Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Berada di ICU: Aku Mendadak Gila

$
0
0

1364642993215571654
Menjelang Operasi, 2009




Pasca Operasi, 2009
Dalam semesta gulita yang seolah tiada berujung itu, lamat-lamat terdengar sebuah suara. Ya, ada suara lembut, begitu lembutnya sehingga kupingku nyaris melewatinya. Menyadari hal itu aku tersentak, berusaha keras memberontak dari belenggu kegelapan.

Tuhan, Tuhan, Allahku Sang Pencipta Waktu, seruku berulang-ulang. Jangan sampai aku kehilangan suara itu. Harus kutangkap, harus bisa, harus bisa!
“Mama, sadar dong, Mama sayang…. Ayolah, Ma, jangan nakutin Butet, hikkksss….”

Suara anakku Butet, iya, suaramukah itu?
“Demi Allah, maafkan Butet, ya Ma. Butet yang sudah mendorong-dorong Mama dioperasi. Ampuni Butet, ya Ma, ampuni, hikkkksss….”
Benar, itu memang suara Butet!

Ada yang menyentuh tanganku, kemudian meremas-remas telapak tanganku, mengusap pipi-pipiku, bahkan mengecup keningku sepenuh sayang. Sungguh, rasa sayang itu terasa merembes melalui ujung-ujung jariku, terus merayapi kisi-kisi hatiku, sehingga mendesak bendungan air mata yang telah lama tersimpan.

Aku ingin menangis sesenggukan. Bukan tangis dukalara melainkan tangis terharu, tangis bahagia; akhirnya aku bisa kembali jumpa anakku, belahan jiwaku!
“Naaak…. Buteeet, kamu ini, Nak?” 

Betapa ingin kuserukan namanya, agar semua orang, seluruh penghuni ruangan yang bagaikan neraka dunia ini mengetahui bahwa; aku memiliki seorang anak perempuan!

“Iya, Mama sayang, Mama cantik, Mama solehah, Mama perkasa. Ini anakmu Butet,” suara itu menegaskan keberadaannya. “Butet di sini dari pukul tiga tadi. Sekarang sudah pukul tengah enam, Ma….”

Aku telah membuka kelopak mataku. Kucari-cari wajahnya di antara bunyi dengung kematian. Ada yang duduk di sebuah kursi di sebelah kanan ranjangku. Ya, seraut wajah jelita kini menjelma di hadapanku, dan aku bisa menghirup aroma parfumnya. 

Hmm, ini parfum yang sama dengan parfum milikku. 
Seorang fans membelikannya di Singapura sebagai buah tangan untuk kami berdua. Botolnya sama, aromanya pun sama, tapi isinya pastilah masih lebih banyak botol milikku. Aku jarang sekali memakainya, sebaliknya Butet hampir tiap hari menyemprotkannya ke badannya.

“Alhamdulillah, Nak, sini peluk Mama,” pintaku seperti seorang bocah.
“Boleh, tapi nanti, ya Ma, pelukannya ditunda dulu. Tadi kata dokter, kita tidak boleh terlalu rapat. 
Mama harus steril, sedang Butet, lihat nih! Baju kemarin bekas kuliah, belum diganti-ganti,” kilahnya, bagaikan seorang ibu membujuk anaknya.

“Oh, begitu, ya….” 
Baik, bisa kuterima alasannya. Aku tahu bahwa sistem antibodiku saat ini telah hancur-lebur. Aku tidak memiliki limpa dan kandung empedu lagi.

“Makanya, Mama harus kuat, biar cepat keluar dari tempat ini.”
“Iya, Nak, Mama mau cepat keluar dari…, ini neraka dunia, Nak. Di sini Mama dizalimi, dijadikan kelinci percobaan. Sekarang, dengerin Mama, ya. Butet harus percaya kata-kata Mama ini. Mereka berusaha membunuh Mama, melenyapkan Mama. Gara-gara Mama cerewet nanyain gigi-gigi palsu Mama….”

Untuk beberapa jenak wajah Butet terperangah. Tentu saja, ia tak pernah melihat ibunya seperti ini.
“Sebentar, tadi Mama bilang gigi palsu? Mama punya gigi palsu? Kok Butet baru tahu sih?”
“Iya, lihat nih…, sekarang Mama ompong!”

Aku memperlihatkan mulutku yang terasa lowong melompong. Butet semakin terperangah. Entah merasa geli atau ngeri, tapi yang jelas, kulihat ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya.
“Percaya sama Mama, ya Nak, ya…,” pintaku mengulang. “Mereka sudah malpraktek, di sini ada kesalahan teknis….”

“Pssst, Mama tidak boleh suuzon begitu. Mama lagi kena halusinasi akibat obat-obatan,” tukasnya dengan suara perlahan, seakan tak ingin didengar siapapun kecuali diriku.

Sekelebatan di belakangnya seorang perawat melintas. “Nah, begitu dong, Bu. Tenang sekarang ibunya tuh, diapain Dek?” komentarnya.

Butet menyahut dalam nada santun.“Hanya dibacakan doa saja, Suster.”
Aku mengerucutkan bibir, betapa ingin kusemburkan serapahku. “Kalian jahat!” 

Namun, demi melihat wajah anakku yang tampak menanggung kelelahan, seketika terlupakan sudah segala deritaku.

“Butet sama siapa jagain Mama di luar?”
“Sendirian….”
“Abang mana?”
“Sebentar lagi datang.”

“Butet, janji, ya, janji…. Jangan tinggalkan Mama lagi, pliiiis,” pintaku sekali ini memelas. 
Demi Tuhan, ini bukan diriku yang sebenarnya!

Duhai, kemanakah gerangan segala ketegaran, ketangguhan yang selama ini telah melekat menjadi bagian dari jatidiriku itu?
“Iya, Mama, iya….”
“Mama pegang janjimu, ya Nak!” 

Maka, seketika kupegang erat-erat tangannya. 
“Pssst, bawa Mama pergi dari sini, sekarang juga, ya? Dengerin kata-kata Mama, nanti dalam hitungan ke-3, Butet harus angkat Mama, oke?”

“Mama, jangan banyak pikiran lagi, pliiis,” tukasnya meningkahi serbuan rengekanku. “Mama harus berpikir positif, ya. Kondisi Mama sudah stabil. Tadi kata dokter, siang nanti juga Mama sudah boleh keluar dari sini. Jadi, Mama sabar saja dulu, ya, pliiiis….”

Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Ia berbicara serius, kurasa. Seketika aku baru menyadari bahwa ia sama sekali tak memercayai segala perkataanku. 
Ya Tuhanku!

Bagaimana mungkin Butet, benteng cahayaku ini, ternyata sekarang tidak mau mendengar perkataanku? Butet yang sejak balita pun telah direpotkan oleh wara-wiri ibunya ini ke rumah sakit, menungguiku sepanjang ditransfusi darah di poliklinik Hematologi. Butet, pahlawanku, mengapa membantahku?

Serasa ada yang rubuh di dalam dadaku. Hatiku bak disayat-sayat sembilu.
Aku merasa telah dikhianati oleh putriku sendiri!
“Mengapa, Nak, kok tega-teganya tidak percaya sama Mama?”

Air mataku berlinangan, tetapi segera kutahan sekuat dayaku. Aku tak boleh menangis, tak boleh! Nanti Butet semakin tak memercayaiku. Ya, aku harus memunguti serpihan kekuatan yang telah berhamburan, entah di mana.

“Mama sekarang dengerin Butet, ya,” katanya seolah tak mendengarku, sekilas membaca SMS di ponselnya. “Abang sudah datang, sekarang ada di luar. Abang minta gantian masuk. Mama mau ketemu sama Abang, ya kan, Mama sayang?”

Melihat sikapnya yang menarik diri dan tergesa begitu, sungguh menikam kalbuku, dan asa yang sempat kuraih seolah mengabut. Namun, mendengar bahwa abangnya akan menjumpaiku, asa itu kembali hinggap di ujung jari-jemariku.Haaap!

“Iya, ya, minta Abang masuk sini. Tapi Butet janji, ya, nanti balik lagi ke sini.”
Ia mengangguk, perlahan membungkuk, mencium dahiku sekilas, kemudian bangkit. Begitu cepat sosoknya lenyap dari pandanganku. Raja kantuk seketika menggayuti pelupuk mataku. 

Jangan, teriakku menepisnya, anakku Haekal akan datang!
Sosok itu, seraut wajah persegi dengan sepasang mata milik cucuku itu, kini telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum kebapakan dan menyapaku riang, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Mama, sekarang bagaimana kabarnya, Ma?” tanyanya riang, seolah kami sedang berpapasan di rumah setelah lama tak berjumpa.

“Abang, kenapa baru sekarang datang, Nak?” gugatku, dan tanganku yang tidak diikat lagi, kini bisa menggapai tangannya. “Sini, duduk, Bang, dekat-dekat sama Mama….”

Ia mematuhiku, duduk di kursi bekas Butet, entah sejak kapan perawat berbaik hati menyediakan benda yang seharusnya tabu di ruangan ini. Belakangan kutahu dari cerita Butet, para perawat kewalahan menghadapi “kegilaanku”. 

Hatta, aku mengamuk sejadi-jadinya, saat terakhir kali mereka menginjeksikan morphin. Aku berhasil mencabut selang kecil yang menggantung di leher dan menyambung ke lambungku.

Seorang perawat yang sedang hamil muda nyaris tersepak perutnya!
“Mama, ngapain pake ngamuk-ngamuk? Kan malu atuh sama si Zein-Zia, Ma. Masak sih nini-nini masih suka ngamuk segala, macam balita saja,” kritikannya dalam nada bercanda.

“Bang, dengerin perkataan Mama, ya,” tukasku tak mau membuang waktu, khawatir diriku kembali kehilangan kesadaran. “Abang jangan seperti Butet, ya. Abang harus percaya sama Mama, pssst, pssst….”

Bla, bla, bla!

Kusampaikan segala ketaknyamanan, kezaliman, kesalahan teknis yang telah mereka timpakan terhadap diriku. Pokoknya, kalau terjadi apa-apa, misalkan aku sampai mati, maka jangan mencari bayangan yang tak tampak. Mereka, para dokter dan perawat di ruangan inilah penyebabnya!

Otakku sudah konslet, kurasa. Segala hal yang menakutkan dan mengerikan, mengapa begitu terasa berseliweran di sekitarku?
“Abang percaya sama Mama, ya kan?”
“Percaya, percaya…. Mama sudah sadar sepenuhnya, ya. Mama sebentar lagi juga sehat, kuat dan gagah-gagah,” celotehnya mengingatkanku akan celoteh anaknya, yakni cucuku Zein. 

Kalimat favoritnya adalah; “Zein sudah gede, sudah gagah-gagah, tapi orang-orang belum tahu….” 
Ah, cucuku!

Seorang perawat mengingatkan kami bahwa waktunya sudah habis. Haekal bangkit bersamaan dengan pandanganku yang mulai mengabut. Sebelum sosoknya berlalu dari hadapanku, Raja kantuk itu menyergap diriku tanpa ampun.

Aku terbangun di tengah kebisingan. Agaknya rombongan dokter yang tiap pagi meronda telah tiba di sekitar ranjangku. Ya, sekarang kulihat kembali wajah-wajah “eksekutor” yang pernah mengubek-ubek perutku selama sembilan jam di ruang operasi. 

Ada dokter senior, tentu guru besarnya, sekilas menanyai dokter Ari.
“Kondisinya sudah stabil, Prof. HB-nya 6,4, trombositnya 70 ribuan dan tensinya 150/100….”
“Kalau begitu, pindahkan ke ruangan!”
“Siap, Prof….” 

Kemudian ia menyempatkan tinggal beberapa jenak, mengisi catatan di statusku, sementara rombongannya mulai bergerak ke pasien di sebelah.
“Boleh pindah, ya Dokter?”
“Iya, Bu, sudah boleh pindah ke ruang perawatan.”
“Kalau boleh, aku minta dipindahkan ke lantai 8 kembali, ya Dok.”

“Oh, tidak bisa. Ibu harus ke lantai 5, di sana ada ruang pemulihan.”
“Tapi aku kan pasien Hematologi, pasiennya Profesor Haji….”
“Oke deh, nanti diusahakan, ya Bu.”

Ternyata gara-gara itu pula kepindahanku jadi molor sampai 12 jam!
Bagian Hematologi menyatakan bahwa aku sudah bukan pasiennya lagi. Mereka tidak mau menerimaku. 

Sementara bagian Bedah, entah ada apa dengan sistem kinerja mereka, begitu ribet urusannya. Tidak ada petugas yang menjemputlah, tunggu rekomendasi dokterlah, tunggu buka puasa dulu…, macam-macam lagi!

Namun, otakku mulai ajeg-jejeg, waras. Sehingga aku bisa merekam dengan sangat baik segala hal yang berlangsung di sekitarku. Sepanjang siang itu aku mencoba menyapa dengan ramah para perawat. 

Hanya satu-dua orang saja yang menyambut sapaanku. Selebihnya seperti sepakat, berlagak tak memedulikanku, dan lebih bagus lagi kalau bisa menghindariku.

Ada apa, ya, seakan aku ini biang kerok yang wajib dijauhi?
Ketika akhirnya aku dikeluarkan dari ruang ICU, sekitar pukul delapan malam, ternyata ada rombongan kecil yang segera menyambutku. Mereka adalah keluargaku; adikku Ry dari Sumedang, Ed dari Cimahi, Rosi, Haekal dan dia, sosok yang pantas disebut khalifah keluarga. Akhirnya!

Untuk beberapa saat lamanya air bening bercucuran deras dari sudut-sudut mataku. Ini bukan air mata dukalara melainkan air mata bahagia, terharu nian.

“Heboh, heboooh…, cape deeeeh!” Itulah kalimat terakhir sebagai salam perpisahan yang keluar dari mulut seorang perawat, begitu memindahkanku dari ranjang yang telah kuhuni selama 72 jam ke atas sebuah brankar di luar ICU.

“Maafkan lahir batin, ya Suster, terima kasih,” kataku tak memedulikan sikap sinis dan kesalnya. “Semoga Allah Swt memberkahi Suster dan rekan-rekan….”

Alhamdulillah, ya Allahu Robb, terima kasih tiada teperi atas waktu yang Engkau berikan kepada hamba, gumamku membatin menyertai gerakan brankarku yang mulai meninggalkan ICU. Sungguh, rasa syukur itu telah mengalahkan segala kekecewaan, kekesalan, kesakitan dan dukalara yang seakan tiada bertepi.

Aku telah menempuh suatu perjalanan panjang yang sangat melelahkan, sangat gulita, dan sangat horor. Aku tak ingin mengalaminya kembali. Aku berdoa, semoga rasa sakit itu, penderitaan itu, dan suasana ICU yang mengerikan itu, takkan pernah dialami oleh anak-cucu keturunanku, tetanggaku, sahabatku, sanak saudaraku. 

Bahkan musuh-musuhku sekalipun, jangan pernah mengalaminya!

@@@


Inilah Rumah Kita, Cinta

$
0
0




Ilustrasi: Rumah ini dijual untuk dana pengobatanku, Bojonggede

                        

(Satu)
Palu Hakim telah diketok beberapa menit yang silam. Saatnya bangkit, meninggalkan ruang sidang yang hanya dihadiri empat orang, tidak termasuk Hakim, Wakil Hakim dan dua paniteranya.

“Ayo, Teh Astri,” ajak Ros, menyambanginya dari bangku belakang.
“Ya, sebentar,” bisik Astri, perempuan berumur 55 yang mengenakan gamis dan jilbab serba ungu itu.

Tanpa disadari matanya melirik ke arah bangku depan yang sebaris dengan bangkunya, tetapi terhalang beberapa ubin.
Lihatlah!

Begitu pongah dan jumawa mereka, pasangan kasmaran itu, yang lelaki adalah mantan suaminya. Kini resmi sudah ia bercerai dengan lelaki bertampang persegi, sebentuk bibir khas yang meleretkan senyum sinis dan melecehkan selalu diarahkan kepada dirinya.

Setidaknya demikianlah menurut perasaannya, sejak pagi tadi mereka jumpa  di pekarangan Pengadilan Agama.

Astri takkan pernah lupa, bagaimana lelaki itu mengendarai mobilnya dengan gagah bersama pasangannya kini. Ya, mobil yang pernah dibelinya dengan susah payah, dicicil per bulan selama empat tahun sampai lunas. 

Mobil yang pernah nyaris menabrak dirinya dua bulan yang lalu, saat ia hendak mengambil dokumen yang tertinggal di ruang kerjanya.

Saat itulah ia melihat sosok centil untuk pertama kalinya begitu leluasa berada di rumah itu. Rumah mereka, tempat lebih dari separuh hayatnya diabdikan demi keluarga kecilnya; dirinya, lelaki itu dan dua buah hati mereka.

Sepanjang perkawinan mereka, 32 tahun, seingatnya tak pernah tampak rasa bahagia dan bangga lelaki itu terhadap dirinya. Sejak awal pernikahan mereka, hanya sesal dan sumpah-serapah belaka yang mendesir di telinganya.

“Aku tidak akan pernah menikahimu, andaikan kamu bukan seorang penulis!” Demikian terngiang kembali pernyataannya, saat pertengkaran mula kalinya pada pekan pertama pernikahan mereka.

Sesungguhnya bukan pertengkaran, tepatnya, caci-maki lelaki itu terhadap dirinya jika hatinya sedang tak berkenan. 

Malangnya, untuk hari-hari selanjutnya pun hati lelaki itu yang entah terbuat dari apakah gerangan, lebih banyak tidak berkenan daripada sukacitanya.

“Kamu harus bantu aku untuk menjadi seorang penulis terkenal, seperti drimu! Ingat itu!” dengusnya satu kali dalam nada penuh ancaman.

Astri terpelongoh, sesaat kemudian ia hanya bisa menyahut: “Aku akan mengusahakannya, tetapi semuanya terserah kepadamu. Karena dirimulah yang melahirkan karya, bukan aku.”

Lelaki itu merasa dirinya memiliki bakat untuk menjadi seorang sastrawan besar. Namun, kenyataannya tidak demikian, karya-karya yang dilahirkannya tidak diminati masyarakat luas.

Seorang editor mengatakan, bahasanya ketinggalan zaman, terlalu banyak bunga-bunga bahasa yang susah dipahami masyarakat literasi. Lagipula, tema yang diangkatnya melulu urusan syahwat.

Manakala obsesinya tak terwujud, maka segalanya menjadi berubah drastis. Ada saja kesalahan yang akan menyeret dirinya menjadi bulan-bulanan tinju, kepalan atau tendangan kuatnya.

Bahkan tak ada kesalahan pun, lelaki itu selalu mencari-cari kelemahannya, agar dia bisa melampiaskan angkara yang seolah tak mengenal istilah berakhir.

Seketika Astri merasa ada yang menggamit lengannya, kemudian berbisik seperti mengingatkannya.”Sudahlah, Teteh, ikhlaskan semuanya, ya…”

“Tapi rumah,  tanah, dan mobil itu juga milikku!” desisnya menahan kepedihan yang mendadak mencuat, menggelombang dan menggelegak  dalam dadanya.”Seharusnya ada pembagian harta gono-gini. Ya, ini tidak adil!”

“Pssst, Teteh, bukankah sudah diserahkan urusannya kepada Butet? Biarlah Butet yang akan menyelesaikannya.”

“Tetap saja, sungguh tidak adil!” geramnya tak tahan lagi.

Lelaki itu mulai beranjak melangkah menuju pintu, Hakim beserta rekan-rekannya pun telah menghilang dari ruang sidang. Tiba-tiba ia merandek dan bersikap menantangnya.

”Kita sudah bercerai resmi! Apa mau kau itu, he, perempuan jelek!” sergah sosok jumawa itu, sungguh terdengar bagaikan bom yang berdenyar di telinganya.

“Teteh, istighfar, ya, ayo, kita pulang,” ajak Ros, adiknya yang telah lama menjanda, dan nyaris saja diperkosa oleh lelaki itu.

Sesungguhnya sebab yang satu itu pula yang membuat Astri akhirnya memutuskan untuk gugat cerai.
“Iya, apaan sih melototin kita terus dari tadi?”

Astri terperangah. Perempuan itu, entah siapa namanya, turut pula menghardik. Wajahnya yang penuh riasan, dikombinasi dengan busananya yang seronok memperlihatkan sebagian belahan dadanya yang seksi, nuansanya serba merah menyala.

Lengannya begitu erat dan mesra menggelayut di lengan lelaki itu. Seakan-akan ingin menyatakan kepada dunia:”Inilah cinta kami berdua. Kalian, seluruh dunia hanya numpang lewat saja!”

“Hei, kami tak ada urusan dengan kamu!” Ros pun tak tahan membalasnya.
“Apa katamu, hah? Kalian berdua cocok sekali, ya! Dua nenek-nenek, janda tua, jelek pula!” ejek si merah menyala menyengat.

“Kalian, bukan manusia!” balas Ros semakin geram.
“Ya! Sudah kumpul kebo di rumah yang juga masih milikku, di mobil yang jelas-jelas atas namaku!”

Akhirnya Astri meradang, gerakannya pun tak tertahankan lagi oleh Ros. Sosoknya seketika melesat menyambangi pasangan kasmaran itu. 

Dalam sekejap ia telah berhadapan secara frontal. Jaraknya dengan kedua manusia tak tahu diri itu sangat dekat. Begitu dekatnya, sehingga mereka bisa mencium aroma yang meruap dari tubuhnya masing-masing.

Sekarang, bukan sekadar rumor belaka tentang kejahiman itu. Ya, Astri merasa telah mencium bau busuk itu, bau perzinahan yang ditebar keduanya.

“Tidak tahu malu! Tidak ingat umur, ya, kakek-kakek sudah bau tanah kubur!” sergah Astri, tanpa sadar telah melayangkan tangannya dan sekuat tenaga hendak menghajar wajah lelaki itu.

Namun, lelaki itu dengan tubuh tinggi tegap, sigap sekali menangkap tangannya, kemudian dipuntirnya kuat-kuat hingga berbunyi; kreeeek!

Astri melolongkan rasa sakit fisiknya, menyuarakan kepedihan hatinya yang terdalam. Puluhan tahun dirinya berada dalam kezaliman lelaki dari seberang itu. 

Gigi-gigi depan berlepasan di usia 30-an, tulang kering kaki kirinya retak, kuping sobek, tepi mata kiri pun robek.

Penganiayaan yang telah diterimanya tidak sampai di situ, melainkan merembet kepada dua anaknya, terutama saat mereka kanak-kanak. Lelaki itu memang sakit, dokter bilang skizoprenia dan paranoid parah.

Jika sedang kumat, rumah menjadi berdarah-darah, meninggalkan trauma jiwa kepada semua penghuninya kecuali lelaki itu.

Sosoknya akan tenang-tenang saja, setelah melakukan tindak kekerasan, duduk mencangkung di teras dan menyedot sigaretnya dalam-dalam.

Sepasang matanya akan dilayangkan kepada orang yang lalu-lalang, tak jarang terdengar sapaannya yang santun dan lembut diarahkan kepada perempuan-perempuan muda.

Siapa yang mengira orang sesantun itu, selembut dan manis begitu memiliki kelainan jiwa? Tidak ada yang percaya. Bahkan pihak keluarga besar lelaki itu menuduh Astri sebagai perempuan pendusta, istri durhaka karena telah menjelek-jelekkan suami sendiri.

“Dasar kamu ini perempuan Sunda! Apa memang macam itu kelakuan kalian?” sergah salah satu iparnya, ketika ia tak tahan mengadukan perihal tindak kekerasan yang dialaminya bersama anak-anak.

“Maksud Kakak?” Astri tak paham, mengapa kakak ipar harus melibatkan istilah perempuan Sunda segala? Rasis nian!

“Jangan berlagak bodohlah kau, Astri. Kau ini perempuan pintarlah, Kakak tahu itu. Seorang penulis hebat yang sudah banyak menerbitkan karya. Jadi, pastinya pahamlah apa yang Kakak bilang tadi,” ceracaunya terdengar sinis dan melukai.

“Kalau dalam adat kami, tak adalah itu istri yang suka menjelek-jelekkan suaminya sendiri. Pantang!” tambah iparnya yang lain.

Mereka, kedua ipar itu sengaja menyambanginya ketika Abang melaporkan penganiayaan yang telah dilakukan bapaknya. Abang dan Butet mengangkut ibu mereka yang matanya luka, berdarah-darah karena hantaman tinju berkali-kali.

“Kakak, aku tidak menjelek-jelekkan adik kalian. Tapi inilah kenyataannya. Adik kakak itu hobi menganiaya istri dan anak-anaknya,” jelas Astri, mencoba mengungkap kenyataan.

“Baik, kalaupun memang iya, pastilah ada penyebabnya. Kau pasti sudah melakukan kesalahan berat yang membangkitkan angkara adik kami. Jangan hanya bisa menyalahkan melulu. Introspeksilah!” sengat ipar perempuan yang umurnya sebaya mendiang ibunya itu, menceracau ngalor-ngidul. Tapi tak satu pun ada kalimat yang bernada pembelaan.

Aduhai, lelah sudah!

@@@

BBM Dipastikan Naik: Mana Aksi Penolakan Masyarakat?

$
0
0

Anak-anak thaller sedang makan bersama di OCBC

Cibubur, 14 April 2013

Menurut sumber yang dapat dipercaya, kenaikan harga BBM dipastikan bakal diumumkan oleh Pemerintah, entah Presiden entah sesiapapun itu.

"Menunggu saat semuanya sibuk dengan urusan lain, masyarakat lemah; maka pengumuman itu akan diperdengarkan bagaikan bom waktu,” demikian kata sahabatku, seorang aktivis buruh.

"Nah, kalau sudah tahu begitu, mengapa tidak ada aksi penolakan?" tanyaku terheran-heran.

Dia terdiam, sepertinya sudah enggan membeberkan sekadar analisanya tentang satu hal ini.
Informasi ini sungguh membuatku nyaris tidak bisa tidur lelap dalam beberapa hari. Sambil kuintip trending topic di media-media, website, FB dan twitter.

Infotainmen malah heboh melulu urusan perseteruan antara Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur. Tiap hari, tiap saat, hampir semua chanel menayangkan kasus satu ini. 

Sampai ada temanku yang bilang dengan geram: "Sebentar lagi aku banting juga nih tipi, muaaak!"

"Woooi, jangan dibantinglah, sedekahkan saja," seruku buru-buru melalui Whats App.

Sementara aku sendiri nyaris "babak belur" dihajar habis oleh urusan rumah sakit.
Terus kuintip media melalui ponsel. Eh, twitter malah lagi super heboh gara-gara muncul akun SBY yang terverivikasi. 

Entah benar, entah bohong, pokoknya si doi mulai mengoceh di twitterland.
Empat kali, kalau tak salah, waktu tadi malam kuintip.

Mahasiswa, bagaimana?
Alooow, ke manakah suara kalian yang dari masa ke masa biasanya lantang menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia?

Serikat buruh, bagaimana?
Organisasi parpol, aloooow?

Halah, mengapa aku jadi penasaran ya menyaksi aksi penolakan?
Ya, jujur saja, karena dengan melihat aksi penolakan kenaikan BBM, berarti kita bisa melihat; bagaimana sangat tidak siapnya kita menerima kenaikan BBM.

Bukankah begitu?
Dengan melihat aksi penolakan, bermakna juga bahwa masih ada yang berani menyuarakan suara rakyat!

Tak bisa kubayangkan, andaikan benar BBM akan naik, harga sembako pasti akan naik pula. Obat, nah, ini yang penting untuk pasien seumur hidup macam diriku.

Tanpa kenaikan BBM saja harga obat, cek laborat sudah begitu mencekik terasa. Apatah pula jika benar BBM dinaikkan?

Ya Allah, tolong, jangan dinaikkan sekaranglah, ya Bapak Presiden!

Salam prihatin dan; selamat twitteran yang baik dan benar sajalah, Pak!

Pipiet Senja, seorang penulis, tukang teror menulis buat kaum Buruh Migran Indonesia.

Ular Panjang di Rumah Sakit: Mana Senyum Ramahmu, Sista?

$
0
0



Cibubur, April  2013
Begitu usai sholat subuh aku sudah berkemas berangkat ke rumah sakit. Ini memang tidak biasanya, terlalu pagi, demi tiga jadwal yang sudah kurancang sejak kemarin.

Pertama ke laboratorium, kedua buat janji dengan dokter di Hematologi dan Endoktrin. Kemudian mau mampir ke komunitasku yang unik yakni; anak-anak thaller alias kumpulan pasien thallasemia.

Ternyata taksi yang kupesan datang terlambat satu jam. Jadi kami berangkat dari Cibubur sudah pukul enam lewat. Maka, sudah bisa diprediksi, terjebak macet mulai dari simpang Cikeas sampai arah keluar tol Rawamangun.

“Loh, kok gak keluar Rawamangun, Bang?” sentakku kaget, begitu kusadari taksi terus saja meluncur lurus.
“Iya, maaf, maaf, Bu. Tadi kita ambil terlalu kanan, mau belok ada polisi,” sahut sopir taksi yang masih muda itu.

Mungkin, kalau penumpang lain pada umumnya akan marah, bahkan boleh jadi minta diturunkan lantas melaporkan sopir taksi ke Call Centre-nya. Alamak!

“Yawis, lanjutkan saja, yang penting sampai dengan selamat,” gumamku sambil mengubah posisi duduk, lebih santai sajalah.

Lah iyalah, sudah macet-macetan dari ujung ke ujung, malah keliru ambil jalan pula.

Kulirik jam di hapeku, sudah pukul sembilan, mau bagaimana lagi? Paling sampai di laboratorium lewat pukul sepuluh. Benar saja, di loket sudah hampir jam sepuluh, tapi sudah lowong, sehingga aku tak perlu berjubelan antri.

Giliran di laborat yang antriannya enaknya harus dilagukan, ular panjang tiada terkira, tralala!

Malangnya, warga Jakarta, ops, ada juga pasien dari Lampung, Palembang, Bali dan Kendari. Jadi, di rumah sakit satu ini pasiennya sebangsa dan setanah air. Kebanyakan tak kenal atau berlagak tak tahu urusan antri-mengantri. Seenaknya main sela, main serobot sakarepe dewek saja.

“Weeei, siapa itu, Pak, antriiii!” teriak bapak di belakangku dengan suaranya yang lantang dan geram.

”Iya tuh! Enak saja sudah di depan. Kita semua dari tadi antri ini, Pak, antriiii!” teriak lainnya, entah siapa tidak kutengok sosoknya.

Lelaki si penyerobot itu tertegun, merandek dan menoleh ke arah kami sebentar. Sepertinya ragu, mau kembali ke belakang antriannya lebih dari 30-an. Tapi kalau dilanjutkan, semua mata mengarah kepada dirinya seakan hendak menerkam saja.

“Antri, Pak, tahu gak artinya mengantri? Biasakan budaya mengantri!” tuntut si suara lantang dengan kelantangannya yang lebih ditinggikan lagi volumenya.

“Iya, maaf, maaf, gak tahu,” katanya akhirnya mengalah, bergeser dan kembali melangkah menuju bagian belakang.

“Huuuuuu!” Aduuuh, masih juga disoraki, iseng amat!
“Kalian ini kenapa sih, orang sudah minta maaf juga….”

Sepertinya mulai terjadi cekcok di belakangku, tepat, giliranku dan aku bisa meninggalkan barisan ular panjang itu tanpa harus mendengar percekcokan.

Itu baru antrian pemeriksaan kelengkapan persaratan surat-suratnya, lanjut ke antrian loket sesuai tujuan pemeriksaan serta jenis pembayaran atau tanggungan asuransi. Kebagian nomer 82, ternyata harus menunggu lebih dari 3 (baca;tiga) jam, Saudara!

“Masih puasa?” Tanya petugas yang akan mengambil sampel darahku.
“Masih.”
“Makan terakhirnya jam berapa?”

Nah, aku ingat sekali pertanyaan menjebak begini. Kalau kukatakan lebih dari 12 jam, maka pengambilan darah batal, harus diulang esok hari. Bayangkan saja, setelah mengantri tiga jam harus batal, gara-gara kelamaan puasanya. Pengalaman menyebalkan sekali!

Maka, kukatakan saja tebak-tebak manggis,”Ya, sekitar tengah malam, saya makan apel dan minum yang terakhir.”

Petugas tak banyak cakap segera mengambil darah untuk pemeriksaan sederetan lengkap. Maklum, ini check-up per tiga bulan sekali untuk pasien kelainan darah bawaan.

“Sekarang makan dulu, ya, nanti jam dua balik lagi ke sini untuk pengambilan darah gulanya yang kedua,” titah petugas perempuan berkerudung itu.

Ia sempat mengomel-omel dan menyuruhku keluar. Hanya karena aku masuk sebelum dipanggil, sekadar ingin tahu apakah formulirku ada di antara tumpukan formulir di tangan petugas rekannya.

“Keluar dululah, keluar semuanya! Nanti juga dipanggil! Kalau semua mau duluan, ya, gak bisalah! Mau enaknya saja, dan, bla, bla, bla!” Serentetan kata-kata tak enak mrepet keluar dari mulutnya bagai mercon tahun baruan saja.

Andaikan banyak duit, sungguh tidak perlu harus mengalami buang waktu, buang enerji dan makan hati begini. Kita bisa cari laboratorium swasta, hanya tarifnya itu loh, bisa selangit!

Malangnya, aku termasuk tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan yang nyaman, manusiawi dan tulus dengan sapa ramah dan senyuman manis. 

Alhasil, seharian itu aku hanya bisa menyelesaikan urusan laborat. Jangankan mampir ke komunitas thaller, sekadar buat janji dengan dokter Hematologi pun tidak bisa! (Pipiet Senja, Cibubur 2013)

Kartini: Masih Banyak Istri Diperkosa Suami

$
0
0



13661605551455513662
dari; detikNews.com

(Dua)
Sejak itu Astri mewanti-wanti kedua anaknya agar tidak lagi mengadukan apapun yang terjadi dalam rumah mereka ke pihak keluarga besar terhormat itu. Percuma saja. Bukan pembelaan yang diperoleh, sebaliknya malah menambah luka hati belaka.

Kelakuan kepala keluarga dengan tanda kutip itu tentu saja sangat berimbas dalam kehidupan istri dan anak. Astri tak boleh ikut bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Untuk mengaji saja harus minta izin berkali-kali. Manakala diizinkan juga dengan terpaksa, sepulang mengaji Astri akan habis diinterogasi. 

Kemudian dituduhnya macam-macam.
“Kamu bukan untuk mengaji, tapi cari lelaki!”
“Kamu pasti selingkuh dengan siapa itu, orang yang dipanggil Kyai itu, bah!
“Coba bilang, berapa kali kamu ngeseks dengan lelaki jahanam itu?”

“Sebetulnya iblis apa yang bersemayam dalam tubuh kamu yang tak pernah puas itu, hemm?”
Jika Astri tetap tidak mengaku, maka tanpa ayal lagi lelaki itu akan menghajarnya. Jadi, jika orang pergi mengaji untuk mendapatkan ketenangan, pulangnya membawa ilmu agama. Sebaliknya yang terjadi terhadap dirinya. 

Astri memang mendapatkan ilmu agama dari kajian itu. Namun, sesampai di rumah dirinya akan mendapatkan selain cercaan hinaan, makian, ditambah bonus tapak spesial rasa jahim. Berupa bibir jontor, wajah biru lebam, masih mujur kalau tidak ada retak atau luka di bagian tubuh lainnya.

Untuk menyiasatinya Astri terpaksa akan sembunyi-sembunyi pergi mengaji. Acapkali ia akan menyisipkan waktu mengaji dengan saat dirinya harus mengambil honor di penerbit. Saat itu belum musim transferan uang melalui rekening, paling wessel yang harus diambilnya di kantor Pos.

Astri lebih memilih mendatangi langsung kantor redaksi dan penerbit, menawarkan karya-karyanya, seraya mengikat silaturahim dengan tim kreatif. 

Tak ayal selain namanya semakin populer di kalangan penerbit, dirinya pun dikenal sebagai seorang 
penulis perempuan satu-satunya di Indonesia yang begitu gigih; wara-wiri menjajakan naskah sambil menggendong anaknya yang masih bayi.

“Ada apa dengan wajahmu?” selidik sahabatnya, Susi di penerbit Aksara, suatu siang yang terik.
“Tidak apa-apa, hanya terpeleset di kamar mandi,” sahutnya tanpa sadar anaknya yang berumur empat tahun menyimak obrolan mereka.

“Bukan begitu, Tante Susi,” sela Abang tiba-tiba.”Tadi subuh Mama dipukuli sama….”
“Pssst, Abang, Cintaku,” tukas Astri mencoba menghalangi celotehan Balita. 

Namun, Abang dengan polos terus melanjutkannya. “Mama bilang kan kita gak boleh bohong?”
Astri terkesiap.”Eh, iya, tapi ini….”
“Ada apa, Abang sayang?” desak Susi.
“Mama lagi di kamar mandi, tahu-tahu Papa menyeret Mama, dipukuli deh. Tahu kenapa….” 

Sepasang mata yang bening itu seketika berembun, kemudian menangkupkan kedua telapak tangan ke mulutnya, dan menangis tersedu-sedu. Astri membungkuk di hadapan si kecil, direngkuhnya tubuh mungil itu, kemudian didekapnya erat-erat.

Susi geleng-geleng kepala melihat ibu dan anak mendadak berpelukan. Ia melihat ada sejuta nestapa di mata sahabatnya. Namun, ia tak keliru, sama sekali tidak melihat air mata yang terurai di sana.
“Seharusnya kamu paksa dia berobat ke dokter jiwa,” saran Susi.
“Sudah, tapi dia keras kepala, merasa dirinya waras-waras saja. Malah menudingku yang sudah sakit jiwa.”

“Laporkan saja ke polisi, Astri. Jangan biarkan dirimu dan anakmu menjadi bulan-bulanannya. Mana tidak pernah beri nafkah pula. Aduuuh, apa sih yang membuatmu terus bertahan begitu?”

Astri terdiam seribu bahasa. Susi takkan bisa menerima alasan apapun yang akan diuraikannya. Tidak, seperti halnya orang tua di Bandung yang tak bisa menerima putri mereka diperlakukan kejam oleh sang menantu.

“Bapak tidak akan pernah menginjak rumahmu lagi selagi suamimu itu masih main tangan,” demikian ancam ayahnya, dan itu diwujudkannya sampai menutup mata.

Ibunya yang semula tetap berkunjung karena rasa kangen kepada dua cucu, akhirnya memutuskan mengikuti jejak sang suami di bulan-bulan terakhir hidupnya.

Tentu saja bukan tidak menimbulkan dampak segala tindak kekerasan yang telah dilakukan lelaki itu. Astri menjadi frigid total, tak mampu lagi merasai suatu kenikmatan dalam hubungan suami-istri. 

Betapa sering dirinya hanya terdiam saja, manut, bagaikan mayat atau gedebong pisang. Sementara lelaki itu dengan ganasnya menuntut berbagai macam pelayanan. 

Jika Astri berani menolak, maka tak pelak lagi akan terjadi kegaduhan luar biasa dari dalam kamar mereka.

Betapa sering pula pada akhirnya hanya terjadi semacam pemerkosaan. Astri akan merasakan kesakitan luar biasa setelah persenggamaan itu berlangsung. 

Di kamar mandi, ia akan diam-diam menangis, mencoba berjuang sekuat daya. Melebur segala pedih-perih dengan semburan air dingin sebanyak-banyaknya, dan hanya dirinya sendiri yang merasakannya.

Malam demi malam, bulan demi bulan, dan tahun-tahun pun terus berlangsung dalam semesta lara.
“Cepatlah besar, buah hatiku,” bisiknya setiap kali menengok sepasang cintanya, saat mereka menyulam mimpi kanak-kanak.

Apa sesungguhnya yang dikhawatirkan dirinya selama itu? Anak-anaknya, benteng kehidupannya itu, tak memiliki seorang ayah, kehilangan sosok yang selayaknya dipanggil; Papa.

Ya, biarlah ia tanggung segala lara, segala nestapa dalam setiap detik hidupnya. Baginya yang penting Abang dan Butet tetap memiliki seorang bapak. 

Sesuatu yang di kemudian hari, ketika anak-anak telah dewasa, justru mereka menyesalkan keputusannya ini.

Butet kerap mengerang dalam tidurnya, seketika terbangun dengan tubuh gemetar dan menggigil hebat. 
“Maafkan Mama, ya, Cintaku,” bisik Astri.

Anak perempuan malang itu baru tenang jika ibunya telah mendekapnya erat-erat, membisikkan Ayat Kursi berkali-kali, meyakinkannya di telinganya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Abang tak pernah bisa dekat dan menghormati bapaknya. Acapkali Abang akan membalas perlakuan keji ayahnya dengan caranya sendiri; membuang baju kesayangan bapaknya dan berlagak tak tahu menahu, jika ditanyai perihal kehilangan baju itu.

Ajaibnya, Abang dan Butet tumbuh menjadi anak yang berprestasi. Mereka menjawab tantangan sang ibu:”Buktikan kepada dunia bahwa kalian hebat. Jadilah anak-anak Mama yang bisa diandalkan.”

Betapa Astri akan bersujud syukur setiap kali menerima raport anak-anak, dari tahun ke tahun keduanya selalu memberinya satu hal: kebanggaan!

@@@

Mesir Bergolak Presiden Mursi Digulingkan: Kami Datang!

$
0
0


13728840031263147978
Mesir Bergolak Akhirnya Presiden Mursi Diturunkan


Catatan Perjalanan Mesir #1

Madinatul Nasr-Kairo, 3 Juli 2012

Semesta Menulis yang dicanangkan oleh panitia Kairo cq.Agus Susanto dkk, sesungguhnya sudah diagendakan sejak sekitar setahun yang silam. Awalnya kami, aku dengan Agus yang memakai akun twitter @Gus_Elmaiya kontak-kontakan melalui twitter. Hingga tercetus gagasan untuk mengundangku ke Kairo, seperti mengulang kenangan 2005.
137290165869682684Asyik diskusi situasi Mesir

“Nak, kalau aku datang sendiri sepertinya tidak seru, ya,” kataku via DM. “Bolehkah aku ajak tiga teman lainnya, penulis dan jurnalis atau motivator kepenulisan?”

“Boleh banget, Bun, iya pastinya bakalan seru kalau ada banyak ilmu, banyak pemikiran. Kami Masisir, sebutan untuk mahasiswa Mesir, memang sangat membutuhkan bimbingan dan ilmu dari para senior,” tanggap Agus.



Mejeng dululah ya!

“Kira-kira bagusnya kapan nih, Nak?” tanyaku selang kemudian, setelah agak lama tidak berkomunikasi. Berhubung aku sangat sibuk dalam pengobatan. Sementara Agus sibuk menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci.

“Usai ujian saja, ya, Bun. Sekitar akhir Juni.”

“Oke, insya Allah, jika Tuhan berkenan semuanya akan mudah dan selalu ada jalan-Nya,” kataku menyemangati, seperti biasa nyaris tanpa berpikir; betapa untuk mewujudkan keinginan ini bagaikan mimpi di siang bolong.

Pertama, tentu saja masalah dana. Untuk empat orang penulis, dari mana beli tiketnya. Sepertinya aku harus mengajak penulis yang longgar waktu dan longgar urusan dana. Maksudku, dia tidak terikat waktu dan tiket bisa mencari sendiri.

Hanya Irwan Kelana dan Sastri Bakry akhirnya yang menyanggupi untuk mencari tiket sendiri. Sementara dua penulis rekanku terkendala, selain dana juga karena punya kesibukan dan prioritas masing-masing.

Kalau bertiga masih tidak seru, pikirku di tengah ketatnya jadwal transfusi dan terapi. Satu malam buta, mendadak ada telepon dengan nomer Mekkah. Kupikir anak-anak FLP Arab Saudi, ternyata Agus yang menelepon.

“Bunda, aku lagi di depan Kabah nih. Kita tidak jadi ketemuan sekarang, karena Bunda masih sakit, ya,”
“Iya, Nak, sekarang pun aku lagi ditransfusi nih,” sahutku.


Agus, Sastri Bakry, Opik staf Atdikbud dan Ahwazy

“Subhanallah, Bunda, safakillah ya. Agus mendoakan Bunda agar sehat, ini di depan Kabah, ya Bun. Mohon diaminkan doa Agus. Semoga acara Bunda dan kawan-kawan di Mesir bisa berlangsung dan diberkahi Allah Swt,” suara di seberang terdengar gemetar, terasa betul bagaimana serius penuh dengan pengharapannya.


Tanpa sadar sambil mengaminkan doanya, ada air bening menetes di pipi-pipiku. Sehingga perawat yang menemani menanyaiku, apakah ada yang sakit, kujawab tidak. Aku hanya sedang terharu saja dengan sebuah doa seorang anak muda, jawabku sambil buru-buru menghapus air mata.

Ya, janji akan bertemu di Tanah Suci akhirnya memang batal. Berhubung kondisiku masih lemah, jantung dan diabetes mellitus sedang menggerogiti tubuh ringkih ini.
Mendadak aku teringat dengan tugasku sebagai pengasuh Bilik Sastra melalui Voice Of Indonesia Siaran Luar Negeri RRI.

Ya, mengapa tidak kucoba saja menggaet para petinggi RRI? Saat itu juga segera aku SMS Kabul Budiono, ketika itu masih sebagai Kepala Penyiaran RRI Jakarta dan Penanggung Jawab Bilik Sastra VOI RRI SLN.

“Bagus sekali, Teteh Pipiet yang baik, saya menyambut baik usulannya. Insya Allah akan saya koordinasikan dengan Dewan Direksi,” janji Kabul Budiono via SMS.

Kemudian kondisiku membaik, dan aku jadi berangkat ke Tanah Suci, sehingga tidak ada kontak lagi dengan Kabul Budiono. Di depan Kabah, selain kudoakan titipan anak dan menantu serta para sahabat, aku tidak lupa mendoakan:”Ya Allah, jika Engkau berkenan, mudahkanlah urusan panitia Mesir untuk mewujudkan acara Semesta Menulis bersamaku dan kawan-kawan.”




Duo nenek cari urusan di Mesir

Ada gagasan membuatkan visa calling dari Mesir saat aku berada di Jeddah. Ternyata setelah dikoordinasikan dengan anak-anak penulis di Arab Saudi, hal ini tidak bisa dilaksanakan. Aku tetap harus kembali ke Jakarta lebih dahulu, kemudian kembali balik ke Timur Tengah; Mesir.


“Aduuuh, padahal tinggal selangkah lagi, ya Nak,” keluhku melalui Whats App, tempat Agus membuatkan grup persiapan Go To Mesir.
“Iya, Bun, kondisi Arab Saudi memang tidak sama dengan negara lain. Maafkan kami tidak bisa membantu,” timpal Awy Ameer Qolawun, salah seorang pengurus FLP Arab Saudi.

"Iya, Nak, tidak mengapa. Semoga ada solusi lain," tanggapku, memang tidak bisa menyalahkan siapapun.
“Tidak apa, Bun, kami akan berjuang untuk mewujudkannya. Semangaaat!” kata Agus.

Kusampaikan kepada Agus tentang Bilik Sastra dan kemungkinan mendapatkan sponsor dari RRI. Kuminta dia untuk segera menghubungi Kabul Budiono. Agus langsung melaksanakan permintaanku, dia bilang:”Subhanallah, Bun, di tengah kita nyarus tak ada harapan, seolah berada dalam kegelapan. Mendadak Bunda memberi solusi ini. Doa yang kencang, ya Bun.”

“Oke, kudoakan, Nak. Yakinlah, selalu ada jalan jika Allah berkenan!” kataku menyemangati.

Ternyata memang disambut dengan baik oleh pihak RRI. Bahkan sesepuhnya Dewan Pengawas, Zulhaqqi Havidz sudah merespon dengan positif. Ada titik terang, dan semakin terang saja arahnya.

“Nak, sudah ada jawaban dari Pak Kabul. Buka emailmu, Nak. Kita jadi ke Mesir!” tulisku, kali ini melalui BBM. Agaknya demi kelancaran komunikasi Agus sampai mengganti ponselnya dengan BB.

“Situasi Mesir bergolak, Bunda. Harus secepatnya scan paspor kirimkan, semuanya ya Bun,” pesan Agus, kali ini didampingi dua rekannya yakni; Majid dan Maulani. Kami pun secara intens berkirim kabar melalui twitter, tentu saja sambil promo acara. Sehingga beberapa kali ganti banner dan perubahan materinya.

“Terus kontak situasinya di Mesir, ya Nak,” pesanku sampai hari H keberangkatan. Bahkan di Bandara Cengkareng, Irwan Kelana masih bertanya dengan nada bimbang:”Ini kita jadi berangkat, Teteh?”

“Loh? Ya jadilah, ini tiket dan visa sudah di tangan. Mau bagaimana lagi? Inilah perjuangan seorang jurnalis, bagi Anda, begitu kan. Ini juga perjuangan buat seniman kreatif,” kataku tertawa ditahan.

Putriku, Butet sempat juga berkata:”Serius, Ma, gak mau berubah pikiran? Mesir mau revolusi lagi tuh. Apa mau cari mati ke sana?”

“Huuuusss! Ada Allah Sang Maha Penolong, Nak, tenang sajalah,” sahutku kalem, melanjutkan packing dan hanya membawa buku tak seberapa banyak.
“Ya sudahlah, asalkan Mama senang, Butet dukung sajalah,” akhirnya dia mengalah.

Nah, saat kutulis laporan perjalanan ini, baru aku dan Irwan Kelana dari Republika yang sudah sampai di wisma milik Keluarga Pelajar Jakarta di Madinatul Nasr. Sastri Bakry baru saja tiba dan bercerita tentang suasana Bandara Kairo yang dipenuhi tentara.

“Mursi dikabarkan tidak diketahui rimbanya sejak pukul lima tadi,” kata seorang panitia.
Sementara rombongan RRI masih dalam perjalanan.

Tayangan Al Jazeera dan CNN di ruang tamu, terus-menerus mewartakan situasi terbaru di kawasan kedua belah kubu semakin memanas. Kubu pro Mursi dan kubu anti Mursi kian bersitegang. Hatta, sudah banyak korban yang jatuh dari pihak Ikhawanul Muslimin pro Mursi. Markasnya dibakar, beberapa pemuda yang sedang sholat ditembaki.

Aku gemetar, apakah ini akan menjadi revolusi Mesir? Kami hanya bisa berdoa, semoga rakyat Mesir mendapatkan yang terbaik. Tidak ada anarkis, tidak berdarah-darah. Maka, kami kembali ke bumi Kinanah ingin seperti dulu, 2005, dalam situasi damai saja. (Pipiet Senja, Kairo, 3 Juli 2013, menanti detik-detik menentukan)

Catatan terakhir pukul 22.10. Sayup-sayup terdengar bunyi petasan dari pelosok Kairo. Agaknya militer telah mewartakan mereka menurunkan Mursi dari kursi kepresidenan, undang-undang dikembalikan ke undang-undang semula.
Intinya, situasi Mesir masih belum menentu, entah mau ke mana diarahkan oleh para penguasa baru.

Laporan Dari Kairo: Pendemo Perempuan Dilecehkan

$
0
0


Kairo, 4 Juli 2013
Ketika rakyat Amerika Serikat merayakan Hari Kemerdekaan, adalah rakyat Mesir yang tidak pasti. Beberapa warga yang dekat dengan penginapan kami, ketika diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak tahu mau dikemanakan negeri Kinanah ini.

Namun yang pasti, junta militer Selasa, 3 Juli 2013, malam tadi mewartakan bahwa Presiden Mursi telah digulingkan. Bunyi petasan dan kembang api segera tampak marak di langit Kairo, terutama di kawasan Tahrir Square yang diduduki jutaan massa penentang Presiden Mursi.

Semalam menjadi pesta yang sangat meriah dengan musik khas Mesir.

Berita mengerikan, menyeramkan pun berseliweran. Kasus pelecehan terhadap pendemo perempuan meningkat. Salah satu korbannya adalah seorang wartawati Belanda.

Pihak KBRI sudah mengingatkan WNI agar menjauhi kawasan-kawasan yang penuh dengan ketegangan, intrik dan kriminali tersebut. Baik di Tahrir Square maupun di kawasan yang dijejali pendemo kubu pro Mursi yang tak jauh dari Wisma Nusantara.

Saya dan teman-teman penulis, jurnalis dan broadcaster dari Radio Republik Indonesia yang kebetulan datang memenuhi undangan panitia Semesta Menulis, masih aman berada di sebuah penginapan di kawasan Madinatul Nasr.

Siang ini, agendanya kami akan mengisi Simposium Timur Tengah:"Pendidikan dan Demokrasi Dalam Menangkal Radikalisme dan Terorisme". Simposium ini sedianya akan disi oleh para pemateri pejabat tinggi NKRI seperti; Yusuf Kalla dan Mahfud MD.

Akhirnya istilah Simposium diubah drastis menjadi: Dialog Terbuka.

Panitia menawarkan kepada kami untuk tampil pada simposium ini. Sastri Bakry, seorang sastrawati yang kebetulan juga pejabat tinggi, staf khusus Kemendagri kami dukung untuk tampil. Bersama Sastri direncanakan akan tampil petinggir RRI: Zulhaqqi Havidz dan Muhammad Anhar. Tentu saja sebagai jurnalis Irwan Kelana drai Republika akan tampil.

Saya bingung, mau bicara apa dan apa kapasitas saya dalam simposium sekeren ini. Saya pikir bukan bidang saya, maka saya mau menjadi penonton sajalah. Sebagai saksi sejarah perubahan politik yang sedang terjadi di Mesir, negeri pertama yang mengakui kemerdekaan NKRI.

Insya Allah, 5 Juli dan 6 Juli, saya akan tampil pada acara puncaknya; Semesta Menulis.

Selamat berjuang dan berkontribusi, Rekan!
(Laporan pagi hari, Madinatul Nasr-Kairo, Pipiet Senja)

Catatan Teroris: Mesir Semakin Memanas Masisir Gelar Semesta Menulis

$
0
0





Kairo, 6 Juli 2013
Akhirnya tiba jua gelar acara Semesta Menulis di kalangan pelajar dan Masisir, mahasiswa Mesir. Mengambil tempat di tiga lokasi, para pemateri dibagi tiga, yakni: kelas menulis, kelas jurnalistik, kelas broadcasting.

Kelas jurnalistik dimotori oleh Irwan Kelana, wartawan senior harian Republika. Kelas broad casting bersama Eddy Sukmana dan Nismah. Sementara kelas menulis bersama saya dan Sastri Bakry.
Kelas menulis mengambil tempat di wisma KMJ. Keluarga Mahasiswa Jambi di kawasan Madinatul Nasyr.

“Awalnya kita akan gelar acara di Sholah Kamil Al Azhar,” jelas Agus Susanto, ketua panitia.”Tapi berhubung situasi politik di sini sedang bergolak, kami terpaksa memindahkan tempatnya. Kita menghindari kawasan yang dipenuhi para pendemo kedua kubu, bla, bla, bla….”









Saya tercnung agak lama, seketika ada yang membersit jauh di lubuk hati, bagaimana tidak, pesertanya sangat menurun drastis. Awalnya yang mendaftar sampai mencapai 700-an, sekarang terbagi tiga tinggal 100-an. 

Sedih juga rasanya harus kehilangan kesempatan berbagi ilmu yang langka ini, ternyata terkendala dengan situasi tidak menentu, bahkan bagaikan menjelang perang.

Ketika dijemput panitia dari penginapan di kawasan Tamaniyah, jauh dari lokasi acara, kami melewati kawasan markas Angkatan Darat Mesir. Suasananya sungguh membuat bulu roma meremang. Tank-tank tentara dan panser sudah siap siaga dengan segala peralatan senjata lengkap. Aduhai!

“Mama, jangan lepas dari rombongan. Jangan macam-macam, jangan sok nyentrik, sotoy ala seniman, ya. Awaaaas, jaga kesehatan dan jaga diri baik-baik,” demikian pesan putriku, Butet via Whats App.

Alamak, dunia sudah terbalik, sekarang anak yang banyak petatah-petitih sok menasihati orangtuanya. Setiap saat, setiap waktu, putriku mengingatkan; apakah sudah makan, apa sudah minum obat, apa sudah cek gula darah, apa sudah tidur. Syeeetttt deeeh!

“Baiklah, mari kita buka acara Semesta Menulis bersama Pipiet Senja dan Sastri Bakry,” suara moderator membangunkan diriku kembali pada kekinian.

Saya persilakan Sastri Bakry mengisi presentasi pertama, sambil bercanda dia berkilah:”Biasanya kan di mana pun berada, maka yang senior suka belakangan.”

Balik kubalas dia sambil terkekeh:”Iyalah, daku mengalah saja demi pejabat eselon, hihi!”

Antusias sekali para peserta mngikuti materi yang kami berikan, hingga di akhir sesi pertama ini kami berikan tantangan:”Apakah berani menjawab tantangan kami untuk bikin satu buku dari Masisir? Semesta Menulis Masisir? DL-nya satu bulan, bagaimana, sepakat?”

“Sepakaaaaat!” sahut anak-anak Masisir, kompak sekali.

Sementara langit Kairo petang mulai tampak asap menebal di kawasan 6 Oktober. Dua kubu mulai ricuh, mereka baku lempar batu, kembang api bahkan bom Molotov. Helikopter berputar-putar di atas kepala kami. Suara sirine menggaung ke pelosok bumi Kinanah.

Semua terpampang jelas di layar televise yang tak pernah berhenti ditayangkan oleh seluruh warga Mesir. Ya Allah, semoga semuanya bisa menahan diri agar tidak terjadi perang saudara. Lindungilah Mesir, ya Robb! (Maadi-Kairo, pagihari, 6 Juli 2013-Pipiet Senja)

Sekadar Bertanya: Pak Dubes: Mana Plakat Simposiumnya?

$
0
0


 Simposium PPI Timur Tengah

  
Menggantikan Mereka yang Tak Berani Datang di Tengah Gejolak Mesir
Kairo, 3 Juli 2013
Akhirnya tiba jua rombongan kami, Sastri Bakry, Irwan Kelana dan saya di ruangan luas petang itu. Selang kemudian menyusul rombongan RRI: Zulhaqqi Hafiz, Muhammad Anhar, Eddy Sukmana dan Nismah.

Wisma KPJ, Keluarga Pelajar Jakarta Mesir, hari ini menggelar perhelatan berskala insternasional. Simposium akbar mengambil tema:”Pendidikan Dalam Menanggulangi Radikalisme dan Terorisme”.

Para peserta perwakilan PPI dari berbagai Negara pun hadir: Teheran, Suriah, Eropa, Sudan, Nigeria dan beberapa negara lainnya, Tentu saja selain para Masisir, mahasiswa Mesir sebagai tuan rumah.

“Pembicaranya tidak bisa hadir, Bun, pas dua ari menjelang Simposium mereka membatalkan kedatangan,” bisik seorang panitia Semesta Menulis.
“Siapa yang akan menggantikannya?” tanya saya ingin tahu.
“Ya, sesama Masisir harus saling bantulah. Kami harus mendukung Simposium berskala internasional ini, Bun.”

Beberapa saat kami, para pembicara dari Jakarta pun membahas hal yang mengejutkan ini. Tentu saja, kami datang ke Mesir atas undangan panitia Semesta Menulis, hanya menyiapkan materi yang sesuai dengan kapasitas kami masing-masing.

Irwan Kelana sebagai jurnalis senior Harian Republika tentunya hanya bicara tentang kejurnalistikan. Eddy Sukmana dan Nismah menyajikan materi broadcasting. Sedangkan Zulhaqqi Haviz dan Muhammad Anhar sebagai petinggi RRI, niscaya akan bicara perihal peradioan, khususnya tentang Radio Republik Indonesia yang melegenda sejak mengudarakan; Proklamasi 1945,

Alhasil, disepakatilah yang akan tampil pada acara dadakan bagi kami ini adalah: Zulhaqqi Haviz, Muhammad Anhar, Sastri Bakry dan Irwan Kelana. Lega rasanya, karena jujur saja, saya takkan sanggup membincang sesuatu yang bukan duniaku, kapasitasku sebagai seniman kreatif kepenulisan.

Sastri Bakry selain sebagai sastrawati adalah seorang birpokrat, Irjensus pada Kemendagri. Ia sering diundang seminar-seminar perpolitikan ke pelosok Tanah Air, masih tepat bicara dengan tema seperti tersebut di atas.

Zulhaqqi Haviz dan Muhammad Anhar sebagai corong RRI tentu saja masih tepat mengedepankan opini perihal:Bagaimana Media Menyikapi Radikalisme dan Terorisme. Demikian pula Irwan Kelana sebagai wartawan senior Harian Republika piawai membincang urusan begini.

Saya masih mengikuti sesi Sastri Bakry, tetapi selanjutnya sungguh tidak tahan lagi dengan serangan teroris Raja Kantuk. Maka, diam-diam menyingkir, diikuti Sastri Bakry, mencari sudut agar kami bisa merebahkan diri.





“Masya Allah, Bunda, jadi bergeletakan di ubin begini?” Agus membangunkam kami berdua.

Sastri Bakry dan saya saling pandang, rada-rada bingung pula. Kami baru menyadari memang bergelimpangan di ubin berkarpet ruangan full AC yang nyaman dan sejuk.

Pukul sepuluh malam waktu Kairo, Agus tergopoh-gopoh menemani kami mencari taksi. Saya lihat Agus sampai lupa dengan sepatunya, jadi nyeker saja sambil tersipu malu.

Kondisi tubuh kami belum beradaptasi, perut dan kepala masih terkondisikan sebagai manusia Khatulistiwa. Keroncongan dan masih jetlag, kurasa. Di Indonesia ini sudah dinihari, saatnya biasa saya tahajud. Jadi, keleyengan tidak karuan rasanya!

“Ada roti dan minuman hangat, Bun,” kata Agus sesampai kami di penginapan di kawasan Madinatul Nasr.

“Tidak, terima kasih,” kami berdua sepakat memilih ngeloyor ke kamar, tidur tanpa ingat apapun lagi.

Hingga beberapa hari kemudian, saya dan Sastri Bakry masih suka bercanda.
“Kira-kira dapat honor gak tuh, Teteh?” kata Sastri Bakry.

”Pastilah gede honornya, kan didukung penuh oleh KBRI. Namanya saja Simposium Internasional, dibuka langsung oleh Bapak Dubes. Menggantikan pembicara sekelas Hasan Wirayuda dan Mahfud MD geto loh,” celotehku menyemangati.

“Hmm, kalau dapat honornya, nanti aku bagi buat Teteh sajalah,” ujar Sastri Bakry terdengar serius.

Tunggu punya tunggu, sampai ada kesempatan rombongan kami diterima oleh KBRI, silaturahim jumpa dengan Dubes. Jangankan honor gede, bahkan plakat sekalipun; sungguh tidak ada, Sodara! (Maadi-Kairo, Pipiet Senja)


Bodi Aduhay Bohay: Mojang Sunda Bahenol Nerkom

$
0
0

                             Ilustrasi: Ini mah pasustri asli Sunda pake kostum penari Bali


Spesial untuk urang Sunda dan yang mengaku cinta bahasa karuhun.
Mangga geura ieu tengetan: 


1. Spending a lot of time with doing nothing = Ngajedog

2. Got hit by a truck that is moving backward = Katabrak treuk

3. Talk too much about unimportant things = Ngacapruk

4. Fall backward and then hit own head = Ngajengkang

5. Falling forward and may hit own face = Tikusruk

6. A small sharp thing, embedded inside one finger's skin = Kasura

7. Have much less knowledge = Belegug

8. A little chair made from woods = Jojodog

9. People who always annoy other people = Si Kehed

1o. Man or woman who has an ugly face = Goreng patut

1i.Just take rest but didn't sleep = Gogoleran

12.Meals made from rice which is covering by banana leaf and have much of surprise inside =    Leupeut

13. The situation when your brain need more oxygen = Heuay

14. A woman who have hillarious body like a Spanish guitar Bahenol nerkom

15. People who have thought more mature than her age = Kokolot begog

16. A Type of People Who Have a Long Chin = Cameuh

17. A something that can radiate the sparkling light = Buricak Burinong

18. A very small plate, usually used for pad of coffee cup = Pisin

19. There's a little something disgusting in your eyes = Cileuh

2o. That moment when you walking after the rain of your shoes = Jeblog.

Bookgrafi: 40 Tahun Pipiet Senja Berkarya

$
0
0

 Museum Chiang Kai Sek, Taipei





Prolog
Meskipun saat ini saya sedang dalam perawatan, kadang harus inap, kadang boleh pula rawat jalan, tetapi tetap semangat dan optimis. Saya terus menulis, menulis dan selalu menulis dalam serbuan komplikasi penyakit bawaan, lever, jantung dan diabetus melitus.

Saya pun selalu berharap dan berdoa, memohon kepada Sang Maha Pemberi, agar kiranya masih diberikan waktu untuk saya bisa berkarya dan sehat seperti biasa. Dalam hal ini, tak mengapa penyakit bawaan harus ditransfusi darah secara berkala, toh saya telah melakoninya sepanjang hidupku.

Ya, semoga saja satu demi satu yang error dalam tubuh ringkih ini menyingkir, raib entah ke mana!

Maka, ini saya catat dan update kembali semua buku yang pernah saya tulis dan diterbitkan.

Kepada para pembaca saya ucapkan terimakasih, karena tanpa Anda semua yang berkenan mengapresiasi karya saya, niscaya saya ini bukanlah siapa-siapa.
Nah, salam budaya dan kreatif: Terus Berjuang!
Pipiet Senja


@@@


Karya di awal Karier Kepenulisan era '75
1. Biru Yang Biru (Karya Nusantara, 1978)


2. Sepotong Hati di Sudut Kamar (Sinar Kasih, 1979)
3. Serenada Cinta (Rosda Karya, 1980)
4. Mawar Mekar di Taman Ligar (Rosda Karya, 1980)
5. Nyanyian Pagi Lautan (Alam Budaya,1982)
6. Payung Tak Terkembang (Aries Lima,1983)
7. Masih Ada Mentari Esok (Aries Lima,1983)
8. Mencoba Untuk Bertahan (Aries Lima,1983)
9. Selendang Sutra Dewangga (Aries Lima, 1984)
10. Orang-orang Terasing (Selecta Group,1985)
11. Adzimattinur (Selecta Group,1985)
12. Kembang Elok Rimba Tampomas (Selecta Group,1985)

Buku Anak-anak;


1. Prahara Cimahi (Margi Wahyu, 1991)
2. Jimbo dan Anak Jin (Margi Wahyu, 1992)
3. Si Boyot Sang Penyelamat (Margi Wahyu, 1993)
4. Jerko dan Raja Jin (Margi Wahyu, 1993)
5. Kisah Seekor Mawas (Margi Wahyu, 1994)
6. Rumah Idaman (Margi Wahyu, 1994)
7. Keluarga Besar di Sudut Gang (Margi Wahyu, 1994)
8. Bunga-Bunga Surga (Margi Wahyu, 1994)
9. Si Hitam (Margi Wahyu, 1994)
10. Bip Bip dan Boboy (Margi Wahyu, 1995)
11. Pentas Untuk Adinda (Margi Wahyu, 1995)
12. Buntalan Ajaib (Margi Wahyu, 1996)
13. Sanghiyang Wisnukara (Margi Wahyu, 1996)
14. Nunik Sang Maestro (Margi Wahyu, 1997)
15. Melati Untuk Ibu Negara, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
16. Nyanyian Tanah Air, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
17. Rumah Idaman, edisi revisi (Gema Insani Press, 2002)
18. Putri Tangan Emas (Zikrul Hakim, 2004)
19. Bip Bip dan Boboy, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
20. Buntalan Ajaib, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
21. Jenderal Kancil (Zikrul Hakim, 2004)
22. Jenderal Jerko (Zikrul Hakim, 2004)
23. Jenderal Nyungsep (DAR! Mizan, 2004)
24. Masih Ada Hari Esok (Zikrul Hakim, 2004)
25. Lukisan Kenangan (Zikrul Hakim, 2004)
26. Si Hitam, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
27. Ikan Beranting Emas (Zikrul Hakim, 2004)
28. Kwartet Jang Jahid (Dian Rakyat, 2006)

Novel Islami


1. Namaku May Sarah (Asy-Syaamil, 2001)
2. Riak Hati Garsini (Asy-Syaamil, 2002)
3. Dan Senja Pun Begitu Indah (Asy-Syaamil, 2002)
4. Serpihan Hati (DAR! Mizan, 2002)
5. Menggapai Kasih-Mu (DAR! Mizan, 2002)
6. Memoar; Cahaya di Kalbuku (DAR! Mizan, 2002)
7. Trilogi Kalbu (DAR! Mizan, 2003)
8. Trilogi Nurani (DAR! Mizan, 2003)
9. Trilogi Cahaya (DAR! Mizan, 2003)
10. Lukisan Rembulan (DAR! Mizan, 2003)
11. Rembulan Sepasi (Gema Insani Press, 2002)
12. Kidung Kembara (Gema Insani Press, 2002)
13. Tembang Lara (Gema Insani, 2003)
14. Kisi Hati Bulani, bareng Nurul F Huda (FBA Press, 2003)
15. Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim, 2003)
16. Rembulan di Laguna, duet  dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
17. Pilar Kasih, novelet duet dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
18. Lukisan Perkawinan, kolaborasi keluarga (Zikrul Hakim, 2004)
19. Lakon Kita Cinta (MVM, 2004)
20. Lukisan Bidadari (Lingkar Pena Publishing, 2004)
21. Sang Rocker; Perjalanan Sunyi (Beranda, 2004)
22. 9000 Bintang (Cakrawala Publishing, 2004)
23. Meretas Ungu (Gema Insani Press, 2005)
24. Langit Jingga Hatiku  (Gema Insani Press, 2005)
25. Mr. Dee One & Tante Centil duet dengan Fahri Asiza (ZH, 2005)
26. Lapak-Lapak Metropolitan (KBP, 2006)
27. Pembersih Lantai Sastra (KBP, 2006)
28. Bagaimana Aku Bertahan (KBP, 2006)
29. The Legend Of Snada (KBP, 2006)
30. La Dilla (Zikrul Hakim, 2006)
31. Biarkan Aku Menangis (Duha Publishing, 2006)
32. Kupenuhi Janji (Duha Publishing, 2007)
33. Mom & Me #1, duet dengan Adzimattinur Siregar (Indiva, 2007)
34. Bloggermania, duet dengan Adzimattinur Siregar (Zikrul Hakim, 2008)
35. Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku! (Zikrul Hakim, 2008)

36. Dalam Semesta Cinta (Jendela, 2009)
37. Jejak Cinta Sevilla (Jendela, 2010)
38. Jurang Keadilan (Jendela, 2010)
39. Catatan Cinta Ibu dan Anak, duet dengan Adzimattinur Siregar (Jendela, 2010)
40. Kepada YTH Presiden RI (Jendela, 2011)
41. Menoreh Janji di Tanah Suci (KPG, 2011)
42. Cinta Dalam Sujudku (Luxima, 2013)
43. Tertawa dan Menangis TKW Hong Kong, duet dnegan Adzimattinur Siregar)
43. Imperium (dalam proses editing)

Antologi Cerpen Bersama


1. Rumah Tanpa Cinta (Alam Budaya, 1983)
2. Bunga Rampai Penulis Perempuan Indonesia (Bentang, 2001)
3. Suatu Petang di Kafe Kuningan (FBA Press, 2001)
4. Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002)
5. Merah di Jenin (FBA Press, 2002)
6. Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002) 
7. Kado Pernikahan (Asy-Syaamil, 2002)
8. Semua Atas Nama Cinta (Ghalia, 2003)
9. Bulan Kertas (FBA Press, 2003) 
10. Kanagan (Geger Sunten, 2003)
11. Surga Yang Membisu (Zikrul Hakim, 2003)
12. Menjaring Angin (Zikrul Hakim, 2004)
13. Kalung Dari Gunung (Bestari, 2004)
14. Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2004)
15. Berlalu Bersama Angin (Senayan Abadi, 2004)
16. Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2004)
17. Matahari Tak Pernah Sendiri I (LPPH, 2004)
18. Lelaki Semesta (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
19. Sahabat Pelangi (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
20. Dan Bintang Pun Tersenyum (Gema Insani Press, 2005)
21. Membasuh Kalbu (Gema Insani Press, 2005) 
22. Jendela Cinta (Gema Insani, 2006)
23. Ketika Cinta Menemukanmu (Gema Insani, 2006)
24. Surat Untuk Abang (Cakrawala Publishing, 2006)
25. Selusin kompilasi cerpen anak Bobo (Pustaka Bobo 1997-2004)
26. Catatan Hati Seorang Istri (LPPH, 2007)

27. Jangan Jadi Perempuan Cengeng (Indiva, 2008)
28. Desperate Of Wife (LPPH, 2008)


29. Persembahan Cinta (Zikrul Hakim, 2008)
30. Ungu Pernikahan (Zikrul Hakim, 2008)

31. 30 Wanita Pilihan (Jendela, 2009)
32. Aku Mencintaimu Karena Allah (Grasindo, 2010)
33. Duhai Muslimah Bersyukurlah (Jendela, 2010)
34. Rahasia Penulis Hebat (Gramedia, 2011)
35. Bersyukur Menjadi Perempuan (Indie)
36. Jadikan Aku Nyai (proses editing)

Dalam Bahasa Sunda


1. Jalur Sutra Jalur Cinta, cerber (Majalah Sundamidang, 2008)


2. Ratusan cerpen dan puluhan novel 



yang dimuat secara bersambung di majalah   Mangle 1990-2006

In-Coma: Ketika Berada di Ambang Kematian

$
0
0



Anno, 2009
Aku masih terus berlari, berlari, berlari untuk ke sekian kalinya, tiada pernah sudi henti. Aku melintasi lorong-lorong yang panjang sekali bak tiada berujung. Aku pun melewati lembah, ngarai, jurang kemudian tiba-tiba terperosok di dalamnya, dan sungguh harus berjuang keras untuk bisa kembali ke tempat yang aman.

Duhai, lelah, lelahnya seolah takkan pernah berkesudah!
Jangan pernah menyerah, ayo, bangkitlah!
Ada seberkas cahaya yang mengintip malu-malu di lelangitan kalbuku.

Aku sebagai selembar nyawa tak berharga, maka menggeliat perlahan. Kurentangkan tangan-tangan jasmaniku, sayap-sayap ruhaniku dengan semesta enerji yang masih kumiliki.
“Bagaimana ini, Dok, tensinya belum stabil….”
“Tidak teraba….”
“Tapi HB-nya mulai meningkat, ini sudah 5,2….”
“Setelah ditransfusi sebanyak itu?”
“Iya, Dok….”

“Berapa trombositnya?”
“Mulai naik juga, Dok, sudah 2000-an….”
Oh, itu masih sangat rendah, standar terakhir yang disebut oleh dokter hematologiku dalam kisaran; 150 ribuan!
Nah, sekarang aku harus bangun, haruuuuus!

Beberapa saat lamanya kukumpulkan segenap enerji yang masih kumiliki.  Ini sebuah perjuangan dahsyat yang harus kutempuh, di antara rasa sakit luar iasa di sekujur tubuhku, aku berjuang, berjuang dan berjuang tanpa henti.

Kemudian, enerji itu kusalurkan ke bagian kaki-kakiku yang telah terbebas dari selang infus. Kaki kanan, ayo, bergeraklah!

Aku merasa berhasil mengangkat kakiku, kemudian menghempaskannya kuat-kuat. Seketika seberkas cahaya menerobos melalui kisi-kisi hati, menyergap jantungku, dan menohok langsung memori di kepalaku. 

Cahaya yang maha indah adalah mengingat kembali keberadaan kita, siapa diri kita, nama kita, dan keluarga kita. Ya Allah, sungguh!

Aku bisa mengenang kembali dua bintangku, dua belahan jiwaku; Haekal dan Butet. Dan menantuku Seli serta dua cucuku; Zein dan Zia!
“Janji, ya, janjiiiii….. Mamaniniii!”

Nah, itu suara Zein yang pernah memintaku berjanji. Agar aku sehat, kemudian mengajak dia jalan-jalan kembali, dan membelikannya mobil-mobilan.

“Yang gedeee bangeeet!” katanya serasa terngiang-ngiang di telingaku.
“Zeiiiin! Ziaaaa!” Kudengar jeritanku sendiri, menggema ke mana-mana.
“Haekaaaal! Buteeeet!”

Ini juga jeritanku, dan kusadari itu sesungguhnya tidak baik, tidak sopan. Aku telah mengganggu ketenangan siapapun!
Seseorang menepuk-nepuk pipiku agak kuat. “Bu, Bu…, sadar, ya Bu!”
“Iya, Dokter. Aku sadar benar ini. Aku seorang nenek, seorang ibu, pasien kelainan darah bawaan,” aku kembali mengerang dan meracau. “Dokter, mohon, maafkan aku lahir batin, ya. Mohon ikhlasnya, ya, izinkan anakku datang ke sini, kumohooon….”

Tak ada jawaban, entah berapa lama itu berlangsung. Mereka tak memedulikan permintaanku. Seorang perawat berjanji akan mengabari keluargaku, jika mereka ada di luar ruangan ICU. 

Namun, aku tak tahu apakah ia melaksanakan janjinya, atau bahkan melupakannya sama sekali.

Otakku terus berputar, mencari akal, bagaimana caranya menarik perhatian dokter. Seorang dokter muda, bukan dokter Kris, entah siapa namanya, tahu-tahu telah berdiri di samping ranjangku. Kurasa ia seangkatan dengan dokter Kris.

“Ibu, jangan hebohan terus dong. Itu tidak baik untuk kondisi Ibu sendiri. Juga sudah mengganggu pasien-pasien lainnya di ICU ini….”

Aku tidak menyahut sampai ia berlalu. Otakku masih terus berputar, terus memikirkan banyak hal, merekam semua hal di sekitarku. Di sini waktu tak bisa kuperkirakan, entah siang entah malam, semuanya tak jauh berbeda.

Nuansanya senantiasa berbau kesakitan, penderitaan dan kematian. Kutahu, satu demi satu di sebelah-menyebelahku akhirnya menyerah, berjabat tangan dengan sang malaikat maut yang segera membawanya pergi, entah ke mana.

Aku selalu berusaha menanyakan waktu kepada perawat, beberapa kali, tak peduli disebut nyinyir dan cerewet.

“Ini bulan suci bulan Ramadhan, Bu,” kata seorang perawat muda.
“Oya, aku ingat sekarang, terima kasih, Suster.”

Sesaat aku merasa senang, seperti telah menemukan suatu celah baru. Tentang waktu, lihat saja bagaimana mereka berbuka puasa atau makan sahur. Namun, hanya satu-dua orang saja yang berpuasa di sini. Selebihnya senang sekali bicara tentang makanan sesuka hatinya, kemudian mengajak makan dan minum di ruangan sebelah, tempat mereka rehat.

Mereka, para perawat di sini, ternyata punya kebiasaan yang sama dengan ibu-ibu tetanggaku di kampung Cikumpa, yakni; ngerumpi. Kalau sudah kumat ngerumpi, woooow!

Mulai dari menggunjingkan artis yang selingkuh, Gus Dur yang dirawat di lantai 3, doyan menghilang setiap tengah malam, membandingkan ponsel masing-masing sampai urusan THR.

Suatu saat seorang dokter lelaki, kulihat dengan jelas tagnamedi dadanya; dokter Hadi, melakukan pemeriksaan sekilas terhadap diriku.

“Sekarang, apa yang Ibu rasakan?” tanyanya.
Sesungguhnya aku merasa mulai tenang. Mungkin masih dalam pengaruh obat anti nyeri dosis tinggi. Pokoknya, aku merasa “baik-baik” saja, terbebas dari rasa sakit yang merejam sekujur tubuh.

Namun, entah mengapa, aku iseng menyahut begini; “Semuanya sakit dan pikiranku kacau-balau.”

“Oh, itu biasa, Bu. Namanya juga habis dioperasi besar. Sabar, ya Bu.”
Aku segera mengacungkan tangan kiriku. Telapak tangan dan jari-jemariku yang tertutup perban tampak bulat-bulat, serasa kebas, nyaris tak bisa kurasai sakitnya lagi.

“Lihat, Dokter, mengapa tangan-tanganku jadi bengkak begini? Aku masih ingat, asalnya tidak seperti ini,” ujarku bernada menggugat.

Ia mencermati tanganku, kaki-kakiku, wajahku kemudian berkata: “Oke, Bu, nanti aku beri obatnya, ya. Biar tidak bengkak-bengkak lagi.”

Tak berapa lama kemudian seorang perawat mendatangiku. Ia membawa tiga spuit berisi tiga macam obat, sekaligus diinjeksikan kepadaku melalui vena.
“Ini disuntik apa, Suster?”
“Antibiotik dan vitamin C, Bu.”

“Aduuuuh!” seruku tertahan, rasa pedas dan sakit dalam sekejap menyerbu urat-urat nadiku. Hawa panas pun terasa meruap di tenggorokan dan hidungku.
“Maaf, obat apaan sih ini, Suster?” tanyaku penasaran.
“Ibu ini kok cerewet, ya. Tadi kan sudah dikasih tahu….”

“Belum jelas, apa?” buruku mencegahnya pergi.
“Itu tadi, Bu, namanya lasik, antibiotik dan vitamin C. Sudah, ya Bu, masih banyak kerjaan nih!”

Mengapa aku diberi lasik? Setahuku obat itu sering diberikan kepada pasien gagal ginjal yang pernah tetanggaan denganku di lantai 8. Lagipula, aku ini pasien kelainan darah bawaan. 

Tidak boleh diberi obat sembarangan. Pemberian banyak obat antibiotik malah mengakibatkan HB-ku hancur!
Ini konspirasi!

Mereka memang tak menyukaiku, hanya karena aku terlalu banyak bertanya, nyinyir dan cerewet. Suka membuat kehebohan dengan jeritan-jeritan, erangan-erangan tak berguna!
Mereka hendak melenyapkan diriku!

Coba, lihatlah, itu dokter Mira, berkasak-kusuk dengan rekan-rekannya. Mereka mengganti catatan-catatan di statusku, ya, menggantinya dengan keterangan yang mengacaukan. Tidak sampai di situ saja, bahkan mereka kemudian menukar statusku dengan status pasien di sebelahku.

Aduh, mereka akan menghilangkan keberadaanku dari tempat ini!

Sejak saat ini, segalanya kembali ngedrop, demikian menurut perasaanku. Takaran darahku bergeming di tataran 5, meskipun entah berapa puluh kantong darah telah ditransfusikan. Trombositku seolah-olah stag di angka 3000.

Sesungguhnya yang paling mencemaskanku adalah tensiku melejit ke angka; 200/120. Bapakku meninggal karena struk, aku anaknya yang sulung, mungkinkah mewarisi “kestrukannya”, ya?

Meskipun demikian, aku masih mencatatnya dalam memori otakku, berbagai hal yang berseliweran di sekitarku. Pasien kanker rahim di seberangku dinyatakan telah “lewat”. 

Demikian pula pasien kanker otak di sebelahku, menyusul beberapa menit setelahnya.
Sementara pasien lelaki di ujung sana, setiap saat menjerit, mengerang dan mengaduh, lebih hebat daripada yang pernah kulakukan tanpa sadar. Ia terus jua meracau.

“Dokteeeer! Susteeer! Sini, biar kutandatangani di atas segel bermaterai. Aku ini seorang komisaris perusahaan bonafid! Aku mau tawarkan 100 juta, asalkan kalian bisa menghilangkan rasa sakitku ini. Toloong!”

Kurasa takkan ada yang memedulikannya. Karena semua pasien dianggap tidak waras otaknya. Kami, para pasien di ICU ini hanya dianggap sebagai nomer, atau objek separo hidup yang boleh diperlakukan dengan semena-mena.

Mengapa bisa demikian? Ya, karena pasien dan keluarganya telah menandatangani persetujuan tindakan apapun yang akan diambil oleh tim medis.

Menit demi menit, jam demi jam terus merangkak. Kondisiku dinyatakan dalam istilah medis sebagai pracoma. Namun, otakku terus jua bekerja, berputar, merangkai-rangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Apabila aku sedang tidak kehilangan kesadaran, maka kugemakan zikrullah dalam dadaku. Aku mengulang-ulang bacaan surah pendek, terutama ayat Kursi dan Al Fatihah.

Anehnya, ada suara yang sering menyuarakan bahwa aku akan keluar dari situasi jahim ini jika bisa merapal surah Yassin. Maka, aku berjuang keras untuk membaca surah Yassin, meskipun selalu terbalik-balik dan tiada pernah hafal seluruhnya. Detik inilah penyesalanku yang terdalam muncul, mengapa sampai seumurku ini, aku tak mampu menghafal surah Yassin? 

Sungguh, bercucuran air mataku sambil berbaring dalam kesakitan, penyesalan yang pedih-perih, luka maha. Ampunilah hamba yang lemah ini, ya Allah, ampunillah, demikian kugeremangkan perasaan sesal dan permintaan ampun kepada Sang Khalik.

Ada suatu masa di mana diriku terbebas dari siksaan rasa nyeri itu. Tiba-tiba aku mendapati diriku berada di tengah gelombang manusia yang sedang melakukan tawaf di Tanah Suci. Bersama rombongan perdana Smart Hajj Cordova, begitu bahagia rasanya aku bisa berjalan, mengelilingi Kabah. Perasaan itu, kebahagiaan yang memuncak telah menyilih segala siksa, segala pedih-perih pasca operasi.

Subhanallah, nikmatnya tiada tepermanai!
Sayang sekali, saat-saat seperti itu hanya sekejap-sekejap kurasai. Dan aku kembali dilambungkan ke dimensi aneh, lorong-lorong berbau anyir, berbau darah, berbau nanah.

Seekor naga raksasa siap mengerkah-ngerkah diriku tanpa ampun!
Ini malam kedua pasca operasi. Jam dinding, ya, akhirnya mataku bisa melihat jam dinding menempel di tembok sebelah kananku. Pukul enam sore, kurasa, tampak beberapa perawat masuk ke ruangan rehat. Mungkin mereka hendak berbuka puasa.

Seketika aku melihat kesibukan luar biasa terjadi di sekitar ranjangku.
“Hei, hei, apa yang kalian perbuat?” seruku tak dapat menahan rasa terkejut dan ingin tahu.
“Tenang saja, ya Bu. Ibu sudah boleh dilap, iya kan, dokter Mira?” cetus seorang perawat, kutandai ia paling judes di antara semua perawat di ruangan ini. Tanpa menunggu jawabannya. Tiba-tiba ia menggulingkan tubuhku ke arah kanan.
Gubraaaakkkk!

“Ampun, sakitnya luar biasa!” lengkingku.
“Si ibu ini sudah cerewet, cengeng pula!”
“Aduh, jangan! Aku tak mau dilap! Tak mau diapa-apakan!” seruku tak peduli, mulai merasa panik.

Beberapa menit sebelumnya, dokter cantik, atasannnya dokter Mira mengatakan kepadaku: “Belum boleh banyak bergerak, ya Bu. Ibu baru menjalani bedah umum. Jangan dilap dulu, jangan dipakaikan sabun, parfum. Intinya harus serba suci hama!”

Perawat itu tak memedulikanku. Ia menggosok-gosok punggungku dengan cara yang kasar sekali. Bukan sebab sakit digaruk bengis di punggung yang kurasai, melainkan sakit lain di dalam dada ini. Perlakuan kasar, galak dan tanpa perasaan yang kuterima begini, sungguh melukai hatiku yang terdalam.

Aku merasa tidak dianggap sebagai sosok manusia yang punya pikiran, harga diri, kehormatan dan martabat.
 “Kita sudah baik-baik memperlakukan Ibu. Tapi Ibu malah jahat begitu, ya!” dengusnya serasa mendesir di belakang telingaku.

Sementara tangannya terus jua menggosokkan handuk kecil ke punggungku, semakin kuat tanpa perasaan sama sekali.

Bahkan naga yang selama ini mengangkang di atas badanku langsung menghilang, entah ke mana. Aku tak tahu lagi, apakah lebih baik dikangkangi seekor naga atau dianiayai seorang perawat.

“Suster, mohon maaf kalau aku ada kekhilafan, ya,” aku mencoba berbaik sangka, bertutur kata dengan santun. “Maafkan juga keluargaku….”
“Sudahlah, Bu, penyesalannya sama sekali gak berguna. Munafik, tahu!”

Astaghfirullah al adzim, gumamku membatin. Suaranya terdengar menyimpan kebencian dan antipati yang dalam terhadap diriku.

“Mengapa membenciku, Suster? Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?”
“Percumalah dikasih tahu, sebentar lagi juga diulang! Sudah, jangan banyak omong lagi, ya!”
“Suster…, jangan zalimi aku, ya, kumohooon….”

“Huh, heboh melulu kerjaannya, capeeee deh!” sahutnya seraya ngeloyor,menjauhiku.
Seorang rekannya dari belakang meja pembatas, sudut jaga perawat, berbicara agak keras: “Ada apalagi tuh si nenek lampir?”

Apa? Dia mengataiku nenek lampir?
“Dia bilang, kita semuanya ini tukang jagal!”
Masya Allah, apa yang dikatakannya Itu?
“Hiiiiih, makin gelow sajah mulutnya!”
“Memangnya dia minta apalagi, Kak?” timpah rekannya yang lain.
“Mau be-a-be, katanya, minta dipompa!”

“Ya wis, biar aku saja!”
Perawat itu mendorong rak kecil berisi obat-obatan dan peralatan medis, seperti jarum, perban, alkohol dan lainnya. Dalam sekejap ia telah berada di sisi kanan ranjangku. Siap melaksanakan hasratnya; menyingkirkan diriku!

“Sudah saatnya minum obat. Tapi sebelum minum obat, harus makan dulu, ya!” ujarnya sambil menyambar semacam gayung kecil terbuat dari almunium, berisi air bening.
“Nah, ini minum, ya, minum yang banyak! Habiskan, hmm, habiskan!” ceracaunya seraya menarik selang kecil yang menggantung di leherku.

Ia melakukan semuanya itu seperti seorang peternak memberi minum sapi-sapinya. Persis dan…, byuuuur!

Entah berapa liter air digelontorkan langsung ke lambungku. Dalam hitungan detik aku sudah bisa merasai pengaruhnya. Serasa ada yang runtuh di dadaku, kemudian ambruk, meluncur terus ke bagian bawahku, membarengi rasa sakit luar biasa!

“Allahu Akbaaar…., sakiiiit!” Aku melolong-lolong kesakitan.
Ia tak memedulikanku, tangannya kini menyambar botol obat bernama dulkolax. “Dan ini obatnya, biar gampang buang air besar, oke!”  

Lagi: byuuuur!
Aku terus melolong-lolong, menjeritkan asma-Nya, hingga suaraku kembali tertelan di tenggorokan, dan hanya bisa mengucap lirih: “Allaaah…. Allaaah….”

Bayangan anak-anakku melintas di tampuk mataku. Haekal dan Butet menggedor-gedor pintu ICU. Keduanya berteriak-teriak, ya, akhirnya mereka teringat akan ibunya ini. Kudengar dengan jelas, keduanya menyebut-nyebut nama asliku, nama penaku dan sebutan terakhirku di rumah: Manini!

Namun, tiada yang memedulikan mereka. Bahkan ketika seorang perawat senior memberi intruksi, agar nomer 9 diberi morphin lagi, untuk ke-3 kalinya. Sejauh itu tiada pula yang berkenan mengulurkan bantuan untukku.

Maka, aku pun kembali terbang, melayang-layang, merambah jomantara, melintasi rimba raya, membelah samudera luka, penuh dengan darah, penuh dengan nanah.

Dimanakah gerangan benteng cahayaku, duhai semesta gulita?

@@@

Doaku Menyertai Setiap Langkah yang Engkau Jejakkan, Cinta

$
0
0

Ilustrasi; Kondisiku saat ini, 56 tahun dengan komplikasi


Sabtu, 10 Pebruari 1990
Petang itu, aku sudah seminggu berada di ruang isolasi karena asmaku kambuh. 
Banyak anggota keluarga besarku, dari pihak ayahku datang membesuk. 

Sesungguhnya hanya melihat dari balik kaca pembatas, pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke ruangan kami. 

Kurasa di ruangan itu dirikulah satu-satunya pasien yang jarang dibesuk. Tiap jam besuk aku lebih banyak hanya sendirian, kulewatkan untuk membaca atau mencatat di buku harian.

Sejak ibu dan ayahku memutuskan menemani Haekal, bantu-bantu sang menantu yang sedang membangun rumah, ibu mertuaku tinggal di rumah ipar. Selalu terjadi pertengkaran dan keributan apabila semuanya menyatu di rumah. 

Kurasa dengan keberadaan orang tuaku, rumah menjadi rapi dan terutama ada yang menyediakan makanan. 

Suami semakin sibuk dengan urusannya, mengajar dan melanjutkan pembangunan rumah. Dia hampir tak punya waktu untuk membesukku. Jadi biasanya ibukulah yang mondar-mandir mengurus keperluanku di rumah sakit.

“Semoga cepat melahirkan, ya,” kata istri Mang Ipin, adik bungsu ayahku, yang datang bersama pamanku dan seorang adiknya. Dia membawakanku oleh-oleh lusinan bolu kukus buatannya sendiri.

“Terima kasih, Tante,” ujarku terharu, usianya sebaya denganku tapi dia belum dikaruniai keturunan, walaupun sebelas tahun sudah pernikahan mereka.

Semuanya mendoakanku sebelum pulang. Demikian pula ayahku, diulurkannya tangannya melalui celah jendela, kemudian ditempelkannya di perutku. 

Dia merapalkan doanya dan meniupkan semangatnya melalui jari-jemari, serasa meresap ke dalam kandunganku.

Minggu ke 35, menurut perkiraan dokter empat pekan lagi. Namun, begitu aku kembali ke ranjang firasat itu telah mendering… Bintangku sebentar lagi akan muncul!

Ada flek-flek dan sedikit bercak darah menyertai buangan air di kloset. Kuambil air wudhu dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. 

Aku disiapkan untuk caesar, mengingat limpa bengkak, asma dan jantungku yang tidak aman. Tapi aku kembali ke tempat tidur dengan tenang tanpa melapor ke dokter jaga.

Logika awamku, jika dulu pun aku bisa melaluinya tanpa caesar, mengapa kini tidak?

Setengah jam, satu jam berlalu; dan kontraksi awal terjadi!
“Sejak kapan, kenapa baru ngasih tahu sekarang, Bu?” sesal koas Mita terkejut saat kuberi tahu kemungkinan diriku akan melahirkan malam ini. 

“Ini harus dilaporkan ke dokter Laila…”

“Dokter Laila lagi seminar di Makassar,” entah siapa yang menyahut.
“Ini pasiennya…”
“Ya, sudahlah… kan ada dokter Mita…”
“Pssst, serius dong!”

Sayup-sayup kudengar seseorang bersenandung dari kejauhan: “Malam minggu kelabu, bintang-bintang pun sendu…”

Tapi bintangku harus tersenyum, bantahku dalam hati. Sementara para koas mulai sibuk memasang peralatan medis ke tubuhku. 

Sehingga dalam sekejap saja sekujur tubuhku sudah dikerubuti berbagai peralatan ajaib itu; infus dua macam yang putih dan kuning, selang oksigen di hidung, dan entah apalagi di perut dan dadaku…

Kulirik jam dinding di tembok yang setentangan dengan tempat tidurku. 
Pukul tujuh, kontraksi awal disusul kontraksi demi kontraksi berikutnya, kadang berlangsung serasa lama, adakalanya hanya sebentar, tetapi semuanya memang menguras enerji. 

Kupejamkan mata, semuanya telah kupasrahkan… La haola wala quwwatta…

“Baguuus… sedikit lagi, Bu, sedikit lagiii!”
“Sudah kelihatan kepalanya… ayoooo!”
“Aduuuh, kenapa meremas tangankuuu!”
“Maaf… hhh, hhh… Allahu Akbaaar!”

Broool…. Woaaa… Alhamdulillah…
“Anak perempuan, Bu…”

Kubuka mata, mencari-cari sosok mungil yang kudamba. Dia melintasi kepalaku dengan cepat, digendong seorang bidan yang segera melarikannya ke ruangan rehabilitasi bayi pasca-lahir. 

Beberapa jenak kubiarkan mereka mengurusiku, menjahit rahimku yang robek entah berapa belas jahitan.

Kuhirup aura kelahiran bintangku dalam hening yang mendenging di kuping-kupingku. Pandanganku buram, meredup, mengelam. Kurasa aku setengah pingsan, entahlah!

“Mintakan air teh manis panas sama keluarganya di luar sana!”
Aku menanti, menanti dan terus menanti semuanya menjadi normal kembali. 

Seorang koas menyodorkan air teh manis panas dalam plastik. Agaknya ibuku dan ayahku yang setia menanti, berlarian menuruni tangga, dan mencari pedagang minuman panas.

Air mataku bersimbah deras mengenang kasih sayang mereka. Kunikmati air teh manis dari Emak dan Bapak itu sebagai anugerah Ilahi yang tak teperi setelah melahirkan seorang bayi perempuan.

Terima kasih, Bapak, terima kasih, Emak, semoga Allah Swt memberkahi kalian senantiasa, selamat di dunia dan akhirat, doaku mengawang langit malam biru bening. 

Tiada warna kelabu, tiada rona sendu, dan waktu berlalu sebagaimana galibnya malam panjang.

Beberapa koas kemudian mengerumuniku, melakukan interviu seputar penyakit bawaan yang kusandang. Mereka sedang melakukan pemeriksaan ketat terhadap bayiku. 

Meskipun aku merengek ingin segera mendekapnya, menyusuinya dan memandangi wajahnya sepuasnya. 

Aku harus menanti dan bersabar lagi agaknya.
“Ini anaknya, Bu, silakan, sudah boleh disusui,” dokter Mita sendiri akhirnya yang menyodorkan bayiku, tepat tengah malam.

“Alhamdulillah, terima kasih, dokter sayang,” ucapku gemetar menahan perasaan yang mengharu-biru.

Kuraih sosok merah dalam balutan kain hijau itu dengan dada dibalun buncahan rindu dan damba. Lama sekali kupandangi wajahnya, begitu mungil, begitu merah. Aduhai!

“Hidungmu kelewat mungil, ya Nak,” bisikku sambil menciumi ubun-ubunnya, kutiupkan asma Allah untuk pertama kalinya ke kupingnya.

Aroma harum kencur meruap dari rambutnya yang hitam lebat, bahkan di pipi-pipinya tampak rambut-rambut halus. Mungkin karena selama kehamilannya aku sangat menyukai minum air kelapa hijau.

“Kakeknya sudah mengazankannya tadi,” berkata dokter Mita.
Aku tercenung. 

Dulu, Haekal diazankan oleh Ompung, kakek dari pihak suami. Kedua buah hati, sepasang bintangku mengalami nasib serupa. 
Tidak diazankan oleh ayahnya. Tak mengapa, selamat datang bintangku. 

Doa dan pengharapanku akan selalu menyertai setiap detak napasmu, setiap jejak yang engkau langkahkan; semangat!

Bayi perempuaninilah yang kini menjadi sosok tangguh, paling bisa kuandalkan jika diriku berada dalam kondisi krisis di UGD. 

Dia kuberi nama: Adzimattinur Siregar. Ayahnya menambahkan nama kakek, uwak, dan marganya, maka menjadi; Adzimattinur Karibun Nuraini Siregar.
***


KDRT: Sekali Itu Baru Gigi-Gigi Yang Copot

$
0
0

 Ilustrasi: diunduh dari www.duniapustaka.com



Anno, 1985
 Lembaran baru, masa-masa pernikahan yang kedua kalinya ini pun ternyata tak seperti yang kubayangkan.

Ya Allahu Akbar, mengapa masih saja dibalun oleh kemelut?

Masalah pertama muncul dari perilaku suami dari hari ke hari memerlihatkan super egoisnya; ketakpercayaan, kecemburuan, kecurigaan yang membuta, sekarang parahnya selalu berakhir dengan tindak kekerasan. Ya, kekerasan dalam rumah tanggaku pun mewarnai hari-hariku.

Masalah kedua muncul dari ibu mertuaku yang selalu ingin ikut campur urusan rumah tangga. Namun, itu masih bisa kutahankan, bagaimana pun penghinaan yang harus kuterima dari ibu suamiku itu, tak mengapa. Kuanggap dia telah sepuh, mungkin sudah memasuki masa pikun.

“Jadi, kita sebagai anak muda harus banyak memahaminya, banyak memaafkannya,” demikian terngiang kembali wejangan ayahku.
Tabiat suami yang pencemburu dan pencuriga parah itu sungguh menyiksa lahir batin, jiwa dan ragaku.

“Jangan kamu rusak adikku itu dengan kejalanganmu!” tudingnya keras, menikam hatiku yang terdalam.

Adik satu-satunya itu, seorang ayah dari dua anak yang menumpang di rumah kontrakan kami. Begitu kami memutuskan untuk membangun lahan di perkampungan Cikumpa, suami mempekerjakan adiknya untuk membuat sumur.

Dia mengatakan lebih baik uangnya diberikan kepada adik daripada kepada kuli. Adiknya itu dibantu oleh seorang keponakannya yang juga datang dari kampungnya di Tapanuli Selatan. 

Aku menyerahkan semuanya kepada suami. Aku hanya berusaha mencari dana dengan menjual naskah-naskahku kepada penerbit.
“Kenapa bicara begitu hina terhadapku?”
“Karena kamu memang tak bisa kupercaya!”

Entah berapa kali lagi aku harus mematuhi permintaannya untuk bersumpah setia, selalu dengan kesaksian Al Quran. Sebanyak itu aku bersumpah, tetapi sebanyak itu pula dia menyakiti hatiku, menghancurkan kehormatanku dengan tudingan-tudingannya yang tak masuk akal.

“Pokoknya, kalau mau rusak, ya, rusaklah dirimu sendiri! Jangan pernah libatkan adik kandungku, oke!” sergahnya dengan wajah kepiting rebus.

“Wow! Apa gak salah tuh? Tanpa dirusak siapapun, adikmu itu memang sudah rusak!” seruku dengan hati panas.

Itu memang benar, entah berapa orang yang telah melaporkan kelakuan adiknya yang suka mengganggu perempuan. Makanya dibawa dari kampung, dia sedang bermasalah dengan dua perkawinan yang kandas.

Saat itu, dia baru saja memulangkan istrinya yang kedua, konon, karena kesukaannya yang mata keranjang dan terlalu menurut terhadap ibunya. Maksudnya dalam konteks negatif, jika kata ibunya harus menceraikan istri, maka dia akan melakukannya tanpa membantah!

“Jangan lancang, ya, tutup mulutmu itu!”
“Aku berhak bicara apapun di rumah ini! Bukankah ini rumah yang kukontrak dengan uangku sendiri?” sindirku kian panas hati.

“Diamlah kau!” serunya menggeram.
“Aku takkan diam jika membela kebenaran…”
Plaaak, plaaakkk!

Dua pukulan keras menghantam wajahku dengan telak. Aku menjerit kesakitan. Haekal terloncat dan berusaha menggapaiku.

“Diam kamu, anak kecil jangan ikut-ikut!” ancamnya dengan lahar angkara yang bisa membunuh jiwa seorang anak kecil.

“Jangan, jangan sakiti Mama, kasihan, Pa,” suaranya terdengar lebih merupakan erangan daripada seruan.

Aku mengawasi gerak-gerik lelaki itu. Ya, aku sudah bersumpah, apapun yang terjadi aku akan menjadi benteng anakku!

Meskipun tubuhku harus hancur-lebur, jiwaku luluh-lantak. Demi Allah, takkan kubiarkan dia menyakiti anakku!

Sekali itu, dia tak melanjutkan aksinya, langsung pergi lagi. Dia sedang menyelesaikan S1 yang bertahun-tahun tertunda. Tanpa dukungan finansial dariku, makanan dan keperluan sehari-hari yang harus kutanggung, kemungkinan sekali mimpinya itu takkan pernah terkabulkan.

“Anakku, Cinta, dengarkan Mama, ya Nak,” kataku setelah kuraih tubuh anakku yang meringkuk di sudut kamar, terasa gemetar saat berada dalam dekapanku.
“Mama, tidak apa-apa?” tanyanya seolah tak mendengarku,  matanya mencari-cari tapak yang mungkin membekas di wajahku.

“Tidak apa-apa, Nak.  Sekarang dengar, Nak, Mama mohon kepadamu, ya Cintaku….”
“Mama jangan mohon-mohon segala,” rintihnya.
“Harus, dengar sekali lagi, Mama mohon. Kalau Mama dan Papa lagi berantem, Ekal jangan pernah mendekat, jangan pernah, jangan pernah! Pergilah jauh-jauh, ya Nak, ya, sungguh Mama mohon….”

“Tapi, bagaimana kalau Mama diapa-apakan?”
“Tak mengapa, Cintaku. Mama akan menghadapinya sendiri, sepakat ya Nak, sepakat?”

Aku tak tahu apakah dia memahami perkataanku atau sebaliknya membuatnya bingung, ketakutan dan ngeri. Kurasa, aku telah melakukan suatu ikhtiar, sesuatu yang dating dari naluri keibuanku.

Ya, aku acapkali harus mensugesti otak anakku. Mengatakan berulang kali, ratusan dan ribuan kali; bahwa yang terjadi di depan matanya itu tidak pernah ada, tidak pernah ada, tidak pernah ada. Semuanya akan baik-baik saja!

Situasi yang kuhadapi ternyata lebih parah dari bayanganku. Di sini, aku tak punya pembela, para tetangga warga Depok asli itu sungguh sama sekali asing bagiku. Mereka terkesan lebih suka mencemooh dan iri terhadap para pendatang seperti kami.

Sementara keluargaku, sampai beberapa waktu kemudian, tak seorang pun yang muncul. Kecuali surat-surat Emak, itupun isinya hanya berupa keluhan; tak punya duit, dan menuntutku untuk membantu biaya sekolah adik-adik. 

Sesuatu yang telah membuat suamiku berang setengah mati, hingga menuntutku untuk bersumpah; bahwa aku takkan pernah mengeluarkan duit sepeser pun tanpa sepengetahuan dan atas izinnya!

Suatu hari, ketika aku sedang menyelesaikan sebuah novel yang akan dimuat secara berkala di salah satu majalah Selecta Grup. Ruang kerjaku, sebuah meja belajar yang kubeli dari loak, terletak di sudut kamar. 

Tak jauh dari situ, anakku asyik pula membaca buku sambil berbaringan di lantai.
Ya, aku sedang asyik-masyuk, mengarungi semesta kata, meraih selaksa mimpi dan harapan demi inspirasi yang bermakna untuk pembaca. Tiba-tiba tanpa babibu, braaakkk!

Pintu kamar ditendang keras sekali hingga menimbulkan suara yang menggelegar dahsyat di kupingku.

“Dasar perempuan murahan! Perempuan jalaaang! Tak tahu malulah kau, setan, iblis betina yang merasuki otak dan hatimu itu…”

Belum sempat kutata keterkejutanku, tak sempat pula kutanya alasannya, begitu selesai menyemburkan kata-kata beracunnya itu langsung; braaak!

Dia telah menghantam meja, mesin ketik pun kontan terjungkal, kertas berceceran. Itulah hasil kerjaku selama berbulan-bulan, kini berserak ke segala penjuru kamar!

Baaak, buuuk, buuuk… deegggh… desss!

Pukulan beruntun tanpa mampu kutahan menyergap diriku, menghantam dada, kepala, tengkuk, kaki, paha dan entah apalagi. Tubuhku limbung, kucoba meraih sesuatu, tapi yang kulihat sosok mungil kesayanganku itu telah bangkit, bergerak cepat sekali ke arahku.

Ya Allah, mau apa dia?
“Jangan, Nak, sana pergiii!” seruku tertahan.

Telanjur, dia telah meraihnya dan melemparkannya ke atas kasur!
“Ibliiiiis!” jeritku meradang tak tertahankan lagi. “Jangan sakiti anakku, jangan sakiti anak kecil, setan, biadab! Pecundang parah!”

Kurasa jeritanku yang meraung-raung bagaikan hewan terluka, berhasil mengejutkannya, terbukti dia berhenti melakukan aksinya. Aku yang telah terjajar, berjuang keras untuk bangkit, kemudian merangkak ke arah anakku. 

Begitu berhasil menyatukan tangan kami, kuhela tubuhnya agar mendekatiku dan aku mendekapnya, mendekapnya erat-erat.

Bukankah aku telah bersumpah untuk memasang badan di antara lelaki jahim itu dengan tubuh mungil buah hatiku? Demi Allah, ke mana sumpah atas nama Tuhan itu?

“Maafkan Mama, Nak, maafkan. Mama tak bisa melindungimu, ya Nak, maafkan, ampuni, ampunilah Mama,” erangku menciumi wajahnya yang jelas syok berat.

Berhenti sejenak agaknya bukan berarti akan mengakhirinya. Lelaki itu, orang yang telah mengucap sumpah saat walimahan (kedua!) itu, bagaikan tersengat kembali. Ia bergerak menghampiri kami, sekali ini aku berhasil meraih kekuatan, entah dari mana kekuatan itu!

“Jangan sakiti anak tak berdosa ini, demi Allah, demi Rasulullah!” seruku lantang, kurasa menggema ke pelosok tetangga di kawasan itu.

Namun, ajaib sekali!
Kutahu persis, tiada seorang pun sosok yang  muncul, sekadar menanyakan keadaanku dan anakku. Tiada, tiada seorang pun!
Taaap!

Tangannya telanjur telah terangkat, tapi aku berhasil menangkapnya. Kemudian menggigit kuat-kuat kepalan tangan yang semula diarahkan ke kepala anakku itu.

Kreeekkk!
“Lepaskaan!” teriaknya, terdengar bunyi gemeretak sekali lagi; kreeek!

Aku melepaskannya saat terasa gigi-gigiku menancap sesuatu yang keras, mungkin di tulangnya, entahlah. Sosok itu kemudian bergegas mengambil sesuatu dari lemari, kurasa uang yang selalu disembunyikannya. Sementara mulutnya terus menceracau.

“Apa salahku?” bisikku nyaris tak terdengar.
“Kami tadi berpapasan di jalan….”
“Siapa?”
“Adikku tentu saja! Tampak dia sudah rapi, pasti baru mandi keramas. Dia bersenandung, kulihat bahagia sekali. Berapa kali kamu sudah memuaskannya, hah?!”

“Astaghfirullah al adziiim…”
Kuseru nama-Mu dengan segenap azamku, seluruh keyakinan akan Kasih-Mu, demi nama-Mu; aku sungguh tak rela!

Tubuhku menggigil hebat dan berujung dengan perasaan hampa luar biasa. Seluruh jiwa-ragaku seolah membeku, kukatupkan rahangku yang terasa sakit. Ada darah yang mulai merembes melalui gigi-gigiku.  Kurasa dua gigi depanku nyaris lepas, entahlah.
Tapi aku tak sudi lagi mengaduh, tak sudi!

Karena aku tak menjawabnya, dia pergi sambil terus menyumpah serapahiku, menudingku sebagai tukang selingkuh, perempuan keji yang telah menyeleweng dengan adik ipar sendiri!

“Semoga Tuhan membalas perbuatanmu ini. Demi Allah, sumpah serapahmu akan berbalik menjadi bumerang kepada dirimu,” desisku menyertai langkahnya.

Bunyi derap kakinya terasa berdebam-debam, menjauhi kami. Bunyi langkah yang di kemudian hari lama sekali menjadi momok menakutkan dalam hidupku. Selalu menimbulkan perasaan ngeri tak terjabarkan setiap kali mendengarnya. Sebuah luka hati yang lama tersembuhkan!

Kemarahan terasa telah mencapai ubun-ubunku. Namun, sesungguhnya, rasa sakit yang melanda sekujur tubuhku tak seberapa dibandingkan dengan kepedihan yang menghunjam di hatiku, begitu dalam, sangat dalam!

Beberapa menit aku masih memeluk anakku, tak tahu harus berbuat apa, sampai kemudian kurasai ada yang menetes dari sudut-sudut mulutku. Aku menyusutnya dengan jari-jemariku sambil kucermati sesuatu yang terasa basah dan asin; darah!

Anakku mendongak dan memandangi wajahku lekat-lekat. Sepasang matanya yang bening seketika membelalak, tangannya tampak gemetar saat terangkat dan menyentuh wajahku.

“Mama berdarah, dari mulut Mama ada darah mengalir. Tuhan! Bagaimana ini, bagaimana? Kita ke Dokter saja, ya Ma, ya?” ceracaunya terdengar panik.

Aku meraih telapak tangannya, kugenggam erat-erat. “Gak perlu, Nak, ini hanya, mm, kayaknya gigi Mama mau copot.”
“Copot? Gigi Mama yang mana, ayo, coba lihat?”

Kututup mulutku dengan telapak tangan. “Gak apa-apa, bukan copot…”
Kurasa-rasai sesuatu, dua, ya dua gigi depan yang bergerak-gerak, goyang di mulutku.
“Cuma bergeser, baik, sudahlah, kita pergi ke Dokter, Nak!”

Kalau aku memutuskan pergi ke Dokter itu bukan karena dua gigiku yang hendak berlepasan. Kurasa, lebih karena kekhawatiranku dengan jiwa anakku. Ya, kusadari betul tentu ada imbas kekerasan itu terhadap jiwanya yang mungil. Hanya menuruti naluri seorang ibu, kubawa anakku keluar rumah dan menjauhi TKP. Setidaknya untuk sementara.

“Ini obat untuk menguatkan gigi-giginya. Kita lihat dalam beberapa  hari ini, kalau masih goyang juga terpaksa harus dicabut,” demikian kata Dokter gigi yang kami datangi.

Gigi-gigi itu sempat menjadi masalah buatku selama beberapa bulan kemudian. Hingga akhirnya aku merelakannya untuk melepaskannya; selamat tinggal gigi-gigi tersayang!

Sejak saat itu aku memakai dua gigi palsu untuk menutupi ompong di usia menjelang 30-an.
@@@

Putriku Nyaris Hilang di RSCM

$
0
0


 Ilustrasi: Putriku saat advokasi BMI Hong Kong

            
Anno 1992
Sejak bayi anak-anakku sudah terbiasa kubawa ke mana pun pergi. Terutama jika aku ke rumah sakit, dan bekerja yang tak lain adalah jualan naskah ke kantor-kantor redaksi.
Di masa Balita Haekal, kami sempat hidup terpisah dari sosok yang pantas disebut ayah. 

Bersama Haekal, kami berdua pernah mengalami masa-masa yang sangat nestapa. Tidak demikian halnya dengan putriku. Ia hampir tiap saat bisa jumpa dan bergaul dengan ayahnya.

Tiap tiga bulan sekali aku harus meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit, kontrol darah yang akan berujung dengan transfusi. Tiga bulan pertama, kudatangkan neneknya dari Cimahi, dan menjagai bayiku selama aku berurusan dengan rumah sakit. 

Demikian pula dua-tiga kali transfusi berikutnya, kalau bukan adikku tentu ibuku yang kudatangkan dari Cimahi. Sampai ayahku dipanggil Sang Pencipta beberapa bulan yang lalu.

“Sekarang sudah besar dia, bawa sajalah ke rumah sakit!” berkata suami saat Butet berumur dua tahun. “Kita jangan selalu merepotkan orang tua.”

“Yah, memang hanya itu yang bisa kulakukan,” sahutku seraya menatap Butet yang belum lepas menetek.

Lagipula, sejak ayahku meninggal, ibuku masih belum mau bepergian. Tapi adikku En di Holland, bulan depan akan mengirimkan tiket, demi mendatangkan ibu kami ke Negeri Kincir Angin. 

Kepergian Bapak yang mendadak, karena stroke itu, memang sangat berpengaruh pada ibuku. Dia terbiasa bergantung kepada suami, terutama dalam hal keuangan. Kini meskipun mendapatkan tunjangan pensiun, bagi ibuku tidaklah cukup. Karena masih harus membiayai kuliah si bungsu Mie.

“Biar Ekal gak masuk sekolah saja, ya Ma,” cetus Haekal saat melihat Butet dipersiapkan untuk menemaniku ke rumah sakit.

Dia pasti tahu persis bagaimana kondisi rumah sakit, tradisi antri-mengantri yang mengular panjang.

“Jangan!” sergah ayahnya keras. “Sebentar lagi kamu ujian, mau gak lulus apa?”
“Insya Allah lulus, ya Nak. Ekal kan rajin ngapalin dan berdoa, ya kan Nak?” hiburku sambil mengusap kepalanya, kulihat wajahnya mengelam mendengar hardikan ayahnya.

Memang aneh sekali, ayahnya tak pernah merasa bangga dengan prestasi-prestasi yang berhasil diperjuangkan anak itu. Setiap tahun juara umum, kecuali waktu kelas empat, itupun karena dicurangi gurunya. 

Sejak adiknya lahir, tekanan dan penyiksaan itu pun semakin sering dialami putraku.
Betapa aku sering dihantui perasaan bersalah, sebab tak mampu sepenuhnya melindunginya dari penyiksaan ayahnya. 

Biasanya Butet dengan naluri kanak-kanaknya akan menangis menjerit-jerit, hingga geger. dan lepaslah penyiksaan itu, setidaknya untuk sementara.

“Butet jangan jauh-jauh dari Mama, ya?” Demikian entah untuk ke berapa kalinya kubisikkan ke kuping putriku sepanjang perjalanan menuju RSCM. Kami melaluinya dengan tiga kali angkot dan sekali bemo.

“Tet gak auh, iyah, hmm, gak, auh-auh Mama, yah? Mama atit iyuuut, atiiit! Cian Mama, ciaaan,” sahut Butet masih balelol ngomongnya alias sulit dipahami, kecuali oleh ibunya.

Dia mengenakan baju kembang-kembang merah, sepatu merah dan sepasang kuciran rambut yang juga dipita warna merah. Dia sungguh menggemaskan, apalagi kalau sudah mengoceh sambil mengiming-iming buku dongeng favoritnya; Angsa si Buruk Rupa.

Dia bisa mengecoh orang-orang di sekitarnya dengan berlagak pandai membaca, kemudian ditambah dengan gerak-gerik badannya yang heboh bukan main.

“Sudah bisa baca, ya Bu?” tanya seorang ibu saat kami di bemo, terheran-heran memandangi kelakuan Butet.

“Eh, ini, belum sih, Bu, cuma seneng bolak-balik gambarnya.”
“Ceritanya dia mendongeng ‘kali, ya? Lucuuu!” ibu itu menjawil pipi Butet dengan gemas, sebelum turun dan kami berpisah di halte Salemba.

Sepagi itu suasana rumah sakit nasional sudah ramai. Orang-orang dari pelosok kota, bahkan banyak juga yang dari luar kotasudah berdatangan. Untuk ke sekian kalinya kubisikkan di telinga Butet; “Jangan jauh-jauh dari Mama, ya Nak. Nanti ada yang nyulik!”

Entah dipahami atau tidak, pokoknya naluri keibuanku mengisyaratkan harus demikian.
Aku berdiri di antara antrian di loket Askes lantai dua. Awalnya aku bersikukuh untuk menggendongnya. 

Tapi lama-kelamaan terasa berat dan menyakitkan, bagian limpaku yang bengkak tak bisa dibebani terlalu lama. Kuturunkan Butet bersamaan dengan giliranku maju ke depan loket. 

Tanganku masih menggenggam erat pergelangannya saat petugas menanyai berbagai hal; mana kartu Askes yang asli, rujukan Puskesmas, dan bla, bla!

Tanpa kusadari cekalanku terlepas, tapi masih kudengar celotehnya, jadi aku masih tenang dan berkeyakinan anakku tidak jauh-jauh. Mungkin sekitar sepuluh menit, usai sudah urusan disetujui dan distempel Askes. Maka kutengok ke kiri, ke kanan, depan dan belakang… Butet menghilang!

Dengan panik aku berlari ke sana ke mari sambil berseru-seru memanggil namanya. Kutanyai orang-orang di sekitarku, mereka malah menyalahkanku, mengapa membiarkan anak kecil lepas dari pengawasanku.

“Salahnya sendiri, yeeeh, masa anak kecil dibiarin lepas dari pengawasan kita?”
“Bisa-bisa sudah diangkut orang tuh!”
“Iya, diculik, dijadikan gembel!”

Semakin panik saja kucari-cari sosok kesayanganku itu. Kususuri sepanjang lorong di lantai dua, segala bayangan menakutkan seketika berseliweran di otakku.

Bagaimana kalau dia sampai hilang, diculik orang, dijual, ditukar beras? Bagaimana amuk bapaknya, dan terutama bagaimana tanggung jawabku sebagai seorang ibu?
Aduh, aku lebih baik mati daripada harus kehilangan putriku!

Kuturuni tangga dan menuju bagian informasi. Tak sabar mendengar berbagai pertayaan, bukan eksyennya. Akhirnya sambil bercucuran air mata kubalikkan badanku, kembali ke lantai dua.

Niscaya kelakuanku sudah bagaikan orang gila, kuteriakkan namanya tanpa malu-malu, kutanya semua orang yang melintas di hadapanku, semuanya saja tanpa terkecuali!

“Oh, anak perempuan kecil yang pake kunciran dua itu, ya?” kata seorang ibu yang kutemui dekat loket Askes.
“Iya, pake kunciran dua, benar itu! Di mana, Bu, di mana Ibu lihat dia?”
“Di sana dekat tangga, lagi main sendirian…”

Degggh!
Aku berlari terbanting-banting menuju tangga. Beggh, bahuku membentur tiang bersamaan suara teriakan: “Maaa… Maaa… Ciaaan, Mama atiiit!”
Itu dia suara putriku!

Kucermati sosok mungil itu digendong seorang pegawai rumah sakit. Senyumnya mengembang begitu melihatku, matanya berkaca-kaca. Ya Allah, terima kasih!

“Ini anakku, putriku, belahan jiwaku. Ya Allah, subhanallah walhamdulillahi Allahu Akbar! Bapak, maaf, berikan sama saya, ya Pak,” pintaku meracau, perpaduan cemas, takut dan rasa bersalah.

Pegawai itu tertawa dan menyerahkan Butet ke pangkuanku. “Iya, Bu, tadi lagi turun-naik tangga saja, sendirian, gelosoran begi8tu. Ditanya anak siapa, gak ngerti jawabannya. Saya ambil saja, takut nyasar ke mana-mana. Ini juga rencananya mau diberitakan di informasi,” tuturnya ramah.

Sampai lupa mengucapkan terima kasih, aku segera sibuk menciumi wajah putriku, mendekapnya erat-erat dalam dadaku.

“Gak ada yang mengantar, Bu?” tanyanya sebelum berpisah.
“Eh, ya, dia ini yang mengantar saya berobat, Pak.”
“Ibu ini ada-ada saja. Hati-hati, Bu, jangan sampai diculik orang. Banyak kejadian anak hilang loh…”

Beberapa saat lamanya kutenteramkan diri kami berdua. Butet menempel kuat-kuat di dadaku, menetek yang sesungguhnya tak ada air susunya lagi sejak lama. Dia hanya mengempeng.

Detik itu pun aku bersumpah dalam hati: “Dengar, Anakku, Cintaku, Butetku… Mama bersumpah atas asma Allah Sang Pengasih; Mama gak akan pernah membiarkanmu jauh-jauh lagi, sampai kamu mandiri!”

Di poliklinik Hematologi sepertinya semua orang sudah mengenalku, demikian pula anak-anakku. Keduanya harus melakoni menjadi pengantar ibu mereka, menunggui diriku sepanjang ditransfusi.

“Waaa, ini baru seru! Lucu sekali, ya! Kalau di poliklinik Thalassemia sanaibu-ibu mengantar anaknya. Di sini anak yang mengantar ibunya ditransfusi,” seloroh seorang dokter.

Sambil ditransfusi biasanya aku akan membacakan buku favoritnya. Entah mengapa Butet begitu senang dengan dongeng terbitan Gramedia itu. Anak angsa yang merasa buruk rupa, karena dibesarkan oleh seekor bebek, bentuknya berbeda dengan bebek-bebek lainnya.

Butet akan tertawa terkikih-kikih, setiap kali aku menirukan bunyi; kweeek, kweeek, kweeek; jueleeek!

Adakalanya kalau sudah bosan, Butet akan berjalan-jalan keliling ruangan transfusi. Mulutnya akan mengoceh riuh sambil mengiming-iming buku, berlagak menjadi tukang dongeng bagi para pasien di situ. 

Suster Bimbingan, sahabatku, acapkali kuizinkan membawanya keluar sebentar untuk membelikannya roti dan permen.

“Cian… iyut Mama atit, ciaaan, yah,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala jika aku hendak memangkunya, kemudian berlagak menuntun dan membimbingku berjalan.

Setelah keluyuran di rumah sakit, biasanya dua atau tiga hari berturut-turut, kami berdua akan tiba jua di rumah jika hari telah petang. Dalam keadaan sangat lelah, lusuh dan lapar.

Kota Sampah Kairo: Keajaiban Gua Batu Tempat Kebaktian Kristen

$
0
0



Maadi-Kairo Juli 2013
Mesir yang terkenal dengan sebutan bumi Kinanah dan Negeri 1000 Menara ini sungguh banyak tempat wisata yang mengandung sejarah. Nyaris semua tempat yang dikunjungi para turis mancanegara memiliki sejarahnya masing-masing.















Sayang sekali pada kunjungan kali ini, berhubung ada kericuhan dan demo besar-besaran, aku tidak bisa leluasa menikmati tempat-tempat wisata Mesir. Meskipun demikian masih bisa mengunjungi beberapa lokasi yang belum pernah kusambangi.

Di sela-sela kelas menulis pada even akbar Semesta Menulis yang diselenggarakan anak-anak mahasiswa Mesir, akhirnya kami keliling kota juga. Ketua panitia, Agus, pagi itu mengarahkan kami untuk citytour di sekitar Kairo.

“Kita menuju Kota Sampah, ya Bunda,” ajak Agus yang memandu dengan sangat informatif, bersama rombongan panitia dan pembicara. Kendaraannya dipinjami oleh bosnya Indomie, Pak Gunawan, bukan dari KBRI.

“Mereka bisa dikatakan suatu kalangan yang tak tersentuh. Ada hampir sekitar 50.000 orang jumlah penduduk mereka, mungkin sekarang sudah lebih.”
“Mereka hampir seluruhnya memeluk keyakinan Kristen, dan mereka benar-benar hidup dalam kesedihan. 

Di Kairo, kaum Muslim tidak bekerja sebagai pengumpul sampah. Apapun alasannya, pekerjaan tersebut jatuh ke kaum Kristen.”

Begitu kendaraan memasuki gerbang Kota Sampah, bau busuk yang luar biasa segera menyengat hidung. Lihatlah, kumpulan sampah-sampah dari seluruh kota, sampah-sampah ditumpuk bersama dan disinari terik matahari dalam suhu yang amat terik.

“Di tempat Kristen pun mereka berkerudung, ya,” bisikku. Kami nyaris terdiam dalam hening yang mencekam, demi menyaksikan kemiskinan dan kekumuhan luar biasa yang dilintasi kendaraan.

Di lokasi inilah terdapat Gua Gereja, gereja Kristen Koptik tua dengan sejarah yang sangat menarik. Inilah Gereja Samaan El Kharaz, dikenal sebagai Gereja St Ibram Ibnu Zaraa El Soriany, Gunung Moqattam, Kairo, Mesir.

Gua Gereja ini terdiri dari 3 set gua. Yang terbesar dapat menampung 10.000 orang, yang di tengah berkapasitas sekitar 2.000 orang dan yang terkecil sekitar 200 orang.
“Di sinilah Cak Nun dengan rombongan yang disebutnya; Kyai Kangjeng itu, pernah mengadakan pagelaran teater dan konsernya,” jelas seorang anak panitia.

Guide yang menyambut kami, memandu dengan sangat baik dan memberi gambaran sejarah dalam bahasa Inggris: “Gunung Moqattam adalah legenda Kristen mula-mula, sebuah biara besar dibangun. Tradisi mengatakan bahwa orang suci yang kini terkenal dengan nama Simon Tanner yang hidup pada abad 10 secara ajaib memindahkan gunung.”

“Setelah tiga hari doa dan puasa oleh orang di seluruh tanah Mesir, Simon dipilih untuk memindahkan Gunung Moqattam. Gempa bumi yang dahsyat terjadi dan menyapu gunung. Seiring itu pula gunung itu membentuk sebuah gua besar.”

Lama aku tercenung dan menikmati nuansa gua batu dengan pemandangan yang sangat indah. Sungguh tidak ada bau busuk lagi di sekitar ini. Ada pintu gerbang kokoh yang memisahkan kawasan gereja dengan kawasan penduduk Kota Sampah.

Beberapa anak kecil sedang bermain dan bernyanyi di sebuah tempat seperti gazebo. Seorang berkulit hitam Afrika, perempuan muda, memandu anak-anak itu bernyanyi.

“Sekarang kami sudah memiliki sekolah dan rumah sakit gratis,” jelas pemandu ganteng itu.





Saat ini gua besar tersebut dijadikan tempat ibadah orang Kristen setempat. Sejak kejadian gunung dapat berpindah, sosok Simon menghilang dan tidak pernah ditemukan. Yang pasti, di Mesir agama apapun bisa hidup berdampingan dengan damai.

“Ya, hanya politik yang mengacaukan bangsa ini,” entah siapa yang berkomentar di belakangku. (Maadi-Kairo, Juli 2013, Pipiet Senja)


Catatan; tidak bisa ambil foto di kawasan yang menumpuk sampah, karena dadaku sesak dan bengekku sedang kumat. Harus memakai masker dan oksigen. Jadi, baiklah foto-fotonya yang indah saja, oke! Hasil jepretan Maulani, mahasiswa Al Azhar, Kairo yang wajahnya ganteng habiiiissss.

Dari Cibubur ke Alexandria: Berhati-Hatilah, Maulani!

$
0
0

Qithab Citadel - Alexandria



Maadi-Kairo, Juli 2013
Setelah mengikuti agenda yang superketat, akhirnya rombongan pemateri Semesta Menulis berkesempatan juga wisata Kairo. Kemarin masih dipisah dua; sementara rombongan RRI diajak belanja ke Asfour, kami bertiga; saya, Irwan Kelana dan Sastri Bakry masih mengisi kelas menulis dan jurnalistik hingga larut malam.
Meskipun demikian kami bertiga pada pagi harinya masih sempat ziarah ke makam Imam Syafi’i. Salah satu Imam besar penyampai ajaran Rasulullah SAW, hingga diyakini umat Muslim seperti sekarang.
“Jangan kaget, ya Bun, kondisinya pasti jauh dari bayangan kita,” kata Agus, ketua panitia Semesta Menulis yang sangat peduli dengan segala kebutuhan para pembicara.
“Tidak, heranlah, aku tahu bagaimana makam-makam di Mekkah dan Madinah,” tukasku. Sebulan yang lalu aku baru umroh, membayangkan pemakaman Baqi tanpa nisan dan mungkin jenazah yang dikuburkan di sana ditumpuk begitu saja.
Begitu memasuki kawasan makam Imam Syafi’i yang terkesan kusam, kami disambut dua peminta perempuan mengoceh bahasa Arab. Kusangka dia sedang mendoakan kami, jadi sempat kusambut gumam;”Amiiin, amin….”
Putri, mahasiswi Al-Azhar, berbisik mengingatkanku bahwa peminta itu bukan berdoa, melainkan sedang meracau meminta-minta belas kasihan pengunjung. Alamak, aku tersipu, ditertawakan Sastri Bakri dan Irwan Kelana yang meledekku habis-habisan.


Bersama Putri di Benteng Sholahudin Al Ayyubi

Nuansa dingin sekejap menyergap hidung saat memasuki ruangan buram, nyaris tanpa lampu. Lama aku termenung di depan makam Imam besar itu. Kondisinya sungguh memprihatinkan, dingin, buram dan berbau apak. Inilah tempat peristirahatan terakhir tokoh Islam yang begitu Agung, tinggatannya niscaya lebih tinggi dari para Wali.
Sungguh berbeda dengan kondisi makam para Wali di Jawa. Begitu megah, kokoh dengan pualam bening dan sungguh sangat disembah-sembah oleh kuncen, pengurus pemakaman dan para pengunjungnya. Tak jarang dikeramatkan, bahkan masih banyak pengunjung yang mengambil benda di areal pemakaman untuk dijadikan jimat. Na’udzubillahimin dzalik!
“Ini diyakini sebagai jejak Rasul,” jelas pemandu.”Imam Syafi’I satu malam bermimpi majelis kajiannya didatangi oleh Rasulullah. Di sinilah tempatnya, ajaibnya, ini ada jejak semacam telapak kaki.”
Subhanallah, wangi surgawi, harum kiswah sekejap semerbak menerpa hidungku begitu karpet diangkat di satu sudut sebelah kiri makam itu. Ya, jadi di sinilah keajaiban tempat ini, gumamku menyeru takbir dalam hati.




















“Sekarang kita menuju Alexandria, ya bunda-bunda dan ayah-ayah,” ujar Agus pada pukul enam pagi itu. Bersama kami ada jajaran panitia lainnya, lebih selusin, empat mahasiswi sisanya yang gagah-gagah seperti Maulani.
“Baik, dari Cibubur sekarang menuju Alexandria. Berhari-hatilah, Maulani,” kataku didendangkan ala Jeremi Teti. Anak-anak sontak berseru-seru dan menertawaiku.
“Dasar turunan Sule, ya, anak-anak,” sekalian kukocok suasana dengan canda dan tawa. Semakin riuh gelak tawa mewarnai kendaraan jenis minibus pinjaman Gunawan, bosnya Indomie. Entah bagaimana jadinya panitia jika tak ada kendaraan yang setia mengantar-jemput para pemateri, dari penginapan mnuju lokasi yang berbeda selama empat hari berturut-turut.
“Bunda, mengapa harus Maulani terus yang digoda?” tanya neng Farah.
“Kata Butet, Maulani itu anak yang kiyut dan menggemaskan. Hihi!”
“Memang sudah kenalan ya Teteh Butet dengan Maulani?”
“Yeeeh, kan lewat twitterland.”
“Manini gahoool, horeeee!”
Kami tidak bisa mendekati sungai Nil dari sudut terindah di kawasan Nasr City. Karena terlalu dekat dengan Tahrir Square, tempat pendemo oposisi bertahan, entah menuntut apalagi setelah Mursi dikudeta Militer.
“Berhenti, di sini sajalah, cukup bagus pemandangannya,” pinta Sastri Bakry. Maka, kami pun turun untuk sekadar foto-foto di kawasan anak sungai Nil itu. Ibu Irjensus Kemendagri yang juga sastrawati berasal dari Sumbar ini fotogenik. Foto-fotonya selalu bagus dan dia pandai bergaya. Maklum, multi talenta, sewaktu muda menjadi penari, pemain teater, penyanyi pula.
“Cantik dia dalam gaun itu, ya, hmmm,” kupergoki Zulhaqqi dan Anhar bisik-bisik tetangga, ngerasanin Sastri Bakry. Ini di pelataran benteng Sholahudin Al Ayyubi.
“Naaah! Ketahuan, ya!” gebahku dari belakang kedua petinggi RRI ini.
“Apaan sih Teteh, ah, psssttttt!” serempak keduanya saling pssst-pssst dengan wajah memerah jambu.
“Mana anakku, saya titip ya,” cetus Irwan Kelana yang jatuh hati ingin mengambil Putri sebagai menantu untuk anak kedua.
Awalnya terjadi persaingan ketat dengan Anhar yang juga konon mempunyai niatan serupa. Kadang suasananya terasa memanas, keduanya dipanas-panasi oleh anak-anak Masisir yang ikut kami.
“Ayo, mau tas penuh dolar itu atau berpihak ke Irwan Kelana,” canda Anhar yang memang humoris.
“Pak Anhar, mohon tidak mendudukkan saya dalam posisi sulit,” keluh Agus berlagak komplen. Maklum, budget proposal yang pernah diajukan ke KBRI hanya dipenuhi tidak sampai 10 persen dari budget ajuan. Mujurlah ada donator baik hati seperti Gunawan, bosnya Indomie itu.
“Masih kurang sekitar 800 USD lagi untuk kateringnya, Bun,” jawab Agus ketika aku mendesaknya. Kemudian segala utang diselesaikan berkat bantuan dari sponsor RRI melalui Anhar.
Akhirnya sampailah kami di pantai Alexandria yang terkenal sedunia itu. Ketika 2006 aku ke sini bentengnya belum direnovasi. Kini telah berdiri dengan megahnya Qithab Citadel, benteng Romawi. Tempat ini mengingatkan kita akan sejarah Julius Caesar yang tunduk pada pesona Cleopatra.
Tidak sampai dua jam kami berada di Alexandria, baru saja makan siang yang terlambat ketika kabar itu sampai. “Mursi telah dikeluarkan, para pendukungnya akan menyambutnya dan turun ke jakan-jalan di Kairo. Sebelum terjebak macet sebaiknya sekarang kita kembali ke penginapan di Maadi, Kairo.”
Belakangan ternyata Hoax!
“Sekarang dari Alexandria menuju Kairo, berhati-hatilah, Maulani,” seruku, kembali dilagukan dan anak-anak Masisir menyoraki sambil tertawa gelak. (Madinatul Nasr-Kairo, Juli 2013, Pipiet Senja)

Cintaku Lebur di Alexandria

$
0
0




Cerpen: Pipiet Senja

Dimuat di Harian Republika, Agustus 2013
           
Pesawat Qatar Airways yang membawa Diah Pramesti dari Jakarta akhirnya menukik, menyemburkan dengung di kuping. Sehingga suara-suara di sekitarnya samar-samar dan nyaris tak bermakna. Namun, ada yang bergemuruh dalam dada ini, gumamnya membatin. Tak ubahnya gemuruh massa di lapangan Raba’ah Al Adawiyah, menyuarakan protes keras atas kezaliman dan ketakadilan yang menimpa mereka.

“Jangan datang ke Mesir saat ini, wahai Diah Pramesti. Sungguh akan sangat tidak aman bagi dirimu yang sedang sakit begitu,” terngiang kembali suara Ameer melalui ponsel. Kecemasannya terdengar melebihi segala kengerian yang ditimpakan junta militer terhadap dirinya dan pergerakannya.

“Tidak ada waktu lagi, Ameer. Kau tahu, lima dokter ahli yang kukunjungi seolah sepakat telah mengetahui masaku hampir habis,” kilah Diah Pramesti gemetar, sesaat terbebas dari dengung bunyi mesin perekam jantung ruangan ICCU.

Berbulan itu, keberadaannya nyaris selalu sendirian. Tiga anak yang telah dewasa dan mandiri semuanya berada di Eropa. Sementara lelaki yang pernah menjadi imamnya telah lama pula pergi, meninggalkannya dalam keadaan sakit. Ia memilih mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

“Tinggallah bersama kami, Mama,” ajak sulungnya, Salma yang tengah S3 bersama suaminya di Perancis.

“Kami selalu siap menemani hari-hari Mama,” pesan Nadia, putri kedua yang bersuamikan mualaf Belanda. Mereka tinggal di Blaricum, Holland.

“Kapan Mama siap kami jemput?” tanya Qania, si bungsu, tinggal di Inggris bersama suaminya, seorang WNI pebisnis properti.

“Tidak, anak-anak sayang, terima kasih. Mama hanya akan mampir sekali-sekali. Tetapi tetap memilih tinggal di Tanah Air, di sinilah tempat Mama,” kilahnya tanpa perlu menyebut alasan lain.

Sejujurnya sebagai seorang seniman Indonesia, Diah tak pernah merasa kerasan berlama-lama tinggal di negeri orang. Demikian yang dirasainya setiap kali dirinya berkelana dengan buku ke berbagai negara. Paling lama ia mampu tinggal selama sebulan di Hong Kong dan Taiwan. 

Dua negara favoritnya, karena di sanalah dirinya merasa benar-benar dibutuhkan, dihargai dan bermanfaat bagi kaum Buruh Migran Indonesia. Lima tahun terakhir, ia begitu gencar meneror para BMI atau TKI agar merekam jejak mereka. Tak pernah jemu, tak pernah lelahnya, sehingga ia dijuluki sebagai emaknya BMI.

Beberapa bulan menjelang revolusi Mesir, ada satu nicknameyang masuk secara tiba-tiba ke bilik gtalkatas namanya, dinihari itu. 

“Assalamu alaikum, boleh silaturahim, wahai Diah Pramesti? Aku kenal namamu melalui website atas namamu. Aku mencermati semua postinganmu, termasuk foto-foto dan video kegiatanmu,” demikian sapa pertama yang berlanjut dengan sapaan-sapaan berikutnya.

“Aku boleh jujur kepadamu, ya Ameer?” kata Diah melalui chatt online Skype.
“Apa selama ini engkau tidak jujur, wahai Diah Pramesti?” balas Ameer.
“Semuanya sudah jujur kecuali satu hal saja bahwa aku tidak pandai menulis dalam bahasa Inggris,” aku Diah tanpa sembala.

“Tidak mengapa, bukan masalah. Sekarang aku mulai pandai bahasa Indonesia. Ada temanku, anak Al Azhar si Ahwazi yang rajin sekali mengajariku bahasa Indonesia.”
“Oh, syukurlah,” kata Diah merasa lega.

“Sekarang giliranku. Bolehkah aku berjujur-jujur kepadamu?”
“Apa selama ini engkau tidak jujur, wahai Ameer?”“Uumm, itulah, itulah…. Bahwa aku seorang duda yang ditinggal istri ketika melahirkan anak kedua. Bahwa aku memiliki seorang putri, sudah remaja. Dialah, Aisha yang menunjukkan website pribadimu kepadaku.”

“Baik, ada lagikah yang engkau sembunyikan dariku?”
“Aku seorang aktivis, uumm, boleh dibilang pemberontak. Sesungguhnya kami penentang rezim Mubarak, Diah.”

“Baik, tidak mengapa, dan aku bangga mendengarya. Ada lagikah?”
“Umm, masih, tetapi pentingkah itu buatmu, wahai Diah Pramesti?”
“Oh, jika engkau tak berkenan, biarkanlah begitu saja.” 

Hanya sampai di situ pembahasan identitas. Selanjutnya lebih banyak diskusi tentang berbagai hal, termasuk politik dan situasi kondisi Mesir saat itu. Diah memutuskan untuk memungkasnya, ya, persahabatan tidak perlu pemaksaan. 

Jika Ameer ingin menyembunyikan beberapa hal tentang identitasnya, biarkanlah demikian, pikirnya. Lagipula, siapa mengira jika hubungan ini akan menjadi serius dan berkembang ke arah lain?

Ketika revolusi akhirnya terjadi juga hubungan mereka sempat terputus. Diah hanya bisa berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Hingga suatu saat  nicknameitu kembali muncul di layar laptopnya. Semuanya telah berubah, lapor Ameer. Revolusi Mesir telah terjadi, rakyat memilih seorang pemimpin baru dari pergerakannya.

“Dia seorang hafidz dan akan memerintah sesuai dengan syariat Islam,” pungkas Ameer, terdengar menggebu-gebu sarat dengan semangat perjuangan.
Dia memejamkan mata, membayangkan seraut wajah tampan dengan hidung mancung, sepasang mata elang dan bibir anti nikotin. Perawakannya tinggi tegap, atletis, sebagaimana galibnya lelaki bangsanya. Bahkan baru melihatnya melalui layar monitor saja, telah ada getar-getar ajaib yang menggejolak dalam dadanya.

“Ummi, silakan, Anda yang terakhir turun,” seorang pramugari berwajah khas perempuan Arab, menyentakkan dirinya dari seluruh khayalnya.

“Oya, syukron, maaf,” kata Diah bergegas bangkit, meraih tas kecilnya dan berlalu dengan wajah tersipu-sipu. Persis seorang anak perawan yang dipergoki ibunya sedang melamunkan cinta pertamanya.

"Ini apa masalahnya, ya Nak?” Diah menunjukkan selembar kertas scan kiriman Ameer kepada pelajar Gontor yang satu pesawat. Tiket, visa calling dan akomodasi semuanya saja sudah diurus Aisha, demi pertemuan ini, begitu menurut Ameer saat terakhir berkomunikasi via telepon.

“Harus beli visa masuk seperti kami, Ummi.” Anak muda itu menunjukkan paspornya yang telah diterakan visa Mesir seharga 15 USD.  Diah keluar antrian dan bergegas menuju konter money changer.

Visa sudah dibeli, paspornya dicap, dan ia telah pula diperbolehkan keluar dari kawasan Imigrasi Egypt, tatkala tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk melalui Whats App. 

Ahlan wa sahlandi Kairo, wahai Diah Pramesti. Afwan, ternyata aku tidak bisa menjemputmu. Kami baru saja mengalami ujian. Presiden Mursi digulingkan oleh militer. Jangan khawatir ada Aisha menantimu di pintu kedatangan.”

Seketika Diah merasai ada sayatan luka jauh di ujung kalbunya, serasa separuh nyawa sekejap terbang, mencari sosok dambaan. Ada firasat tak nyaman yang mencengkeram hatinya.

“Open! Opeeen! Very hard, what’s is this?” sergah seorang petugas ketika ia baru saja dua-tiga langkah hendak mencapai pintu kedatangan. Lelaki itu menjegal langkahnya, memukuli koper besar milik Diah.

“Book, only books.” Diah mencoba menjelaskan. Petugas tetap bersikukuh memerintahkan agar membuka kopernya. Diah tergagap, sampai lupa dimana dirinya menaruh kuncinya. 

Sesungguhnya ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada dua kali kunjungan ke Kairo sebelumnya pun pernah mengalami hal serupa. Diperintahkan membongkar bawaannya. 

Ketika itu ia bersama rombongan, ada seorang rekan sastrawan dan jurnalis bersamanya. Kepercayaan dirinya kuat tersebab berjuluk Duta Budaya Indonesia.

Sedangkan saat ini ia hanya seorang diri dan bukan undangan resmi untuk seminar kepenulisan. Ini urusan pribadi, terlalu nekad pula untuk datang ke negeri yang sedang bergolak. Qania, mengingatkannya berkali-kali. “Mama, untuk apa pergi ke Mesir segala? Itu negara sedang bergolak. Boleh jadi akan terjadi revolusi jilid dua!”

Salma mendukung apapun pilihannya. “Pergilah dan temui dia, jika itu memang akan membahagiakan hari-hari Mama. Semangat, ya, Mama cintaku. Salam sayang dari tiga cucu Mama, mhua!”

“Buka! Apakah kamu tuli, Mom?” bentak petugas membuyarkan sebagian impian dan asa yang dimilikinya.

“Baiklah, hmm, ini dia kuncinya!” Bagaikan seorang nenek linglung, perempuan paro baya itu bersegera membuka kopernya.”Ini suvenir untuk sahabatku. Saya seniman, penulis dari Indonesia,” jelasnya tanpa diminta, tetapi cukuplah membuat petugas itu terpuaskan.

Oke, go!” titahnya tanpa basa-basi.
Pagi baru saja menguak langit Negeri 1000 Menara. Diah mendorong troli keluar dari pintu kedatangan. Matanya mencari-cari sosok dara yang hanya dikenalnya melalui Skype. Tiada seorang pun yang dikenalnya, semuanya asing belaka. Sedetik ia menanti, detik berikutnya sosok bergamis dan cadar serba hitam berkelebat menghampirinya.

“Bunda Diah, ya?” sapanya dalam nada lembut mendesir di kuping Diah.”Aku putrinya Aba Ameer. Mari, ikuti kami.” Yang dimaksudnya itu adalah dua orang lelaki berperawakan tinggi tegap, berpakaian sederhana sebagaimana layaknya orang biasa. 

Nalurinya membisikkan bahwa dalam kebersahajaan itu tersembunyi kekuatan dan semangat jihad maha dahsyat. Potret mujahid sejati!

Diah bergerak dalam langkah gegas, tanpa bicara, tanpa komentar apalagi salam perjumpaan seperti layaknya orang yang baru bertemu. Sosok bercadar yang mengaku putri Ameer menggenggam tangannya erat-erat.

“Siapa mereka?” Diah mendesiskan keterkejutannya.“Mengapa mereka berseliweran di Bandara?”

“Militer menjaga Bandara, kalau-kalau Presiden Mursi melarikan diri ke luar negeri,” sahut Aisha perlahan.

“Lekas masuk, Ummi,” gumam salah seorang pengawal, demikian kemudian Diah menafsirkannya.”Sebelum mereka menyadari bahwa kita bagian dari pendukung Presiden Mursi.”

Suasananya mendadak terasa gawat darurat. Panser kian berseliweran di mana-mana, tentara berseragam warna pasir gurun pun siaga dengan senjata berat di tangan. Landrover jelek, entah buatan tahun kapan, berusaha keras menyelip di antara kendaraan keluar dari Bandara. 

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jalanan Kairo diwarnai dengan kendaraan butut. Hampir tak ada satu pun kendaraan yang tampak bagus, apalagi mengkilat tanpa goresan. Kebanyakan mobil yang melintas diwarnai mulai dari goresan, baret, penyok hingga tak berjendela di salah satu sisinya.

Sebuah mobil sedan kuno seketika menyalip kencang, tampaklah tiga anak duduk di bagian bagasi yang terbuka lebar. “Astaghfirullah!” seru Diah tertahan di tenggorokan. Tak ada urusan tilang, tak ada lampu merah dan tanda-tanda lalu-lintas apapun di penjuru jalanan kota tertua di Afrika ini.

“Di mana ayahmu, Nak?” tanya Diah, sungguh tak tahan lagi dalam belenggu misteri dan teka-teki. Seperti apakah gerangan sosok itu dalam kenyataan?

“Nanti kita akan bertemu dengan Aba di Ismailia,” sahut Aisha, seketika melepas cadarnya, sehingga tampaklah keelokan parasnya yang menawan.

“Subhanallah, kamu sungguh jelita, Nak. Boleh aku memelukmu?” Tak perlu menanti jawabannya, Diah bisa menangkap bernas kerinduan menggantung di sudut-sudut mata remaja putri itu. Untuk beberapa jenak keduanya saling melepas rindu, seakan telah lama akrab, dan tak ingin terpisahkan kembali. Magnit cinta telah membelenggu dua perempuan berbeda generasi ini.

“Kita mau ke mana, hei, Aisha?” tanya Omar, sepupu Ameer.“Tadi malam Aba memerintahkan agar membawa Bunda Diah ke Ismailia, ke rumah keluarganya.”

“Itu sangat berbahaya, terutama untuk dirimu, Aisha. Militer dikabarkan telah mengepung Ismailia. Mereka sedang mencari ayahmu dan keluarga kita.”

“Belum ada kabar terbaru dari ayahmu, Nona?” tanya sang pengawal. Aisha menggeleng lesu. Ini membuat hati Diah seketika menciut. 

Bayangkan saja, dirinya begitu bersemangat berkunjung ke Kairo hanya demi bersua dengan Ameer. Berharap janji yang pernah terikrar tidak sekadar omong kosong dalam pergaulan dunia maya. Kenyataannya sosok yang dicari bahkan keberadaannya pun entah di mana.

“Bunda, kita berdoa saja, serahkan kepada Sang Takdir,” begitu lembut menyejukkan, mengingatkannya kepada putri sulungnya. “Bunda boleh menganggapku seperti anak sendiri.” 

Diraihnya jemari Diah kemudian dikecupnya sepenuh sayang. Ada titik bening bergulir dari sudut-sudut mata remaja putri keturunan Hadramaut ini.

“Mengapa kini engkau berkeinginan mencarikan ibu bagi putrimu?” tanya Diah ketika lelaki asing yang belum pernah temu muka langsung itu, tiba-tiba melamarnya sebagai ibu pengganti untuk Aisha. Ia sempat tertawa gelak, menganggapnya sekadar candaan belaka.

“Selain karena permintaan putriku, kurasa engkau seorang perempuan yang berbeda. Kami membaca setiap postingan di rumah mayamu. Kau tahu, siapapun bisa menangkap kebersahajaan, kesabaran dan ketangguhan sejati penulisnya.”

Seminggu Diah menanti besama Aisha di apartemen sewaan di kawasan Alexandria. Berbagai berita dan perkembangan situasi politik negeri Kinanah hanya diketahuinya melalui tayangan televisi. Dua-tiga kali ia berhasil membujuk Aisha untuk mendekati Ismailia, Rabaah Al Adawiyah dan tempat-tempat yang dikabarkan Ameer menggalang kekuatan. Namun, mereka tak menemukan sosok yang dicari.

Kini bahkan Aisha, Omar dan pengawalnya pun telah pergi. Tanpa pamitan, mereka diam-diam meninggalkannya sejak kemarin malam. “Aduhai, Ameer, hanya sampai di sinikah puncak pengharapan kita?” kesah Diah, seorang diri duduk tercenung di tenda kafe pantai Alexandria.

Pagi telah berganti siang, dan siang pun bergerak menuju petang, kemudian menyingkirkan tirai malam dalam puncak risau. Seorang pramusaji menghampirinya, menyodorkan tagihan sambil bergumam, penuh kegeraman.”Mereka semakin brutal dan keji saja membantai orang tak berdosa. Dasar antek-antek Yahudi!”

Sekilas mata Diah dilayangkan ke layar televisi. Penyiar sedang mewartakan sebuah insiden mengerikan.

”Mereka menembaki orang-orang yang sedang sholat subuh di mesjid.” 

Korban berjatuhan, wajah-wajah penuh darah ditayangkan, lelaki, perempuan dan anak-anak. Jantung Diah berdegup kencang tatkala matanya menangkap dua sosok yang tak asing lagi. 

Wajah lelaki keturunan Hadramaut itu, sosok yang dicarinya, kini berlumuran darah sedang memeluk putrinya yang juga telah tak bernyawa. (Madinatul Nasr, Juli 2013)





Kenangan Gigi Palsu Emak

$
0
0


Pagi itu, ketika aku sedang asyik taktiktok depan laptop, melanjutkan garapan novel. Tiba-tiba ponselku dengan jaringan Telkomsel supercepat berdering dengan lagu si Borokokok; Kang aya SMS, Kang, enggal diangkat, ieu abdi bisi katoel, tos gudal-gadel yeuh…

Hadeuh, usil amat yang kirim ringtone, gherrr!
Kulihat nomer rumah dari Cimahi, ternyata emakku.
Belum apa-apa aku sudah nyelak; “Nanti ya Mak, belum dapat THR-nya juga. Besok, ya, tenang, Mak!”

“Eh, biarin, ini kepingin ketawa Emak,” tukasnya, kudengar menahan tawanya.
“Oh, ada apa Mak?” tanyaku ingin tahu, jarang-jarang loh nenek-nenek kepingin ketawa, sebab giginya sudah ompong men!

“Kemarin, pas Emak lagi jajan makan sate kikil di emperan kantor Pos, mau ambil pensiunan. Eh, ujug-ujug ceprot!”
“Apaan tuh?” tanyaku penasaran sambil degdegan. Maklum, jantung emakku suka ceprat-ceprot dan berujung diangkut ke ICCU.

“Gigi palsu Emak ujug-ujug coplok!”
“Dipungut lagi gak, Mak?” tanyaku gopoh-gopoh.
“Gak bisa karena langsung ketelen….”
“Ketelen sama siapa?” tanyaku jadi linglung.
Padahal masak iya sih, gigi copot ketelen tetangga apa tukang sate kikilnya kan?

“Iya, ini ketelen sama Emak sendiri atuh, hihihi,” terdengar deraian tawanya.
“Ada apaan, Mah?” tanya Butet, putriku yang baru kelar nyeterika seragam sekolahnya.
“Kabar dukacita, Tet,” sahutku lemes, begitu sambungan diputus emakku, langsung tubuhku ngegubrak ke ranjang.

Sebenarnya otakku belum konek sepenuhnya tuh. Ini urusannya kan; gigi palsu, makan sate kikil, ketelen sendiri. Alamaaak!
“Dukacita, siapa yang meninggal, apa Omah me…?”
“Husy!” Aku memelototinya, jangan sampai dia bilang emakku meot, awasss saja!
“Iya ada apa?” tanya Butet, tampak penasaran sekali.

“Gigi palsu Omah coplok satu, padahal lagi asyik makan sate kikil, katanya, trus ketelen deh!” Aku coba meruntut kronologis Balada Gigi Palsu Omah.
“Apanya yang ketelen?”
Nah kan, sama gak koneknya dengan gw!

“Ya itu tadi, gigi palsunya ketelen si Omah!”
“Apa?! Gigi palsu ketelen sendiri sama si Omah, oh, oh, wuakakaka…”

Sampai keluar rumah, berangkat sekolah, masih kudengar tawa si Butet. Demikian pula denganku, sambil berbenah-benah tak urung bibirku mesem-mesem. Kebayang saja, bagaimana nini-nini lagi asoy geboy jajan sate kikil, tahu-tahu; ceprooot, heekkk!

Duhai, kasihan nian emakku tersayang, aaarrgh!


Inilah Memoarku Edisi Revisi: Dalam Semesta Cinta

$
0
0



Dalam Semesta Cinta
Penulis: Pipiet Senja
Penerbit;Luxima Publishing, Juli 2013
Diterbitkan kembali dalam bentuk edisi revisi, ditambah di beberapa bagian, terutama situasi dan kondisi saat ini.

Bisa pesan langsung dan akan mendapatkan tanda tangan penulisnya.
SMS 085669185619
Stok terbatas di lemari buku si Manini.

Viewing all 195 articles
Browse latest View live