku akan mengetik, menulis, menulis dan menulis. Bunyinya sering kali membuat bapak si Butet ngomel-ngomel yang sama sekali taklah membuatku berhenti menulis.
Apalagi karena sang produser itu begitu percaya, langsung menyerahkan honorariumnya; 3 juta rupiah. Bayangkan, untuk saat itu uang sebegitu jumlahnya, terutama bagi diriku, sungguh sangat banyak!
Bukan masalah bagiku untuk belajar menulis skenario. Kubeli bukunya Arswendo Atmowiloto tentang panduan menulis skenario. Aku juga menemukan contoh naskah skenario jadul karya Motinggo Boesye; Malam Jahanam. Belakangan setelah mengenal Rumah Dunia, jujur saja, diam-diam, aku belajar banyak dari skenario karya Gola Gong.
Ceritanya selesai sudah keenam naskah skenario pesanan yang diangkat dari cerbung dengan judul baru; Sebening Hati. Jika ditelisik jumlah halamannya per naskah 90 halaman, kalikan enam saja sama dengan; 540 halaman!
Tunggu punya tunggu sampai Mei 1998, reformasi terjadi, kegoncangan ekonomi terjadi. Termasuk dunia perfilman, persinetronan apalagi penerbitan. Sang produser raib tanpa jejak, entah pergi ke mana.
Setiap kali mataku menclok di tumpukan naskah Sebening Hati, ada yang meruyak jauh di dada ini. Rasanya mubazir, sia-sia, jika dibiarkan begitu saja, pikirku. Beberapa saat lamanya terpaksa kubiarkan mengonggok di sudut kamar. Aku beralih ke buku anak-anak saja. Beberapa buku anak karyaku dibeli oleh Inpres. Setidaknya dari situlah aku bisa menghidupi kebutuhan anak-anak dan dana berobatku.
Namun, semangat juang ‘45 yang diwariskan ayahku senantiasa membalun jiwa dan ragaku. Dari honorarium 3 juta itu, aku bisa membeli seperangkat komputer jadul yang sering membuat listrik kami braypet-braypet.
Dengan kesabaran yang tiada mengenal batas (cieeeh!) akhirnya aku berhasil mengetik, tepatnya merangkum naskah skenario tersebut menjadi dua naskah novel. Judulnya kuubah menjadi Riak Hati Garsini dan Kapas-Kapas di Langit.
Riak Hati Garsini kuserahkan kepada Halfino Berry (Asy-Syamil) ketika jumpa pertama kali di lesehan Forum Lingkar Pena di Gedung Muhammadiyah, jalan Menteng. Dia menyetujui untuk menerbitkannya, setahun kemudian.
Malangnya, nasib Kapas-Kapas di Langit, ternyata harus mengalami beberapa kali penolakan. Awalnya kuserahkan melalui Korrie Layun Rampan, ketika itu editor majalah Sarinah. Dia sudah menyetujui bahwa naskahku itu akan dimuat secara bersambung. Bahkan sebagian DP (uangmuka) sudah kuterima sejumlah 150 ribu rupiah. Eh, tahu-tahu itu majaah yang sempat menjadi sengketa antara dua kubu, dibangkrutkan!
Dan, tralalala, naskahnya hilang!
Okelah, kalau begitu, kembali aku mengetik ulang, kali ini sudah dengan komputer yang rada benar, sudah pentium satu. Sempat raib dari hardisk gara-gara virus, demikian pula dari disketnya. Mujurlah, Sarah Handayani, waktu itu Ketua FLP Depok, masih menyimpan disketnya, meskipun hanya sampai halaman 94 dari 156.
Kembali dengan tekun dan teliti (kunti ‘kali yee!) aku mengetik segala hal dari sisa memori otakku tentang novel Kapas-Kapas di Langit, sebagai episode kedua, lanjutan Riak Hati Garsini.
Begitu telah selesai, kutawarkan kepada Ali Muakhir (DAR! Mizan), entah dengan pertimbangan, mungkin sebab sudah ada beberapa naskahku yang siap cetak, pokoknya Kapas-Kapasdi Langit ditolak!
“Maaf, ya Mbak, novel ini terpaksa kami tidak bisa menerbitkannya.”
“Boleh tahu, apa alasannya?” tanyaku ingin tahu.
“Saya tidak menangkap tema globalnya, ya Mbak Pipiet,” demikian kilah Ali Muakhir yang hingga detik inipun, sumpeee deeeh, daku sama sekali tidak paham!
Naskah itu akhirnya lama tersimpan di komputerku. Sampai sekitar bulan Juni 2002, Asma Nadia memberiku nomer seseorang yang kabarnya sedang membutuhkan naskah untuk diterbitkan. Jadi, aku menbghubungi nomer tersebut. Dia malah memberiku nomer lain yang ternyata kantornya Remon Agus, bos penerbit Zikrul Hakim.
Ketika kami jumpa di kantornya di jalan Pramuka, Remon Agus, minta waktu untuk mempelajarinya. Belum sampai rumah, tiba-tiab dia sudah menghubungiku dan menyatakan suka sekali dengan naskah Kapas-Kapas di Langit.
“Mau dijual berapa?” tanyanya ketika kami jumpa kembali keesokan harinya.
“Maksudnya, jual putus, ya?”
“Terus terang, ini pertama kalinya saya akan menerbitkan buku fiksi. Selama ini baru buku Yassin dan beberapa buku Yusuf Mansur.”
“Bagaimana kalau 5 juta saja, ya Pak Remon?”
“Ini kan penerbit baru, Teteh, boleh kurang dong?”
Aku bergeming di angka tersebut. Akhirnya dicapai kesepakatan, 4 juta dibayar lunas saat itu, sisanya setelah bukunya terbit. Ternyata, Kapas-Kapas di Langit angsung diserap oleh pasar.
Alhamdulillah, bahkan setahun kemudian, meraih Islamic Book Fair Award, 2006 sebagai novel terlaris. Menjejeri Fahri Asiza yang meraih IBF Award sebagai Penulis Favorit.
Ternyata kemudian aku mendapat “teror” dari para pembacaku, mendesak agar novelnya dilanjutkan.
Adakalanya aku tersenyum geli, bahkan tak jarang kebingungan sendiri, jika ada yang bertanya: “Teteh Pipiet, apa kabarnya Garsini? Bagamana tuh nasib dokter Haekal?” dan banyak pertanyaan seputar tokoh rekaanku itu.
Seakan-akan Garsini itu memang hidup dan eksis dalam kenyataan, duhai!
“Iya Teteh, lanjutkanlah novel Kapas-Kapas di Langit. Bikin penasaran saja,” ujar bos Zikrul Hakim, Remon Agus.
Aku baru bisa memenuhinya 2009, kugabungkan dua novel itu kemudian kutambah satu episode yang kuberi judul; Jejak Cinta Sevilla. Baru keluar dari percetakan setahun kemudian, 2010. Bayangkan, betapa panjangnya proses kreatif novel paling tebal yang pernah kutulis ini. Jika dihitung sejak 1997 hingga 2010, totalnya; 13 tahun!
Beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa S2 Universitas Jakarta, Supiyatna, menemuiku dan mengabarkan bahwa dia mengambil Kapas-Kapas di Langit sebagai penelitian untuk thesisnya.
Tentu saja aku merasa sangar terharu sekaligus surprise. Ternyata proses kreatif yang begitu panjang ada juga hikmahnya. Selain menambah deretan penggemar, akhirnya ada juga karyaku yang diangkat ke dunia akademisi.
Supiyatna bertanya banyak hal seputar karakter tokoh rekaanku, Garsini Siregar.
Sesungguhnya aku ingin mengambil karakter Helvy Tiana Rosa, Rahmadiyanti dan seorang penulis pemula yang tak ingin disebut namanya. Kami sering chatting sehubungan kebutuhanku urusan penglataran Jepang, dan suasana kampus serta dunia mahasiswa di negeri Sakura.
Garsini merupakan tokoh impianku sejak kecil. Aku ingin menuangkan harapan, cita-cita dan mimpi-mimpiku dalam bentuk tokoh utama rekaanku. Bahwa Garsini meskipun terlahir dari keluarga yang tidak harmonis, ternyata ia mampu membuktikan kepada dunia; Bisa Berprestasi!
Garsini, bagiku bukan sekadar tokoh imajinatif. Ketika aku menuliskannya, memolesnya dan mewujudkannya, serta melakoni peristiwa demi peristiwa, konflik demi konflik, jujur saja hatiku ikut merasai. Seakan-akan diriku, jiwaku dan ragaku merasuk dalamn tokoh Garsini.
Duhai, duhai, Garsini….
Seperti kata HTR suatu kali, kira-kira begini, dalam endorse Riak Hati Garsini: “Ketika Garsini berhasil menyelesaikan konfliknya, sesungguhnya Pipiet Senja yang pasien thallasemia masih panjang lakonnya….”
Betul, betul, betul!
Aku masih harus berjuang dalam mempertahankan sepotong nyawa ini. Tetapi, apa bedanya, siapapun memang melakoninya demikian. Bukankah?
Pada Pebruari 2015, saya mendapat kabar dari salah satu juri Festival Film Bandung 2015 bahwa film pendek yang diangkat dari novelet bahasa Sunda, Garsini telah berhasil meraih Juara Pertama. Novelet Garsini inilah yang mengawali episode pertama dari tiga episode dalam novel tebal Jejak Cinta Sevilla.
Alhamdulillah, terima kasih Dym, Akhi Dirman dari Bima yang telah sukses membesutnya menjadi sebuah film pendek yang inspiratif.
Alhamdulillah, terima kasih Dym, Akhi Dirman dari Bima yang telah sukses membesutnya menjadi sebuah film pendek yang inspiratif.
Saat ini novel Jejak Cinta Sevilla sedang berada di tangan Aditya Gumay, dalam proses dicarikan produser untuk diangkat ke layar lebar. Penglataran tujuh negara yang diambil untuk novel ini semoga tidaklah menjadi kendala urusan dananya. Indonesia, Singapura, Malaysia, Jepang, Prancis, Tazmania dan Mekkah. (Pipiet Senja, revisi Pebruari 2015)
Catatan; Pipiet Senja, menulis sejak remaja, kelahiran Sumedang, 1956, telah melahirkan ribuan cerpen, ratusan novel, tetapi yang diterbitkan baru 165 buku. Bermukim di di bumi Allah alias nomaden, karena tidak memiliki rumah sejak bercerai.
↧
Pesantren Idaman:Inilah Gerakan Santri Menulis
Karya Santri Darul Ulum Banyuanyar Madura
Antologi karya santri putri Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan-Madura, sebagai persembahan dari program Kelas Menulis bersama Pipiet Senja. Terdiri dari puisi-puisi ringkas, kisah inspirasi, cerita fiksi, resensi dan artikel. Disunting oleh Sang Mentor yang suka disebut Manini oleh para cucu Kyai, dengan bahasa komunikatif, bernas dan lugas. Sungguh layak dicermati dan dimiliki, kemudian diambil hikmah dan diikat maknanya. Selamat menikmati: Pesantren Idaman!
Kelas Menulis Pontren Putri
Telah beberapa kali singgah dan memberi pelatihan menulis di pondok pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan-Madura, kali ini diminta buka kelas menulis agak lama. Targetnya mencetak para penulis Islami langsung dari basisnya. Dengan senang hati saya menerima undangan Hj. Salma, pimpinan pondok pesantren putri Darul Ulum. Terhitung sejak 20 September-27 September 2014, kelas menulis bersama saya berlangsung.
Mengambil tempat di ruang perpustakaan, jadwalnya diambil tiga kali pertemuan pada awalnya; pagi bada subuh, sore bada ashar dan malam bada isya. Namun, melihat anak-anak banyak yang kelelahan dan mengantuk, boring, terutama saat bada isya akhirnya ditiadakan. Digeser dan waktunya ditambahkan satu jam ke kelas sore hari.
Materi yang saya berikan sudah disiapkan, spesial modul menulis yang pernah saya dan tim lakukan di beberapa tempat. Mulai dari motivasi mereka menjadi seorang penulis, mengatur waktu, menangkap ide dan mengeksplorasinya menjadi sebuah tulisan memikat, hingga berurusan dengan media, mencermati surat perjanjian, aktif menjual karya yang telah diterbitkan sebagai buku.
Absensi Bergeming
Hari pertama di ruang perpustakaan, tanpa bangku dan kursi alias santri duduk lesehan sementara saya di depan dengan bangku dan laptop serta perangkat LCD. Peserta tercatat 52 santriwati setingkat Aliyah. Dua orang panitia, Mbak Uul dan Mbak Iil, demikian saya diperbolehkan memanggil nama kedua akhwat ini, siap dan cekatan sekali membantu jika diperlukan. Ditambah Mbak Ifa, putri KH. Muhammad Syamsul Arifin, pimpinan pesantren.
“Nanti juga akan terseleksi sendiri. Mana saja yang bisa bertahan dan siapa saja yang akan mundur. Tidak tahan dengan gaya saya, mungkin,” kataku berseloroh.
“Insha Allah, semoga tetap istiqomah, Teteh,” ujar Mbak Uul, terdengar penuh harap.
Hari kedua yang hadir berkurang 10, hari ketiga pun berkurang belasan, bahkan hari ketiga hatiku langcung menciut. Tinggal dua baris saja.
Artinya tidak lebih dari belasan peserta!
“Nah, lihat kan, Mbak Uul, Mbak Iil, apa kata Teteh waktu itu?” ujarku menahan perasaan tidak enak dalam hati.
“Tenang saja, Teteh. Hari ini kebetulan ada ulangan, mungkin anak-anak ingin fokus. Nanti sore mudah-mudahan mereka sudah bisa atur waktu,” kata Mbak Iil menenangkan.
Syukurlah, ternyata pernyataan Mbak Iil ini ada benarnya. Kelas menulis bersama saya sampai sesi terakhir, tetap dihadiri oleh peserta yang tak bergeser jauh dari hari pertama.
Serunya Lintas Alam Malam
Untuk menyemangati dan mengarahkan para santri putri dalam hal menemukan ide, menggalinya langsung dari orang atau lingkungan mereka, saya ajak mereka lintas alam. Waktunya diambil malam Jumat, karena esok hari mereka libur.
“Asyiiiik! Aku di depan, di depan, aaah!” seru Sarah, cucu Kyai, semangat sekali.
“Aku juga mau di depan,” kata Khadijah, sepupunya, tak mau kalah semangat.
“Aku di mana, Manini Teteh?” cetus Amatullah, putri Neng Salma.
Tiga cucu Kyai ini memang paling semangat dan kompak sekali. Biasanya mereka lebih dahulu menyerahkan tugas berupa tulisan; puisi, resensi, cerpen.
Malam Jumat itu terasa semarak, barisan kader penulis, para calon mujahid pena pontren putri berderap. Barisan bergerak menyusuri jalanan di seputra pondok pesantren. Tiba di lapangan terbuka di bawah cahaya lampu, saya meminta mereka berhenti.
“Silakan, anak-anak cantik dan solehah, tuliskan apa saja yang kalian lihat sepanjang jalan tadi,” pinta saya yang segera disambut mereka dengan semangat.
Baru beberapa menit mereka menulis tiba-tiba; preeeet!
“Yaaaa, mati lampunya!” seru para santri.
“Tidak apa, ayo kita geser ke sebelah sana,” ajak Mbak Iil dan Mbak Uul segera memompakan semangat. Dalam sekejap barisan calon mujahid pena pun bergerak ke depan gedung Tsanawiyah.
Hening beberapa saat lamanya, semua konsentrasi menulis di buku harian masing-masing. Saya wajibkan mereka membawa catatan setiap kali mengikuti kelas menulis. Hingga saat ini pun penulis sepuh begini masih juga selalu membawa catatan harian. Penting untuk seorang penulis untuk segera menuangkan ide yang berseliweran di sekitar kita.
Keakraban Mengharu Biru
Hari demi hari berlalu, kelas menulis pun terus berlangsung. Terasa keakraban di antara peserta dengan saya kian mengental. Pernah satu sesi lintas alam kedua, lima peserta tidak bisa ikut karena bentrok dengan kegiatan lain.
Salah seorang santri putri sedih sekali, seraya menggelendot manja di lengan berbisik kepadaku:”Tapi hatiku tetap bersama Bunda,” lirihnya mengharukan hati.
“Halaaaah, lebaaaay!” teman-teman meledeknya, ia tersenyum manis.
Dari hari ke hari tugas-tugas rutin mulai terkumpul, bersama Mbak Uul dan Mbak Iil, kami menyeleksi naskah-naskah yang mburudul. Ada tugas akhir yang sejak hari pertama diwartakan, yakni; menulis kisah inspirasi seputar sukaduka selama tinggal di pontren putri
Darul Ulum Banyuanyar.
Satu demi satu tugas akhir pun disetorkan, langsung saya cermati sebelum tidur. Semakin rapi, tertata apik dengan bahasa yang bagus, ada karakter, penglataran dan dialog-dialog nyambung.
“Bagaimana, Teteh, sudah terjaring siapa saja yang berpotensi menjadi penulis?” tanya Hj. Salma pada hari kelima. Artinya telah lebih dari 10 pertemuan kelas menulis berlangsung.
Putri sulung Kyai inilah yang punya gagasan kelas menulis, mencetak kader-kader penulis yang selanjutnya akan menjadi ujung tombak, menyebarkan virus menulis di kalangan santriwati.
Dari diskusi rutin kami ada banyak gagasan yang diharapkan bisa terwujud satu demi satu. Mencetak SDM dari kalangan santriwati, memberdayakan mereka yang memiliki potensi masing-masing.
Saya mencoba untuk membantu dan akan terus memantau hasil kelas menulis, minimal mempertahankan dan menguatkan para santri yang ingin menjadi seorang penulis profesional. Terutama santri yang bercita-cita menjadi seorang mujahid pena, melahirkan karya-karya Islami yang mencerahkan.
“Konsultasi menulis Online, mari, tetap berlangsung,” himbau saya yang segera disambut hangat oleh Hj. Salma.
Diberi Judul Pesantren Idaman
Setelah kembali dari Banyuanyar, baru beberapa hari saja sudah terasa kerinduan menggelitik hati ini. Ingin merasakan senantiasa nuansa pondok pesantren putri. Sensasi, ghirah menuntut ilmu yang menguar dari pelosok pondok, sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.
Maka, segeralah saya menyunting kumpulan naskah yang dikirimkan oleh Mbak Uul dan Mbak Iil. Dengan menambah nuansa dan pelataran serta dialog segar, tanpa mengurangi esensi naskah aslinya, saya menyelesaikan naskah ini.
Pesantren Idaman, akhirnya saya mengajukan judul yang diambil dari salah satu tulisan karya Mila El-Mans, sebelum dipertimbangkan oleh Hj.Salma yang selalu terhubung dengan saya melalui telepon jarak jauh.
Boleh jadi buku ini masih belum bisa disebut sempurna, tetapi bila mengingat bahwa Yang Sempurna hanya milih Allah Swt. semata. Kiranya buku ini patut diapresiasi, baik oleh warga Darul Ulum pada khususnya, maupun masyarakat literasi dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tahniah, Pesantren Idaman!
Daftar Isi;
i. Sekapur Sirih: Baca dan Menulislah! – Hj. Salma Syamsul Arifin
ii. Prolog: Pesantren Idaman - Pipiet Senja
1. Berkas Cahaya – Amatullah Zaini
2. Celoteh Penulis Cilik – Sarah Hasbunalla
3. Assalamu’alaikum Manini – Khadijah Hannan
4. Catatan Mini Anak Kecil – Sumayyah Zaini
5. Pesantren Idaman – Mila El-Mans
6. Makna Kehidupan – Zhopie
7. Cinta Bersemi di Tanah Suci – Someone
8. Engkau Harapan – Insan Addaif
9. Satu Kisah Menanti – As Syarief bintu Sholeh
10. Allah Maha Pengasih – Amatullah Zaini
11. Siapa Bilang Aku Idiot – Ray Star
12. Menoreh Asa – Ayrha Pasir
13. How To Ustad Your Habits: Felix Y. Siauw – Kaifa Shams
14. Lintas Malam Jumat – Sobah Hasbullah
15. Benteng Suci Darul Ulum – Olivia Syahrozy
16. Pencarian – Chemry
17. Hening Itu Indah – Imroatul Mufida
18. Inilah Ceritaku – Ruqoyyah
19. Karena Cahaya Ilahi – Kaifa Shams
20. Cinta Anak Rohis – Kaifa Shams
21. Menanti Restu – Kaifa Shams
22. Suara Hati Santri - Maiyah Arrosyid & Kartini
23. Pemuda Tonggak Kebangkitan – Kaifa Shams
24. Perlu Beristighfar – Kaifa Shams
25. Sebuah Eksistensi Dinanti – Kaifa Shams
iv. Biodata Para Penulis
v. Album Kelas Menulis
↧
↧
Seronok Negeri Jiran: Geliat Sastra Migran di Malaysia
Minggu, 29 September 2013
Diundang oleh panitia kampus UPSI Universitas Pendidikan Sultan Idris, bertempat di Tanjung Malim, Perak, saya diinapkan di asrama Internasional UPSI. Berawal dari kedekatan dengan anak-anak Forum Lingkar Pena Hadhramaut, Yaman, melalui aktivisnya Arul Chairullah. Tidak mengira aktivitas kepenulisan di Yaman ternyata sangat melaju kencang, membuahkan karya berjudul; Simfoni Balqis. Salah satu cerpen yang ada di buku antologi Simfoni Balqis ini adalah karya Arul Chairullah.
Ini adalah kedatanganku ke sekian kalinya di Negeri Jiran, istilah anak-anakku;”Manini pusing-pusing Malaysia,” acapkali membuatku nyengir kuda bukan mesem-mesem. Sebab pusing-pusing yang bermakna keliling-keliling, terkadang malah menjadi pusing tujuh keliling sungguhan. Alamak!
Ada saja sesuatu yang menggiringku ke dalam posisi pusing ini. Mulai keberangkatan pagi sekali dari rumah putriku di Kota Wisata Cibubur, jalanan yang senantiasa superduper macet. Miskom alias kesalahpahaman dengan petugas Imigrasi Raja Di Raja Malaysia. Hingga berpacu dengan waktu saat hendak pulang, nyaris ketinggalan pesawat.
Baiklah, setelah menginap di kamarnya Lailan dan kawan-kawan, asli Aceh yang sedang menuntut ilmu meraih Master, tibalah hari H. Acaranya pukul dua di kampus lama UPSI. Anak-anak angkatku, Dewie DeAn dkk, TKI di kawasan Ipoh, sudah sejak pekan lalu kontak-kontakan. Mereka siap hadir!
Mengambil ruangan terbuka di lantai dua, acara dibuka dengan kumandang lagu Indonesia Raya, dilanjurkan mars kampus UPSI, sambutan PJ acara. Sesi pertama dipersilakan kedua penulis Simfoni Balqis, yakni; Arul Choirullah. Pembicara satu lagi adalah Ulka Chandini Pendit, kandidat PhD asli Bekasi.
Agaknya ini lebih patut disebut semacam talkshow, bukan bedah buku sebagaimana tertulis pada background di podium. Tidak ada pembedah, hanya dua pembicara sebagai wakil penulis buku Simfoni Balqis. Arul memaparkan seputar proses kreatif hingga terkumpul 100 naskah dari penjuru dunia, anggotanya kebanyakan PPI. Sedangkan Ulka menutur kerangka cerpennya yang mengambil nama tokoh si Kuat,
Saat giliranku, tidak panjang buang waktu karena memang hanya diberi tempo satu jam saja. Langsung saja sok narcis, sok gaya, menyaji video Berkelana Dengan Buku, seputar aktivitasku sebagai penulis, terutama bersama kaum Buruh Migran di beberapa negara tetangga; Malaysia, Singapura, Hong Kong, Macau dan Shenzhen.
Dilanjutkan dengan sesi dialog interaktif yang serempak disambut oleh Dewie DeAn bersama rombongan pengajian FOKMA. Mahfudz Tejani, koordinator PPI Universitas Terbuka Kuala Lumpur, membawa rombongannya. Salah satunya adalah si dermawan push-up, ketika acara lelang pengumpulan dana untuk Pipiet Senja, beberapa waktu yang lalu.
Seperti biasa aku membawa suasana menyebar virus menulis ini ditengarai dengan canda, akhirnya nuansanya mencair dan dipenuhi oleh gelak tawa. Maklum si Manini Pipiet Senja mah turunan Sule, komentar entah siapa malah menambah heboh suasananya.
Antusias dan semangat menuntut ilmu anak-anak TKI seakan mengalahkan kehadiran mahasiswa yang bisa dihitung dengan jari. Banyak yang masih berada di kampung halaman karena libur panjang. Buku-buku pun diborong oleh mereka.
Sesi terakhir giliran pensyarah Doktor Makmur Harun, dosen asli Jambi dengan gaya kebapakan, memaparkan perihal “adumanisnya” karya sastrawan Malaysia dengan sastrawan Indonesia.
Sebelum usai acara, terpaksa dengan rasa menyesal Dewie DeAn dkk minta pamit. Mereka harus kembali ke Ipoh dan melanjutkan perjuangan, bekerja shift malam di kilang atau pabrik.
Ada rasa haru-biru jauh di lubuk hati ini, tatkala mengantar kepergian para perempuan tangguh itu, hingga lenyap dari pandangan. Dalam keterbatasan waktu, mereka terus berjuang ingin menambah ilmu sebanyak-banyaknya. Berharap kelak dapat mengangkat harkat derajat mereka ke strata yang sejajar dengan kaum perempuan lain, setara dengan jebolan perguruan tinggi bergengsi manapun.
Minggu, 23 November 2014
Kali ini aku kembali ke Negeri Jiran dengan sponsor tiket dari Dompet Dhuafa sebagai Duta Wakaf. Untuk membuat acaranya semarak, aku minta bantuan Dewie DeAn dan Mahfudz Tejani. Agar mereka menggebah massa sekaligus mengurus tempatnya. Hanya dalam hitungan hari, promosi gencar melalui medsos, FB dan Twitter. Prestasi hebat untuk sosok TKI, tetapi mengingat mereka pun mahasiswa, maka wajar saja jika sepak terjang mereka terbilang tataran agresif.
Semalam diinapkan di apartemen Shah Alam, punya majikan Aisy Laztatie si penulis buku Babu Backpacker. Bersama sebagian panitia, termasuk Dewie DeAn yang jauh-jauh dari Ipoh datang ke Kuala Lumpur demi sukses acara. Sungguh mengharukan sekaligus membanggakan melihat kekompakan TKI plus ini.
Dewie DeAn dan Mahfudz Tejani yang selalu siap koordinasi dengan teman-temannya. Agus Purwanto si ketua PPI UTKL sigap menjemput bersama Khoiril Anwar. Aisy Laztatie alias Dessy yang sigap menyetir mobil, mengantar kami ke mana-mana. Wow, luar biasa!
Mengambil tempat di Es Teller kawasan Pasar Seni, Kuala Lumpur, kali ini aku mengajak serta Abrar Rifai, novelis, pemimpin muda dan gaul sebuah pesantren di Malang. Kulihat sekilas lantai dua itu sudah penuh sesak oleh peserta dengan tema; Berzakat Melalui Goresan Pena. Acara berjalan santai, boleh sambil makan dan minum pesan dari lantai bawah.
Abrar Rifai mengawali, berbagi kiat menulis, menularkan semangat serta nikmatnya menjadi seorang penulis. Ia pun tak lupa mengingatkan untuk berbagi sedekah, zakat kepada Masjid Madina yang sedang dibangun oleh Dompet Dhuafa. Giliranku tampil langsung saja berbagi ilmu kepenulisan, tanpa basa-basi, tak perlu praktek lagi melainkan; menulislah sekarang juga!
Memang inilah tujuan utamanya, selain sebagai Duta Wakaf Dompet Dhuafa. Tak lain demi meneror peserta untuk menulis, kali ini harus menghasilkan karya, mumpung ada yang berkenan sponsor cetak bukunya. Ketika ditantang untuk menulis bersama dalam tempo sepekan, peserta spontan berseru kompak:”Siaaap, Manini!”
Pada kesempatan ini aku pun jumpa dengan sahabat maya Rita Audriyanti, penulis buku Haji Koboi. Kami berpelukan dan foto bersama. Sebuah kejutan menyenangkan setiap jumpa dengan sosok yang bisa akrab curhatan di dunia maya, lantas temu langsung di dunia nyata. Pokoknya, kata anak gaul sih; beud bingiiiits!
Malam kedua aku diantar ke condo kediaman Bapak Rachmat Widiyanto, Direktur Bank Mandiri cabang Kuala Lumpur. Menginap di tengah keluarga harmonis ini, Ibu Santi Rachmat, selalu ramah dan tulus menjamuku. Jadi terkenang saat kebersamaan di Hong Kong beberapa tahun silam. Saat Bapak Rachmat Widiyanto berdinas di Negeri Beton.
Esoknya pagi sampai tengah hari aku ikut mengisi pengajian ibu-ibu. Di sini pun sungguh, hati ini mengharu biru dengan ketulusan ibu-ibu taklim. Begitu Ibu Santi Rachmat memperkenalkanku, sekilas menuturkan bagaimana kondisiku dan perjuangan si Manini ini dalam menyambung nyawa. Ibu-ibu spontan memborong buku novel yang aku bawa, laris manis, halas!
Ada Riry Bidadari Azzam, sahabat sejak Multiply yang telah berbelas tahun kenal di dunia maya, akhirnya jumpa di taklim ini. Subhanallah, semangat dan sangat menginpirasi saat dia memberi testimoni tentang sosok Pipiet Senja di matanya. Ini beud bingiiiiits kedua untukku agaknya. Sungguh, mengharukan nian, terima kasih, ya Riry solehat.
Maka, inilah buku Seronok Negeri Jiran yang telah aku sunting selama dua pekan. Membutuhkan waktu khusus dan kesabaran tersendiri. Sebab sambil menanti naskah masuk ke email, aku harus wara-wiri ke rumah sakit, seperti biasa menambal yang error, menyumpal yang bermasalah di badan ringkih ini.
Dari puluhan naskah yang masuk, akhirnya 20 tulisan inilah yang berhasil diedit sekaligus menyuntingnya. Tidak semuanya TKI, ada dua WNI status mahasiswa; Muhammad Iqbal Almaududi dan Ulka Chandini Pendit. Dua penulis senior; Rita Audriyanti dan Bidadari Azzam. Seorang ibu rumah tangga, Aida Akhyar.
Ada sedikit yang diubah, judul dan beberapa bagian seperti narasi menjadi dialog komunikatif. Ini diperlukan demi menyajikan kisah inspirasi yang enak dibaca, dinikmati oleh masyarakat luas. Tidak ada perubahan secara esensi, makna dan missi tulisannya. Insha Allah.
Semoga buku Seronok Negeri Jiran ini menambah semangat anak-anak TKI plus dari Malaysia untuk terus berkarya di bidang literasi. Agar kelak berlahiran para penulis mumpuni dari kalangan buruh migrant, semakin banyak, banyak dan lebih banyak lagi.
Spesial terima kasih kepada sponsor Cargo Mandiri Sejahtera, Sdr. Wawan Syakir Darmawan yang sangat antusias mendukung penerbitan buku Seronok Negeri Jiran dan Babu Backpacker. Demikian pula kepada Telin Malaysia yang bekerja sama dengan Pipiet Senja Publishing. Semoga ikhtiar kita ini diberkahi Allah Swt.
Adapun Daftar Isi Seronok Negeri Jiran sbb:
i.Sekapur Sirih: H.Wawan Syakir Darmawan
ii.Prolog: Seronok Negeri Jiran – Pipiet Senja
1.Bukan Cita-Cita – Dewie DeAn
2.Bangga Menjadi TKI – Aghoes Arpansa
3.Kopitiam VS Kedai Mamal – Rita Audriyanti
4. Inilah Prestasi TKI – Afif Arohman
5.Datang Untuk Menang – Risa Alkharizmi
6.Sejujurnya Demi Ibu – Fie Riani
7.Hatiku Tertinggal di Penang – Resti Utami
8.Duduk Kat Kuala Lumpur – Bidadari Azzam
9.Bukan Sandiwara – Mahfudz Tejani
10.Melangkah Bersama Dakwah – Aida Akhyar
11.Senja di Stasiun Putra – Fahim Muhammad
12.Jangan Biarkan Sayap Patah – Marini
13.Cinta Terlarang – Tyas Maulita
14.Kisah Kasih di Malaysia – Marina
15.Demi Mewujudkan Mimpi – Miya Riswanto
16.Semarak Negeri Serumpun – Muhammad Iqbal Almaududi
17.Majikan Bule – Aya Jayita
18.Mutiara Dalam Pasir – Aisy Laztatie
19.Mengais Rezeki Menuai Dakwah – Nie Sha Alfarishah
20.Neraka dan Surga – Nasrikah Sarah
21.From Zero To Hero – Ulka Chandini Pendit
22.Melacak Jejak – Khoiril Anwar
Selamat, ya teman-teman WNI di Malaysia.
Tahniah dan Bravo, Seronok Negeri Jiran!
Salam Bahagia: Pipiet Senja
↧
Mengejar Pelangi Tri Handayani: Kisah Keajaiban Penyintas Kanker Nasofar
November, 2014
Bertemu dengan Aminah Mustari setelah lama tak bersua. Ia cerita tentang seorang daiyah Tri Handayani. Ia pun menyodorkan beberapa lembar print-out agar segera bisa kubaca.
“Subhanallah! Pejuang kanker yang luar biasa tangguh,” komentarku saat membaca sekilas catatan medisnya.
“Maukah Teteh menuliskannya sebagai buku?” tanyanya tiba-tiba.
“Seperti apa?” balik aku bertanya.
“Seperti buku-buku karya Teteh yang berdasarkan kisah nyata.”
“Iya, ini maunya berupa apa? Memoar atau novel inspirasi?”
Aminah Mustari tertawa dan menatapku.”Ada saja si Teteh ini istilahnya. Coba jelaskan apa bedanya memoar dan novel inspirasi?”
Aku pun mesem dengan istilah yang kubuat ini. Lagipula, jika dinalar, aku ini apalah selain tukang menulis? Muslimah lembut dengan senyum manis yang sedang santap siang di depanku, selain editor handalan penerbit Nasional, penulis buku anak peraih Islamic Book Fair Award pun sarjana bahasa alumni Universitas Indonesia.
“Jangan begitulah, Teteh, kan sudah ratusan karyamu. Jadi maunya dibikin seperti apa berdasarkan catatannya ini?” burunya penasaran.
“Ya, pertama karena mbak Tri ini pasien sepertiku, itu Teteh tertarik,” ujarku mulai merasa senasib, seorang perempuan yang berjuang mempertahankan nyawa demi anak-anak.
Tri Handayani, demikian nama lengkapmya, awalnya seorang atlit karateka volly serta renang. Masa remaja yang tangguh, ceria, dan sangat didukung oleh keluarga. Terutama ayahnya yang disebutnya semacam Obor Kehidupan. Tak bisa dibayangkan, bagaimana hancur hatinya tatkala dokter memvonisnya; kanker Nasofaring. Sedang ayahnya belum lama dipanggil Sang Pencipta.
Aku ingin melakukan pendekatan secara pribadi, agar bisa menangkap ruhnya dari naskah yang akan kami garap ini. Namun, disebabkan jadwal kami, aku dan Tri agak susah dicari temu, akhirnya hanya sekali bisa temu muka langsung. Selanjutnya kami memanfaatkan Whats’App untuk berkomunikasi secara rutin.
Dari Cibubur menuju rumahnya di kawasan Kranji, Bekasi, lumayan jauh dan sempat nyasar, dua kali melewati jalan Banteng. Akhirnya kami minta dijemput di lahan proyek perumahan.
Sosok itu, ustadah yang memegang 14 majelis taklim ibu-ibu, dibonceng motor oleh keponakannya. Jilbabnya yang lebar berkibar-kibar manis, senyumnya mengembang ramah. Sekilas ia tak terkesan sebagai pasien yang pernah dinyatakan in-coma, menjalani operasi tujuh kali, ratusan kali penyinaran dan kemoterapi.
Sosok mantan atlit, pemegang sabuk hitam karate itu tersenyum ramah begitu mengenali keberadaanku. Kami berpelukan layaknya sahabat yang telah lama tidak jumpa.
Wawancara pun dilakukan di kediamannya di gang sempit di antara rumah yang berdempetan. Beberapa langkah dari rumahnya ada setelempap lahan, diakuinya sudut ini akan penuh dengan motor para karyawan, ibu-ibu yang mengaji rutin di bawah bimbingannya.
Suami yang baik hati, setia serta senantiasa menyemangati sedang tidak berada di rumah. Ia alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Yogyakarta. “Aku memiliki suami yang mencintaiku tulus dan selalu mendukung dakwahku. Ke mana pun aku mengajar dia antar dengan motor. Menungguiku meski harus berjam-jam. Dia selalu memberi motivasi kepadaku, memberi masukan bagi setiap permasalahan dakwah yang aku hadapi,” papar Tri Handayani.
Mendengar langsung sebagian peristiwa yang telah dilakoninya, setelah membaca seluruh catatannya, ada sensasi berbeda yang kutangkap. Aku bisa merasakan bagaimana hari-hari yang penuh rasa sakit; penyinaran, kemoterapi, injeksi, opname berbulan-bulan, sampai operasi berkali-kali.
Aku pernah berada di posisi serupa, divonis dokter tak ada harapan hidup. Kemudian keajaiban itu datang; bisa hamil dan melahirkan dengan normal. Bedanya aku mengalaminya sejak kecil, pasien seumur hidup. Tidak bisa sekolah tinggi, secara formal sampai kelas dua SMA, ijazah yang kumiliki pun hanya setingkat SMP.
Lain halnya Tri Handayani, mulai sakit setelah kuliah hingga saat ini, meski tampak sehat terkadang kumat, sakit kepala hebat, mimisan dan muntah darah. Di tengah serbuan penyakit kanker itulah, Tri Handayani tetap sekolah hingga berhasil meraih ijazah S2.
Sungguh, inilah perempuan super tangguh!
Satu hal lagi yang mengikat kami berdua adalah visi dan misi; mencerdaskan ummat dengan syiar dakwah. Tri Handayani dengan syiar dakwah secara lisan. Aku sendiri dengan dakwah bil qolam.
Alhasil, klop!
“Apakah kisahku ini menarik untuk dibukukan, Teteh?” itulah pertanyaan yang memungkas percakapan kami.
Kujawab lugas.”Tentu saja, kisahmu sangat menginspirasi, Dek. Bukan saja untuk kaum kita perempuan, melainkan juga untuk ummat. Terutama bagi mereka yang sedang mengalami penyakit mematikan, bisa membuat terpuruk ke dalam keputusasaan. Membaca kisahmu akan menginspirasi, menyemangati dan mencerahkan mereka.”
“Pernah aku menyampaikan keinginan menulis buku kepada seorang dokter. Dia bilang, lantas apa bagusnya?”
“Aduh, itu kan menurut kacamata seorang dokter. Lah Wong setiap saat ada saja pasien parah dan mati di tangannya,” tukasku mendadak sewot dengan tanggapan si dokter.
Bukannya didukung, seperti dokterku di masa remaja dulu, ini malah mematahkan semangat pasien. Aneh!
“Begitu, ya Teteh,” ujarnya kembali bersemangat.
“Percayalah, Dek, banyak manfaatnya jika kita rekam jejak. Lantas menyebarkannya kepada sesama pasien,” pungkasku menyemangatinya. Ia menganguk dan wajahnya semakin berseri dengan sepasang mata berbinar indah.
“Bisa berapa lama Teteh menggarapnya?” Aminah Mustari menanyaiku, saat kami pulang.
“Beri waktu sekitar enam pekan, ya Dek, insya Allah akan teteh tuntaskan.”
Hari demi hari aku menuliskannya, adakalanya aku harus tertegun lama dan merasakan kesedihan luar biasa. Perjuangan Tri Handayani dalam melawan kanker, menjalani oeprasi demi operasi dalam keterbatasan dana, subhanallah!
Sosok bapak yang menyemangati serta ibu yang senantiasa ada saat dibutuhkan, sungguh mengingatkanku kepada orang tuaku yang telah tiada.
Satu kali, dinihari setelah sholat tahajud, kembali aku duduk di depan laptop. Mendadak aku ingin sekali menangis, bab terakhir yang kugarap adalah bagian Tri bersama ibunya desak-desakan di kosan di antara para pasien kanker yang berguguran satu demi satu: Menyerah!
Aku pun pernah mengalami hal serupa, hanya tidak di kosan melainkan di sebuah rumah singgah di kawasan kumuh belakang RSCM. Tidak ada lagi emakku, tetapi didampingi seorang anak perempuan. Jadi kebalikan dari Tri, aku bisa mengandalkan anakku di kala keadaan darurat. Butet sampai tidak lulus satu mata kuliah demi menemaniku di rumah sakit, menjelang operasi pengangkatan kandung empedu dan limpa.
Aku menangis, tentu saja, mengingat dua kali menjelang melahirkan tim dokter mengajukan pilihan; aborsi atau kehilangan nyawa. Ya Allah, terima kasih, Engkau masih memberiku kekuatan untuk berjuang mempertahankan janinku. Sehingga memiliki dua anak yang bisa diandalkan dan dibanggakan.
Maka, aku pun menuliskannya terus sambil melanglang Negeri Jiran, memenuhi undangan anak-anak BMI Malaysia. Maklum, aku digelari sebagai emaknya kaum BMI. Mereka membutuhkan keberadaanku untuk meneror agar menjadi penulis, mengikuti jejakku, memperkuat barisan penulis Indonesia.
Akhirnya, inilah jadinya buku yang berdasar kisah nyata seorang ustazah, guru mengaji dari Kranji, Bekasi. Aku memilih bentuk sebuah novel inspirasi, karena jika memoar sebaiknya ditulis oleh penulisnya pribadi.
Tri Handayani memberikan catatan, aku mengembangkannya dengan dialog-dialog, beberapa tokoh fiktif dan penglataran agar terasa hidup. Namun, aku tidak mengubah esensi makna keseluruhan kisahnya. Semoga buku Mengejar Pelangi ini bermanfaat dan mencerahkan untuk ummat.
Salam Perjuangan
Pipiet Senja
↧
Hati-Hati Beli Online: Komplain Kepada Lazada Indonesia
Kronologisnya: putriku memesan barang kepada Lazada melalui online,
Dipesan pada 2015-01-17 21:16:05 Nomor pesanan 301621763 Nama Produk Kode Produk Jumlah
Apple iPhone 5 - 64 GB – Putih AP082ELAIDAJANID-421042
Pada tanggal 29 Januari 2015 mendapat email yang menyatakan bahwa barang tidk ada dan dana akan dikembalikan dalam tempo maksimal 14 hari kerja.
Ini adalah pegalaman yang paling menyebalkan yang pernah saya alami dengan portal niaga terkenal sekaliber: Lazada Indonesia! Ini adalah upaya langkah kedua yang saya ambil, setelah berkali-kali melakukan pendekatan melalui chatt live dan email langsung dengan pihak Lazada.
Ini jawaban email yang pertama kepada saya atau kedua setelah membalas email dari putriku zhiclopedia@gmail.com, karena dia yang pertama memesan barangnya kepada Lazada.co.id
Dear Etty Hadiwati ,
Kami informasikan bahwa pengembalian dana sebesar 5240000.00 untuk produk pesanan Anda (seperti terlampir di bawah) dengan nomor order 301621763 telah dimulai.
Waktu estimasi transfer ke akun Anda tergantung pada pilihan cara pengembalian dan bank terkait. Mohon mengacu pada Pengembalian Dana (http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC01IU0801JMIRQ0&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) untuk estimasi akurat.
Dipesan pada 2015-01-17 21:16:05 Nomor pesanan 301621763 Nama Produk Kode Produk Jumlah
Apple iPhone 5 - 64 GB – Putih AP082ELAIDAJANID-421042
Karena ditunggu-tunggu sudah melewati 14 hari kerja, sebagaimana dijanjikan, maka saya mengirim lagi email sbb: Pada 26 Februari 2015 18.03, Pipiet Senja menulis:
Mau tanya, bagaimana ini kelanjutannya? Apakah tidak bisa baik-baik sajalah mengembalikan dananya? Atau Lazada ingin hal ini kita blow up di medsos?
Pipiet Senja (Penulis Indonesia) ini nomer yang bisa dihubungi langsungl 085669185619
Sudah dicek beberapa kali ke pihak Bank, tidak ada pengembalian dana!
Jawaban email ketiga, Saudara!
Kami informasikan bahwa pengembalian dana sebesar 5240000.00 untuk produk pesanan Anda (seperti terlampir di bawah) dengan nomor order 301621763 telah dimulai.
Waktu estimasi transfer ke akun Anda tergantung pada pilihan cara pengembalian dan bank terkait. Mohon mengacu pada Pengembalian Dana (http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC01IU0801JMIRQ0&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) untuk estimasi akurat.
Dipesan pada 2015-01-17 21:16:05 Nomor pesanan 301621763 Nama Produk Kode Produk Jumlah
Apple iPhone 5 - 64 GB – Putih AP082ELAIDAJANID-421042
Terima kasih untuk kesabaran Anda. Mohon maaf kembali atas ketidaknyamanannya.
Silahkan kunjungi Help Center http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC01GVTA00JBTQ39&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) kami untuk tips terbaru dan pertanyaan yang sering diajukan. Silahkan jika Anda ingin menghubungi kami, jangan ragu untuk memberikan informasi disini (http://www.lazada.co.id/contact/).
Hormat kami,
Tim Lazada
Perlindungan dan Privasi Data
Informasi Anda aman bersama kami.
Silakan lihat Kebijakan Privasi (http://info.lazada.co.id/c/r?ACTION=ri&EMID=09004GC018J7801RFOD5J&UID=CGJB4JS5HM6TNPJTZODQ) kami.
Email ini dikirim oleh
Lazada Indonesia
Menara Bidakara 1 Lt.16
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 71 - 73
Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Saya tunggu lagi sampai lewat lagi 14 hari kerja. Sementara itu beberapa kali live chatt, jawabannya sungguh tidak jelas. Petugas bernama Satrio minta bukti Penagihan dari Bank. Saya kirimkan melalui email. Kembali menunggu dengan segala kesabaran yang dimiliki.
Karena tidak jelas juga, dan sudah dicek ke pihak Citibank bahwa tidak ada pengembalian dana baik bulan Pebruari 2015 maupun Maret 2015, maka kembali anak saya mempertanyakan hal tersebut. Saya pun mengirim email mempertanyakan itikad baik Lazada.
Jawabannya adalah sebagai berikut, ini yang entah ke berapa kalinya ya, saking sering mereka kirim jawaban yang sungguh mengecewakan dan sangat tidak jelas.
Pelanggan yang terhormat,
Email Anda telah kami terima dengan nomor tiket #2030363
Kami akan berusaha untuk menjawab email anda dalam jangka waktu 1 hari kerja, Untuk mendapatkan jawaban realtime Anda dapat menggunakan fasilitas LiveChat yang beroperasi selama jam kerja. Silahkan klik tombol “Live Chat” yang ada di sebelah kiri bawah website lazada.co.id Anda juga bisa melihat FAQ kami di http://www.lazada.co.id/help/ untuk melihat jawaban atas pertanyaan yang sering ditanyakan.
Terima kasih
Hormat Kami
Layanan Pelanggan Lazada.co.id
Sampai ditulisnya komplain Lazada ini, baru ada jawaban melalui email kepada zhiclopedia@gmail.com
Intinya; Lazada kembali meminta bukti penagihan dari Citibank, agar Lazada segera memulai proses pengembalian dana. Busyet deh, apa harus kirim bukti penagihan tia buan ke Lazada, begitu?
Saya menghubungi pihak Citibank, petugasnya mengatakan tidak ada pengembalian dana dari Lazada, dan tidak etis meminta lembar penagihan nasabah, sebab selama ini pun itu adalah bersifat Rahasia.
Sahabat, adakah yang pernah mengalami hal serupa dengan Lazada Indonesia?
Apa yang harus kami lakukan untuk mendapatkan hak kami kembali? Mohon itikad baik Lazada!
Jika masih tidak ada respon dan kejelasan juga bisa jadi kami akan mengambil langkah hukum. Sebab dana sebesar Rp.5240000 (Limajuta Duaratus Ematpuluh rupiah) adalah besar sekali.
Terima kasih
Tabik Pipiet Senja/Etty Hadiwati HP 085669185619
↧
Meretas Ungu: Menulis Sebagai Terapi Jiwa
Novel yang satu ini kutulis di tengah kisuh-misuhrumah tangga, bahkan sampai mengungsi ke rumah milik Ustadzah Yoyoh Yusroh. Ya, semuanya kugarap sepanjang hebohan tersebut, beberapa bulan sebelum puncak kekacauan yang nyaris saja membawa kami ke Pengadilan Agama.
Intinya, karena keputusan bapak anak-anak yang bersikeras akan menikah lagi, kemudian istrinya itu direncanakannya akan dibawa ke rumah alias disaturumahkan. Macam sinetron satu pondok dua cinta saja. Alamak!
Ketika itu, 2006, aku masih bekerja di Gema Insani Press sebagai staf ahli, bersama Mbak Yayuk, istri Tifatul Sembiring, dan Dian Yasmina Fajri. Saru hari aku mengajak Mbak Yayuk curhatan, saat itu aku sama sekali tak tahu bagaimana status istri pertama tokoh PKS ini.
“Mbak Yayuk, apakah pernah menghadapi situasi di mana kita harus merelakan suami yang ingin menikah lagi dengan perempuan lain?” tanyaku mengusiknya, menyelang dari saat rehat di ruang kerja kami.
“Insya Allah, saya sudah, Teteh sayang,” sahutnya terdengar kalem sekali, membuatku tertegun dan agak tak paham memaknainya.
“Maaf, sudah ini…, ehm, bagaimana, Mbak?”
“Iya, saya sudah mencarikan istri kedua untuk bapaknya anak-anak,” sahutnya pula, begitu tenang dan nyaris tanpa ekspresi.
“Maksudnya, Mbak Yayuk dipoligami, begitu? Istri ke berapa, ya?”
Wanita berwajah ayu, asli Lombok itu tersenyum tersipu-sipu.
“Saya istri pertamalah, Teteh sayang. Duh, Teteh ini bagaimana sih?”
Sejak itulah, setiap kali sosok ini muncul di kantor, aku mencoba mendekatinya dan melanjutkan curhatan. Spesial mengenai urusan poligami, ilmu ikhlas dan sabar, demikian yang ingin kuperoleh dari kedekatan kami.
“Dalam agama kita poligami kan memang diperbolehkan,” terngiang-ngiang terus kalimatnya yang mengawali rentetan tausyiahnya seputar; keluarga sakinah.
Maka, aku pun belajar menata hati, memperkuat kesabatan dan meneguhkan lagi setingginya, sekokohnya urusan ketegaran dan ikhlas. Luka hanya bisa terurai jika waktu yang membasuhnya, demikian pengalaman yang kupetik.
Sepanjang menulis novel Meretas Ungu yang kugarap dalam tempo relatif singkat, sekitar dua bulan saja, acapkali kepedihan itu begitu meluap. Aku harus lari ke kamar mandi, mengunci diri di dalamnya, kemudian membasahi sekujur tubuhku dengan air dingin sebanyak-banyaknya.
Tak jarang di tengah malam buta, dalam hening menjelang dinihari aku lama sekali tersungkur di atas sejadah. Mencoba mengadukan segala keluh-kesahku kepada Sang Maha Kasih. Setelah itu, aku kembali ke laptop, dan menumpahkan segala energi yang kumiliki, melanjutkan novel sesuai yang kuinginkan.
Menulis, akhirnya bagiku memang merupakan terapi jiwa!
Benar kata seorang sahabat yang sering diselingkuhi pasangannya. ”Daripada kita menangis, setres dan sakit kepala sendiri, mendingan juga kita berkarya. Karena aku seorang pebisnis, ya, aku salurkan saja segala kemarahan dan kegeraman itu pada duniaku ini.”
Sahabatku berhasil melampiaskan nestapanya sekaligus amarahnya untuk hal-hal yang positif; memajukan perusahaannya, menyejahterakan karyawannya.
Aku pun karena bisanya menulis ya berkaryalah. Betapa ingin kubuktikan kepada dunia bahwa aku bukanlah seorang perempuan lemah. Aku masih mampu berjuang, meskipun tanpa dukungan pasangan hidupku. Insya Allah; Bisa!
Novel Meretas Ungu adalah satu-satunya bukuku yang diformat dengan hardcover. Sungguh buku yang yang cantik, bernuansa ungu, warna favoritku. Aku meluncurkannya dan membedahnya di beberapa tempat; Riau, Singapura dan Mesir.
↧
↧
Cerpen: Sepotong Musim Semi
Bandara Narita, suatu petang di musim semi yang hangat dan lembut. Pesawat KLM beberapa saat lalu telah mendarat mulus di landas pacu bandara yang terkenal dengan teknologi canggih se-Asia. Para penumpang mengalir keluar dari pintu kedatangan. Petugas memeriksa bawaan mereka dengan ketat.
Belakangan suasana bandara di seluruh dunia dicekam ketakutan dan kengerian luar biasa. Ini diakibatkan oleh sejumlah peristiwa pemboman hebat di berbagai belahan dunia.
Haekal, seorang pemuda berseragam militer antri dengan sabar di antara para penumpang yang baru tiba dari Holland. Sekilas ia melayangkan pandangannya ke kejauhan. Adakah anak bawel itu di antara para penjemput?
“Aku bukan anak bawel lagi, Brur! Aku sudah dewasa, sudah akhwat…” katanya melalui email. Ketika itu Zakia mahasiswi di Universitas Indonesia. Begitu bangga dia menceritakan tentang rekan-rekan apa itu, kawatnya? Seperti apa rupanya sekarang anak bawel itu? Masih tomboykah dia, rambut cepak dan celana jeans belel bolong-bolong?
“Yokoso Nihon e irasshaimasen…1” seorang pramugari yang melintas di sebelahnya, iseng menyapa pemuda itu. Serdadu Kerajaan Belanda. Ganteng sekali dia. Harum jantan meruap dari tubuhnya, hmm!
"What?” Haekal celingukan. Ia telah selesai melalui pemeriksaan, keluar berdampingan dengan pramugari yang memiliki wajah mirip boneka Jepang koleksi ibunya itu. “Exuse me… Anda bicara apa?” susulnya dalam bahasa Inggris.
“Anata no o-namae wa nan desu ka? Ryoko wa tanoshikatta desu ka?”2
Gadis Jepang itu semakin tergairah menggodanya. Ia tahu gerak-geriknya tengah diperhatikan oleh rekan-rekannya dari kejauhan. Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat ringkas di hadapannya.
“Hai, BrurHaekal!” Zakia tersenyum ramah kepada sang pramugari. “Domo arigato3… Dia sepupu saya dari Holland,” katanya dalam bahasa Jepang yang lumayan sambil membungkuk hormat. Haekal terlongong dan berdiri dengan rikuh.
“Sayonara, sayonara…” balas sang pramugari tersipu malu dan menatap wajah keduanya sekilas.
Gadis Jepang itu kemudian gegas-gegas berlalu, menuju beberapa rekannya yang masih memperhatikan pagelarannya sambil cekikikan.
Haekal masih rikuh sambil memandangi makhluk jelita, enerjik dan terus-menerus tersenyum bandel ke arahnya. Ooo, pasti ini dia si bawel Zakia Siregar, pekiknya dalam hati. Sekejap Haekal sudah memeluk gadis itu.
"Huss, jangan begini!” Zakia merenggangkan pelukan sepupunya.
“Kamu adikku!” Haekal mejawil hidungnya seperti kebiasaan saat mereka kecil dahulu.
“Tidak juga, kamu yang adikku. Sebab Mamaku kakak Mamimu,” balas Zakia mulai memperlihatkan keras kepalanya.
Haekal tertawa lebar, kemudian tiba-tiba teringat sesuatu. “Hei, tadi itu apa sih? Kamu bicara apa dengan pramugari itu?” protesnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan bagus.
Ini kejutan, bila mengingat dia telah meninggalkan Indonesia sejak umur lima tahun. Tante Arnie pasti telah berusaha keras mewariskan kepadanya, bahasa pemersatu bangsanya.
“Dia mengucapkan selamat datang di negerinya, menanyakan nama juga tentang perjalananmu,” Zakia sambil melirik arlojinya.
“Kamu sama sekali nggak beri kesempatan, ya? Coba bilang dari tadi, aku akan berikan kartunama yang bagus untuknya.”
Zakia tak bisa lama-lama di sini, harus mencari tempat untuk shalat maghrib. Ia tahu jika mengantar Haekal ke hotel yang telah dipesan akan memerlukan waktu yang cukup panjang.
“Ada apa?” tanya Haekal cemas dan menangkap kegelisahannya.
Zakia berusaha tetap tersenyum riang. “Nggak apa-apa sih. Cuma aku harus shalat maghrib dulu nih, Brur. Begini saja kita cari kafetaria. Sementara aku shalat kau bisa menikmati…”
“Sake! Ya, aku mau sake Jepang!” pintas Haekal cepat.
“Huss!” Zakia tertawa geli melihat semangat sepupunya yang super tinggi itu. Tapi diantarnya juga sepupunya ke sebuah coffee house. Matanya telah menangkap suatu sudut yang lumayan sepi di sekitar situ.
Ketika Zakia menunaikan shalat maghribnya di sudut sepi itu, mata Haekal tak lepas-lepas mengawasi kelakuannya. Apa yang terjadi dengan anak itu? Begitu taatnya dia menjalankan syariat agamanya. Di tengah kesibukan tiba-tiba harus shalat. Apa dia tak menemukan kesulitan terikat dogma di tengah bangsa asing begini?
Haekal teringat ibunya yang masih mengaku orang Islam, tapi belang-bentong menunaikan shalat lima waktunya. Seketika pemuda itu merasa penasaran sekali. Begitu Zakia kembali menghampirinya, ia langsung menohoknya dengan sepenggal tanya, “Apa menjadi Muslimah itu sulit, Za?”
"Insya Allah tidak!” sahut Zakia mantap membuat Haekal terperangah.
Setelah satu malam tinggal di hotel bergaya Barat, Haekal memutuskan menerima saran sepupunya, pindah ke ryokan5. Ia sangat mengandalkan Zakia, terutama berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika Zakia menunjukkan ryokan itu, wajah Haekal langsung ditekuk lucu.
“Wuiiih… kalau nggak ada kamu, bisa bicara apa aku di sini?” keluhnya seperti bocah ketakutan, hingga Zakia tertawa geli. Nggak pantes banget dengan sosoknya sebagai serdadu.
“Nanti kuberikan kamus praktis bahasa Jepang. Dulu pertama datang aku juga memanfaatkannya. Itu akan sangat membantumu,” Zakia menenangkan, seketika dipandanginya penampilan sepupunya lekat-lekat.
“Kamu seorang serdadu, Brur. Kalau Opa masih hidup apa komentarnya soal profesi yang kamu pilih ini, ya?” Zakia menjawilpet hijau yang bertengger di kepala sepupunya.
“Opa akan menangis darah,” gumam Haekal terdengar menyesal.
Mereka telah hafal betul kisah heroik Opa tercinta. Di zaman revolusi 1945, kakek mereka berjuang dengan jiwa raga, darah dan air mata melawan penjajah. Di negerinya kolonial identik dengan Belanda, Jepang dan Portugis. Kini cucunya justru menjadi abdi Kerajaan Belanda. Ironisnya hidup ini!
Haekal kelihatan masih merasa menyesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Zakia menepuk tangannya dan berkata riang,“Jangan khawatir, Opa nggak bilang apa-apa tuh waktu terakhir aku ziarah ke Cikutra!”
“Bercanda kamu… It’s funy!” Haekal seketika tergelak geli.
“Sungguh, jangan merasa bersalah, ini jalan kita…”
Siapa pernah mengira Haekal yang sejak kecil bercita-cita studi teknik informatika di Jepang, malah menjadi seorang militer? Siapa mengira pula kalau Zakia yang sejak lama ingin menjadi dokter, malah nyangkut di teknik informatika? Entah di mana salah kaprahnya, namanya ujug-ujug ada di daftar teknik informatika, bukan di kedokteran.
Siang itu mereka berjalan kaki menuju sebuah penginapan. Untuk pertama kalinya Zakia melihat sepupunya melepas seragam militer, dan menggantinya dengan pakaian santai. Celana jeans hitam dengan t-shirt berlengan sportif. Sekilas Haekal tampak mirip dengan para pemuda Jepang lainnya yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Ayah kandung Haekal etnis Manado, mereka bercerai dan ibunya menikah lagi dengan pria Belanda.
“Pasti dia anak orang penting dari Indonesia, heh?” komentar Haekal.
“Dia… siapa?” Zakia tersentak. Mereka sudah sampai di depan meja resepsionis ryokan. Tak ada siapapun di situ. Keduanya menunggu beberapa saat dengan sabar.
“Orang yang sudah menyerobot posisimu itu!” sergah Haekal.
Wajah Zakia memerah. Pikirannya sesaat melayang ke pulau Pusan, rekan-rekan aktivis mahasiswa Muslim Internasional tengah baksos di leprosarium, rumah sakit kusta. Ia tak bisa ikut sebab telah telanjur janji kepada sepupunya untuk menjadi pemandunya.
“Naah, kamu melamunkan siapa?” ejek Haekal. “Ayo katakan kepadaku, kamu sudah punya pacar kan?”
“Ah, kamu! Nggak ada pacaran di kamus hidupku…” elak Zakia cepat. Haekal tersenyum menang. “Jadi seorang cewek, heh, cantikkah?”
“Tentu saja, dia sangat cantik dan glamour…” Zakia tertawa kecut.
“Pasti dia nggak pantas jadi anak kedokteran, ya?”
“Ngng… lihat saja nanti!”
Haekal menggeram.“Apa dia tahu kamulah orangnya?”
Zakia menggeleng ragu. “Sudahlah, jangan ungkit lagi yang sudah lewat. Aku senang kok kuliah di teknik informatika…”
“Gratis lagi, ya?” Haekal terkekeh. Zakia cengar-cengir.
"Konnichiwa gakusei-san… irasshaimasen,”6 kata seorang wanita paro baya dengan kimono tradisional Jepang, akhirnya muncul juga dari belakang. Ia membungkuk dengan sangat santunnya.
“Konnichiwa Okusan, domo arigato gozaimasu,“7 balas Zakia tak kalah santun, membungkukkan badannya dengan baik sekali.
Woo, cara membungkuk ala Jepang ini telah ia pelajari secara khusus dari Mayumi. Pemilik ryokan terkesan sekali, menatap wajah Zakia sambil tetap tersenyum ramah. Sepasang matanya menyiratkan penghormatan dan kekaguman seorang ibu terhadap anaknya.
“Kamu gakusei-san, dariUniversitas Tokyo?” ujarnya langsung menebak. Ia mengerutkan keningnya, mengira busana yang dikenakan gadis itu adalah mode mutakhir anak-anak muda.
“Iya… Bagaimana Nyonya tahu?” Zakia menatapnya terheran-heran.
Sesungguhnya mudah saja bagi Okusan untuk menebak asal mahasiswa yang datang ke penginapannya.
Kebanyakan mahasiswa Universitas Tokyo sangat khas, memiliki sorot mata cerdas, percaya diri dan tahu tatakrama tradisional Jepang. Tapi mata Zakia sama sekali tidak sipit. Ia memiliki sepasang mata lebar yang bagus sekali. Dan busana yang dikenakannya, sunguh menarik, pikir wanita itu.
“Gakusei-san mahasiswa asing?” tanyanya pula ramah sekali.
Zakia mengangguk. “Begitulah, Okusan…”
“Tapi bahasa Jepangmu sudah lumayan,” pujinya tulus. “Dan busanamu itu unik sekali. Apa ini model musim semi?”
Zakia sudah terbiasa dengan tatapan aneh begitu. Mereka memandang heran ke arah busana yang dikenakannya. Itu tak membuatnya tersinggung apalagi rendah diri. “Terima kasih, ini busana Muslimah, Nyonya…”
“Ooo… Kamu Muslim ya?”
Tiba-tiba Okusan balik menoleh ke arah Haekal dengan tatapan sinis, kecewa dan marah.
“Kamu sangat beruntung bisa menggaet gadis cantik dan kelihatannya tahu adat ini. Tapi ingat, kami tak suka kalau kamu hanya memanfaatkannya!” cerocosnya tajam dan ketus sekali. “Mentang-mentang tampangmu mirip Takeshi Kaneshiro, hah! Sungguh menjijikkan, memalukan nama bangsa saja…”
Kini Haekal celingukan, bingung. Ada kemarahan, pikirnya. Untuk sesaat Zakia pun terkesima, perlahan wajahnya merah padam. Ia segera menyadari kesalahpahaman. Wuih, apa kata rekan-rekannya di daigaku8nanti!
“Kami bersaudara, Okusan. Percayalah, dia sepupu saya,” Zakia bicara serius dengan wanita itu. Menjelaskan bahwa ia telah salah paham, bila menganggap Haekal pemuda Jepang yang telah menggaet gakusei asing.
Sementara Haekal semakin bingung. Begitu Zakia selesai bicara, Okusan balik menghadapi Haekal kali ini dengan sikap santun yang sangat berlebihan.
“Sumimasen… Koko ga machigatte iru to omoimasu… ”9katanya dalam sikap amat malu dan merasa sangat bersalah. Okusan dengan serius sekali masih akan melanjutkan acara bungkuk-membungkuknya, jika Zakia tak segera mencairkan suasananya. Membisikkan sesuatu ke telinga Haekal, hingga pemuda itu tertawa ditahan.
"Tidak apa-apa, Madame,” ujar Haekal ramah dalam bahasa Inggris. “Tampang saya memang mirip orang Jepang. Sudah sering saya alami hal seperti ini di Holland. Bahkan di negeri leluhurku sendiri, Indonesia… Aha, ternyata Okusan paham bahasa Inggris!” pujinya pula tulus.
“Ooh, Indonesu… saya tahu itu di Bali?” komentarnya.
Beres urusan pesan tempat, keduanya melihat kamar yang telah dipesan. Ditemani oleh seorang putri Okusan yang mendekati mereka dengan sikap amat pendiam, serba canggung, rikuh dan gerak-gerik lamban. Sehingga sepintas lalu pun Haekal sudah bisa menarik kesimpulan, gadis itu seorang terbelakang mental. Itu langsung disampaikannya kepada Zakia.
“Psst, sok tahu kamu!” tegur Zakia menatap iba ke arah gadis bertubuh gemuk pendek itu. Dalam hati ia terpaksa mesti membenarkan kesimpulan kilat sepupunya. Hebat, pikirnya, seorang militer muda dan punya pengetahuan atau bakat psikolog juga.
Sementara Okusan harus melayani para tamu yang mulai berdatangan. Kebanyakan tamunya adalah turis asing yang berminat merasakan nuansa tradisional Jepang. Biasanya mereka menginap satu-dua malam sebagai transit, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata lainnya.
Tampaknya Haekal merasa puas dan menyetujui untuk tinggal di situ selama beberapa hari. Ketika keduanya kembali ke depan, Okusantelah menanti mereka dengan wajah harap-harap cemas.
“Jangan khawatir, Okusan,” Zakia tersenyum lembut kepadanya. “Dia setuju untuk menginap di sini beberapa hari…”
“Haik, kami sangat beruntung, domo arigato,” Okusan tampak lega sekali.
“Nihon-go wa wakarimasen… sumimasen!”10tiba-tiba Haekal menyela, pamer hasil studi kilatnya dari kamus praktis pemberian Zakia.
Okusan dan Zakia menoleh ke arahnya, menatap Haekal dengan surprise. Haekal acuh tak acuh melanjutkan hasil pembelajaran praktisnya selama di dalam kamar, ketika Zakia tengah memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya sambil berusaha keras mengajak berkomunikasi putri Okusan.Usaha yang sia-sia, gadis itu hanya menyahut dengan mengiyakan atau mengangguk.
“Ei-go de hanashite kudasai… yeah, yukkuri... Wakarimasu ka?”11
“Haik, wakarimasu!”12sahut Okusan sambil lagi-lagi membungkukkan tubuhnya, masih dalam perasaan bersalah.
“Okusan, eh, apa itu ya, Zakia? Yeah, beautiful too!” Haekal mengerling nakal. Wajah Okusan merona tapi ia kembali membungkuk. “Haik!”katanya.
Zakia menahan tawa, merasa iba juga kepada Okusan. Disambarnya lengan sepupunya dan berkata,
“Sudah, jangan bercanda lagi. Kita cari makan di luar, hayoo!”
“Sayonara, Okusan!” Haekal sambil tertawa bandel ke arah pemilik ryokan.
“Kami pergi dulu, Okusan…” kata Zakia pamitan.
Ups, hampir saja ia mengucap salam lekum-nya.
“Sayonara,gakusei-san, ja mata. Sampai jumpa!” balas Etsuko-san, lagi-lagi mengantar kepergian mereka dengan membungkuk takzim.
“Lebih hormat daripada orang Jawa, ya?” Haekal tertawa lepas dan geleng kepala sesampai mereka di luar. Ia pernah tiga kali mengunjungi Indonesia, berkunjung ke Yogya dan Bali.
Mereka berjalan kaki menuju restoran yang tak jauh dari penginapan.
“Kamu mau mencicipi sushi atau kujira?” tanya Zakia ketika sudah sampai di sebuah restoran kecil.
“Aku mau makan semuanya, semuanya saja!” sahutnya.
Zakia menatapnya keheranan. Apakah dia selalu begitu antusias?
“Semuanya, sungguh semuanya?” tanya Zakia minta ketegasan.
“Tentu saja, jangan sia-siakan kesempatan selama di Negeri Ninja ini. Semuanya, yap!” Haekal amat bernafsu, kemudian cepat sekali memesan kepada seorang pelayan. “Aku mau yang ini, ini dan ini juga ya…”
Ia menunjuk contoh makanan yang dipajang di rak, replika makanan itu selalu tampak menggiurkan dan mengundang selera siapapun yang melihatnya. Zakia menatap daftar menunya dengan cemas, tapi membiarkannya saja.
Beberapa menit kemudian, Zakia melihatnya kepayahan terhuyung-huyung menuju kloset. Ketika ia kembali wajahnya tampak pucat pasi, masih terengah-engah serdadu Kerajaan Belanda itu menunjukkan protesnya.
“Kamu kelewatan, Za,” keluhnya. “Jangan pernah lagi ajak aku ke restoran Jepang itu, terutama sushi13dan kujira14-nya. Mereka betul-betul mau meracuni perutku, hehhh, aduuuhhh…”
Zakia menatapnya terkejut dan iba sekali, tak menyangka keadaan sepupunya ternyata jauh lebih parah daripada dirinya, ketika pertama kali datang dan “dijebak” begitu oleh Mayumi. Kedua jenis makanan khas Jepang itu memang sungguh-sungguh... nggak cocok dengan perut mereka!
Di atas kepala mereka mega-mega putih menghiasi langit musim semi. Di mata Zakia, gerombolan mega itu mirip arakan kapas yang menyimpan harapan, impian dalam menjalani lakonnya selama mukim di negeri Sakura.
Siapa mengira kalau kebersamaan mereka selama musim semi itu di kemudian hari ternyata membuahkan hikmah? Terutama untuk Haekal. Sebab tiga tahun kemudian sepupu Zakia yang serdadu Kerajaan Belanda itu, menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam. Meskipun untuk itu ia harus dikucilkan oleh rekan-rekannya.
***
1“Selamat datang di Jepang…”
2“Siapakah nama Anda? Perjalanan Anda menyenangkan?”
3 Terima kasih
4 maaf permisi
5 penginapan tradisional Jepang
6“Selamat siang nona mahasiswi. Selamat datang!”
7“Selamat siang Nyonya, terima kasih.”
10“Bahasa Jepang saya payah… Permisi!”
11“Tolong bicara dalam bahasa Inggris… yeah pelan-pelan… Anda mengerti?”
12“Ya, saya mengerti.”
13 potongan kecil makanan mentah hasil laut di atas nasi
14 bistik ikan paus
↧
Cerpen: Bukan Lenong Rumpi
Mpok Noeng tersentak dari keasyikannya meracik daun singkong bakal lalapan. Kupingnya mendengar ribut-ribut di luar rumah. Setengah berlari janda tua itu menyibak pintu dapur, keluar dari biliknya di bantaran kali Malang.
“Kenaaa lu! Kenaaa lu!”
“Sereeet, ayo sereeet di mariii!”
“Bakaaar! Bakaaar…!”
“Bawa ke lapangan sana gih!”
“Hooh, kebakaran entar…”
Manusia pengarak itu bergerak menuju lapangan, lahan milik proyek perumahan real-estate Kembang Jatoh. Begitu krismon melanda negeri, pimro-nya buron ke mancanegara. Proyek pengembang pun bener-bener jatoh, nggak ada kembang-kembangnya lagi sampai detik ini. Mpok Noeng tanpa sadar keluar dan terbawa arus. Bergabung dengan para tetangga, ikut menyaksikan prosesi eksekusi siang itu. Kodeng menurunkan karung bawaannya yang berdarah-darah.
“Bongkar atuh, Kodeng. Jieh, elo mah malah dipelototin gitu!” Pa Erte menegur anaknya.
“Kesengsrem si Bahenol Nerkom anak elo tuh, Dul,” kata Engkong Lihun.
“Mesranya dia eyong-eyong si Bahenol dari peraduannya, hahaha…” Hansip Niman nimbrung.
“Perasaan elo kayak ngeyong si Enih ‘kali, ya Deng?” Engkong Lihun lagi.
Rombongan pengarak terbahak-bahak. Kodeng cengengesan sambil mengerdip-ngerdipkan matanya. Dia lagi demen Enih anak Uwa Kodir, agen minuman cap ortu made in Citayem.
“Kalo gue perhatiin sih, kayaknya masih kalah ame si Jenong tuh, Kong!” Cing Dirun menimpali,”Bodinya kayak gitar Spanyol kerendem banjir. Kebayang aja, bulanan die ngabisin simpenan ikan pede ame terasi Mpok Noeng…” Mpok Noeng yang merasa disebut-sebut jengah dari kejauhan. Cepat-cepat dia menyelipkan tubuh kurusnya di balik badan Mpok Onah.
“Sempet ngabisin sepatu elo ‘kali, ya Deng? Sepatu sejak dibeli sampe jebolnya gitu kagak kenal air…” Pak Erte meningkahi lagi.
“Kebayang kalo lagi ngapelin si Enih, kecut ‘kali tuh perawan!”
Kapan lagi bisa ketawa nikmat begini. Kehidupan Jakarta di kawasan kumuh segitu kompleknya. Pak Erte garuk-garuk kepalanya yang nggak gatal. Masih banyak kerjaannya. Kudu bikin laporan paska banjir. Demi mendapat kucuran dana dari orang Kelurahan. Ada juga para aktivis LSM yang cuma ngelongok sambil lalu, jeprat-jepret foto, bagiin supermi alakadarnya, sudah begitu kagak nongol lagi.
“Udah dah buruan, Deeeng! Gue masih banyak urusan!” teriaknya.
Bensin dibanjurkan ke onggokan karung yang penuh bercak darah. Kodeng menjetrekkan korekannya. Dalam sekejap api sudah menyala-nyala. Menit berikutnya bau daging hangus terbakar terbawa angin, mengawang-awang ke seantero kampung kumuh itu.
Mpok Noeng menahan rasa mual yang membelit-belit di perutnya. Angannya mau makan siang dengan lalapan daun singkong rebus, sambal terasi dan ikan peda bakar, buyar seketika. Tersilih oleh bayangan daging gosong makhluk yang suka mencuri simpanan terasi dan ikan peda di groboknya.
Belum lepas dari trauma banjir bandang yang melanda warga Jakarta. Sekarang sudah muncul lagi musibah berupa wabah penyakit leptospirosis. Suatu penyakit yang disebabkan oleh air seni tikus. Warga di kawasan bantaran kali Malang lebih parah lagi diterjang musibah kali ini.
Awalnya menerjang si Engkom, bocah umur lima tahun anak Mang Sidin. Anak imut-imut begitu mendadak demam. Tak mau makan, tak mau minum, muntah habis-habisan. Bi Kesih, ibunya baru bisa memberinya obat-obatan dari warung. Maklum, semuanya masih repot ngurusin rumah kontrakan yang sempat terendam air setinggi dua meter.
Mang Sidin, ayah Engkom sibuk bolak-balik ke kampungnya di Cileungsi. Minta sumbangan para famili buat beli gerobak soto mie, karena yang dulu terbawa arus banjir. Mpok Noeng cepat menawarkan jasa, mendampingi Bi Kesih pergi ke Puskesmas, mengobati Engkom. Tapi bukannya sembuh, kondisi anak itu malah makin parah. Hingga suatu malam bocah lucu itu kejer, sakit perut luar biasa, otot-otot badannya mengejang.
Jerit dan lengkingannya menyapu atap-atap rumah warga kampung. Ia mengamati mata Engkom. Kuning mirip kunyit, begitu pula sekujur tubuhnya. Perutnya semakin membuncit mirip orang busung lapar. Tiba-tiba Engkom sesak napas, semakin sesak, semakin sesak.
Perempuan lansia itu menutup selimut ke sekujur tubuh Engkom. Ia bergumam lirih,”Innalilahi wa inna ilaihi rojiuuun…” Bi Kesih meraung-raung. Nyelip juga gugatannya kepada Yang Kuasa di antara sedu-sedannya.
Mpok Noeng tepekur dan kembali ke biliknya. Ia merasa sangat lelah dalam ketuaan dan kesendiriannya. Ada yang mencubit-cubit kisi kalbunya. Inilah kenyataan hidup, bukan sekadar lenong rumpi, pikirnya. Gusti Allah sesungguhnya sedang menegur mereka yang telanjur khilaf. Hanya entah kapan mereka eling akan teguran-Nya.
Depok, Rajab 1423 Hijriyah
***
↧
Dari Orde Lama Hingga Orde Jahim
Sekeluarga boyongan hijrah dari Labuan-Banten ke Jakarta. Perabotan, dicampur-aduk dengan adik-adik, menumpang di sebuah truk berplat hijau tentara. Entah bagaimana Bapak berhasil mendapatkan kendaraan dinas itu dari kantornya.
Aku baru naik kelas enam. Anak daerah yang kepingin menjadi warga kota metropolitan Jakarta. Begitu memasuki kawasan Ibukota, adikku yang paling dekat, Hani tiba-tiba berteriak keras.
“Jakartaaa… hoooii!” jeritnya kayak anak monyet ketemu mainan baru saja.
“Selamat dataaang, hoooi! Sambut kitaaa!”
“Astaghfirullah…!” Nenekku dari pihak Bapak yang suka kami panggil Emih, tersentak dari leyeh-leyehnya di samping tumpukan perabotan.
“Sudah sampai, ya…?” gumamnya sambil membetulkan kerudungnya.
“Iya, Miih, kita sudah nyampe Betawiii!” teriak Hani pula sambil terus jingkrak-jingkrak. Wajahnya yang imut-imut sumringah, sarat sukacita. Dia memang sudah lama kepingin jadi anak kota.
“Berisiiik!” tegurku gemas.
Dia tak peduli, terus saja jejingkrakan. Boneka karetnya entah sudah loncat ke mana. Belakangan dia hampir membuang benda yang sejak kecil digendol itu. Beralih ikutan hobi baca bersamaku. Umurnya hanya beda setahun denganku. Dialah yang paling sering memposisikan diri sebagai lawanku.
Hobinya yang utama menari dan berdandan. Entah sudah berapa banyak bedak ibu kami yang menjadi korbannya. Dipakai atau hanya dihamburkan begitu saja di wajahnya yang bulat. Selama perjalanan dialah yang paling parah mabok. Tapi sekarang tak ada sisa-sisanya lagi.
“Alhamdulillah,” kudengar Emih mengucap rasa syukur, dan kelegaan membias di wajahnya.
Sudah sepuh, tapi masih ikut boyongan sana-sini dengan keluarga ayahku. Yakni putranya yang tertua dari lima bersaudara. Sebagai prajurit ayahku sering dialihtugaskan ke pelosok Tanah Air. Tapi Jakarta diharapkan sebagai tempat dinasnya yang terakhir sebelum pensiunan. Pangkatnya sudah perwira menengah, tentu takkan terlalu banyak lagi ditugaskan ke lapangan. Begitulah setidaknya yang kudengar dari sebagian harapan ibuku juga nenekku.
Truk memasuki pekarangan markas Menwa di jalan Matraman. Tak bisa langsung ke dalam, entah apa alasannya. Kulihat Bapak loncat dari jok depan di samping sopir. Menurunkan Abib, Reza dan Ima. Sekilas kuperhatikan Bunda agak sempoyongan. Wajahnya memias. Maklum, Bunda baru keluar dari rumah sakit.
Sementara dari belakang Mang Obay, adik ayahku yang juga prajurit, sibuk menurunkan kami. Emih dan Bibi Encur, istri Mang Obay, segera menggiring anak-anak ke tempat teduh. Beberapa orang dari dalam menyambut kami dengan ramah. Bapak punya banyak kenalan rupanya di tempat ini.
“Kita harus mencari gerobak,” kata ayahku di selang kesibukan menurunkan perabotan bersama Mang Obay dan sopir.
“Bagaimana kalau kami naik becak saja, mungkin tiga?” Bunda sambil memperbaiki jilbabku yang selalu miring kanan-kiri.
“Baiklah,” Bapak mengalah dan segera memanggil becak.
Empat! Anak-anak saja pakai dua becak. Bunda sambil memangku Ima, mengangkuti beberapa buntelan. Bibi Encur dan Emih bersama kasur. Sedangkan ayahku dan Mang Obay bergantian menunggui barang sambil mencari gerobak.
Kawasan Utan Kayu, di situlah rumah bibi ibuku yang biasa dipanggil Nini Resmi.
“Kok rumahnya…, imut-imut begini ya, Teteh?” bisik Hani, keceriahan dalam sekejap lenyap dari wajahnya.
“Hmm, entahlah,” hatiku pun tak urung mulai diliputi rasa kecewa.
Apalagi ketika kemudian kutahu ternyata kami hanya akan menempati sebuah kamar, ditambah teras. Kamar itu hanya dibatasi oleh sebuah lemari dengan ruangan lainnya. Untuk selanjutnya teras itu disulap sebagai dapur. Kerap aku dan Emih meringkuk di sudut dapur jadian itu di antara tumpukan perabotan. Hikkksss!
Ini sungguh jauh dari angan semula. Sebuah rumah besar di tengah kota, nyaman, bagus dan serba moderen. Aaaaah!
“Gimana nih, Teteh?” Hani menggebah anganku.
“Oh, eh…, apa bisa masuk semuanya ya?” balik aku celingukan, mengawasi situasi di dalam.
Sumpek dan puanaaas!
Para ibu segera masuk. Beberapa jenak aku dan empat adik hanya bengong, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Duduk lesehan di teras, anganku masih mencari-cari simpanan khayalan di Labuan. Mengapa Bunda begitu heboh bila sudah cerita tentang Jakarta? Sarat impian dan harapan, kenyataannya…?!
Ini hanya sebuah rumah tua yang telah dipilah-pilah menjadi beberapa tempat kontrakan. Kalau hendak ke jalan besar, harus naik undakan tangga yang lumayan tinggi. Letaknya memang di bawah kali kecil. Bisa dibayangkan bila musim hujan tiba pasti…, banjiir!
“Anak-anak, kok masih di luar? Ayo, masuk siniii! Wah, wah orang Labuan nih,” Nini Resmi keluar, diikuti anak-menantu dan cucu-cucunya.
Woow, orang Labuan, katanya? Apa pantas dibilang orang Labuan? Cuma setahun bertahan di kota pantai itu. Sebelumnya kami tinggal di Sumedang. Selama mukim di Labuan, anak-anak sering sakit, Bunda apalagi. Sengsaranya…, bukan main!
“Nungguin Bapak…,” Hani berdalih.
“Waaah, kalo Bapak sama Mang Obay cari gerobak, entah kapan datangnya. Mungkin nyari gerobaknya ke pasar Pramuka,” jelas Bibi Mimi, menantu Nini Resmi.
Usianya sebaya Bunda, tapi ia tampak jauh lebih tua. Anaknya selusin dan sedang hamil tua. Suaminya, Mang Memod berada di balik sel. Konon, ditangkap sebagai tersangka kelompok bom-boman. Entahlah!
“Ayo, Neng Hani, Neng Seli…, siapa lagi tuh namanya? Mari diminum dulu,” himbaunya dengan tulus.
Air bening dari kendi. Hmmm, segeeer!
“Nda, kami mau lihat-lihat dulu. Boleh?” tanyaku minta izin.
“Ya, bolehlah, tapi jangan jauh-jauh ya?”
***
Aku menggiring adik-adik, Hani, Riri, Abib dan Reza. Kompak melihat-lihat keadaan sekitar rumah. Tak begitu buruk, masih banyak pohonan rindang. Tanahnya masih luas, ditanami pohon jambu air, jambu klutuk, nangka, sirsak dan kopi.
“Wuiih, boleh kita nyicip buah ini, Teteh?” Abib, yang sering kami ledek si gembul memandangi buah kopi itu dengan penuh minat.
“Bilang dulu sama Bibi Mimi, ya?” sahutku sambil terus melihat-lihat.
Barangkali ada satu sudut nyaman untuk leyeh-leyeh sambil baca buku cerita. Seperti suka kulakukan di tempat-tempat sebelumnya.
“Huuaaah…, kirain enak! Puuh, aneh rasanya!”
Abib memuntahkan lagi kunyahan buah kopinya, ditertawakan anak-anak. Dia cengengesan. Habiburrahman, si gembul kami yang lucu.
“Hei, ada kebun tuh! Kita lihat-lihat ke sana, yuuuk?” sentak Hani.
“Ikuuut, ikuuut!” serempak Reza dan Abib merengek.
“Jangan, ah! Kalian masih kecil, pulang saja, ya?” tukasku keberatan. “Kan kita belum tahu situasinya, gimana coba kalau…?”
“Bilangin lho sama Bapak. Nggak mau ngasuh adik, begitu! Iya kan, Eza?”
Whoooi, si gembul sudah berani neror, euy!
“Ikuuut, ikuuut!” Abib dan Reza makin kompak.
Aku garuk-garuk kepala yang ditutupi jilbab kaos.
“Sudahlah, Teh Seli! Bawa saja. Tinimbang ngadu sama Bapak, berabe lagi!” Hani malah mendukung. Riri juga menyemangati mereka.
“Ya, sudah! Kalo ada apa-apa….”
Kutelan ujung kalimat. Kasihan juga mereka. Wajah-wajah lelah, bosan berat. Tentu saja sama, kepingin ngelempengin kaki.
Lahaola walaquwwatta, bisikku sambil mesem. Lucu, lihat tingkah anak-anak. Dorong-dorongan, bercanda dan cekikikan. Yup, inilah pasukanku sekarang! Hani sebelas tahun, ke bawahnya hanya bertaut setahun-setahun. Si Bungsu Ima belum dua tahun, kolokan dan ngeganduli Bunda melulu.
Pasukan kecil yang kupimpin menyusuri jalan setapak menuju kebun sayuran. Ada lahan kosong yang cukup luas. Belakangan kutahu lahan itu telah dijual oleh pribumi kepada tauke keturunan. Hendak dibikin perumahan mewah. Tapi gara-gara krismon pembangunannya mandek. Untuk sementara dimanfaatkan oleh para pendatang agaknya.
Di simpang antara kebun sayur dengan perkampungan, tiba-tiba pasukanku dicegat oleh seorang anak laki-laki. Kelihatannya sebaya denganku, gerak-geriknya jumawa sekali. Sok jagoan!
“Heee, brentiii!” teriaknya diikuti dua orang temannya. Sama bergaya dan soknya. Beginilah barangkali gaya orang kota, pikirku.
“Heeei, budek ape lo! Berentii, berentiii!” temannya sebaya Abib menjegal langkahku.
“Gimana nih, Teh Seli?” Hani dan Riri mulai cemas.
“Jangan pedulikan mereka!” perintahku sambil mengisyaratkan anak-anak. Supaya balik kanan. Lagian sudah lumayan jauh dari rumah.
“Huuu…, songong banget sih elo! Emang orang mane sih elo pade?” sergah anak laki-laki sebayaku. Makin menyebalkan, menggemaskan…, tinjul!
Berdiri tepat di depan Hani. Menatapi wajah Hani seolah hendak menelannya. Hiiih, asli nyebeliiin!
“Emang elo demen nyang mane, Deden?” temannya yang pakai kaos merah, kegenitan. Cengiran.
Astaghfirullah…, anak bau kencur sudah kegenitan begitu?
“Nyang ini mah botoh niiih!”
Deden nyolek dagu Riri. Trus, menarik tangan Hani. Karuan keduanya langsung memekik ketakutan.
“Eh, eeeh, sebentaaar!” sergahku mengumpulkan seluruh keberanian yang kumiliki. “Kamu teh jangan suka kurang ajar atuh, yaah?”
Kurasakan tangan Abib dan Reza mengganduli pinggangku. Nggak bisa kubiarkan, pekikku dalam hati. Tiga anak laki-laki itu cuma bergaya. Tubuhnya kerempeng-kerempeng. Kalau kekuatan disatukan…, jetreek!
“Kalow mau tau nama kami mah gampang da. Inih geura sayah mau nataan satu-satu sajah sendiri, yaah…?”
Mendengar logatku yang ajaib, seketika ketiga anak itu terbahak-bahak. Apalagi ketika Abib menimpali dengan logatnya yang tak kalah ajaibnya.
“Heueuh nya, Dak! Ilok ganggu naeun? Urang mah saguru saelmu bae nyah? Ja ngaing geh teu boga dosa nanaeun ka dia…?!”1
Aku sendiri melongo mendengar bahasa gaul Abib. Mentang-mentang tukang main dan sobatan sama Jatake.
“Huahaha…. ngomong apaan tuuuh? Bodooor banget-banget-banget!” Si Deden ngakak dibarengi kedua temannya.
Kesempatan baguuus!
“Ayo, balik, baliiik, euy!” perintahku sama adik-adik.
Beeer…, anak-anak berlarian kembali ke rumah Nini Resmi. Pantat Abib sampai bulet-bulet saja kayak bola. Disusul Reza, kecil-kecil juga lincah kayak kancil. Hani dan Riri pun kompak, berlarian sambil cekikikan.
“Yeeeh…, si Teteh ini kenapa sih?” Riri menatapku keheranan.
“Iya, ya! Tadi kan Teteh yang perintahkan lari? Kok malah datang belakangan?” tegur Hani, ketika menyambutku yang menyusul belakangan.
“Lemees, aah…, lemeees!”
Bruuugh…, aku membantingkan diri di atas gulungan kasur. Mereka sudah lupa barangkali. Aku belum lama sembuh dari sakit yang lumayan parah. Malaria, kata Mantri Uking, sempat menenggelamkan keberadaanku selama berpekan-pekan.
Awalnya tentu saja merasa tak betah tinggal di ruangan sempit, berdesak-desakan. Bukan saja dengan sesama anggota keluarga, melainkan juga dengan timbunan perabotan dan…, tikus!
Jangankan makanan, bahkan bantal pun mesti berebutan dulu. Tapi kalau sudah mendengar semangat dan harapan yang dipompakan Bapak, bahwa keadaan takkan selamanya demikian. Suatu hari nanti pasti akan memiliki rumah sendiri.
“Insya Allah,” janji Bapak serius.
Yeaaah, nggak betah juga dibete-betein ajeee!
Enam bulan tinggal di ruangan sempit yang banyak nyamuk, kecoa dan tikusnya itu.
“Anak-anak, kita akan pindah ke rumah di sebelah sana,” ajak Bapak suatu siang, pas anak-anak baru pulang sekolah.
“Rumah siapa, Pak?”
Perut keroncongan minta isi, tapi mana berani membantah perintah Bapak?
“Punya Uwa Manggarai, sepupu Bunda. Kita hanya menyewanya, lumayan nggak begitu sempit,” jelas Bapak.
Letaknya hanya terhalang beberapa rumah. Pas diperhatikan…, whoooa!
“Ini sih bukan rumah, Bapak!” seru Hani komplain.
“Iya, kayak kandang…, bandot aja,” Riri berkata pelan.
Adikku yang satu ini pemalu, jarang bicara kalau nggak perlu. Dialah yang paling cantik dan bijak di antara saudara-saudariku.
“Jangan begitu, kalian harus mensyukuri apapun yang diberikan Allah,” kata Bunda cepat-cepat menghangatkan hati anak-anak.
Aku langsung melihat-lihat ke sekitar rumah. Memang tak layak huni. Rumah tua, lapuk. Gentingnya bocor, biliknya bolong-bolong. Lantainya tanah, musim kemarau membuatnya retak-retak. Aroma apak, campur dengan bau paduan antara kecoa dengan cecurut, langsung menyergap lubang hidung.
“Huueeek…!”
Nggak tahan aku muntah-muntah di samping rumah. Baru ngeh, kamar mandi dan kakusnya serba darurat. Kalau ingin sehat, Bapak harus merombaknya, jeritku dalam hati.
“Ini masih lebih baik, sebuah rumah, kita bisa mandiri,” Bapak tetap semangat seperti biasa.
“Bener juga sih,” sahut Hani. “Di tempat dulu dikit-dikit denger orang nangis dan berantem!”
“Belum lagi kalo anak-anak Bibi Mimi itu ngegerecokin. Nggak bisa belajar tenang!” kataku mengakui.
Setelah ditempati beberapa hari, begitu libur barulah Bapak membenahinya. Biasa, menggebah pasukan kecilnya, aku dan adik-adik. Semuanya sibuk bekerja, tidak anak perempuan atau laki-laki, sama saja. Punya hak dan kewajiban yang sama. Semuanya bertugas menjadikan rumah agar betah ditinggali.
Bilik-biliknya ditambal zak bekas semen, dikanji hingga lekat. Gentingnya diganti sebagian. Bapak mengerjakannya sendiri. Biar hemat, tak perlu menyuruh tukang.
“Jangan yang itu, Naaak…. Yang sebelah sana tuuuh!”
Atau, “Hati-hati, Naak, jangan sampe pecah gentengnyaaa…!”
Dan, “Semuanya harus pake alas kaki, ingaat…. Anak-anaaak!”
Demikian suara sang prajurit berteriak-teriak dari atas wuwungan. Sementara di bawah aku bersama adik-adik berjibaku. Berbaris secara berbanjar, mengangkuti genting-genting dari tumpukannya hingga ke tangan Bapak.
Aku kebagian naik di undakan tangga bambu, paling dekat dengan Bapak. Disambung Hani, Riri, Abib terus Reza. Sementara Bunda sibuk di dapur menyediakan makanan dibantu Bibi Encur. Oya, Bunda tengah mengandung adikku yang ke tujuh.
Tiba-tiba Hani berteriak lantang, “Kapan kita punya rumah sendiriiii?”
Suaranya yang cempreng mengebah anak-anak yang lagi berjibaku.
“Tanyakan langsung ke Bapak, Teteh!” imbuh Riri.
Abib seketika mendahuluiku. “Bapaaak! Boleh nanya nggaaak?”
Bapak nyelang menengok ke arah putranya yang paling gembrot.
“Mo tanya apaaa?”
“Tapi jangan ngambek, yaa?”
“Iiih, cepetaaan….” Hani mulai gemas, melototin Abib.
“”Ngomongnyaaa!” Riri ikutan gemas.
“Iya nih, ntar keburu kubanting gentengnya! Beraaat!”
Aku pun mulai kewalahan mesti menjunjung lima genting, berdiri di tangga pula. Peluh sudah melaut, bikin jilbab kaosku lepek dan bau nggak karuan.
“Iya, cepetaan! Beraaat niiih…!” dengusku ngos-ngosan.
Bapak berteriak lagi dari atas wuwungan, “Mo tanya apa, Biiib?”
Ya Rooob…!
Sekejap anak-anak terkesima mendengar pernyataan dalam logat gaul anak Labuan. Dasar murid jawara Banten, Mang Umar. Untuk sesaat aku pun berdiri mematung sambil tetap menjunjung genting. Takut Bapak tersinggung, tapi juga geli setengah mati.
“Iyaaa, Bapak ngerti! Nantilah Bapak mo minta dulu sama Si Mbaaaak di Istanaaa! Hehehe…”
Kulihat sekilas Bunda yang mengawasi dari pintu dapur mesem-mesem. Entah apa yang terlintas di benak Bunda. Adakah sama angan Bunda dengan anganku? Sebuah rumah yang nyaman dan asri, dibasuh iman dan tawakal. Sehingga melahirkan sebuah keluarga sakinah mawadah dan warrohmah.
***
↧