Quantcast
Channel: Taman Karya Pipiet Senja
Viewing all 195 articles
Browse latest View live

Berilah Aku Waktu, Tuhan

$
0
0



Anno 2012
Ketika kutulis ulang memoar edisi revisi Dalam Semesta Cinta ini, kondisi kesehatanku berada pada titik nadir. Para dokter yang merawatku mendiagnosa, terdengarnya di kupingku, kurang lebih sbb; thallasemia, kardiomegali, hepatitis, diabetes mellitus.
Satu kondisi kesehatan yang luar biasa mengerikan, kalau tidak dibilang semuanya ini hanyalah berujung pada satu titik, yakni; kematian!
Sejujurnya, aku sempat limbung, syok berat dan terpuruk. Segala situasi mengerikan seketika berseliweran di benakku, mewarnai malam-malamku dalam ketegangan dan kesunyian. Kubayangkan diriku harus bolak-balik ke rumah sakit, menghabiskan dana, dan terutama semuanya itu akan menyusahkan anak-menantu.
Bulu romaku meremang hebat tatkala membayangkan, seandainya diriku mendadak in-coma, kemudian tergantung pada peralatan, semuanya itu akan menghabiskan dana selangit. Ditambah kekacauan jiwa dan raga anak-anak dan menantu. Naudzubillahi min dzalik!
Beberapa hari, beberapa pekan lamanya, situasi kejiwaan yang lumayan menyeramkan ini hanya kupendam seorang diri. Paling aku menuliskannya sepintas-kilas, melalui statusku di BB, Twitter atau Facebook. Anak-anak belum kuberi tahu secara gamblang rincian kondisi kesehatanku.
Acapkali aku menyusuri lorong-lorong RSCM dengan perasaan hampa, kaki-kakiku serasa melayang.
“Untuk apa semua kesulitan administrasi ini harus kulalui dengan susah payah? Jika tidak akan memberiku apa-apa kecuali kematian,” demikian adakalanya terlintas di otakku jika mendadak beku.
Coba saja Anda bayangkan!
Satu hari, aku bergerak pagi sekali dari kawasan Halim, rumah dinas besan, tempatku menumpang sejak Agustus 2012. Agar tidak berdesak-desakkan, memanfaatkan Busway dari depan PGC Cililitan. Sesampai di RSCM, gegas-gegas menuju loket Askes, sepagian itupun ternyata tetap sajalah harus uyel-uyelan dengan pasien lainnya.
Beres dengan barisan antrian yang mengular panjang ini, kita masih harus pergi ke lobi utama, bagian pendaftaran pasien lama atau baru. Di sini lebih panjang lagi nyanyian “ular panjangnya bukan kepalang”. Pernah iseng kuhitung, ada 12 barisan panjang, rata-rata 30-an per barisannya. Masya Allah!
Apakah sudah bisa beres di sini saja, kita dapat langsung ke poliklinik, diperiksa dokter? Oh, ow, jangan mimpilah!
“Sekarang laboratnya tidak di sini, ya Bu. Silakan ke laborat di lantai tiga, tapi biasanya hasilnya baru bisa besok!” Begitulah berkata petugas di balik loket poliklinik Hematologi, terdengar datar dan nyaris tanpa senyum.
“Besok? Nah, HB saya paling tinggal berapa? Sudah terasa lemas begini, Sus?” protesku, lutut-lututku memang mulai terasa goyah.
“Ya, siapa suruh baru datang sekarang? Seperti bukan pasien lama saja. Kalau sudah tahu jadwal ditransfusinya, seharusnya, ya, datanglah tepat waktu. Bahkan seharusnya beberapa hari sebelumnya. Nah, ini, lihat! Sudah lewat satu bulan, Bu!”
“Baik, apa ada solusinya? Agar saya tidak harus besok balik lagi ke sini?” tukasku, sungguh tak mau disalahkan juga. Meskipun memang harus kuakui, sebulan itu sangat sibuk keliling Tanah Air menyebar virus menulis.
“Bisa. Periksa darahnya di Kencana, bayar sendiri, ya Bu. Karena tidak dijamin Askes atau Jamkesmas.”
“Memangnya berapa biayanya?” tanyaku ingin tahu, mulai menghitung-hitung uang yang ada di kocek dan ATM-ku.
“Seratus ribu, kalau tidak salah!”
Demi tidak bolak-balik dan hari ini berlalu sia-sia, maka langkah kuayun menuju Gedung Kencana. Benar saja, hanya menanti sekitar 30 menitan, hasil DPL pun sudah bisa kuterima. Pemeriksaan rutin darah ini hanyalah terdiri dari; hemoglobin atau HB, trombosit dan leukosit. Itu saja, masa harus menunggu sampai besok, coba di mana logikanya? Ternyata duit sangat berpengaruh di rumah sakit pemerintah ini, ya Saudara!
Gedung Kencana tempat elit, ada berbagai poliklinik, laboratorium dan ruang rawat inap untuk para pasien banyak duit. Letaknya lumayan jauh dari poliklinik Hematologi. Belum lagi naik-turun tangga, sebab jika mengandalkan lift antrinya bikin pusing tujuh keliling juga.
Jika dikumpulkan jarak bolak-balik bisa sekitar 5 km, bahkan boleh jadi lebih dari itu. Bahna semangat dan ingin segera mendapat penanganan dokter, maka lupalah diriku dengan asupan makanan yang seharusnya diterima tubuh tak sehat ini.
Ujung-ujungnya begitu selesai dari poliklinik Hematologi, dalam tempo penantian 5 jam itu, aku baru tergerak untuk mencari makanan. Namun, seketika aku merasakan sekujur tubuhku menggigil hebat disertai rasa lemas, lungkrah sekali. Pandanganku pun mendadak gelap-gulita dan; bruuuk!
Entah berapa lama diriku tak sadarkan diri. Tahu-tahu kutemukan diriku sudah berada di UGD. Masih mujur, tak ada sesuatu pun yang raib dari tasku. Beberapa tahun yang lalu, 1990, pernah mengalami hal serupa, malangnya semua uang di dompet serta gelang emas di pergelanganku lenyap.
Sejak saat itulah aku tak pernah mengenakan perhiasan emas, bahkan tak pernah pula tergerak membelinya. Bukan karena trauma, lebih disebabkan semua perhiasan terjual habis untuk biaya pengobatan. Tak ada kesempatan pula untuk membelinya kembali, apalagi menyimpannya seperti di masa lajang dahulu kala.
Jika kelamaan di UGD dipastikan bakal diperiksa macam-macam, dan itu berarti harus mengeluarkan banyak dana. Jadi, setelah berdebat dengan seorang koas, akhirnya aku diperbolehkan pulang.
Besok aku harus diperiksa secara rinci keadaan lever, dan itu memerlukan dana sekitar 4 juta. Beberapa jenak aku memutar otak, sambil terhuyung-huyung menyusuri koridor rumah sakit. Iseng buka BB dan mulai menulis status, Twitter, aku mentionkepada seorang sahabat yang pernah membantuku. Jay Teroris, memakai nickname @pitungmasakini, aku hubungi dan curhatan perihal ini.


“Teteh didiagnosa hepatitis, Bang Jay. Dokter bilang, untuk mengikuti program gratis penanggulangan hepatitis, pasien harus melalui pemeriksaan laborat di Eyckman.”
“Baik, aku coba bantu. Sekarang Teteh tunggu saja di Informasi, ya. Nanti ada teman kita yang datang ke sana.” Jay Teroris langsung merespon dengan sangat baik.
Kupikir, ah, main-main, bercanda saja mungkin. Mana ada orang yang mau bantu dana jutaan untuk memeriksa leverku besok? Ternyata aku keliru. Sedekah Rombongan, di mana Jay sebagai pengelolanya, segera bergerak. Mereka mengirim utusannya yang segera meluncur menyambangiku.
“Bu Pipiet Senja, ya? Kami temannya Bang Jay, saya Harji,” kata seorang lelaki kurus ditemani temannya.
“Iya, cepat juga dating, terima kasih,” sambutku terharu sekali.
“Kebetulan kami sedang beredar di sekitar sini juga, Bu Pipiet,” ujar temannya.
“Maafkan, ya, jadi merepotkan kalian….”
“Tenang, Bu, kami akan berusaha membantu kesulitan Ibu. Langsung saja, ya Bu Pipiet. Berapa dana yang dibutuhkan untuk pemeriksaan levernya itu, Bu?”
Aku kembali mengatakan jumlahnya. Kedua lelaki ini kemudian menawarkan jasa, mengantarku ke shelter milik LKC di Gang Ampera. Agar besok mudah kembali ke RSCM untuk pemeriksaan laborat, dilanjutkan ditransfusi. Begitulah rencananya.
“Besok kita akan jumpa kembali di RSCM, ya, Bu Pipiet,” kata Harji saat pamitan, meninggalkanku seorang diri di sebuah kamar di lantai dua.
Suasana kawasan kumuh segera merebak, bau busuk comberan dan sambah kali yang tak jauh dari shelter. Suara tangis pasien kecil di lantai bawah, kepalanya sebesar kelapa, hydrocephalus, tak henti-hentinya. Sungguh menyayat hati.
Usai mendirikan shalat maghrib, berzikir dan berdoa, tiba-tiba airmataku tak terbendung lagi. Aku menangis dalam diam yang panjang dan sangat mencekam jiwaku. Seorang diri di kamar pengap, banyak nyamuk, tidak diketahui keberadaan diriku oleh anak-anak. Bagaimana jika mendadak dipanggil Sang Pencipta?
Kukenang pula berakhirnya pernikahan, ketakadilan yang harus kuterima dari mantan suami. Terusir dari rumah nyaman, nyaris tak membawa apapun kecuali baju dan buku. Nyaris tak memiliki simpanan, keuangan yang sangat morat-marit, ya Allah!
Aku tak ingin mati sendirian, tidak dikenali, jauh dari anak-anak, jeritku mengawang langit Jakarta. Jika aku mati, aku ingin berada di tengah anak-mantu dan cucu. Di tengah suara orang mengaji. Kedua anakku menuntunku membacakan syahadat, ayat-ayat suci saat Malaikat Ijroil mencabut nyawaku.
Sambil bercucuran airmata, kuraih ponsel pemberian sahabat di Hong Kong, kuketik kabar ini untuk putriku.
“Mama mau jujur, ya Nak,” kataku mengawali SMS kami.
“Ada apa, Mama cintaku?”
“Eh, penyakit Mama kata dokter kan mulai komplikasi. Tapi jangan kuatir, ya Nak, Mama masih kuat nih. Tapi sekarang Mama ada di….”
Secara sepintas saja kuberi tahu gambaran kondisiku. Aku sungguh lebih mengkhawatirkan dirinya daripada keadaanku sendiri. Butet, putriku ini sedang hamil 5 bulan saat itu, pernah ada sedikit pendarahan. Sehingga ia harus dalam pengawasan dokter dengan terapi Dulvadilan.
Hanya dia yang bisa diandalkan untuk mengurus diriku dalam situasi darurat begini. Abangnya, Haekal, sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya, pulangnya pun selalu larut malam.
Bersama Firman, suaminya, Butet datang menjemputku.
 “Mama ini jangan pernah begini lagi, ya. Butet marah bener nih, marrraaah!” Itulah kalimat awal ketika melihat diriku sedang meringkuk di sudut kamar.
Aku tergeragap bangkit, kemudian memintanya kembali ke lantai bawah.
“Mama anggap Butet gak mampu urus Mama. Kalau Mama kabari dari siang, sekalipun banyak kerja, pasti Butet bakal datang. Mengurus Mama!” ceracaunya pula, kutahu hanya lagaknya saja mengamel.
Wajahnya tampak pucat, sepasang matanya yang bening menyimpan butiran mutiara yang ditahannya sedemikian rupa agar tidak bercucuran.
Aku pun hanya mengatupkan mulut rapat-rapat, menahan keharuan yang begitu menggelegak dalam dada ini. Meskipun telah menikah dan sedang hamil dengan masalah, tetaplah putriku semata wayang ini paling bisa diandalkan. Sosok pejuang tangguh dengan hati berbalun berlian.
Ya, kutahu pasti, memang hanya dia yang bisa diandalkan untuk mengurus diriku dalam situasi darurat begini. Abangnya, Haekal, sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya, pulangnya pun selalu larut malam.
Pernah aku menyindir sulungku: “Tidak apa Abang tidak bisa mengurus Mama selagi hidup. Tapi kelak, ketika Mama sudah tiada, Abanglah yang harus mengusung keranda Mama, paling depan!”
Haekal biasanya hanya cengengesan dan balas menyahut.”Kayak tahu kapan kita mati saja. Ekal sering naik gunung malah, banyak bahaya…..”
“Jangan pernah! Lebih baik Mama mati lebih dulu daripada lihat anak mendahului Mama!” tukasku ketus, dan dia terdiam.
“Sini, Mama, Butet kan sangat sayang, sangat cinta sama Mama. Peluk, ya Mama, cinta, mhuuuuaaa!” celoteh Butet pula saat kami berdua sudah berada di dalam taksi.
Sementara Firman melaju perlahan di depan dengan motornya.
“Iya, Nak, terima kasih, maafkan Mama sudah merepotkan….”
“Pssst, jangan pernah bilang begitu, Mama sayang. Kasihan banget nih si Mama, sosoranganan sajah yah di tempat kawas kitu. Eleuh-euleuh, meuni siga gembel pisan, siga anu teu boga anak,” ceracaunya dengan bahasa karuhun seketemunya. Berkata demikian sambil memelukku erat-erat, seolah tak ingin dilepaskan lagi.
“Pssst, itu tempat yang sangat bermanfaat buat pasien tak mampu. Kita harus berterima kasih kepada lembaga yang sudah membangun shelter seperti itu, ya Nak. Harus kita tulis tuh!” kataku mencoba mengalihkan percakapan. “Kalau ada rezeki, jangan lupa untuk berbagi dengan mereka, ingat itu!”
Begitulah, Saudaraku. Aku masih berjuang, sampai saat ini terus saja wara-wirike rumah sakit. Adakalanya inap di ICCU atau UGD, bahkan tanpa seorang pun mengetahui keberadaan diriku.
Aku pun mengikuti terapi kepada seorang sahabat herbalis, akupunturis, Banun Dinar Setiowati. Sesekali dibekam pula oleh Umi Lili di Depok Timur.
“Aku harus merekam jejak cintaku ini, harus meng-update. Mungkin saja ini rekamanku yang terakhir sebelum pergi jua,” pikirku satu malam, tersentak bangun dinihari.
Gula darahku mulai meningkat, sementara jantung membengkak dan ada cairan di bagian bawahnya. Situasi yang disebut insomnia yang pernah kualami di masa silam, akhir-akhir ini kembali mendatangiku.
Banyak pembacaku yang mengirimkan email dan mengatakan ingin memiliki buku Dalam Semesta Cinta, tapi sudah tidak ada di toko-toko buku. Tentu saja demikian, sebab penerbit sebelumnya tak kunjung jua mencetak ulang.
Sejujurnya batinku sempat sabil. Di antara begitu banyak respon positif, merasa terinspirasi dan tergugah hingga bersyukur, usai membaca Dalam Semesta Cinta. Ternyata ada juga satu-dua pembaca yang protes. Bahkan seorang yang tidak kukenal secara pribadi, bersikukuh, bukan saja mengkritisi, melainkan memaki-maki dan menghujatku habis-habisan. Bukan untuk karyaku tapi lebih kepada sosokku, pribadiku.
“Kamu ini perempuan tak tahu malu, istri durhaka, memberi makan anak-anakmu dengan mengumbar aib sendiri. Kamu akan dijerumuskan ke dalam api neraka, dan, bla, bla, bla!”
“Sok suci! Sok perkasa! Sok merasa diri menjadi pahlawan!”
Lama aku merenungkan semuanya itu, kemudian menelisik diri, apa yang ingin diperoleh dari menerbitkan ulang memoar ini? Aku pun mendiskusikannya dengan anak-anak, menantu dan sahabat dekat. Haekal dan Butet tetap mendukung dan menyemangatiku.
“Mama harus menuliskannya, Ma. Biar banyak perempuan yang senasib dengan Mama, penyakitan dan dizalimi, merasa ditemani. Biar anak-anak korban KDRT, seperti Butet, bisa tersemangati. Bangkit dan tetap berprestasi, seperti yang sudah Butet lakukan selama ini,” demikian kira-kira dukungan putriku.
“Haekal jadi saksi. Mereka tidak tahu apa-apa, tidak pernah merasakan semua yang sudah kita alami. Mereka bisanya hanya menghujat, memaki, menghina, tapi sama sekali tidak beri solusi. Preeet, ah!” kata sulungku dengan gaya bahasanya yang suka alaylebay, istilah Butet.
Julie Nava, sahabatku yang menikah dengan warganegara asing, tinggal di Michigan, USA, lain lagi komentarnya: “Tidak semua penulis sanggup mengungkapkan kejujuran melalui memoarnya. Penulis memoar bukan untuk menyenangkan hati pembaca. Dia bisa dihujat, dimaki, bahkan dikucilkan. Salut, Teteh! Lanjutkan saja merevisinya, dan aku tetap menghormati serta menyayangimu.”
Benar sekali, Julie Nava. Ini bukan sesuatu yang mudah, tidak seperti ketika menulis fiksi, novel tebal sekalipun. Tidak mudah bagiku untuk mengungkap kembali segala peristiwa yang pernah dialami.
Acapkali aku terisak-isak dalam samudera kepiluan, sementara jari-jemariku terus memencet tuts-tutskeyboard laptop mungil di depanku. Hingga daya pandangku mengabur, dan nyaris tak mampu lagi membaca ulang semua kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf di layar monitor.
Akhirnya kuingat kembali komentar dari guru mengajiku yang biasa kami panggil Umi Umar, sahabat kami tercinta yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta.
“Membaca buku ini membangkitkan semangat kami untuk banyak merenung dan mencatat detail nikmat-Mu yang kadang alpa dari ingatan kami. Terus berkarya ya Teteh, alirkan cintamu kepada kami melalui penamu yang tajam,” demikian berkata Ustazah Yoyoh Yusroh, almarhumah, langsung kutuliskan di hadapannya, saat kami berjumpa di Majlis Taklim Yayasan Ibu Harapan, 2006.
Maka, aku pun menulis, menulis dan menulis untuk mengabarkan kepada dunia bahwa: ”Inilah diriku dan aku masih hidup!”
Mohon diambil hikmahnya yang indah-indah saja, kenanglah diriku sebagai sosok manusia biasa yang memiliki kekhilafan dan kesalahan. Terima kasih dan maafkan untuk Anda yang merasa tersinggung, karena aku tetap menerbitkan ulang buku ini, tidak sesuai dengan perintah Anda.
Salam manis dan bahagia!
Pipiet Senja




@@@

Keguguran Itu Sungguh Luka, Cinta

$
0
0

 Ilustrasi: Serial Balita Muslim


Anno 1993
Setelah operasi pengangkatan kista di rahim, kuputuskan membebaskan diriku dari IUD yang memang sering bermasalah. Kalau bukan rasa nyeri di dinding rahim, tentu menstruasiku berlebihan, tak jarang sampai dua kali dalam sebulan.
Sebulan setelah terbebas dari kontrasepsi mendadak tanda-tanda kehamilan itu muncul. Ya, aku dinyatakan positif hamil!
Umurku 36 tahun saat itu, limpaku membengkak dengan penyakit bawaan yang mengharuskanku ditransfusi secara berkala. Ketika melahirkan dua anak sebelumnya, aku harus melalui perjuangan luar biasa yang nyaris membawaku ke tangan-tangan sang maut.
 “Menurut Dokter apa aku akan sanggup?” kesahku sambil memandangnya, harap-harap cemas.
Dokter wanita yang pernah dinas di klinik departemen suamiku itu balik memandangiku. Sorot mata cerdas yang telah kukenal sekitar empat tahun lalu. Sepanjang hamil anak kedua, si Butet, Dokter Laila menjadi konsulenku.
“Kita akan melakukan rawat gabung seperti dulu…”
Tapi sayang sekali, sejak hari itu sampai kandunganku berumur 20 minggu, kami tak pernah bertemu kembali. Kabarnya Dokter cantik itu mengambil spesialisasi di mancanegara. Jadi, aku harus menerima apa saja, dan bagaimana saja perlakuan para Dokter muda lainnya. Nyaris tak ada keakraban, hanya berlalu secara profesional dan kaku.
Minggu demi minggu terus berlalu. Seperti empat kehamilan sebelumnya (dua keguguran) aku menjalaninya nyaris sendirian, tak bisa mengandalkan suami yang memang berperangai acuh tak acuh terhadap istri.
Seharusnya aku ditransfusi secara rutin per dua minggu, demi mempertahankan takaran darah (HB) 10 persen gram. Namun, hal itu tak bisa kulakukan, banyak kesibukan yang menyita perhatianku. Tak punya pembantu, banting tulang sebagai ibu rumah tangga sekaligus mencari nafkah, dan terutama harus mengurus ibu mertua.
“Kalau bukan kita lantas siapa lagi? Bagaimana perasaanmu kalau sudah tua nanti, dan diperlakukan buruk oleh anak-menantu?” berkata suamiku dalam nada memojokkan, apabila aku mengeluh kelelahan.
Dari tiga anaknya hanya suamiku yang tinggal berdekatan dengan ibu mertua. Abang tertua sedang dinas di Jerman, adik bungsunya tinggal di kampung. Ibu mertuaku lebih suka menempati rumah abang iparku, sekitar satu kilometer dari tempat tinggalku. Makanannya setiap hari aku masakkan, dan diantarkan oleh Haekal pagi, siang dan petang.
Keputusan pisah rumah itu sendiri kuanggap bijak, daripada tinggal serumah, sangat rentan dengan keributan, mengingat sikap antipatinya terhadap menantu Sunda.
Ibu mertuaku 70-an, sering merasa sakit, segala macam dikeluhkan. Jadwal berobatnya sangat ketat; Senin ke klinik jantung, Selasa ke penyakit dalam, Rabu ke saraf, Kamis ke rematik, Jumat ke laboratorium. Bahkan tak jarang dalam satu hari berobat ke dua-tiga klinik sekaligus.
Biasanya hanya Sabtu dan Minggu, hari-hari tanpa aroma rumah sakit. Kalau ada hasilnya, tentu akan menyenangkan, dan tak sia-sia harus melakoni hari-hari yang sarat aroma obat-obatan. Kenyataannya sering membuatku gundah-gulana, nyaris putus asa.
“Bagaimana kalau diopname saja, ya Bou?” tawarku suatu hari, merasa sangat lelah, terutama karena tak bisa memerhatikan kesehatan diriku sendiri.
“Apa maksud kamu itu?”
“Kalau diopname kan Bou bisa dirawat dengan baik. Tidak harus capek bolak-balik ke rumah sakit tiap hari.”
“Hah! Kalau kamu tak mau mengurusi aku yang sudah tua dan penyakitan ini, pergilah sana!” sergahnya geram sekali, membuatku terperangah.
“Maaf, bukan maksudku begitu…,” kucoba menjernihkan masalah.
“Biarkan aku mati saja!” tukasnya pula sengit. “Percuma berobat terus, tak ada hasilnya itu. Kamu juga tak pernah ikhlas mengurusi aku! Sudah, biarkan aku matiii!” ceracaunya marah sekali, bercucuran airmata, memukuli dadanya, memelototiku dengan sorot mata penuh kebencian.
Ya Robb, ada yang runtuh di relung hatiku!
“Hari ini aku harus berobat dulu, Bou. Izinkan, ya, tolong,” gumamku memelas, meminta pengertiannya.
“Ya, sudah, aku bilang pergi sanaaa, pergi!”
Perasaan terpuruk, pedih dan tak berdaya membalun langkahku sepanjang hari itu. Tapi kukuatkan juga hatiku untuk pergi ke rumah sakit, memeriksakan kandungan. Dokter Indra terheran-heran, menatapku seolah melihat hantu di siang bolong.
“Kehamilan lima bulan baru tiga kali datang ke sini? Lihat, Hb-nya hanya lima persen gram. Ibu ini maunya bagaimana sih? Rawat gabung itu bukan begini caranya. Bukankah Ibu sudah pernah melakukannya dalam dua kehamilan sebelumnya?”
Sebelumnya aku sudah dari klinik Hematologi, Dokter memutuskan secepatnya harus ditransfusi.
“Ibu dirawat saja, ya,” ujar Dokter Indra selang kemudian.
Aku terdiam di bawah tatapan pasien lain dan gugatan para koas. Tak mungkin aku menyodorkan berbagai dalih; tak bisa berobat karena sibuk cari duit, urus rumah tangga, antar ibu mertua bolak-balik ke rumah sakit. Nonsens!
“Maaf, Dok, tak bisa. Aku harus pulang dulu,” kataku pelan memutuskan. Kulihat sekilas Dokter Indra, pengganti Dokter Laila itu, hanya geleng-geleng kepala.
Rasanya pedih hatiku setiap kali melihat ibu hamil didampingi suaminya. Diriku bagaikan terpuruk ke jurang yang tak berbatas dan tak bertepi. Semakin terpuruk lagi, ketika malam harinya, begitu pulang mengajar, suamiku langsung marah-marah. Dikatakannya bahwa aku sudah berdosa besar, menantu durhaka, tak mau mengurus mertua sakit, tak punya perasaan, egois.
“Kau ini memang pantas dibilang si Raja Tega!”
Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kondisiku. Mungkin tahu pun tidak, kalau hari itu istrinya pergi ke rumah sakit. Aku tahu, dia akan selalu menyalahkanku, apapun yang pernah kulakukan, kelihatannya tak ada gunanya membela diri. Aku hanya bisa berurai airmata, menangis diam-diam di atas perantian shalat, sampai anakku Haekal menghampiri. Aku buru-buru menyusut airmata.
“Mending Mama tetirah aja ke Cimahi, ya Ma, ya?” saran Haekal sambil memijiti kaki-kakiku yang membengkak. “Bawa aja si Butet, Ma, gak usah sekolah dulu deh.”
“Kasihan atuh, Bang, masa iya bolos melulu. Baru juga masuk,” sanggahku, kutatap kedua buah hatiku dengan mata membasah.
Aku tak ingin memerlihatkan kesedihan di depan anak-anak. Sekuat daya kutahan agar airmataku tak jatuh. Meski hati terasa tersayat sembilu.
“Butet gak apa-apa kok. Mau Butet antar lagi ke rumah sakit, ya Ma?”
Butet yang semula asyik membaca buku favoritnya, cepat-cepat menghampiri, ikut sibuk memijiti kakiku. Dia baru diterima di kelas Nol Besar. Karena sudah lancar membaca dan menulis dalam usia tiga tahun setengah.
Butet sering bolos, karena mengantarku ke rumah sakit. Lucu dan sangat mengharukan memang. Kalau aku ditransfusi, Butet akan berlagak sibuk menghibur, membacakan buku cerita, mengelus-elus tanganku, memijiti kakiku.
Dokter dan para perawat sering terheran-heran, mengira Butetlah pasien kelainan darah.”Soalnya di poli anak-anak sana, sekarang makin banyak saja anak-anak yang ditransfusi,” kata dokter Made.
“Di sini terbalik, Dok,” kata sahabatku suster Bimbingan.”Bukan anaknya yang sakit, tapi ibunya yang ditungguin anaknya.”
Ah, Cintaku!
Keduanya masih kecil, tapi bagiku sudah terasakan betul bagaimana kasih sayang mereka. Seandainya tak ada mereka, entahlah. Mungkin sejak lama aku sudah lewat. Buah hatiku itulah yang senantiasa mengalirkan semangat, sehingga aku mampu bertahan dan berjibaku untuk meraih ketegaran.
“Gimana, Ma, ke Cimahi ya? Ekal telepon Oma di wartel dulu, ya Ma? Minta Oma jemput Mama.”
“Jangan, Nak, kasihan Oma,” bantahku cepat. “Lagian Mama harus ditransfusi. Kalau di Bandung, kita harus bayar mahal, Nak.”
Di rumah sakit pemerintah di Bandung, Askes buat transfusi memang harus bayar lebih dulu, baru akan diganti sebagian beberapa bulan kemudian. Itupun tidak diganti dengan utuh, hanya 75 persen. Sumber pencarianku saat ini, mengandalkan honorarium cerita anak-anak. Kadang buku anak-anak karyaku dibeli juga oleh Inpres. Ya, dari situlah sebagian besar biaya berobatku tertutupi, termasuk keperluan pribadi lainnya.
Sementara suami, ayah anak-anakku yang dosen itu, sibuk membangun rumah kontrakan. Takkan sudi berbagi, karena selalu dikatakannya semuanya demi masa depan, demi masa depan. Entah masa depan siapa. Bukankah secara logika, tak ada masa depan tanpa pembangunan hari ini?
“Masih bisa tahan, Mama?” Haekal mulai menangis terisak-isak diikuti adiknya.
Aku tak menyahut, kugigit bibirku kuat-kuat agar tak menangis. Kurangkul keduanya erat-erat, dari bibirku kualirkan semangat, cerita-cerita yang menginspirasi, dan doa-doa yang kutemukan di benakku. Sehingga mereka tertidur bergeletakan di sebelah-menyebelahku.
Aku masih terus berusaha keras membendung lautan kepedihan yang setiap saat nyaris jebol, menghancur-leburkan seluruh benteng pertahanan yang sanggup kubangun. Kadang aku terisak perlahan sambil taktiktok menulis dengan si Denok, mesin ketik manual yang telah menemaniku dalam semesta kata sejak muda.
Manakala kelelahan dan kepedihan itu tak tertahankan lagi, biasanya aku segera mengambil air wudhu dan mendirikan shalat lail. Allah, Alah, hanya Allah, kusebut nama-Mu dalam lautan nestapaku.
Siang itu, aku baru memesan tempat untuk ibu mertua, yang bersikeras ingin diopname di RSUD Pasar Rebo. Sesungguhnya abang ipar dan istrinya sedang pulang ke Indonesia. Namun, ajaibnya, Namboru lebih suka diurusi oleh menantunya yang Sunda; suka dipelesetkannya secara sengaja sebagai si Sundal.
Aneh bin ajaib memang, betapa sering aku dibenci, dimarahi, dilecehkan dan disumpah-serapahi. Namun, tampaknya dia begitu tergantung kepadaku, terutama untuk urusan rumah sakit ini.
“Kamu lebih tahu banyak urusan rumah sakit daripada siapapun,” kilahnya.
Untuk menghemat aku harus menggunakan bis umum. Tubuhku yang kecil berperut buncit, terhimpit di antara para penumpang. Beberapa pelajar STM dengan pongah duduk dengan kaki diangkat, riuh-rendah bergosip dan merokok. Banyak penumpang lelaki muda dan kuat pun sama bersikap tak peduli, berlagak tertidur, sampai yang sungguhan mengorok.
Inilah warga kota Metropolitan!
Memasuki kawasan Lenteng Agung, para penumpang mulai lengang, tapi aku masih belum mendapatkan bangku. Sepanjang perjalanan kubalun senantisa dadaku dengan zikrullah.
Allah, Allah, Allah…
Sampai sekonyong-konyong; cekiiiiit!
Mobil mendadak direm sekuat-kuatnya.
“Allahu Akbar!” seruku tertahan.
Dari arah belakang tubuhku dalam sedetik oleng dan tersungkur, perutku menghantam sandaran bangku di deretan tengah. Beeegh!
Detik itupun ada yang bergemuruh dalam dadaku, menimbulkan rasa lemas tak teperi dari ujung-ujung kaki hingga ujung rambut. Bahkan ketika aku sudah menggeloso, tak satu pun penumpang yang berkenan mengulurkan tangannya.
Allah, inikah Jakarta dan ujian-Mu!
Sesampai di rumah, rasanya kepingin buang air kecil. Seeerrrr, serrrr!
Tampaklah warna memerah darah!
“Maaf, Bu, saya gak bisa bantu, lagi demam juga nih,” kata Mpok Onah, tetangga terdekatku saat kusambangi meminta bantuannya, menemaniku ke rumah sakit.
Rumahku terpencil dan jauh dari tetangga lain. Haekal sudah berusaha keras menghubungi Pak RT, Pak RW dan tokoh masyarakat sekitar rumah. Nihil!
Aku bisa memaklumi hal ini, mungkin sekali disebabkan kepala keluarganya yang tak pernah bergaul dengan para tetangga. Suami lebih banyak mengurung diri di kamarnya, sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
“Bang, cobalah pergi ke rumah Uwak,” pintaku kepada anakku Haekal.
“Maaf, Ma, tidak ada siapa-siapa, Mama,” lapor Haekal dengan cucuran keringat dan kecemasan mengental, sepulang dari rumah uwaknya.
“Memangnya ke mana mereka?”
“Kata tetangganya sih, Uwak ajak Ompung jalan-jalan.”
“Apa? Ompungmu kan sakit? Mau diopname besok?”
“Mama kayak gak tahu aja! Mama sih terlalu ngebela-belain. Gak inget kesehatan Mama sendiri,” sesal anak kelas tiga SMP itu.
“Pssst, diamlah, Nak. Kita shalat dan berdoa saja. Mari, Cinta, anak-anak Mama yang saleh dan salehah,” tukasku yang segera dituruti oleh kedua buah hatiku.
Suamiku baru muncul menjelang maghrib. Dia santai saja, ketika diberi tahu kemungkinan aku akan mengalami keguguran. Dia memang tidak mengharapkannya sejak awal. Kalau bisa dilahirkan terserah, tidak bisa pun terserah. Bila mengingat ketakpeduliannya, adakalanya semalaman airmataku terkuras.
Allah, hanya kepada-Mu jua hamba yang lemah ini mengadu.
“Sini, Ma, Ekal gendong saja, ya,” Haekal lagi-lagi menawari kemudahan. Tubuhnya mulai berbentuk, berperawakan sedang dan kekar. Dia rajin olah raga dan ikut taekwondo.
Haekal pasti paham betul kebiasaan ayahnya, kalau jalan bareng kami sering tertinggal jauh di belakang. Sosok tinggi besar itu akan melenggang gagah terpisah dari anak-anak dan istrinya. Seakan-akan dia tak suka kalau ada yang mengaitkan dirinya denganku dan anak-anak, entahlah.
Namun begitulah kenyataannya, entah berapa kali aku dan anakku, ketika mereka masih kugendong, nyaris tertabrak saking repotnya aku dengan beban bawaan. Menggendong anak, menenteng tas besar dan menjinjing mesin ketik, saat akan pulang kampung musim lebaran.
Biasanya bukan penghiburan yang kudapatkan bila aku nyaris celaka. makian, sumpah serapah dan kata-kata melukai akan berhamburan dari mulutnya. Demi Tuhan, langit dan bumi menjadi saksiku!
“Sering aku berpikir luar biasa kamu itu, ya, Pipiet! Hebat ‘kali kau!” tentu saja bukan pujian, melainkan ejekan dan kesinisan.
“Bisa-bisanya kamu sebodoh itu!”
“Bagaimana mungkin kamu menjadi seorang pengarang? Padahal begitu bodohnya kamu!”
Atau: “Dasar gobloook!”
Dan banyak lagi perkataan melecehkan yang hanya bisa kutelan dalam-dalam ke lubuk jiwaku. Biarlah segala kejahiman itu terpendam dan lebur di sana, pikirku.
“Sudahlah, naik becak saja ke depan. Sana, panggilkan becaknya!” perintah suami yang kurasai sangat lamban bertindak. Sehingga aku harus menunggu, menunggu, terus menunggu. Sementara darah yang keluar semakin banyak!
“Kenapa gak langsung ke Cipto saja?” protesku saat kami sampai di rumah sakit Bhakti Yudha, Sawangan.
“Terlalu repot! Kalau bisa di sini ngapain jauh-jauh pula?” kilahnya dengan segala kepongahan, sekaligus kikir dan sangat perhitungan.
Tentu dia tak sudi mengeluarkan banyak uang, demi nyawa istri dan anaknya sekalipun. Seperti sudah kuduga, mereka tak sanggup menanganiku karena pasien kronis kelainan darah. Dokter menyarankan untuk menyewa ambulans. Bisa berakibat fatal kalau terlalu banyak bergerak.
“Ambulans, berapa?” otakku langsung menghitung-hitung rupiah yang harus dikeluarkan.
Demi Tuhan, tak ada uang di tanganku lagi, karena belum sempat mengambil honor. Kulirik gelang 10 gram yang masih membelit pergelangan tanganku. Hanya tinggal benda ini yang berharga, semua perhiasanku telah terjual demi pembangunan rumah di awal kepindahan kami ke Depok dulu.
“Ini gelangku, tak mengapa kita jual saja,” kataku kepada suami yang masih termangu, memikirkan dana pengobatan yang tak bisa ditanggulangi Askes.
“Ah, sudahlah, itu nanti saja! Seharusnya kamu siapkan uang kalau memang mau ke rumah sakit,” ketusnya malah menyalahkanku.
“Kan uangku kemarin sudah habis buat ke rumah sakit juga.”
“Sudahlah! Kita naik angkot saja!” tukasnya kaku, tanpa ekspresi sama sekali.
Wajah perseginya di mataku telah semakin dingin, membeku. Entah ke mana larinya rasa cinta, iba. Oh, bodohnya aku! Tehntu saja tak pernah ada istilah cinta atau iba sekalipun di hatinya untuk diriku, ibu anak-anaknya ini!
“Naik angkot bagaimana, Pa? Kasihan dong Mama,” Haekal sempat mencoba protes keras, airmatanya mulai bercucuran, kentara sekali dia mencemaskan diriku.
“Jangan banyak omong! Anak kecil tahu apa!” sergahnya memelototi Haekal.
“Sudahlah, sudah, angkot ya angkot,” tukasku menengahi sebelum ada yang berubah pikiran.
Bagaimana kalau lelaki itu, ayah anak-anakku itu, tiba-tiba kumat dan meninggalkan kami begitu saja? Bulu romaku merinding hebat mengingat kekejian macam itu!
Entah berapa kali ganti angkutan, kami berempat, Butet pun ikut, menuju RSCM. Pukul delapan, akhirnya sampailah kami di Unit Gawat Darurat. Perasaan dan pikiranku sudah melayang-layang tak karuan, sementara darah terus juga mengocor. Hanya karena kasih-Nya jualah kalau aku masih bisa bertahan sejauh itu.
“Tolong, jaga adikmu, ya Nak. Telepon Oma, ya,” pesanku wanti-wanti, sebelum memasuki ruang perawatan.
Haekal mengangguk, airmatanya sudah bercampur dengan ingus, tapi ditahannya sedemikian rupa. Dia pasti lebih menakutkan kemarahan ayahnya dari apapun. Aku melengos, tak tahan melihat nestapanya. Kuraih putriku, kupeluk tubuhnya yang kecil dan kuciumi pipi-pipinya yang halus bak sutra.
“Butet, Cinta, jangan rewel ya Nak. Harus mau Makan yang banyak, Cinta.”
“Iya, Ma. Butet janji gak bakal nyusahin Abang,” sahutnya sambil bercucuran airmata.
“Doakan Mama, ya anak-anak. Doa seorang anak akan dimakbulkan Allah.”
“Iya Ma, didoakan!” jawab keduanya serempak.           
Kupandangi terus kedua belahan jiwaku itu, hingga brankarku didorong masuk ruang tindakan, sosok mereka pun lenyap dari pandanganku. Dunia luar telah tertinggal di belakangku, giliranku berhadapan dengan segala keputusan medis.
Demi nama-Mu, ya Allah, jeritku hanya mengawang dalam hati. Aku lebih memikirkan anak-anak daripada kondisiku sendiri.
Sekitar pukul sebelas malam, setelah melalui pemeriksaan ini dan itu; rahim diperiksa, diubek-ubek, di-USG dan memang janin tak tertolong lagi.
“Kami pasang transfusi dan infus, ya Bu….”
“Kami pasang selang di rahimnya, ya Bu….”
“Biar janinnya mengecil dan mudah dikeluarkan….”
“Operasinya bisa ditunda, lusa, hari Senin!”
Begitu sibuk perawat dan Dokter di sekitarku. Suara-suara berseliweran, mengambil pilihan dan memutuskan, mengapa mereka nyaris tak melibatkan diriku? Sementara itu, suami memilih pulang dengan dalih kasihan Butet, dan Haekal akan ulangan.
Bagaimana kalau aku mati? Siapa yang akan mengabari kematianku kepada keluargaku? Ya Robb, jauhkan segala pikiran pesimis itu, jeritku mengambah langit dan bumi yang selama ini senantiasa menjadi saksi lakon dan takdirku.
“Siapa yang akan mengambil darah ke PMI Pusat?” tanyaku kepadanya, saat dia diizinkan menemuiku di ruang ICU sebelum berlalu.
“Aku sudah mengupah orang untuk mengambilnya jam satu nanti,” jawabnya dingin sekali. Seperti biasanya dia tak pernah berani membalas tatapan mataku, malah terkesan lebih suka dilayangkan ke segala sudut dengan liarnya.
Aku tak berkomentar lagi. Sepanjang malam itu mataku nyaris tak terpicing. Pendarahan memang telah berhenti, tapi ada yang terus berdarah, berdarah, berdarah, dan luka itu tak kunjung sembuh, jauh di lubuk hatiku.
Senin pagi aku didorong ke ruang operasi untuk dikuret. Sosok itu ternyata sudah ada di lorong, dan ikut mengantarku sampai OK, demikian istilahnya untuk ruang bedah di RSCM.
“Terima kasih sudah datang,” kataku dengan rasa bersyukur.”Di mana anak-anak?”
“Si Haekal mulai ujian semester. Butet ditemani Oma dia. Nanti mereka akan ke sini juga, besuk kamu,” jelasnya terdengar agak ramah.
Belakangan baru kutahu, hatta, dia dimarahi oleh abangnya. Bahkan diingatkan, kondisi istrinya ini akibat kelalaiannya kurang memerhatikan. Mungkin ada juga rasa bersalah abang ipar atas kondisi yang harus kulakoni ini. Intinya, mereka takut disalahkan jika terjadi sesuatu atas diriku. Mati di ruang operasi, umpamanya.
“Ibu sudah selesai dikuret, sudah bersih, ya. Bahkan myoma Ibu juga sudah ikut dibersihkan,” berkata seorang dokter muda ketika aku siuman.
“Oya, kista itu, ya, Dokter, syukurlah,” ujarku agak terkejut. Baru kuingat kembali dokter kandungan beberapa bulan lalu mengatakan bahwa ada kista yang telah berubah menjadi myoma di rahimku.
Setelah semuanya berlalu, kupandangi langit dari balkon lantai tiga tempatku dirawat. Bintang-bintang masih kemerlip di langitku. Seribu, selaksa, niscaya lebih lagi. Namun bagiku, ada dua bintang cemerlang di langitku, yakni dua buah hatiku. Di bahu anak-anakku, di dalam sorot bening mata buah hatiku, kutemukan kekuatan yang maha dahsyat.
Nun di atas sana, masih ada kerlip lain dengan nuansa dan binar-binar kasih-Nya yang selalu menerangi kalbuku. Aku yakin dengan sepenuh jiwa-raga dan imanku.
Ya Allah, hamba masih ingin bertawakal, menjadi hamba-Mu yang tegar dan istiqomah.
Dua bulan kemudian aku kembali ke bagian kandungan karena tidak mengalami haid seperti biasanya. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium, termasuk papsmear. Diberikannya pula beberapa obat dan vitamin. Sebulan, dua, bulan, hingga akhir tahun itu, aku tak jua mendapatkan haid.
“Apakah ada kaitannya dengan penyakit kelainan darahku, ya Dok?” pancingku.
“Hmm, sepertinya demikian.”
“Maksud Anda, saya sudah, ehm….”
“Ya, kemungkinan sekali Ibu sudah mengalami menopause dini.”
Umur 36 menginjak 37, dan aku telah memasuki masa menopause. Apakah harus dirisaukan, sebagaimana wanita-wanita Barat begitu heboh, seperti yang kubaca di buku-buku?
Tidak, aku harus berdamai, menerima kondisi ini apa adanya, legawa saja. Bagaimana tidak, dua kali diriku pernah mengalami kondisi incoma, umur 17 dan 25, para dokter seakan mengisyaratkan diriku tidak punya harapan hidup.
Kenyataannya aku masih mampu melahirkan secara normal. Bukankah itu keajaiban? Ya, aku menganggapnya demikian. Sesuatu yang harus aku terima dan lebih banyak lagi bersyukur.
@@@

Kubuang Gengsi Demi Sebungkus Nasi Rames Untuk Anak

$
0
0

Ilustrasi: Sekarang sudah punya anak sebesar ini, cucuku: Zein

Anno, Jakarta, 1985
Masa ini aku menjalani takdirku sebagai seorang janda dengan satu anak, yakni, putraku Haekal Siregar. Kami tinggal di sebuah rumah petak milik keluarga besar ulama pendiri pesantren Al-Ma'ruf, Cibubur.
Suatu malam di musim hujan, pukul dua dinihari, tiba-tiba air masuk dari lubang-lubang (baru kusadari keberadaannya) di tembok yang menghalangi kamar dengan rumah sebelah. Aku tersentak karena anakku sudah terbangun lebih dulu, kemudian mengguncang-guncang tanganku.
“Mama, kata orang ada banjir,” bisiknya dengan sorot mata ingin tahu dan penasaran.
Samar-samar memang kudengar suara gaduh di luar. Agaknya sungai kecil di belakang kompleks perumahan sewa ini meluap. Aku meloncat dari dipan bertingkat, gegas kunaikkan jagoan kecilku itu ke bagian atas, dan aku berpesan wanti-wanti kepadanya.
“Diam-diam di sini, ya Nak, Cinta.”
“Mama mau ke mana?”
“Mama mau lihat keadaan sebenarnya.”
Tapi akhirnya aku tak sempat lagi melihat-lihat, karena air bagaikan bah menerobos masuk, dalam hitungan menit pun sudah melewati paha. Kuselamatkan barang-barang kami yang tak seberapa. Sesungguhnya yang berharga hanya mesin ketik, baju, sedikit makanan kering dan buku-buku.
“Mama, itu si Mot Monyet! Duh, basah, kasihan!” seru Haekal menunjuk-nunjuk buku favoritnya, serial Mot Monyet yang sudah mengambang di atas permukaan air.
Aku memungut dan memberikannya sambil kubujuk bahwa buku favoritnya pasti bisa diselamatkan. “Kita akan menjemurnya kalau hari sudah terang.”
“Iya, Ma, terimakasih,” gumamnya seraya memandangi gambar Mot Monyet yang mendelong kosong ke arahnya.
Aku memalingkan wajah dan mulai berpikir keras untuk sebuah penyelamatan, tanpa harus membekaskan luka dalam jiwanya. Sementara di luar hujan semakin deras, air kian meluap memasuki rumah petak kami.
Lahaola walla quwwata ila billahi aliyyul adziiim…”
Maka kusingsingkan lengan baju dan mulai berjibaku.
“Hujan datang, hujan datang, banjirnya. Tuhan, jangan lama-lama hujannya. Jangan lama-lama banjirnya, kasihani Mama, kasihani Ekal, kasihani kami, duaan!” celoteh anakku.
Sementara aku berjibaku menyiuki air, membuangnya ke luar rumah, anakku terus berseru-seru menyemangatiku. Kadang aku mendatanginya, mengingatkan agar tidak berisik, kemudian kubuatkan perahu-perahu dari kertas. Dia mempermainkannya dari atas ranjang tingkat dua itu dengan sapu lidi sebagai pengaitnya.
Dua jam berlalu sudah, hujan masih turun bahkan semakin deras, dan air tetaplah bergeming. Keringat, peluh, banjir dan airmata mulai mengaduk-aduk perasaanku. Inilah saat-saat paling sengsara yang belum pernah kami alami.
Ketakutanku sesungguhnya lebih disebabkan sebuah tanggung jawab yang harus kupikul, demi menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku harus jujur, sesungguhnya aku merasa takut sekali tak sanggup menunaikan amanah yang telah diberikan Sang Pencipta di pundakku ini; Anak!
Pikiranku serasa buntu dan membeku. Lelah lahir, lelah batin, kupandangi wajah mungil yng kini tampak kelelahn pula. Sepasang matanya balik menatap sayu ke arahku, tapi mulutnya sudah berhenti mengoceh sejak beberapa saat berselang.
“Sudah ya Ma, sini, kita doa saja,” ajaknya tiba-tiba.
Di situlah, di atas ranjang besi bertingkat, pemberian Emak, kami mengisi waktu menjelang subuh. Aku memeluk tubuh kecil sambil mulutku tak putus berzikir dan berdoa. Seminggu hujan turun terus-menerus, air bagaikan dicurahkan dari langit. Banjir di mana-mana, meluap di kawasan perkampungan belakang kompleks perguruan Islam milik ulama besar itu. Berkali-kali air datang di malam hari, kemudian surut menjelang siang.
Acapkali kami berdua sama sekali tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah air masuk, atau menyiukinya saat banjir datang. Paling kami hanya memandangi pemandangan ajaib itu dari ranjang bertingkat selama berjam-jam, tak jarang harus menahan rasa haus dan lapar hingga air surut kembali.
Suatu petang yang terbebas dari hujan, saat kami sudah kehabisan bekal, tak ada makanan kering, tak ada beras sebutir pun. Kocek pun kosong sama sekali!
“Mama, gak punya uang lagi, ya?” usik anakku
Sepanjang hari itu hanya kuberi semangkuk bubur pemberian tetangga, dan beberapa potong kue basah.
“Iya, Nak. Baru besok pagi kita bisa ke kantor redaksi mengambil honor,” sahutku sambil berpikir keras, bagaimana mendapatkan makanan untuk mengganjal perutnya malam ini.
“Kenapa besok?”
“Ya, naskahnya belum jadi nih.”
Tidak, bukan itu alasannya. Aku tak punya ongkos!
“Oh,” kesahnya mengambang di antara genangan air di bawah kami. Kutahu dia mulai tersiksa dengan bunyi lagu keroncong yang setiap saat diperdengarkan oleh perut kami.
Aku kembali melanjutkan menulis cerita bersambung sambil menekan rasa bersalah yang meruyak. Kulihat sepintas makhluk kecil itu mulai mencari-cari sesuatu untuk melampiaskan pikiran dan perasaannya. Ya, kutahu persis demikian kebiasaannya!
Benar saja, begitu dia berhasil menemukan buku Mot Monyet dan robot-robotan Megaloman, maka dengan cekatan tangannya memainkan si robot.
“Alkisah di zaman sekarang, si Mega lagi musim kebanjiran, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku niscaya mengerimut menahan senyum.
“Emak si Mega lagi sibuk kerja, bikin cerita biar bisa dijual, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku niscaya kian bergetaran, menahan geli.
“Uangnya nanti bakal beli makanan anaknya, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Ah, anak ini bisa saja kalau sudah menghibur ibunya, pikirku. Jari-jemariku semakin sibuk ngebut menulis. Tinggal satu bab lagi dan akhirnya selesai sudah!
“Aduh, si Mega sekarang lagi kelaparan, jrek-jrek jrek jrek, duuuh, duuuh…”
“Soalnya berhari-hari cuma makan bubur… jrek-jrek jrek-jrek… mmm, mmm…”
Dadaku mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak terpengaruh. Jari-jemariku, pikiran dan perasaanku masih berkutat pada ending cerita tentang sebuah keluarga yang berbahagia. Semua novelku berakhir bahagia, demikian kuputuskan pada masa-masa diriku sendiri sarat diterjang kesulitan. Harus bahagia, karena hidup dan perikehidupan adalah harapan!
Ya Robb, kuatkan anakku, jeritku mengawang langit. 
“Adduuh… Tuhan… Ekal kepingin makan. Tuhan, boleh tahu, di mana makanannya?”
Aku masih melanjutkan menulis, tapi tak ada suara apapun lagi dari sebelahku. Kuhentikan berjibaku dengan si Denok, kulirik dalang jejadianku tersayang yang telah membuat ibunya merasa geli.
Ya Allah, ada apa dengan anakku?
Anak itu, buah hatiku tercinta, belahan jiwaku tampak menekuk kedua lututnya, memeluk robotnya erat-erat, sedang buku Mot Monyet sudah terlepas dari tangannya, mengambang di permukaan air yang menggenang di bawah kami. Astaghfirullah!
“Naaak! Cintaaa, maafkan Mama, ya, maafkan Mama!” kuraih dan kupeluk tubuh mungil yang sudah tak tahan rasa laparnya itu erat-erat.
Ada gigilan yang aneh mengalir dari tubuhnya. Ya Tuhan, jangan, jangan biarkan anakku sakit. Jangan saat-saat begini, jangaaan!
Benteng pertahananku pun jebol sudah, air bening meluap dari sudut-sudut mataku. Seolah-olah ingin menyaingi air banjir yang telah menggenangi tempat mukim kami selama berhari-hari.
“Mari, Nak, kita pergi dari sini!”
“Ke mana kita, Ma?” lirihnya lemah saat kugendong dia dengan segala kekuatan yang masih kumiliki. Tak peduli kusibak air sebatas lutut yang telah membuatku merasa terhalang untuk mencari nafkah lebih keras lagi.
“Pssst, diamlah, Sayang. Kita berdoa, kita akan cari makanan,” bisikku di telinganya.
“Siiip!” serunya mengagetkan. “Turunkan Ekal, Ma, nanti limpa Mama sakit lagi,” pintanya pula serius sekali.
Berjalan kaki menembus tanah becek yang tiada terkira, kuperas otakku sedemikian rupa. Bagaimana caranya mendapatkan makanan untuk anakku? Beranikah menggedor rumah adikku En malam-malam begini? Dia yang telah mengusir kami dari rumahnya, hanya karena terucap niatanku untuk rujuk dengan ayah anakku?
Tidak, tidak bisa begitu! Harus kubuktikan bahwa aku mampu mandiri!
Nah, ada warung nasi, tapi dari mana uangnya?
“Tunggu dulu di sini sebentar, ya Nak,” kulepaskan genggaman tangannya beberapa meter dari warung nasi itu.
Tanpa banyak tanya, ini pengecualian, biasanya sangat cerewet, dia mengangguk, membiarkanku berlalu. Maka, kulempar segala perasaan malu, kudatangi pemilik warung nasi.
“Ibu, maaf, bisa minta tolong ya Bu?”
Perempuan paro baya bertubuh subur itu memandangiku. Apakah dia masih mengenaliku? Ada beberapa kali aku membeli makanan ke sini.
“Ya, ada apa?” tanyanya, menatapku keheranan.
“Saya butuh makanan, sebungkus nasi rames, ya Bu. Tapi bayarnya besok, ya Bu, boleh?”
“Oh?”
Tidak, kutekan terus rasa malu itu, mumpung tak ada siapapun selain Ibu Warung.
“Ibu kan kenal saya yang nyewa di rumah Ustad Fahri. Nah, ini, kalau tidak percaya… mmm, saya jaminkan KTP ini, ya Bu.”
“Oalaaa… Neng, Neng, yo wis, pake jamin-jaminan KTP segala,” tukasnya sambil tersenyum ramah.
“Tapi, saya memang lagi…” Kutelan airmata yang seketika terasa asin, dan berjejalan hendak tumpah berderai dari sudut-sudut mataku.
Monggo, mau apa saja. Jangan sungkan-sungkan, Neng.”
Begitu sayang Gusti Allah kepada kami, kataku dalam hati. Maka, kujinjing dua bungkus nasi rames lengkap dengan lauknya; ayam goreng dan perkedel.
“Makanannya dapat, ya Ma?” sambut anakku sambil menatap kantong kresek di tanganku lekat-lekat.
Aku mengangguk dengan mata membasah.
“Horeee! Asyiiik!” serunya berjingkrak kegirangan.
“Pssst, Alhamdulillah,” kataku mengingatkannya, kuajak dia menengadahkan kedua tangan ke atas. Langit bening, kini tanpa aling-aling. Kurasa besok mulai cerah. Bumi dan langit menjadi saksi, bagaimana ibu dan anak ini, malam ini begitu bersyukur.
Tuhan tidak pernah meninggalkan kami, aku yakinkan itu.
Kami bergandengan tangan kembali ke rumah petak, masih terendam oleh air sungai yang meluap ke mana-mana.
Malam itulah aku memutuskan untuk menyerahkan kembali anakku kepada bapaknya, termasuk diriku. Meskipun harus menanggung nestapa selama puluhan tahun kemudian, disebabkan kecurigaan membuta, paranoid yang sudah berurat dan berakar dalam jiwanya.
@@@


Inilah Aku dan Diriku Masih Hidup!

$
0
0


                                                   Islamic Book Fair: Stan Penerbit Luxima

        
Backcover
Di luar banjir mulai surut, tapi di sini, di kamar sewa ukuran tiga kali tiga ada yang terus menggelombang dahsyat. Gelombang lapar dan lelah yang bisa membuat semua penghuninya frustasi. Dadaku mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak terpengaruh.

Jari-jemariku, pikiran dan perasaanku masih berkutat pada akhir cerita sebuah keluarga yang berbahagia. Kuhentikan berjibaku dengan mesin ketikku, kulirik belahan jiwaku yang senantiasa mengobarkan semangat hidupku. Ya Allah, ada apa dengan dia? Anak itu, buah hatiku tercinta tampak menekuk kedua lututnya, buku kesayangannya sudah lepas dari tangannya, mengambang di permukaan air yang menggenang di lantai.

“Pipiet Senja adalah penulis sejati. Dia begitu istiqomah menulis. Saya kagum dengan enerji berkaryanya, dan semangatnya memotivasi generasi muda untuk menulis.” (Habiburrahman El Shirazy, Sastrawan dan Sutradara Film)

“Seorang penulis yang tak pernah lelah berkarya. Bahkan penyakit abadinya pun tak mampu menaklukkannya. Saya belajar banyak dan mengambil inspirasi dari kegigihannya.” (Irwan Kelana, penulis, wartawan HU. Republika)

“Menyandang penyakit abadinya malah menjadikan Pipiet Senja terus hidup dengan tegar. Novel-novelnya menjadi cermin sekaligus penyemangat buat pembacanya. Dia inspirator bagi saya.” (Gola Gong, novelis, pengelola Rumah Dunia, Serang)

“Barangkali, ketegaran akan berbalut dengan keikhlasan. Barangkali, kekuatan akan berbalut dengan keberanian. Dan barangkali, airmata akan berbalut dengan cinta kasih. Pipiet Senja telah membalut semuanya dalam semesta kisah yang dituliskannya melalui pena jiwa ksatria. Sebuah pembelajaran hidup yang sarat makna.” (Fahri Asiza, sahabat kasih perjalanan Pipiet Senja)

“Kemampuan Pipiet Senja untuk menulis sulit kita bantah. Kita tidak meragukan lagi. Buku yang sedang Anda baca sekarang ini merupakan salah satu buktinya. Inilah Saatnya Merevolusi Diri!” (Fauzil Adhim, penulis buku bestseller Indahnya Pernikahan Dini, Yogyakarta)

“Kalau saja kita bisa mengintip isi otak Pipiet Senja, barangkali isinya kata-kata banyak buangeeettt! Semangat terus, Teteh, sampai akhir hayat. Luv U!” (Anneke Puteri, artis, penyair, penggiat Klinik Akting, Cibubur)

“Teh Pipiet Senja bagiku benar-benar sosok kehidupan. Tak ada teori saat bersamanya yang ada hanya melakukan sesuatu yang tak terhindarkan. Siapapun bisa belajar dari sosoknya, apalagi dengan membaca memoarnya.” (M.Irfan Hidayatullah, penulis, dosen UNPAD)

“Seorang penulis yang tak pernah lelah berkarya. Bahkan penyakit abadinya pun tak mampu menaklukkannya. Saya belajar banyak dan mengambil inspirasi dari kegigihannya.” (Irwan Kelana, penulis, wartawan HU. Republika)

      Poliklinik Hematologi; sedang ditransfusi alias ngedrakuli



“Nyokap gw tuh yak, uhuy deh! Perkasa banget urusan cari nafkah buat anak. Nyokap gw juga unik, lucu, suka ngocol, junkies, funky but syar’i. Shhh, nyokap gw tuh gak ada duanya, pendeknya hihuhihu deh, ah!” (Adzimattinur Siregar, putrinya, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

“Mama tipe ibu yang tua di jalan. Kemaren di Mesir, sekarang di Aceh, besok di Bima, lusa tahu-tahu sudah ngejoprak di UGD. Malam depan laptop, subuh depan laptop, siang dan sore kembali ke laptop juga. Hehe! Teknik paksaan Mama: kalau disuruh gak dilaksanakan, neror terus jutaan kali. Sori Mom, Luv U so much, mmhuah!” (Haekal Siregar, putranya, alumni Pascasarjana IT Universitas Indonesia)

“Ibu mertuaku baik hatinya suka kebangetan. Hobinya memberi apapun yang dia punya, termasuk baju yang cuma beberapa biji. Saking kebelet ngasih, gak jarang barang milik anak-menantu dikasihin juga. Hihi.” (Seli Siti Sholihat, menantu, alumni Fakultas MIPA Universitas Indonesia)

“Airmata mengalir ketika kita mencoba menyelami perjalanan hidupnya. Namun bagi saya tak sekedar airmata. Ketegaran, kesabaran, daya juangnya telah memberi berjuta lecutan dan menjelmakan samudra cinta.” (M. Muttaqwiati, penulis, daiyah, Brebes)

“Sosok ini simbol kreativitas sekaligus ketegaran. Keterbatasan fisik adalah hal remeh untuk para pejuang. Pipiet Senja dengan penanya telah membuktikan.” (Afifah Afra, penulis, pengusaha penerbit Indiva, Solo)

“Membaca karya Pipiet Senja seperti menikmati ramuan terbuat dari tawa dan airmata, membuat kita larut dalam suka-duka dunia perempuan Indonesia.” (Kono Nata Kusuma, penulis, mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia)

“Perempuan yang ceria dan penuh semangat hidup.  Perempuan yang kokoh dan tegar menjalani kehidupan, ibu yang tidak pernah menyapih kasih sayang untuk anak-anaknya, nenek yang lucu untuk cucu tercinta. Susunan kata-katanya seperti rona merah kegembiraan di antara mendung hitam kehidupannya. Bravo, Pipiet Senja!” (Bahril Hidayat, penulis Trilogi Memoar Gilakah Aku, Pekanbaru)

“Pipiet Senja ibarat ibu kedua bagiku. Dia berperan besar dalam pengembangan karierku di bidang menulis. Support-nya itu loh, sungguh rrruuuaaaar biasa! Membaca karya-karyanya membuat kita terinspirasi juga gregetan; iiih, si Teteh plis deh, pasrah banget sih digituin, hehe!” (Laura Khalida, penulis buku Minder Itu Nikmat, Lho, Depok)

“Pipiet Senja perempuan kuat yang selalu bersahaja untuk menghasilkan karya. Karya-karyanya selalu menyentuh sisi kehidupan perempuan, sehingga terasa amat dekat dengan kehidupan kita.” (Ali Muakhir, peraih Anugerah Adikarya IKAPI 2007, Bandung)

 “Nama Pipiet Senja kerap terdengar sejak saya kecil, sampai suatu ketika ditakdirkan mengenalnya lebih dekat. Semangat nulisnya itu loh, mantap! Satu hal yang bisa saya katakan tentang dirinya, tak pernah berhenti berkarya di ujung usia.” Cut Januarita, pendidik, Forum Lingkar Pena Nangroe Aceh Darussalam)

“Pipiet Senja seorang perempuan yang konsisten dengan kesederhanaan, baik dalam kehidupan maupun karya-karyanya. Namun, siapa yang bisa menampik bahwa di balik kesederhanaan itu tersimpan suatu kekuatan maha?” Teddy SNADA, penyair, munsyid, Pondok Cabe)

“Saya menemukan keteguhan sekaligus kelembutan yang patut menjadi contoh. Setiap kata yang ditulisnya sarat dengan Emakna yang tulus, hanya bisa keluar dari hati yang tulus pula.“(Arul Khan, penulis dan pengelola www.menulisyuk.com)

“Bagiku, Pipiet Senja adalah teladan nyata akan kesemangatan untuk bertahan hidup, ketawakalan luar biasa, ketiadaan rasa putuas asa menghadapi sakit yang belum ada obatnya kecuali ditransfusi. Dan ketegaran tiada banding menghadapi maut. Ia tetap terus memberi dan memberi untuk bangsa ini. Masya Allahu Robbi!” (Awy’ Ameer Qolawun, Aktivis FLp Saudi Arabia)

“Semasa remaja, saya membayangkan seorang perempuan sedang menatap serombongan burung pipit yang pulang ke sarang kala senja. Terbetik dalam benak, mengapa ia tak memilih jatuh cinta pada bunga, pelangi atau warna merah jambu. Sesuatu yang seharusnya mencerminkan bahagia bagi seorang perempuan. Kelak barulah saya tahu setelah mengenalnya lebih akrab. Pipiet Senja adalah pantulan dari jiwa burung-burung kecil itu. Pikiran, pergulatan hidup, dan keinginannya untuk jujur menghadapi kehidupan, tak ubahnya seperti burung pipit yang lebih memilih alam ketimbang sangkar emas. Dalam Semesta Cinta, Pipiet Senja kembali mengukir napas yang sama. Ia menelusuri kembali lembaran masa silam, merasakan lagi setiap tikaman duka, cercahan bahagia, dan menuliskannya. Bukan untuk mengutuk atau menyesali. Semata hanya untuk berbagi bahwa hidup bukan selamanya pelangi.” (Julie Nava, penulis, personal branding planner, tinggal di Michigan, AS)

“Dari karya-karyanya saya belajar bagaimana menjadi tegar. Pipiet Senja sungguh pengisah sejati sekaligus inspirator saya dalam menulis. Semangatnya dalam berbagi ilmu dengan penulis pemula sangat mengagumkan. Patutlah dia digelari Teroris, tukang neror menulis, dan emaknya kaum BMI.” (Siti Allie, penulis, Ketua Forum Lingkar Pena Taiwan)

“Pipiet Senja bak malaikat bumi yang dikirim-Nya untukku. Darinya aku belajar memaknai ketegaran dan ketangguhan seorang muslimah. Darinya aku belajar kesabaran, keikhlasan, ketabahan dari segala bentuk ujian yang diberikan Allah Swt. Aku pun belajar darinya untuk memaafkan segala bentuk kezaliman yang menimpa diri. Teteh wanita tegar yang tak pernah lelah menyuntikkan semangat kepadaku untuk terus menulis dan berkarya. Sungguh, terimakasih, Teteh, aku mencintaimu karena Allah!” (Ida Raihan, purna BMI Hong Kong, penulis novel Cintaku di Negeri Jackie Chan)

“Aku dan kawan-kawan BMI Taiwan, suka memanggilnya Manini. Tidak perlu lagi diragukan karyanya. Kalau belum ketemu, pasti mengira masih muda, karena bahasanya yang fresh, gaul dan selalu update. Sukses selalu untuk Manini!” (Ryan Ferdian Lau, singer, penulis, BMI Taiwan)

“Thank’s a lot to Pipiet Senja, engkau datang di saat diriku merasa down, terpuruk. Berkat teror semangat menulis darimu, akhirnya aku berani juga mengirimkan cerpen ke Bilik Sastra VOI RRI, dan engkau membincangnya dengan manis. Luv U so much, emchuuuah!” (NH.Lulu, BMI, penulis, aktivis Forum Lingkar Pena Hong Kong)

Catatan:
Terimakasih kepada Anda semua yang telah ikhlas memberikan testimoninya untuk endorse buku saya, Dalam Semesta Cinta, edisi revisi yang telah di update, untuk mengabarkan kepada dunia bahwa; "Inilah aku dan diriku masih hidup!"

Bodi Aduhay Bohay: Mojang Sunda Bahenol Nerkom

$
0
0

                             Ilustrasi: Ini mah pasustri asli Sunda pake kostum penari Bali


Spesial untuk urang Sunda dan yang mengaku cinta bahasa karuhun.
Mangga geura ieu tengetan: 


1. Spending a lot of time with doing nothing = Ngajedog

2. Got hit by a truck that is moving backward = Katabrak treuk

3. Talk too much about unimportant things = Ngacapruk

4. Fall backward and then hit own head = Ngajengkang

5. Falling forward and may hit own face = Tikusruk

6. A small sharp thing, embedded inside one finger's skin = Kasura

7. Have much less knowledge = Belegug

8. A little chair made from woods = Jojodog

9. People who always annoy other people = Si Kehed

1o. Man or woman who has an ugly face = Goreng patut

1i.Just take rest but didn't sleep = Gogoleran

12.Meals made from rice which is covering by banana leaf and have much of surprise inside =    Leupeut

13. The situation when your brain need more oxygen = Heuay

14. A woman who have hillarious body like a Spanish guitar Bahenol nerkom

15. People who have thought more mature than her age = Kokolot begog

16. A Type of People Who Have a Long Chin = Cameuh

17. A something that can radiate the sparkling light = Buricak Burinong

18. A very small plate, usually used for pad of coffee cup = Pisin

19. There's a little something disgusting in your eyes = Cileuh

2o. That moment when you walking after the rain of your shoes = Jeblog.

Bookgrafi: 40 Tahun Pipiet Senja Berkarya

$
0
0

 Museum Chiang Kai Sek, Taipei





Prolog
Meskipun saat ini saya sedang dalam perawatan, kadang harus inap, kadang boleh pula rawat jalan, tetapi tetap semangat dan optimis. Saya terus menulis, menulis dan selalu menulis dalam serbuan komplikasi penyakit bawaan, lever, jantung dan diabetus melitus.

Saya pun selalu berharap dan berdoa, memohon kepada Sang Maha Pemberi, agar kiranya masih diberikan waktu untuk saya bisa berkarya dan sehat seperti biasa. Dalam hal ini, tak mengapa penyakit bawaan harus ditransfusi darah secara berkala, toh saya telah melakoninya sepanjang hidupku.

Ya, semoga saja satu demi satu yang error dalam tubuh ringkih ini menyingkir, raib entah ke mana!

Maka, ini saya catat dan update kembali semua buku yang pernah saya tulis dan diterbitkan.

Kepada para pembaca saya ucapkan terimakasih, karena tanpa Anda semua yang berkenan mengapresiasi karya saya, niscaya saya ini bukanlah siapa-siapa.
Nah, salam budaya dan kreatif: Terus Berjuang!
Pipiet Senja


@@@


Karya di awal Karier Kepenulisan era '75
1. Biru Yang Biru (Karya Nusantara, 1978)


2. Sepotong Hati di Sudut Kamar (Sinar Kasih, 1979)
3. Serenada Cinta (Rosda Karya, 1980)
4. Mawar Mekar di Taman Ligar (Rosda Karya, 1980)
5. Nyanyian Pagi Lautan (Alam Budaya,1982)
6. Payung Tak Terkembang (Aries Lima,1983)
7. Masih Ada Mentari Esok (Aries Lima,1983)
8. Mencoba Untuk Bertahan (Aries Lima,1983)
9. Selendang Sutra Dewangga (Aries Lima, 1984)
10. Orang-orang Terasing (Selecta Group,1985)
11. Adzimattinur (Selecta Group,1985)
12. Kembang Elok Rimba Tampomas (Selecta Group,1985)

Buku Anak-anak;


1. Prahara Cimahi (Margi Wahyu, 1991)
2. Jimbo dan Anak Jin (Margi Wahyu, 1992)
3. Si Boyot Sang Penyelamat (Margi Wahyu, 1993)
4. Jerko dan Raja Jin (Margi Wahyu, 1993)
5. Kisah Seekor Mawas (Margi Wahyu, 1994)
6. Rumah Idaman (Margi Wahyu, 1994)
7. Keluarga Besar di Sudut Gang (Margi Wahyu, 1994)
8. Bunga-Bunga Surga (Margi Wahyu, 1994)
9. Si Hitam (Margi Wahyu, 1994)
10. Bip Bip dan Boboy (Margi Wahyu, 1995)
11. Pentas Untuk Adinda (Margi Wahyu, 1995)
12. Buntalan Ajaib (Margi Wahyu, 1996)
13. Sanghiyang Wisnukara (Margi Wahyu, 1996)
14. Nunik Sang Maestro (Margi Wahyu, 1997)
15. Melati Untuk Ibu Negara, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
16. Nyanyian Tanah Air, puisi anak (Margi Wahyu, 1997)
17. Rumah Idaman, edisi revisi (Gema Insani Press, 2002)
18. Putri Tangan Emas (Zikrul Hakim, 2004)
19. Bip Bip dan Boboy, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
20. Buntalan Ajaib, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
21. Jenderal Kancil (Zikrul Hakim, 2004)
22. Jenderal Jerko (Zikrul Hakim, 2004)
23. Jenderal Nyungsep (DAR! Mizan, 2004)
24. Masih Ada Hari Esok (Zikrul Hakim, 2004)
25. Lukisan Kenangan (Zikrul Hakim, 2004)
26. Si Hitam, edisi revisi (Zikrul Hakim, 2004)
27. Ikan Beranting Emas (Zikrul Hakim, 2004)
28. Kwartet Jang Jahid (Dian Rakyat, 2006)

Novel Islami


1. Namaku May Sarah (Asy-Syaamil, 2001)
2. Riak Hati Garsini (Asy-Syaamil, 2002)
3. Dan Senja Pun Begitu Indah (Asy-Syaamil, 2002)
4. Serpihan Hati (DAR! Mizan, 2002)
5. Menggapai Kasih-Mu (DAR! Mizan, 2002)
6. Memoar; Cahaya di Kalbuku (DAR! Mizan, 2002)
7. Trilogi Kalbu (DAR! Mizan, 2003)
8. Trilogi Nurani (DAR! Mizan, 2003)
9. Trilogi Cahaya (DAR! Mizan, 2003)
10. Lukisan Rembulan (DAR! Mizan, 2003)
11. Rembulan Sepasi (Gema Insani Press, 2002)
12. Kidung Kembara (Gema Insani Press, 2002)
13. Tembang Lara (Gema Insani, 2003)
14. Kisi Hati Bulani, bareng Nurul F Huda (FBA Press, 2003)
15. Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim, 2003)
16. Rembulan di Laguna, duet  dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
17. Pilar Kasih, novelet duet dengan HE.Yassin (Zikrul Hakim, 2004)
18. Lukisan Perkawinan, kolaborasi keluarga (Zikrul Hakim, 2004)
19. Lakon Kita Cinta (MVM, 2004)
20. Lukisan Bidadari (Lingkar Pena Publishing, 2004)
21. Sang Rocker; Perjalanan Sunyi (Beranda, 2004)
22. 9000 Bintang (Cakrawala Publishing, 2004)
23. Meretas Ungu (Gema Insani Press, 2005)
24. Langit Jingga Hatiku  (Gema Insani Press, 2005)
25. Mr. Dee One & Tante Centil duet dengan Fahri Asiza (ZH, 2005)
26. Lapak-Lapak Metropolitan (KBP, 2006)
27. Pembersih Lantai Sastra (KBP, 2006)
28. Bagaimana Aku Bertahan (KBP, 2006)
29. The Legend Of Snada (KBP, 2006)
30. La Dilla (Zikrul Hakim, 2006)
31. Biarkan Aku Menangis (Duha Publishing, 2006)
32. Kupenuhi Janji (Duha Publishing, 2007)
33. Mom & Me #1, duet dengan Adzimattinur Siregar (Indiva, 2007)
34. Bloggermania, duet dengan Adzimattinur Siregar (Zikrul Hakim, 2008)
35. Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku! (Zikrul Hakim, 2008)

36. Dalam Semesta Cinta (Jendela, 2009)
37. Jejak Cinta Sevilla (Jendela, 2010)
38. Jurang Keadilan (Jendela, 2010)
39. Catatan Cinta Ibu dan Anak, duet dengan Adzimattinur Siregar (Jendela, 2010)
40. Kepada YTH Presiden RI (Jendela, 2011)
41. Menoreh Janji di Tanah Suci (KPG, 2011)
42. Cinta Dalam Sujudku (Luxima, 2013)
43. Tertawa dan Menangis TKW Hong Kong, duet dnegan Adzimattinur Siregar)
43. Imperium (dalam proses editing)

Antologi Cerpen Bersama


1. Rumah Tanpa Cinta (Alam Budaya, 1983)
2. Bunga Rampai Penulis Perempuan Indonesia (Bentang, 2001)
3. Suatu Petang di Kafe Kuningan (FBA Press, 2001)
4. Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002)
5. Merah di Jenin (FBA Press, 2002)
6. Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press, 2002) 
7. Kado Pernikahan (Asy-Syaamil, 2002)
8. Semua Atas Nama Cinta (Ghalia, 2003)
9. Bulan Kertas (FBA Press, 2003) 
10. Kanagan (Geger Sunten, 2003)
11. Surga Yang Membisu (Zikrul Hakim, 2003)
12. Menjaring Angin (Zikrul Hakim, 2004)
13. Kalung Dari Gunung (Bestari, 2004)
14. Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2004)
15. Berlalu Bersama Angin (Senayan Abadi, 2004)
16. Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2004)
17. Matahari Tak Pernah Sendiri I (LPPH, 2004)
18. Lelaki Semesta (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
19. Sahabat Pelangi (Lingkar Pena Publishing House, 2004)
20. Dan Bintang Pun Tersenyum (Gema Insani Press, 2005)
21. Membasuh Kalbu (Gema Insani Press, 2005) 
22. Jendela Cinta (Gema Insani, 2006)
23. Ketika Cinta Menemukanmu (Gema Insani, 2006)
24. Surat Untuk Abang (Cakrawala Publishing, 2006)
25. Selusin kompilasi cerpen anak Bobo (Pustaka Bobo 1997-2004)
26. Catatan Hati Seorang Istri (LPPH, 2007)

27. Jangan Jadi Perempuan Cengeng (Indiva, 2008)
28. Desperate Of Wife (LPPH, 2008)


29. Persembahan Cinta (Zikrul Hakim, 2008)
30. Ungu Pernikahan (Zikrul Hakim, 2008)

31. 30 Wanita Pilihan (Jendela, 2009)
32. Aku Mencintaimu Karena Allah (Grasindo, 2010)
33. Duhai Muslimah Bersyukurlah (Jendela, 2010)
34. Rahasia Penulis Hebat (Gramedia, 2011)
35. Bersyukur Menjadi Perempuan (Indie)
36. Jadikan Aku Nyai (proses editing)

Dalam Bahasa Sunda


1. Jalur Sutra Jalur Cinta, cerber (Majalah Sundamidang, 2008)


2. Ratusan cerpen dan puluhan novel 



yang dimuat secara bersambung di majalah   Mangle 1990-2006

In-Coma: Ketika Berada di Ambang Kematian

$
0
0



Anno, 2009
Aku masih terus berlari, berlari, berlari untuk ke sekian kalinya, tiada pernah sudi henti. Aku melintasi lorong-lorong yang panjang sekali bak tiada berujung. Aku pun melewati lembah, ngarai, jurang kemudian tiba-tiba terperosok di dalamnya, dan sungguh harus berjuang keras untuk bisa kembali ke tempat yang aman.

Duhai, lelah, lelahnya seolah takkan pernah berkesudah!
Jangan pernah menyerah, ayo, bangkitlah!
Ada seberkas cahaya yang mengintip malu-malu di lelangitan kalbuku.

Aku sebagai selembar nyawa tak berharga, maka menggeliat perlahan. Kurentangkan tangan-tangan jasmaniku, sayap-sayap ruhaniku dengan semesta enerji yang masih kumiliki.
“Bagaimana ini, Dok, tensinya belum stabil….”
“Tidak teraba….”
“Tapi HB-nya mulai meningkat, ini sudah 5,2….”
“Setelah ditransfusi sebanyak itu?”
“Iya, Dok….”

“Berapa trombositnya?”
“Mulai naik juga, Dok, sudah 2000-an….”
Oh, itu masih sangat rendah, standar terakhir yang disebut oleh dokter hematologiku dalam kisaran; 150 ribuan!
Nah, sekarang aku harus bangun, haruuuuus!

Beberapa saat lamanya kukumpulkan segenap enerji yang masih kumiliki.  Ini sebuah perjuangan dahsyat yang harus kutempuh, di antara rasa sakit luar iasa di sekujur tubuhku, aku berjuang, berjuang dan berjuang tanpa henti.

Kemudian, enerji itu kusalurkan ke bagian kaki-kakiku yang telah terbebas dari selang infus. Kaki kanan, ayo, bergeraklah!

Aku merasa berhasil mengangkat kakiku, kemudian menghempaskannya kuat-kuat. Seketika seberkas cahaya menerobos melalui kisi-kisi hati, menyergap jantungku, dan menohok langsung memori di kepalaku. 

Cahaya yang maha indah adalah mengingat kembali keberadaan kita, siapa diri kita, nama kita, dan keluarga kita. Ya Allah, sungguh!

Aku bisa mengenang kembali dua bintangku, dua belahan jiwaku; Haekal dan Butet. Dan menantuku Seli serta dua cucuku; Zein dan Zia!
“Janji, ya, janjiiiii….. Mamaniniii!”

Nah, itu suara Zein yang pernah memintaku berjanji. Agar aku sehat, kemudian mengajak dia jalan-jalan kembali, dan membelikannya mobil-mobilan.

“Yang gedeee bangeeet!” katanya serasa terngiang-ngiang di telingaku.
“Zeiiiin! Ziaaaa!” Kudengar jeritanku sendiri, menggema ke mana-mana.
“Haekaaaal! Buteeeet!”

Ini juga jeritanku, dan kusadari itu sesungguhnya tidak baik, tidak sopan. Aku telah mengganggu ketenangan siapapun!
Seseorang menepuk-nepuk pipiku agak kuat. “Bu, Bu…, sadar, ya Bu!”
“Iya, Dokter. Aku sadar benar ini. Aku seorang nenek, seorang ibu, pasien kelainan darah bawaan,” aku kembali mengerang dan meracau. “Dokter, mohon, maafkan aku lahir batin, ya. Mohon ikhlasnya, ya, izinkan anakku datang ke sini, kumohooon….”

Tak ada jawaban, entah berapa lama itu berlangsung. Mereka tak memedulikan permintaanku. Seorang perawat berjanji akan mengabari keluargaku, jika mereka ada di luar ruangan ICU. 

Namun, aku tak tahu apakah ia melaksanakan janjinya, atau bahkan melupakannya sama sekali.

Otakku terus berputar, mencari akal, bagaimana caranya menarik perhatian dokter. Seorang dokter muda, bukan dokter Kris, entah siapa namanya, tahu-tahu telah berdiri di samping ranjangku. Kurasa ia seangkatan dengan dokter Kris.

“Ibu, jangan hebohan terus dong. Itu tidak baik untuk kondisi Ibu sendiri. Juga sudah mengganggu pasien-pasien lainnya di ICU ini….”

Aku tidak menyahut sampai ia berlalu. Otakku masih terus berputar, terus memikirkan banyak hal, merekam semua hal di sekitarku. Di sini waktu tak bisa kuperkirakan, entah siang entah malam, semuanya tak jauh berbeda.

Nuansanya senantiasa berbau kesakitan, penderitaan dan kematian. Kutahu, satu demi satu di sebelah-menyebelahku akhirnya menyerah, berjabat tangan dengan sang malaikat maut yang segera membawanya pergi, entah ke mana.

Aku selalu berusaha menanyakan waktu kepada perawat, beberapa kali, tak peduli disebut nyinyir dan cerewet.

“Ini bulan suci bulan Ramadhan, Bu,” kata seorang perawat muda.
“Oya, aku ingat sekarang, terima kasih, Suster.”

Sesaat aku merasa senang, seperti telah menemukan suatu celah baru. Tentang waktu, lihat saja bagaimana mereka berbuka puasa atau makan sahur. Namun, hanya satu-dua orang saja yang berpuasa di sini. Selebihnya senang sekali bicara tentang makanan sesuka hatinya, kemudian mengajak makan dan minum di ruangan sebelah, tempat mereka rehat.

Mereka, para perawat di sini, ternyata punya kebiasaan yang sama dengan ibu-ibu tetanggaku di kampung Cikumpa, yakni; ngerumpi. Kalau sudah kumat ngerumpi, woooow!

Mulai dari menggunjingkan artis yang selingkuh, Gus Dur yang dirawat di lantai 3, doyan menghilang setiap tengah malam, membandingkan ponsel masing-masing sampai urusan THR.

Suatu saat seorang dokter lelaki, kulihat dengan jelas tagnamedi dadanya; dokter Hadi, melakukan pemeriksaan sekilas terhadap diriku.

“Sekarang, apa yang Ibu rasakan?” tanyanya.
Sesungguhnya aku merasa mulai tenang. Mungkin masih dalam pengaruh obat anti nyeri dosis tinggi. Pokoknya, aku merasa “baik-baik” saja, terbebas dari rasa sakit yang merejam sekujur tubuh.

Namun, entah mengapa, aku iseng menyahut begini; “Semuanya sakit dan pikiranku kacau-balau.”

“Oh, itu biasa, Bu. Namanya juga habis dioperasi besar. Sabar, ya Bu.”
Aku segera mengacungkan tangan kiriku. Telapak tangan dan jari-jemariku yang tertutup perban tampak bulat-bulat, serasa kebas, nyaris tak bisa kurasai sakitnya lagi.

“Lihat, Dokter, mengapa tangan-tanganku jadi bengkak begini? Aku masih ingat, asalnya tidak seperti ini,” ujarku bernada menggugat.

Ia mencermati tanganku, kaki-kakiku, wajahku kemudian berkata: “Oke, Bu, nanti aku beri obatnya, ya. Biar tidak bengkak-bengkak lagi.”

Tak berapa lama kemudian seorang perawat mendatangiku. Ia membawa tiga spuit berisi tiga macam obat, sekaligus diinjeksikan kepadaku melalui vena.
“Ini disuntik apa, Suster?”
“Antibiotik dan vitamin C, Bu.”

“Aduuuuh!” seruku tertahan, rasa pedas dan sakit dalam sekejap menyerbu urat-urat nadiku. Hawa panas pun terasa meruap di tenggorokan dan hidungku.
“Maaf, obat apaan sih ini, Suster?” tanyaku penasaran.
“Ibu ini kok cerewet, ya. Tadi kan sudah dikasih tahu….”

“Belum jelas, apa?” buruku mencegahnya pergi.
“Itu tadi, Bu, namanya lasik, antibiotik dan vitamin C. Sudah, ya Bu, masih banyak kerjaan nih!”

Mengapa aku diberi lasik? Setahuku obat itu sering diberikan kepada pasien gagal ginjal yang pernah tetanggaan denganku di lantai 8. Lagipula, aku ini pasien kelainan darah bawaan. 

Tidak boleh diberi obat sembarangan. Pemberian banyak obat antibiotik malah mengakibatkan HB-ku hancur!
Ini konspirasi!

Mereka memang tak menyukaiku, hanya karena aku terlalu banyak bertanya, nyinyir dan cerewet. Suka membuat kehebohan dengan jeritan-jeritan, erangan-erangan tak berguna!
Mereka hendak melenyapkan diriku!

Coba, lihatlah, itu dokter Mira, berkasak-kusuk dengan rekan-rekannya. Mereka mengganti catatan-catatan di statusku, ya, menggantinya dengan keterangan yang mengacaukan. Tidak sampai di situ saja, bahkan mereka kemudian menukar statusku dengan status pasien di sebelahku.

Aduh, mereka akan menghilangkan keberadaanku dari tempat ini!

Sejak saat ini, segalanya kembali ngedrop, demikian menurut perasaanku. Takaran darahku bergeming di tataran 5, meskipun entah berapa puluh kantong darah telah ditransfusikan. Trombositku seolah-olah stag di angka 3000.

Sesungguhnya yang paling mencemaskanku adalah tensiku melejit ke angka; 200/120. Bapakku meninggal karena struk, aku anaknya yang sulung, mungkinkah mewarisi “kestrukannya”, ya?

Meskipun demikian, aku masih mencatatnya dalam memori otakku, berbagai hal yang berseliweran di sekitarku. Pasien kanker rahim di seberangku dinyatakan telah “lewat”. 

Demikian pula pasien kanker otak di sebelahku, menyusul beberapa menit setelahnya.
Sementara pasien lelaki di ujung sana, setiap saat menjerit, mengerang dan mengaduh, lebih hebat daripada yang pernah kulakukan tanpa sadar. Ia terus jua meracau.

“Dokteeeer! Susteeer! Sini, biar kutandatangani di atas segel bermaterai. Aku ini seorang komisaris perusahaan bonafid! Aku mau tawarkan 100 juta, asalkan kalian bisa menghilangkan rasa sakitku ini. Toloong!”

Kurasa takkan ada yang memedulikannya. Karena semua pasien dianggap tidak waras otaknya. Kami, para pasien di ICU ini hanya dianggap sebagai nomer, atau objek separo hidup yang boleh diperlakukan dengan semena-mena.

Mengapa bisa demikian? Ya, karena pasien dan keluarganya telah menandatangani persetujuan tindakan apapun yang akan diambil oleh tim medis.

Menit demi menit, jam demi jam terus merangkak. Kondisiku dinyatakan dalam istilah medis sebagai pracoma. Namun, otakku terus jua bekerja, berputar, merangkai-rangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Apabila aku sedang tidak kehilangan kesadaran, maka kugemakan zikrullah dalam dadaku. Aku mengulang-ulang bacaan surah pendek, terutama ayat Kursi dan Al Fatihah.

Anehnya, ada suara yang sering menyuarakan bahwa aku akan keluar dari situasi jahim ini jika bisa merapal surah Yassin. Maka, aku berjuang keras untuk membaca surah Yassin, meskipun selalu terbalik-balik dan tiada pernah hafal seluruhnya. Detik inilah penyesalanku yang terdalam muncul, mengapa sampai seumurku ini, aku tak mampu menghafal surah Yassin? 

Sungguh, bercucuran air mataku sambil berbaring dalam kesakitan, penyesalan yang pedih-perih, luka maha. Ampunilah hamba yang lemah ini, ya Allah, ampunillah, demikian kugeremangkan perasaan sesal dan permintaan ampun kepada Sang Khalik.

Ada suatu masa di mana diriku terbebas dari siksaan rasa nyeri itu. Tiba-tiba aku mendapati diriku berada di tengah gelombang manusia yang sedang melakukan tawaf di Tanah Suci. Bersama rombongan perdana Smart Hajj Cordova, begitu bahagia rasanya aku bisa berjalan, mengelilingi Kabah. Perasaan itu, kebahagiaan yang memuncak telah menyilih segala siksa, segala pedih-perih pasca operasi.

Subhanallah, nikmatnya tiada tepermanai!
Sayang sekali, saat-saat seperti itu hanya sekejap-sekejap kurasai. Dan aku kembali dilambungkan ke dimensi aneh, lorong-lorong berbau anyir, berbau darah, berbau nanah.

Seekor naga raksasa siap mengerkah-ngerkah diriku tanpa ampun!
Ini malam kedua pasca operasi. Jam dinding, ya, akhirnya mataku bisa melihat jam dinding menempel di tembok sebelah kananku. Pukul enam sore, kurasa, tampak beberapa perawat masuk ke ruangan rehat. Mungkin mereka hendak berbuka puasa.

Seketika aku melihat kesibukan luar biasa terjadi di sekitar ranjangku.
“Hei, hei, apa yang kalian perbuat?” seruku tak dapat menahan rasa terkejut dan ingin tahu.
“Tenang saja, ya Bu. Ibu sudah boleh dilap, iya kan, dokter Mira?” cetus seorang perawat, kutandai ia paling judes di antara semua perawat di ruangan ini. Tanpa menunggu jawabannya. Tiba-tiba ia menggulingkan tubuhku ke arah kanan.
Gubraaaakkkk!

“Ampun, sakitnya luar biasa!” lengkingku.
“Si ibu ini sudah cerewet, cengeng pula!”
“Aduh, jangan! Aku tak mau dilap! Tak mau diapa-apakan!” seruku tak peduli, mulai merasa panik.

Beberapa menit sebelumnya, dokter cantik, atasannnya dokter Mira mengatakan kepadaku: “Belum boleh banyak bergerak, ya Bu. Ibu baru menjalani bedah umum. Jangan dilap dulu, jangan dipakaikan sabun, parfum. Intinya harus serba suci hama!”

Perawat itu tak memedulikanku. Ia menggosok-gosok punggungku dengan cara yang kasar sekali. Bukan sebab sakit digaruk bengis di punggung yang kurasai, melainkan sakit lain di dalam dada ini. Perlakuan kasar, galak dan tanpa perasaan yang kuterima begini, sungguh melukai hatiku yang terdalam.

Aku merasa tidak dianggap sebagai sosok manusia yang punya pikiran, harga diri, kehormatan dan martabat.
 “Kita sudah baik-baik memperlakukan Ibu. Tapi Ibu malah jahat begitu, ya!” dengusnya serasa mendesir di belakang telingaku.

Sementara tangannya terus jua menggosokkan handuk kecil ke punggungku, semakin kuat tanpa perasaan sama sekali.

Bahkan naga yang selama ini mengangkang di atas badanku langsung menghilang, entah ke mana. Aku tak tahu lagi, apakah lebih baik dikangkangi seekor naga atau dianiayai seorang perawat.

“Suster, mohon maaf kalau aku ada kekhilafan, ya,” aku mencoba berbaik sangka, bertutur kata dengan santun. “Maafkan juga keluargaku….”
“Sudahlah, Bu, penyesalannya sama sekali gak berguna. Munafik, tahu!”

Astaghfirullah al adzim, gumamku membatin. Suaranya terdengar menyimpan kebencian dan antipati yang dalam terhadap diriku.

“Mengapa membenciku, Suster? Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?”
“Percumalah dikasih tahu, sebentar lagi juga diulang! Sudah, jangan banyak omong lagi, ya!”
“Suster…, jangan zalimi aku, ya, kumohooon….”

“Huh, heboh melulu kerjaannya, capeeee deh!” sahutnya seraya ngeloyor,menjauhiku.
Seorang rekannya dari belakang meja pembatas, sudut jaga perawat, berbicara agak keras: “Ada apalagi tuh si nenek lampir?”

Apa? Dia mengataiku nenek lampir?
“Dia bilang, kita semuanya ini tukang jagal!”
Masya Allah, apa yang dikatakannya Itu?
“Hiiiiih, makin gelow sajah mulutnya!”
“Memangnya dia minta apalagi, Kak?” timpah rekannya yang lain.
“Mau be-a-be, katanya, minta dipompa!”

“Ya wis, biar aku saja!”
Perawat itu mendorong rak kecil berisi obat-obatan dan peralatan medis, seperti jarum, perban, alkohol dan lainnya. Dalam sekejap ia telah berada di sisi kanan ranjangku. Siap melaksanakan hasratnya; menyingkirkan diriku!

“Sudah saatnya minum obat. Tapi sebelum minum obat, harus makan dulu, ya!” ujarnya sambil menyambar semacam gayung kecil terbuat dari almunium, berisi air bening.
“Nah, ini minum, ya, minum yang banyak! Habiskan, hmm, habiskan!” ceracaunya seraya menarik selang kecil yang menggantung di leherku.

Ia melakukan semuanya itu seperti seorang peternak memberi minum sapi-sapinya. Persis dan…, byuuuur!

Entah berapa liter air digelontorkan langsung ke lambungku. Dalam hitungan detik aku sudah bisa merasai pengaruhnya. Serasa ada yang runtuh di dadaku, kemudian ambruk, meluncur terus ke bagian bawahku, membarengi rasa sakit luar biasa!

“Allahu Akbaaar…., sakiiiit!” Aku melolong-lolong kesakitan.
Ia tak memedulikanku, tangannya kini menyambar botol obat bernama dulkolax. “Dan ini obatnya, biar gampang buang air besar, oke!”  

Lagi: byuuuur!
Aku terus melolong-lolong, menjeritkan asma-Nya, hingga suaraku kembali tertelan di tenggorokan, dan hanya bisa mengucap lirih: “Allaaah…. Allaaah….”

Bayangan anak-anakku melintas di tampuk mataku. Haekal dan Butet menggedor-gedor pintu ICU. Keduanya berteriak-teriak, ya, akhirnya mereka teringat akan ibunya ini. Kudengar dengan jelas, keduanya menyebut-nyebut nama asliku, nama penaku dan sebutan terakhirku di rumah: Manini!

Namun, tiada yang memedulikan mereka. Bahkan ketika seorang perawat senior memberi intruksi, agar nomer 9 diberi morphin lagi, untuk ke-3 kalinya. Sejauh itu tiada pula yang berkenan mengulurkan bantuan untukku.

Maka, aku pun kembali terbang, melayang-layang, merambah jomantara, melintasi rimba raya, membelah samudera luka, penuh dengan darah, penuh dengan nanah.

Dimanakah gerangan benteng cahayaku, duhai semesta gulita?

@@@

Doaku Menyertai Setiap Langkah yang Engkau Jejakkan, Cinta

$
0
0

Ilustrasi; Kondisiku saat ini, 56 tahun dengan komplikasi


Sabtu, 10 Pebruari 1990
Petang itu, aku sudah seminggu berada di ruang isolasi karena asmaku kambuh. 
Banyak anggota keluarga besarku, dari pihak ayahku datang membesuk. 

Sesungguhnya hanya melihat dari balik kaca pembatas, pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke ruangan kami. 

Kurasa di ruangan itu dirikulah satu-satunya pasien yang jarang dibesuk. Tiap jam besuk aku lebih banyak hanya sendirian, kulewatkan untuk membaca atau mencatat di buku harian.

Sejak ibu dan ayahku memutuskan menemani Haekal, bantu-bantu sang menantu yang sedang membangun rumah, ibu mertuaku tinggal di rumah ipar. Selalu terjadi pertengkaran dan keributan apabila semuanya menyatu di rumah. 

Kurasa dengan keberadaan orang tuaku, rumah menjadi rapi dan terutama ada yang menyediakan makanan. 

Suami semakin sibuk dengan urusannya, mengajar dan melanjutkan pembangunan rumah. Dia hampir tak punya waktu untuk membesukku. Jadi biasanya ibukulah yang mondar-mandir mengurus keperluanku di rumah sakit.

“Semoga cepat melahirkan, ya,” kata istri Mang Ipin, adik bungsu ayahku, yang datang bersama pamanku dan seorang adiknya. Dia membawakanku oleh-oleh lusinan bolu kukus buatannya sendiri.

“Terima kasih, Tante,” ujarku terharu, usianya sebaya denganku tapi dia belum dikaruniai keturunan, walaupun sebelas tahun sudah pernikahan mereka.

Semuanya mendoakanku sebelum pulang. Demikian pula ayahku, diulurkannya tangannya melalui celah jendela, kemudian ditempelkannya di perutku. 

Dia merapalkan doanya dan meniupkan semangatnya melalui jari-jemari, serasa meresap ke dalam kandunganku.

Minggu ke 35, menurut perkiraan dokter empat pekan lagi. Namun, begitu aku kembali ke ranjang firasat itu telah mendering… Bintangku sebentar lagi akan muncul!

Ada flek-flek dan sedikit bercak darah menyertai buangan air di kloset. Kuambil air wudhu dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. 

Aku disiapkan untuk caesar, mengingat limpa bengkak, asma dan jantungku yang tidak aman. Tapi aku kembali ke tempat tidur dengan tenang tanpa melapor ke dokter jaga.

Logika awamku, jika dulu pun aku bisa melaluinya tanpa caesar, mengapa kini tidak?

Setengah jam, satu jam berlalu; dan kontraksi awal terjadi!
“Sejak kapan, kenapa baru ngasih tahu sekarang, Bu?” sesal koas Mita terkejut saat kuberi tahu kemungkinan diriku akan melahirkan malam ini. 

“Ini harus dilaporkan ke dokter Laila…”

“Dokter Laila lagi seminar di Makassar,” entah siapa yang menyahut.
“Ini pasiennya…”
“Ya, sudahlah… kan ada dokter Mita…”
“Pssst, serius dong!”

Sayup-sayup kudengar seseorang bersenandung dari kejauhan: “Malam minggu kelabu, bintang-bintang pun sendu…”

Tapi bintangku harus tersenyum, bantahku dalam hati. Sementara para koas mulai sibuk memasang peralatan medis ke tubuhku. 

Sehingga dalam sekejap saja sekujur tubuhku sudah dikerubuti berbagai peralatan ajaib itu; infus dua macam yang putih dan kuning, selang oksigen di hidung, dan entah apalagi di perut dan dadaku…

Kulirik jam dinding di tembok yang setentangan dengan tempat tidurku. 
Pukul tujuh, kontraksi awal disusul kontraksi demi kontraksi berikutnya, kadang berlangsung serasa lama, adakalanya hanya sebentar, tetapi semuanya memang menguras enerji. 

Kupejamkan mata, semuanya telah kupasrahkan… La haola wala quwwatta…

“Baguuus… sedikit lagi, Bu, sedikit lagiii!”
“Sudah kelihatan kepalanya… ayoooo!”
“Aduuuh, kenapa meremas tangankuuu!”
“Maaf… hhh, hhh… Allahu Akbaaar!”

Broool…. Woaaa… Alhamdulillah…
“Anak perempuan, Bu…”

Kubuka mata, mencari-cari sosok mungil yang kudamba. Dia melintasi kepalaku dengan cepat, digendong seorang bidan yang segera melarikannya ke ruangan rehabilitasi bayi pasca-lahir. 

Beberapa jenak kubiarkan mereka mengurusiku, menjahit rahimku yang robek entah berapa belas jahitan.

Kuhirup aura kelahiran bintangku dalam hening yang mendenging di kuping-kupingku. Pandanganku buram, meredup, mengelam. Kurasa aku setengah pingsan, entahlah!

“Mintakan air teh manis panas sama keluarganya di luar sana!”
Aku menanti, menanti dan terus menanti semuanya menjadi normal kembali. 

Seorang koas menyodorkan air teh manis panas dalam plastik. Agaknya ibuku dan ayahku yang setia menanti, berlarian menuruni tangga, dan mencari pedagang minuman panas.

Air mataku bersimbah deras mengenang kasih sayang mereka. Kunikmati air teh manis dari Emak dan Bapak itu sebagai anugerah Ilahi yang tak teperi setelah melahirkan seorang bayi perempuan.

Terima kasih, Bapak, terima kasih, Emak, semoga Allah Swt memberkahi kalian senantiasa, selamat di dunia dan akhirat, doaku mengawang langit malam biru bening. 

Tiada warna kelabu, tiada rona sendu, dan waktu berlalu sebagaimana galibnya malam panjang.

Beberapa koas kemudian mengerumuniku, melakukan interviu seputar penyakit bawaan yang kusandang. Mereka sedang melakukan pemeriksaan ketat terhadap bayiku. 

Meskipun aku merengek ingin segera mendekapnya, menyusuinya dan memandangi wajahnya sepuasnya. 

Aku harus menanti dan bersabar lagi agaknya.
“Ini anaknya, Bu, silakan, sudah boleh disusui,” dokter Mita sendiri akhirnya yang menyodorkan bayiku, tepat tengah malam.

“Alhamdulillah, terima kasih, dokter sayang,” ucapku gemetar menahan perasaan yang mengharu-biru.

Kuraih sosok merah dalam balutan kain hijau itu dengan dada dibalun buncahan rindu dan damba. Lama sekali kupandangi wajahnya, begitu mungil, begitu merah. Aduhai!

“Hidungmu kelewat mungil, ya Nak,” bisikku sambil menciumi ubun-ubunnya, kutiupkan asma Allah untuk pertama kalinya ke kupingnya.

Aroma harum kencur meruap dari rambutnya yang hitam lebat, bahkan di pipi-pipinya tampak rambut-rambut halus. Mungkin karena selama kehamilannya aku sangat menyukai minum air kelapa hijau.

“Kakeknya sudah mengazankannya tadi,” berkata dokter Mita.
Aku tercenung. 

Dulu, Haekal diazankan oleh Ompung, kakek dari pihak suami. Kedua buah hati, sepasang bintangku mengalami nasib serupa. 
Tidak diazankan oleh ayahnya. Tak mengapa, selamat datang bintangku. 

Doa dan pengharapanku akan selalu menyertai setiap detak napasmu, setiap jejak yang engkau langkahkan; semangat!

Bayi perempuaninilah yang kini menjadi sosok tangguh, paling bisa kuandalkan jika diriku berada dalam kondisi krisis di UGD. 

Dia kuberi nama: Adzimattinur Siregar. Ayahnya menambahkan nama kakek, uwak, dan marganya, maka menjadi; Adzimattinur Karibun Nuraini Siregar.
***



KDRT: Sekali Itu Baru Gigi-Gigi Yang Copot

$
0
0

 Ilustrasi: diunduh dari www.duniapustaka.com



Anno, 1985
 Lembaran baru, masa-masa pernikahan yang kedua kalinya ini pun ternyata tak seperti yang kubayangkan.

Ya Allahu Akbar, mengapa masih saja dibalun oleh kemelut?

Masalah pertama muncul dari perilaku suami dari hari ke hari memerlihatkan super egoisnya; ketakpercayaan, kecemburuan, kecurigaan yang membuta, sekarang parahnya selalu berakhir dengan tindak kekerasan. Ya, kekerasan dalam rumah tanggaku pun mewarnai hari-hariku.

Masalah kedua muncul dari ibu mertuaku yang selalu ingin ikut campur urusan rumah tangga. Namun, itu masih bisa kutahankan, bagaimana pun penghinaan yang harus kuterima dari ibu suamiku itu, tak mengapa. Kuanggap dia telah sepuh, mungkin sudah memasuki masa pikun.

“Jadi, kita sebagai anak muda harus banyak memahaminya, banyak memaafkannya,” demikian terngiang kembali wejangan ayahku.
Tabiat suami yang pencemburu dan pencuriga parah itu sungguh menyiksa lahir batin, jiwa dan ragaku.

“Jangan kamu rusak adikku itu dengan kejalanganmu!” tudingnya keras, menikam hatiku yang terdalam.

Adik satu-satunya itu, seorang ayah dari dua anak yang menumpang di rumah kontrakan kami. Begitu kami memutuskan untuk membangun lahan di perkampungan Cikumpa, suami mempekerjakan adiknya untuk membuat sumur.

Dia mengatakan lebih baik uangnya diberikan kepada adik daripada kepada kuli. Adiknya itu dibantu oleh seorang keponakannya yang juga datang dari kampungnya di Tapanuli Selatan. 

Aku menyerahkan semuanya kepada suami. Aku hanya berusaha mencari dana dengan menjual naskah-naskahku kepada penerbit.
“Kenapa bicara begitu hina terhadapku?”
“Karena kamu memang tak bisa kupercaya!”

Entah berapa kali lagi aku harus mematuhi permintaannya untuk bersumpah setia, selalu dengan kesaksian Al Quran. Sebanyak itu aku bersumpah, tetapi sebanyak itu pula dia menyakiti hatiku, menghancurkan kehormatanku dengan tudingan-tudingannya yang tak masuk akal.

“Pokoknya, kalau mau rusak, ya, rusaklah dirimu sendiri! Jangan pernah libatkan adik kandungku, oke!” sergahnya dengan wajah kepiting rebus.

“Wow! Apa gak salah tuh? Tanpa dirusak siapapun, adikmu itu memang sudah rusak!” seruku dengan hati panas.

Itu memang benar, entah berapa orang yang telah melaporkan kelakuan adiknya yang suka mengganggu perempuan. Makanya dibawa dari kampung, dia sedang bermasalah dengan dua perkawinan yang kandas.

Saat itu, dia baru saja memulangkan istrinya yang kedua, konon, karena kesukaannya yang mata keranjang dan terlalu menurut terhadap ibunya. Maksudnya dalam konteks negatif, jika kata ibunya harus menceraikan istri, maka dia akan melakukannya tanpa membantah!

“Jangan lancang, ya, tutup mulutmu itu!”
“Aku berhak bicara apapun di rumah ini! Bukankah ini rumah yang kukontrak dengan uangku sendiri?” sindirku kian panas hati.

“Diamlah kau!” serunya menggeram.
“Aku takkan diam jika membela kebenaran…”
Plaaak, plaaakkk!

Dua pukulan keras menghantam wajahku dengan telak. Aku menjerit kesakitan. Haekal terloncat dan berusaha menggapaiku.

“Diam kamu, anak kecil jangan ikut-ikut!” ancamnya dengan lahar angkara yang bisa membunuh jiwa seorang anak kecil.

“Jangan, jangan sakiti Mama, kasihan, Pa,” suaranya terdengar lebih merupakan erangan daripada seruan.

Aku mengawasi gerak-gerik lelaki itu. Ya, aku sudah bersumpah, apapun yang terjadi aku akan menjadi benteng anakku!

Meskipun tubuhku harus hancur-lebur, jiwaku luluh-lantak. Demi Allah, takkan kubiarkan dia menyakiti anakku!

Sekali itu, dia tak melanjutkan aksinya, langsung pergi lagi. Dia sedang menyelesaikan S1 yang bertahun-tahun tertunda. Tanpa dukungan finansial dariku, makanan dan keperluan sehari-hari yang harus kutanggung, kemungkinan sekali mimpinya itu takkan pernah terkabulkan.

“Anakku, Cinta, dengarkan Mama, ya Nak,” kataku setelah kuraih tubuh anakku yang meringkuk di sudut kamar, terasa gemetar saat berada dalam dekapanku.
“Mama, tidak apa-apa?” tanyanya seolah tak mendengarku,  matanya mencari-cari tapak yang mungkin membekas di wajahku.

“Tidak apa-apa, Nak.  Sekarang dengar, Nak, Mama mohon kepadamu, ya Cintaku….”
“Mama jangan mohon-mohon segala,” rintihnya.
“Harus, dengar sekali lagi, Mama mohon. Kalau Mama dan Papa lagi berantem, Ekal jangan pernah mendekat, jangan pernah, jangan pernah! Pergilah jauh-jauh, ya Nak, ya, sungguh Mama mohon….”

“Tapi, bagaimana kalau Mama diapa-apakan?”
“Tak mengapa, Cintaku. Mama akan menghadapinya sendiri, sepakat ya Nak, sepakat?”

Aku tak tahu apakah dia memahami perkataanku atau sebaliknya membuatnya bingung, ketakutan dan ngeri. Kurasa, aku telah melakukan suatu ikhtiar, sesuatu yang dating dari naluri keibuanku.

Ya, aku acapkali harus mensugesti otak anakku. Mengatakan berulang kali, ratusan dan ribuan kali; bahwa yang terjadi di depan matanya itu tidak pernah ada, tidak pernah ada, tidak pernah ada. Semuanya akan baik-baik saja!

Situasi yang kuhadapi ternyata lebih parah dari bayanganku. Di sini, aku tak punya pembela, para tetangga warga Depok asli itu sungguh sama sekali asing bagiku. Mereka terkesan lebih suka mencemooh dan iri terhadap para pendatang seperti kami.

Sementara keluargaku, sampai beberapa waktu kemudian, tak seorang pun yang muncul. Kecuali surat-surat Emak, itupun isinya hanya berupa keluhan; tak punya duit, dan menuntutku untuk membantu biaya sekolah adik-adik. 

Sesuatu yang telah membuat suamiku berang setengah mati, hingga menuntutku untuk bersumpah; bahwa aku takkan pernah mengeluarkan duit sepeser pun tanpa sepengetahuan dan atas izinnya!

Suatu hari, ketika aku sedang menyelesaikan sebuah novel yang akan dimuat secara berkala di salah satu majalah Selecta Grup. Ruang kerjaku, sebuah meja belajar yang kubeli dari loak, terletak di sudut kamar. 

Tak jauh dari situ, anakku asyik pula membaca buku sambil berbaringan di lantai.
Ya, aku sedang asyik-masyuk, mengarungi semesta kata, meraih selaksa mimpi dan harapan demi inspirasi yang bermakna untuk pembaca. Tiba-tiba tanpa babibu, braaakkk!

Pintu kamar ditendang keras sekali hingga menimbulkan suara yang menggelegar dahsyat di kupingku.

“Dasar perempuan murahan! Perempuan jalaaang! Tak tahu malulah kau, setan, iblis betina yang merasuki otak dan hatimu itu…”

Belum sempat kutata keterkejutanku, tak sempat pula kutanya alasannya, begitu selesai menyemburkan kata-kata beracunnya itu langsung; braaak!

Dia telah menghantam meja, mesin ketik pun kontan terjungkal, kertas berceceran. Itulah hasil kerjaku selama berbulan-bulan, kini berserak ke segala penjuru kamar!

Baaak, buuuk, buuuk… deegggh… desss!

Pukulan beruntun tanpa mampu kutahan menyergap diriku, menghantam dada, kepala, tengkuk, kaki, paha dan entah apalagi. Tubuhku limbung, kucoba meraih sesuatu, tapi yang kulihat sosok mungil kesayanganku itu telah bangkit, bergerak cepat sekali ke arahku.

Ya Allah, mau apa dia?
“Jangan, Nak, sana pergiii!” seruku tertahan.

Telanjur, dia telah meraihnya dan melemparkannya ke atas kasur!
“Ibliiiiis!” jeritku meradang tak tertahankan lagi. “Jangan sakiti anakku, jangan sakiti anak kecil, setan, biadab! Pecundang parah!”

Kurasa jeritanku yang meraung-raung bagaikan hewan terluka, berhasil mengejutkannya, terbukti dia berhenti melakukan aksinya. Aku yang telah terjajar, berjuang keras untuk bangkit, kemudian merangkak ke arah anakku. 

Begitu berhasil menyatukan tangan kami, kuhela tubuhnya agar mendekatiku dan aku mendekapnya, mendekapnya erat-erat.

Bukankah aku telah bersumpah untuk memasang badan di antara lelaki jahim itu dengan tubuh mungil buah hatiku? Demi Allah, ke mana sumpah atas nama Tuhan itu?

“Maafkan Mama, Nak, maafkan. Mama tak bisa melindungimu, ya Nak, maafkan, ampuni, ampunilah Mama,” erangku menciumi wajahnya yang jelas syok berat.

Berhenti sejenak agaknya bukan berarti akan mengakhirinya. Lelaki itu, orang yang telah mengucap sumpah saat walimahan (kedua!) itu, bagaikan tersengat kembali. Ia bergerak menghampiri kami, sekali ini aku berhasil meraih kekuatan, entah dari mana kekuatan itu!

“Jangan sakiti anak tak berdosa ini, demi Allah, demi Rasulullah!” seruku lantang, kurasa menggema ke pelosok tetangga di kawasan itu.

Namun, ajaib sekali!
Kutahu persis, tiada seorang pun sosok yang  muncul, sekadar menanyakan keadaanku dan anakku. Tiada, tiada seorang pun!
Taaap!

Tangannya telanjur telah terangkat, tapi aku berhasil menangkapnya. Kemudian menggigit kuat-kuat kepalan tangan yang semula diarahkan ke kepala anakku itu.

Kreeekkk!
“Lepaskaan!” teriaknya, terdengar bunyi gemeretak sekali lagi; kreeek!

Aku melepaskannya saat terasa gigi-gigiku menancap sesuatu yang keras, mungkin di tulangnya, entahlah. Sosok itu kemudian bergegas mengambil sesuatu dari lemari, kurasa uang yang selalu disembunyikannya. Sementara mulutnya terus menceracau.

“Apa salahku?” bisikku nyaris tak terdengar.
“Kami tadi berpapasan di jalan….”
“Siapa?”
“Adikku tentu saja! Tampak dia sudah rapi, pasti baru mandi keramas. Dia bersenandung, kulihat bahagia sekali. Berapa kali kamu sudah memuaskannya, hah?!”

“Astaghfirullah al adziiim…”
Kuseru nama-Mu dengan segenap azamku, seluruh keyakinan akan Kasih-Mu, demi nama-Mu; aku sungguh tak rela!

Tubuhku menggigil hebat dan berujung dengan perasaan hampa luar biasa. Seluruh jiwa-ragaku seolah membeku, kukatupkan rahangku yang terasa sakit. Ada darah yang mulai merembes melalui gigi-gigiku.  Kurasa dua gigi depanku nyaris lepas, entahlah.
Tapi aku tak sudi lagi mengaduh, tak sudi!

Karena aku tak menjawabnya, dia pergi sambil terus menyumpah serapahiku, menudingku sebagai tukang selingkuh, perempuan keji yang telah menyeleweng dengan adik ipar sendiri!

“Semoga Tuhan membalas perbuatanmu ini. Demi Allah, sumpah serapahmu akan berbalik menjadi bumerang kepada dirimu,” desisku menyertai langkahnya.

Bunyi derap kakinya terasa berdebam-debam, menjauhi kami. Bunyi langkah yang di kemudian hari lama sekali menjadi momok menakutkan dalam hidupku. Selalu menimbulkan perasaan ngeri tak terjabarkan setiap kali mendengarnya. Sebuah luka hati yang lama tersembuhkan!

Kemarahan terasa telah mencapai ubun-ubunku. Namun, sesungguhnya, rasa sakit yang melanda sekujur tubuhku tak seberapa dibandingkan dengan kepedihan yang menghunjam di hatiku, begitu dalam, sangat dalam!

Beberapa menit aku masih memeluk anakku, tak tahu harus berbuat apa, sampai kemudian kurasai ada yang menetes dari sudut-sudut mulutku. Aku menyusutnya dengan jari-jemariku sambil kucermati sesuatu yang terasa basah dan asin; darah!

Anakku mendongak dan memandangi wajahku lekat-lekat. Sepasang matanya yang bening seketika membelalak, tangannya tampak gemetar saat terangkat dan menyentuh wajahku.

“Mama berdarah, dari mulut Mama ada darah mengalir. Tuhan! Bagaimana ini, bagaimana? Kita ke Dokter saja, ya Ma, ya?” ceracaunya terdengar panik.

Aku meraih telapak tangannya, kugenggam erat-erat. “Gak perlu, Nak, ini hanya, mm, kayaknya gigi Mama mau copot.”
“Copot? Gigi Mama yang mana, ayo, coba lihat?”

Kututup mulutku dengan telapak tangan. “Gak apa-apa, bukan copot…”
Kurasa-rasai sesuatu, dua, ya dua gigi depan yang bergerak-gerak, goyang di mulutku.
“Cuma bergeser, baik, sudahlah, kita pergi ke Dokter, Nak!”

Kalau aku memutuskan pergi ke Dokter itu bukan karena dua gigiku yang hendak berlepasan. Kurasa, lebih karena kekhawatiranku dengan jiwa anakku. Ya, kusadari betul tentu ada imbas kekerasan itu terhadap jiwanya yang mungil. Hanya menuruti naluri seorang ibu, kubawa anakku keluar rumah dan menjauhi TKP. Setidaknya untuk sementara.

“Ini obat untuk menguatkan gigi-giginya. Kita lihat dalam beberapa  hari ini, kalau masih goyang juga terpaksa harus dicabut,” demikian kata Dokter gigi yang kami datangi.

Gigi-gigi itu sempat menjadi masalah buatku selama beberapa bulan kemudian. Hingga akhirnya aku merelakannya untuk melepaskannya; selamat tinggal gigi-gigi tersayang!

Sejak saat itu aku memakai dua gigi palsu untuk menutupi ompong di usia menjelang 30-an.
@@@

Putriku Nyaris Hilang di RSCM

$
0
0


 Ilustrasi: Putriku saat advokasi BMI Hong Kong

            
Anno 1992
Sejak bayi anak-anakku sudah terbiasa kubawa ke mana pun pergi. Terutama jika aku ke rumah sakit, dan bekerja yang tak lain adalah jualan naskah ke kantor-kantor redaksi.
Di masa Balita Haekal, kami sempat hidup terpisah dari sosok yang pantas disebut ayah. 

Bersama Haekal, kami berdua pernah mengalami masa-masa yang sangat nestapa. Tidak demikian halnya dengan putriku. Ia hampir tiap saat bisa jumpa dan bergaul dengan ayahnya.

Tiap tiga bulan sekali aku harus meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit, kontrol darah yang akan berujung dengan transfusi. Tiga bulan pertama, kudatangkan neneknya dari Cimahi, dan menjagai bayiku selama aku berurusan dengan rumah sakit. 

Demikian pula dua-tiga kali transfusi berikutnya, kalau bukan adikku tentu ibuku yang kudatangkan dari Cimahi. Sampai ayahku dipanggil Sang Pencipta beberapa bulan yang lalu.

“Sekarang sudah besar dia, bawa sajalah ke rumah sakit!” berkata suami saat Butet berumur dua tahun. “Kita jangan selalu merepotkan orang tua.”

“Yah, memang hanya itu yang bisa kulakukan,” sahutku seraya menatap Butet yang belum lepas menetek.

Lagipula, sejak ayahku meninggal, ibuku masih belum mau bepergian. Tapi adikku En di Holland, bulan depan akan mengirimkan tiket, demi mendatangkan ibu kami ke Negeri Kincir Angin. 

Kepergian Bapak yang mendadak, karena stroke itu, memang sangat berpengaruh pada ibuku. Dia terbiasa bergantung kepada suami, terutama dalam hal keuangan. Kini meskipun mendapatkan tunjangan pensiun, bagi ibuku tidaklah cukup. Karena masih harus membiayai kuliah si bungsu Mie.

“Biar Ekal gak masuk sekolah saja, ya Ma,” cetus Haekal saat melihat Butet dipersiapkan untuk menemaniku ke rumah sakit.

Dia pasti tahu persis bagaimana kondisi rumah sakit, tradisi antri-mengantri yang mengular panjang.

“Jangan!” sergah ayahnya keras. “Sebentar lagi kamu ujian, mau gak lulus apa?”
“Insya Allah lulus, ya Nak. Ekal kan rajin ngapalin dan berdoa, ya kan Nak?” hiburku sambil mengusap kepalanya, kulihat wajahnya mengelam mendengar hardikan ayahnya.

Memang aneh sekali, ayahnya tak pernah merasa bangga dengan prestasi-prestasi yang berhasil diperjuangkan anak itu. Setiap tahun juara umum, kecuali waktu kelas empat, itupun karena dicurangi gurunya. 

Sejak adiknya lahir, tekanan dan penyiksaan itu pun semakin sering dialami putraku.
Betapa aku sering dihantui perasaan bersalah, sebab tak mampu sepenuhnya melindunginya dari penyiksaan ayahnya. 

Biasanya Butet dengan naluri kanak-kanaknya akan menangis menjerit-jerit, hingga geger. dan lepaslah penyiksaan itu, setidaknya untuk sementara.

“Butet jangan jauh-jauh dari Mama, ya?” Demikian entah untuk ke berapa kalinya kubisikkan ke kuping putriku sepanjang perjalanan menuju RSCM. Kami melaluinya dengan tiga kali angkot dan sekali bemo.

“Tet gak auh, iyah, hmm, gak, auh-auh Mama, yah? Mama atit iyuuut, atiiit! Cian Mama, ciaaan,” sahut Butet masih balelol ngomongnya alias sulit dipahami, kecuali oleh ibunya.

Dia mengenakan baju kembang-kembang merah, sepatu merah dan sepasang kuciran rambut yang juga dipita warna merah. Dia sungguh menggemaskan, apalagi kalau sudah mengoceh sambil mengiming-iming buku dongeng favoritnya; Angsa si Buruk Rupa.

Dia bisa mengecoh orang-orang di sekitarnya dengan berlagak pandai membaca, kemudian ditambah dengan gerak-gerik badannya yang heboh bukan main.

“Sudah bisa baca, ya Bu?” tanya seorang ibu saat kami di bemo, terheran-heran memandangi kelakuan Butet.

“Eh, ini, belum sih, Bu, cuma seneng bolak-balik gambarnya.”
“Ceritanya dia mendongeng ‘kali, ya? Lucuuu!” ibu itu menjawil pipi Butet dengan gemas, sebelum turun dan kami berpisah di halte Salemba.

Sepagi itu suasana rumah sakit nasional sudah ramai. Orang-orang dari pelosok kota, bahkan banyak juga yang dari luar kotasudah berdatangan. Untuk ke sekian kalinya kubisikkan di telinga Butet; “Jangan jauh-jauh dari Mama, ya Nak. Nanti ada yang nyulik!”

Entah dipahami atau tidak, pokoknya naluri keibuanku mengisyaratkan harus demikian.
Aku berdiri di antara antrian di loket Askes lantai dua. Awalnya aku bersikukuh untuk menggendongnya. 

Tapi lama-kelamaan terasa berat dan menyakitkan, bagian limpaku yang bengkak tak bisa dibebani terlalu lama. Kuturunkan Butet bersamaan dengan giliranku maju ke depan loket. 

Tanganku masih menggenggam erat pergelangannya saat petugas menanyai berbagai hal; mana kartu Askes yang asli, rujukan Puskesmas, dan bla, bla!

Tanpa kusadari cekalanku terlepas, tapi masih kudengar celotehnya, jadi aku masih tenang dan berkeyakinan anakku tidak jauh-jauh. Mungkin sekitar sepuluh menit, usai sudah urusan disetujui dan distempel Askes. Maka kutengok ke kiri, ke kanan, depan dan belakang… Butet menghilang!

Dengan panik aku berlari ke sana ke mari sambil berseru-seru memanggil namanya. Kutanyai orang-orang di sekitarku, mereka malah menyalahkanku, mengapa membiarkan anak kecil lepas dari pengawasanku.

“Salahnya sendiri, yeeeh, masa anak kecil dibiarin lepas dari pengawasan kita?”
“Bisa-bisa sudah diangkut orang tuh!”
“Iya, diculik, dijadikan gembel!”

Semakin panik saja kucari-cari sosok kesayanganku itu. Kususuri sepanjang lorong di lantai dua, segala bayangan menakutkan seketika berseliweran di otakku.

Bagaimana kalau dia sampai hilang, diculik orang, dijual, ditukar beras? Bagaimana amuk bapaknya, dan terutama bagaimana tanggung jawabku sebagai seorang ibu?
Aduh, aku lebih baik mati daripada harus kehilangan putriku!

Kuturuni tangga dan menuju bagian informasi. Tak sabar mendengar berbagai pertayaan, bukan eksyennya. Akhirnya sambil bercucuran air mata kubalikkan badanku, kembali ke lantai dua.

Niscaya kelakuanku sudah bagaikan orang gila, kuteriakkan namanya tanpa malu-malu, kutanya semua orang yang melintas di hadapanku, semuanya saja tanpa terkecuali!

“Oh, anak perempuan kecil yang pake kunciran dua itu, ya?” kata seorang ibu yang kutemui dekat loket Askes.
“Iya, pake kunciran dua, benar itu! Di mana, Bu, di mana Ibu lihat dia?”
“Di sana dekat tangga, lagi main sendirian…”

Degggh!
Aku berlari terbanting-banting menuju tangga. Beggh, bahuku membentur tiang bersamaan suara teriakan: “Maaa… Maaa… Ciaaan, Mama atiiit!”
Itu dia suara putriku!

Kucermati sosok mungil itu digendong seorang pegawai rumah sakit. Senyumnya mengembang begitu melihatku, matanya berkaca-kaca. Ya Allah, terima kasih!

“Ini anakku, putriku, belahan jiwaku. Ya Allah, subhanallah walhamdulillahi Allahu Akbar! Bapak, maaf, berikan sama saya, ya Pak,” pintaku meracau, perpaduan cemas, takut dan rasa bersalah.

Pegawai itu tertawa dan menyerahkan Butet ke pangkuanku. “Iya, Bu, tadi lagi turun-naik tangga saja, sendirian, gelosoran begi8tu. Ditanya anak siapa, gak ngerti jawabannya. Saya ambil saja, takut nyasar ke mana-mana. Ini juga rencananya mau diberitakan di informasi,” tuturnya ramah.

Sampai lupa mengucapkan terima kasih, aku segera sibuk menciumi wajah putriku, mendekapnya erat-erat dalam dadaku.

“Gak ada yang mengantar, Bu?” tanyanya sebelum berpisah.
“Eh, ya, dia ini yang mengantar saya berobat, Pak.”
“Ibu ini ada-ada saja. Hati-hati, Bu, jangan sampai diculik orang. Banyak kejadian anak hilang loh…”

Beberapa saat lamanya kutenteramkan diri kami berdua. Butet menempel kuat-kuat di dadaku, menetek yang sesungguhnya tak ada air susunya lagi sejak lama. Dia hanya mengempeng.

Detik itu pun aku bersumpah dalam hati: “Dengar, Anakku, Cintaku, Butetku… Mama bersumpah atas asma Allah Sang Pengasih; Mama gak akan pernah membiarkanmu jauh-jauh lagi, sampai kamu mandiri!”

Di poliklinik Hematologi sepertinya semua orang sudah mengenalku, demikian pula anak-anakku. Keduanya harus melakoni menjadi pengantar ibu mereka, menunggui diriku sepanjang ditransfusi.

“Waaa, ini baru seru! Lucu sekali, ya! Kalau di poliklinik Thalassemia sanaibu-ibu mengantar anaknya. Di sini anak yang mengantar ibunya ditransfusi,” seloroh seorang dokter.

Sambil ditransfusi biasanya aku akan membacakan buku favoritnya. Entah mengapa Butet begitu senang dengan dongeng terbitan Gramedia itu. Anak angsa yang merasa buruk rupa, karena dibesarkan oleh seekor bebek, bentuknya berbeda dengan bebek-bebek lainnya.

Butet akan tertawa terkikih-kikih, setiap kali aku menirukan bunyi; kweeek, kweeek, kweeek; jueleeek!

Adakalanya kalau sudah bosan, Butet akan berjalan-jalan keliling ruangan transfusi. Mulutnya akan mengoceh riuh sambil mengiming-iming buku, berlagak menjadi tukang dongeng bagi para pasien di situ. 

Suster Bimbingan, sahabatku, acapkali kuizinkan membawanya keluar sebentar untuk membelikannya roti dan permen.

“Cian… iyut Mama atit, ciaaan, yah,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala jika aku hendak memangkunya, kemudian berlagak menuntun dan membimbingku berjalan.

Setelah keluyuran di rumah sakit, biasanya dua atau tiga hari berturut-turut, kami berdua akan tiba jua di rumah jika hari telah petang. Dalam keadaan sangat lelah, lusuh dan lapar.

Orang Jual Ginjal: Aku Jual Rumah Demi Pengobatan

$
0
0




Cibubur, 14 Maret 2013
Memasuki bulan kedua sejak mendengar diagnosa dokter, mengenai kondisi kesehatanku; kelainan darah bawaan, hepatitis, kardiomegali dan DM alias diabetes melitus.

Sejak itulah aku memutuskan untuk menjaga ketat asupan makanan dan minuman. Saking ketatnya, dan kepingin sekali menurunkan kadar gula dalam darah, aku tak pernah lagi sarapan lengkap, selain semangkuk kecil havermut dan segelas susu diabetes.

Sementara itu, sejak memutuskan gugat cerai, aku harus pergi dari rumah yang selama ini kami, aku dan putriku tempati. Terhitung sejak Agustus 2012, aku numpang di rumah anak-anak, hanya dua anak.

Anak sulung sudah punya rumah cicilan di Citayam. Adiknya, perempuan baru menikah dan masih numpang di rumah dinas mertua di Halim. Karena harus bolak-balik ke RSCM, untuk menghemat enerji dan dana, kuputuskan numpang di rumah dinas besan.

Apabila ingin nyaman menulis dan beribadah, biasanya aku akan pergi ke Mesjid At-Tin, di sanalah bersama para nomaden lainnya; aku menulis, menulis sambil bermunajat. Memohon kesembuhan langsung dari Sang Khalik.

Acapkali ada seseoang yang menyodokan nasi bungkus kepadaku dengan tatapan iba dan simpati. Barangkali dia mengira diriku pun tak lebih sebagai perempuan tua tunawisma, wajib dikasihani dan dibagi nasi bungkus. 

Karena tak enak hati jika menolak tawarannya, maka aku pun mengambilnya dengan penuh rasa syukur. Aku menyuap nasi pemberiannya itu dengan airmata bercucuran, hmmm, ternyata nikmat sekali nasi bungsu lauk tempe tahu alakadanya campur rasa asin airmataku sendiri.

Tak jarang putriku Butet mengira emaknya ini sedang berada di Citayam, di tengah keluarga abangnya dan cucu-cucu. Demikian pula sebaliknya, sulungku Haekal  mengira aku baik-baik saja berada di dekat Butet di Halim.

Namun, satu hal yang jelas dari serangkaian terapi, tiada kata lain kecuali; harus menebus obat!

Jika selama ini masih bisa memanfaatkan Askes, maka sejak menjadi janda, fasilitas Askes pun dicabut. Demi Kartu Sehat, terpaksa aku harus memilih pindah menjadi warga DKI Jakarta.

Selamat tinggal Depok, selamat tinggal Jawa Barat dengan segala keindahannya, kampung halaman tercinta.

Ternyata mengurus Kartu Sehat pun belum bisa kulaksanakan. Begitu banyak waktu tersita, mengobati lever dan jantung, berseberangan dengan antidiabetes. 

Dokter sudah menggambarkan prognosa, kemungkinan terburuk di kemudian hari dengan mengkonsumsi semua obat-obatan yang segambrengan. Ginjal bisa kena, pancreas bisa saja tidak berfungsi dan itu berarti menghilangkan produksi albumin.

“Dokter, sudah, ya, jangan dibahas lagi. Semuanya sudah saya tahu, saya baca dari browsingan,” tukasku satu kali, rasanya bikin sakit kepala dan bisa struk mendadak mendengar kemungkinan-kemungkinan terburuk itu.

Inilah obat-obatan yang harus aku telan setiap harinya; Xjade, 6 butir gede-gede diminum sekaligus, dicairkan, ini khusus untuk menormalisasi zat besi ferritin pasca ditransfusi. Isosorbide Dinitrate, Scantipid, Captropil, Metformin, Lansoprazole, Merzasol, Vitamin E, B12, Asam Folat dan transfusi darah yang semakin sering.

Padahal sebelumnya, selama berpuluh tahun, dokter hanya memberiku Asam Folat dan Xjade atau Desferal saja. Obat yang satu ini jika harus beli harganya satu kaplet berisi 7 butir adalah; 1 juta 367 ribu. Aku membutuhkan 180 butir per bulannya.

Ya Allah, aku ingin sembuh, tetapi begitu mahal kesehatan itu, ya Robb!
“Jual sajalah, Ma, rumah kontrakan yang dihibahkan Papa ke Butet itu,” usul putriku satu kali. 

Dia tentu bisa merasakan bagaimana ibunya ini semakin sering wara-wiri ke rumah sakit, artinya semakin banyak saja dana yang harus dikeluarkan.

“Serius? Itu kan rumah kenangan, banyak peristiwa terjadi selama 25 tahun kita menempatinya.”

“Kebanyakannya juga peristiwa menyakitkan, Mama. Lihat Mama dijadikan samsak, dipukuli, ditendangi, mata Mama bocor dan berdarah-darah. Tulang lutut Mama retak, jalan pincang sampai berbulan-bulan….”

“Pssst, lupakan semuanya, Nak,” tukasku mendadak ngeri lagi jika mengingat semua kekerasan yang pernah kami peroleh dari lelaki itu.

“Makanya, jual sajalah! Lagian kita memang membutuhkannya. Terutama buat berobat Mama. Katanya kan Mama mau berobat ke Melaka?”

“Iya sih, eh, kalau ada dananya. Bagaimana dengan rumah yang harus kita miliki juga?”
Butet tercenung. Tentu saja kami harus menyadari bahwa saat ini yang terpenting adalah rumah tinggal sendiri. Ini rumah dinas, besan dalam masa persiapan pensiun. 

Kabarnya, mereka hanya diberi waktu sampai September, dan itu tinggal beberapa saat lagi!
“Begini saja, fokuskan dulu untuk cari rumah yang bisa dicicil dengan KPR. Ingat, jangan yang mahal, ya, yang penting kita bisa tinggal nyaman dan rumah sendiri,” pesanku memutuskan matarantai kegamangan.

“Hmm, DP-nya dari mana, Ma? Tabungan kami gak seberapa banyak.” Butet tertunduk di samping suaminya yang tak berkata-kata.

”Mama akan berusaha cari solusi untuk DP-nya. Selanjutnya kalianlah yang mencicil. Kelak, kalau kalian sudah ada, DP-nya harap dikembalikan ke Mama. Bagaimana setuju?” cerocosku menyemangati pasustri yang belum lama menikah ini.

“Waaah, seriuuus, Ma? Kita boleh pinjam? Eh, memang Mama sudah ada duitnya?”
“Tenanglah, nanti Mama minta bantuan para sahabat yang bisa diandalkan.”

Dalam dua bulan itu, aku bergerak terus antara rumah sakit dengan beberapa pertemuan. Sedikit demi sedikit dana terkumpul. Ada sumbangan dari jamaahnya Ustad Bobby Herwibowo dan Ratih Sang, Pinjaman dari Kang Abik dan Pak Remon, bos penerbit Zikrul Hakim, sebelum aku memutuskan untuk resign.

“Buat DP rumah apa sudah ada, Mama? Pengajuan pinjaman ke Bank sudah disetujui,” lapor Butet, memerlihatkan dokumen KPR.

“Iya, siang ini ada yang transfer.”

Setelah diperoleh sebuah rumah tinggal di kawasan Kota Wisata, Cibubur, barulah aku menyadari kembali; tak ada lagi uang untuk dana pengobatan. Jangankan untuk menebus obat atau bayar laboratorium, bahkan untuk sekadar ongkos ke rumah sakit pun kosong!

“Sudah dipasang iklan gratis di berniaga.com bahkan tokobagus.com. Tapi belum ada yang berjodoh beli rumah kontrakan kita,” laporku pula kepada putriku.

“Sabar terus, ya Mama sayang. Semoga Mama disehatkan dan dikuatkan,” putriku memelukku erat-erat.

Acapkali begitu pulang kerja malam-malam, dia langsung menengokku ke kamar. Dipeluk, dikecupnya pipi-pipiku, sambil memeriksa tangan dan kaki-kakiku.

“Mama, aduuuh, rasanya badan Mama jadi mengecil begini ya. Lihat, kaki-kaki Mama mengerucut seperti kakinya Omah,” komentarnya sambil memijiti kaki-kakiku, tak jarang kurasakan air bening menetes dari sudut-sudut matanya.

“Pssst, Mama masih kuat, ah!” elakku seraya balik mengusap-usap permukaan perutnya.”Nah, bagaimana kabarnya si Utun Inji hari ini?”

“Makin lincah gerakannya, Manini. Semoga si Dede ini menjadi perempuan tangguh, perempuan hebat seperti Manini,” celotehnya pula dengan mata berbinar-binar penuh semangat dan harapan calon ibu muda.

Akhirnya, aku memang harus menjual; rumah kontrakan 12 pintu di Jalan Raden Saleh 4 No 31 Rt.03/Rw 05, kelurahan Sukmajaya, Depok. SHM, IMB, harga 275 juta, sudah termasuk pajak pembeli, balik nama dan Notaris.



Aku tidak ingin mengemis, sungguh, hanya minta bantuan sahabat, agar ikut menyebar permintaanku ini. Ya, semoga tidak termasuk iklan, sehingga tak perlu dihapus dari akunku di sini.

Maafkan lahir batin dan mohon selain doa juga keikhlasannya membantu perjuanganku ini. Terimakasih, semoga Sang Maha Penyembuh masih memberiku waktu untuk berkarya, dan bermanfaat bagi orang banyak.

Salam manis; 
PIpiet Senja (085669185619)

Orang Bilang Mama Mengidap Penyakit Kutukan

$
0
0

Ilustrasi: Ditransfusi secara berkala seumur hidup

Suatu kali kudapati Butet menangis sesenggukan di sudut teras.
“Kenapa, Nak, kok nangis gak ngajak-ngajak?” kataku mencoba menggodanya.
“Sekarang Butet gak punya temen lagi, Ma…”
“Kenapa memangnya, teman-temanmu gak mau main ke sini?”

“Iya, tadi waktu Butet ke rumah Nenk, hm, ibunya bilang; jangan maen di rumah Butet, itu mah sarang penyakit. Ibunya Butet itu kan punya penyakit kutukan, katanya. Nanti menular, nanti ikutan dikutuk… Hikkksss!”

Ya Allah, mengapa ada orang seperti ibu si Nenk itu, ya? Dia memang sudah terkenal tukang penyebar gosip, biang keributan antar ibu-ibu di kampung Cikumpa. Apa salahku kepadanya sampai begitu tinggi kadar kebenciannya terhadapku dan anakku?

“Ya sudah, sekarang Butet main di rumah saja dengan Mama, ya Nak?” bujukku sambil menghampar tikar di lantai, mengangkut kotak buku bacaan dan mainannya.

Sesungguhnya lebih banyak buku cerita yang dimilikinya daripada boneka atau mainan lainnya. Lama kelamaan Butet pun lebih menyukai buku bacaan daripada mainan, kecuali puzle-puzle favoritnya yang masih dikoleksi.

“Kita buktikan saja kepada mereka, ya Nak, bahwa kita bisa berprestasi, meskipun kamu punya ibu penyakitan…”

“Iya Mama, tapi Mama bukan dikutuk kan?”
“Pssst, gak ada penyakit kutukan!”

Beberapa saat lamanya Butet nyaris tak peduli lagi apakah dirinya punya teman atau tidak di sekitar rumahnya. Sampai teman-temannya, termasuk si Nenk itu, bermain kembali ke rumah. 

Mereka ingin ikut menikmati koleksi buku bacaan Butet agaknya. Butet boleh bangga, hanya dialah yang memiliki koleksi buku sekeren dan sebanyak itu di kampungnya.

Kutahu Butet disayang para guru dan disukai teman-temannya di sekolah. Peringkatnya tak pernah bergeser dari tiga besar. Sejak kelas tiga SD, Butet pun sudah kumasukkan les bahasa Inggris.

Biarkan 0rang Ngomong, Anakku

$
0
0


Berat badan Butet hampir tak pernah bergeser dari 19 kilogram di usia sembilan tahun, saat duduk di bangku kelas lima SD. Aku memutuskan untuk melakukan ceck-upke RSCM. Keluhannya, Butet tidak suka makan dan sering merasa sakit di bagian dada sebelah kiri. Kalau sudah sakit dia sampai berguling-guling di lantai. 

Belakangan diketahui bahwa dia terkena reumatik ringan pada jantungnya, dan ada flek di paru-parunya.
“Nah, kali ini Mama jadi pengantar, bukan pasien,” cetusku saat kami berada dalam barisan loket Askes poliklinik anak.

“Mama kan harus ditransfusi juga, matanya sudah kuning tuh!”
“Iya, tapi gak bisa hari ini. Nanti saja kalau urusan Butet kelar.”

Hari pertama itu Butet dikonsultasikan dulu ke poliklinik umum. Setelah diperiksa sekitar limamenit, sungguh tak seimbang dengan penantian yang berjam-jam, dokter merujuknya ke poliklinik jantung dan poliklinik paru.

“Siang ini gak bisa, dokternya sudah pergi,” kata seorang petugas, bukan perawat, perempuan paro baya, mengenakan kain-kebaya dan sanggul kuno. Mengingatkanku kepada bintang drama keluarga, Marlia Hardi yang mati bunuh diri gara-gara terjerat utang.

“Besok datangnya harus pagi sekali, ya. Ini harus diperiksa jantungnya dan dironsen paru-parunya!”

“Kalau pake Askes bisa gak, ya Bu?” tanyaku dengan hati kebat-kebit, tak bisa kubayangkan, dari mana harus kuperoleh dananya dalam waktu singkat.

“Kayaknya sih gak bisa!”
“Berapa biayanya, Bu?”
"Tanya aja sendiri di lantai atas!” ujarnya ketus, mengakhiri percakapan.

Di lantai atas, tempat semacam USG jantung anak-anak, kami ketahui dananya dua ratus ribu. Kalau ronsen masih bisa Askes. Belum pemeriksaan laboratorium, totalnya harus menyediakan dana tiga ratus ribu!

Tahun 1999, masa-masa krismon, uang belanjaku per hari lima belas ribu rupiah. Ajaibnya, honor cerpenku hanya naik sedikit, di majalah Bobo dibayar seratus ribu rupiah. Majalah-majalah wanita dan keluarga saat itu banyak yang pailit. 

Penerbit Margi Wahyu yang selama sepuluh tahun terakhir sangat menyokong keuanganku, membeli naskah anak karyaku untuk diterbitkan sebagai buku Inpres, sama mengalami goncang.

Alhasil, keuanganku sungguh morat-marit. Penghasilanku sebagai seorang penulis anjlok drastis. Dalam lima tahun terakhir itu, secara rutin suami memberiku uang harian, dimulai dari limaribu, sepuluh ribu sampai dua puluh ribu rupiah. Hanya uang belanja!

“Ya sudah, demi si Butet, ini kubayar semuanya!” bapaknya menyodorkan tiga lembar ratusan ribu di meja kerjaku, nyata sekali suaranya terdengar tidak rela.

Benar saja, terbukti dia melanjutkannya; “Selama ini orang tuamu mengira kamulah yang hebat dalam rumah tangga ini. Semuanya kamulah yang membiayai, padahal nyatanya, bah! Kamu ini cuma pengarang yang payah amat, pengarang miskin, tak punya apa-apalah itu!”

“Suatu saat semuanya akan kembali membaik, yakinlah akan kemurahan Allah. Aku akan mengembalikan semuanya ini kepadamu. Insya Allah, catat itu!” tukasku dengan hati yang serasa direjam sembilu.

Aneh sekali memang, siapa yang disebut kepala keluarga di sini, demikian aku berpikir.
Butet mengira pertengkaran itu disebabkan dirinya yang sakit. Sambil berurai air mata dia mendatangiku ke kamar kami dan berkata: “Mama, udah deh… Gak usah bawa Butet berobat lagi. Biarin aja Butet sakit dan mati, hikkksss…”

Kuraih tubuhnya yang kurus mungil itu, kudekap dalam dadaku erat-erat, kubisikkan kata-kata penghiburan di telinganya. Aku mencoba meyakinkannya bahwa betapa berartinya dirinya untukku, untuk abangnya.. Jadi dia harus ikut berjuang agar sehat dan kuat.

Sepanjang perjalanan hari itu, untuk pertama kalinya, Butet mencecarku dengan berbagai pertanyaan; seputar perlakuan ayahnya, keganjilan-keganjilan yang disaksikannya. Intinya, dia baru menyadari bahwa ayahnya tidak sama dengan ayah teman-temannya

Yup, kesadaran itu!
“Kenapa Papa gak pernah ngasih duit buat beli baju Mama?”
“Ibunya teman-teman Butet suka dibeliin perhiasan sama suaminya…”

"Windi bilang, ibunya baru punya gelang dibeliin bapaknya…”
 “Kenapa Butet cuma dikasih baju dan sepatu pas lebaran saja sama Papa?”
 “Kenapa Papa suka menyakiti Mama dan Abang?”

Selaksa tanya terus terlontar dari mulutnya sampai aku harus mengakui; “Yah, demikianlah adanya ayahmu, Nak. Kamu harus terima itu sebagai ladang ujian. Berdoalah semoga Allah segera memberikan jalan keluarnya kepada kita.”

“Huuuh… pantas temen-temen Butet bilang, bapak Butet itu aneh!”
“Kenapa mereka bilang begitu?”
“Katanya, anak-anak pernah lihat Papa marah-marah di jalan. Cuma gara-gara hampir ketabrak anak-anak…”

“Wajar saja kalau begitu,” tukasku jadi tertawa, membayangkan ayahnya yang lagi serius menyusuri gang sekonyong nyaris ditabrak anak-anak.

“Tapi katanya, marahnya Papa itu bukan main! Masa berantem sama anak-anak di jalan?” sahutnya serius sekali.
“Sudahlah, Nak. Jangan dengar omongan orang, ingat!”

Butet terdiam, kukira karena kelelahan dengan pikirannya sendiri. Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa si kecil kesayanganku sedang beranjak menjadi seorang ABG. Dan untuk pertama kalinya pula aku merasa dilempar ke jurang kecemasan dan kebimbangan.

Dia seorang anak perempuan, keluhku. Ini sosok yang berbeda dengan abangnya. Terhadap Haekal, aku merasa telah berhasil mengantisipasi dampak kekerasan. Setidaknya hingga duduk di bangku SMA, sulungku itu selalu meraih prestasi terbaiknya. Menjadi anak yang manis, penurut, pendeknya tak pernah membangkang. 

Mekipun kutahu persis, bagaimana berat beban jiwa, beban batin yang harus dipikulnya dengan kondisi yang begitu banyak ketakadilan di rumahnya.

Tiba-tiba aku merasa sangat sedih dengan ketakberdayaanku!
“Mama nangis, ya, aduh, iiih! Maafkan Butet, ya Ma, lupakan omongan Butet tadi,” tersentak Butet merangkul bahuku dan memelukku erat-erat.

Kami masih di atas bemo, sebentar lagi turun di halte Salemba.
“Maafkan kelemahan Mama, ya Nak. Maafkan segala keterbatasan Mama,” gumamku buru-buru menghapus air mata yang mengucur deras.

Kami turun di bawah tatapan heran para penumpang.

Ternyata beban hati kami masih ditambah dengan perlakuan buruk Bu Sanggul, sebut saja demikian, pegawai di poliklinik paru-paru.

“Ibu ini kenapa sih gak nurut? Kan sudah dibilangin kemarin. Harus datang pagi-pagi. Ini demi kebaikan anak ibu sendiri! Eh, ini kok maunya bawa karep sendiri aja! Enak aja! Di sini ada aturannya, Bu, ada tata tertibnya, gak bisa seenaknya!” ceracaunya tanpa peduli dengan alasanku, bahwa kami pun sudah datang sejak pukul tujuh, tapi terhambat di loket Askes.

Entah bagaimana urusannya, mereka baru menemukan status-map Butet setelah kami mengantri selama tiga jam!

Di bawah tatapan para pasien yang tampak merasa iba terhadap kami, kupeluk anakku yang mendadak gemetaran bahna takutnya. Begitu dipanggil sebagai pasien terakhir, Bu Sanggul kelihatannya mengingat keberadaan kami dengan sangat jelas. Dia melanjutkan omelannya tanpa tedeng aling-aling.

“Nah ini dia,  si Ibu ini yang tadi datangnya telat!”
“Eh, Sus, bukan begitu sebenarnya….” Sia-sia aku mencoba memberi alasan.

“Mau diperiksa gak sih? Anaknya bawa sini, ditimbang dulu!” sergahnya dengan suara yang sungguh melukai.
“Iya, sebentar Bu, terima kasih,” tergopoh-gopoh aku menuntun Butet ke tempat timbangan di sebelah mejanya.

“Berapa? Limabelas kilo, ya! OMG, umurnya sembilan tahun? Apa gak salah nih? Dikasih makan apa kamu sama orang tua kamu? Bapaknya kerja di mana sih? Di Depkes, ampuuun! Masak iya sih orang Depkes gak tahu gizi anaknya. Bla, bla, bla!” ceracauannya merepet tak terbendung lagi.

Kulihat semua mata tertuju ke arah kami berdua, aku dan putriku, yang langsung berlinangan air mata, memegangi tanganku kuat-kuat. Dan kurasai melalui genggaman tanganku, Butet menggigil hebat!

“Tenang ya Nak, sabarlah. Jangan dengerin omongan orang yang lagi setres berat begitu,” bisikku di kupingnya berkali-kali, berulang kali.
“Kenapa Mama diam aja, gak melawan?”

“Pssst, percuma Nak melawan orang setres!”
“Apa kita bisa ikutan setres?”
“Hmm,” kuanggukan kepala dan itu membuatnya berhenti menggigil. Kurasa, Butet sudah mengenal satu sosok yang sering tak mampu mengendalikan diri di rumahnya.

Ternyata lakon ini menjadi bahan untuk putriku. Ia menuliskannya dengan sangat bagus, diikut-sertakan ke lomba penulisan yang diselenggarakan oleh YKAI. Butet diundang sebagai penulis cilik pada seminar sehari di kantor Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan.

Esai yang berdasarkan pengalamannya sendiri, tentang buruknya pelayanan kesehatan untuk anak-anak di Indonesia itu, dimuat di berbagai website. 

Meskipun tak pernah ada honornya, kulihat putriku sudah merasa bangga dan sukacita. Karena hal ini telah mendongkrak nama Adzimattinur Siregar di dunia kepenulisan. Terutama efeknya telah sangat berpengaruh terhadap kepercayaan dirinya.

@@@


Menyaksi Mama Berjuang: Copet Mengambil Semua Naskahnya

$
0
0


Ilustrasi: Mama sedang menularkan Virus Menulis di depan para guru





Opening: Lebaran, 2000
Arus balik lebaran bareng Mama, naik kereta menuju Jakarta. Pada sebuah gerbong yang berjeruji dan berterali besi, di situlah aku dan Mama duduk ngejemprak di bawah, bukan di kursi. Setiap kali ada pedagang asongan (jumlahnya gak terhitung!) yang lewat, dipastikan kaki atau tangan kami terinjak. Persis rombongan napi yang akan diangkut ke Nusakambangan.

Sumpah, ini angkutan yang sama sekali gak manusiawi!
Padahal waktu berangkat pun kami sudah mengalami kejadian menyakitkan. Tapi apa daya, kocek Mama gak memungkinkan buat naik bis. Ini malah lebih parah keadaannya dibanding KRL Jabotabek.

Oh, dunia, dunia… Kapan mau berpihak kepada orang miskin?
Kapan rezeki itu mengucur dari Langit?
Tuhan, Tuhanku… Engkau dengarkah harapan dan doa anak kecil ini?

Umurku sepuluh tahun, baru dibagi rapor, aku naik ke kelas enam. Raporku dihiasi angka-angka delapan dan sembilan. Juara umum, ini keempat kalinya, sejak pindah dari SD Pemuda Bangsa ke SDN Cipayung.

“Kita mudik ya,Tet… ke Cimahi?” cetus Mama seminggu sebelum lebaran.

“Bareng Abang, Ma?”

“Cuma kita berdua, Nak. Mau ya Nak, mau?” pinta Mama persis bocah minta permen ke nyokapnya. Bentar lagi juga guling-gulingan.

“Mau aja sih. Tapi kenapa cuma kita berdua, Ma?”
“Abang lagi ngerjain program bareng temennya, biar punya uang. Butet tahu kan, Abang mau nikah?”

Iyalah! Aku tahu keributan besar itu!
Kayak di sinetron saja, pake ada adegan teriakan histeris, berujung ancaman dari Papa: “Kalau kamu bersikeras mau nikah juga; pergilah dari rumah ini!”

Kalau aku yang diusir sih, gak bakalan sungkan-sungkan lagi, langsung lari keluar rumah!
Meskipun Mama sukses menengahi (sekali ini!) dan Abang batal diusir Papa. 

Tapi sejak itu Abang lebih banyak tinggal di kosan temannya. Untuk pertama kalinya pula, Abang tidak ikutan mudik. Demi Tuhan, sedih sekali!

“Kita kan 
sudah tiga lebaran gak mudik,” kata Mama lagi waktu dilihatnya aku malah asyik baca buku  sewaan.
‘Bang Toyib’ banget gak seeeh?
“Papa gak mau ikut lagi, ya Ma?”

Mama menggeleng. Terakhir kami mudik berempat, di tengah jalan ada yang ngamuk-ngamuk. Mama cucuran air mata, aku digendong Abang, sementara sang Raja berjarak tiga ratus meteran dari kami. 

Seakan-akan dia jijik atau malu berdekatan dengan kami bertiga; aku, 
Mama dan Abang. Sikon kayak gini di tengah perjalanan, lama-kelamaan memang bikin trauma siapapun!

Well, aku gak perlu tahu apa penyebabnya!
Meskipun Mama suka bilang, itu tersebab penyakit, semacam kelainjan jiwa, halaaah, aku gak pernah paham!

“Bawa rapormu, ya Nak,” kata Mama waktu malam-malam kami sibuk berkemas.
“Siiip!”

Itu berarti aku punya harapan dapat hadiah istimewa dari adik-adik Mama. Di keluarga Mama ada kebiasaan unik. Pas lebaran semua sepupu ngumpul. 

Adik-adik Mama yang punya duit bagi-bagi hadiah. Dan hadiahnya akan berlipat ganda, kalau dia berprestasi. Abang dan aku paling sering dapat hadiah banyak. Kami berdua selalu peringkat pertama.

Hari kedua lebaran, subuh kami berdua sudah berangkat. Ternyata, kali ini Mama memilih pakai kereta, bukan bis seperti biasanya.

“Uang kita terbatas, Nak. Kalau pake bis, nanti Butet gak bisa jajan. Mohon Butet bisa sabar, ya Nak, ya?” suara Mama terdengar memelas di kupingku.

Aku cuma mengangguk-angguk. Bagiku sudah cukup bahagia masih bisa dibelikan baju lebaran. Satu setel baju biasa, satu setel lagi busana muslimah. Itulah baju muslimah pertama yang kumiliki. Asli! bagus banget!

Belakangan baru kutahu kalau baju-baju itu didapat Mama dengan mencicil. Mama sering menghiburku dengan harapan bahwa suatu saat aku akan dibelikan banyak barang, kalau buku-buku Mama sudah diterbitkan.

“Sabar, ya Nak, mohon kalian bisa sabar. Doakan Mama, ya Nak, biar Mama banyak honor, dan kita banyak rezeki,” begitu perkataan Mama yang sering aku dan Abang dengar.
Kadang kulihat Mama berusaha keras menyembunyikan air matanya dari penglihatanku.

Abang bilang: “Kita harus percaya dengan harapan dan doa Mama. Kalau gak punya harapan dan doa; kita gak bakal bisa bertahan!”

Waktu itu aku gak paham maknanya. Tapi satu hal yang kutahu, semakin gila-gilaan Mama mengetik, maka semakin banyak makanan dan barang yang dibelikan Mama buat kami. 

Aku tidur sekamar dengan Mama, jadi sering kusaksikan bagaimana pergulatan Mama dengan si Denok, mesin ketik tahun jebot itu. Bunyinya di kupingku (ajaibnya!) malah kayak musik dari langit!

Lah iyalah, sejak aku dalam kandungan nada-nada itu (pasti!) sudah kudengar. malah aku sering minta Mama: “Ayo, Ma, ngetik dulu… Biar Butet bisa tidur nih.”

Aku masih ingat, mudik itu, Mama mengangkut serta bundelan naskah yang akan dijualnya ke majalah Mangle. Dan lusinanan buku cerita anak-anak yang akan ditawarkan ke Pemda Jabar. 

Seingatku, sebelum reformasi, banyak buku cerita anak-anak karya Mama yang dibeli Inpres. Tapi sejak reformasi, menurut Mama, urusannya jadi ribet. Banyak meja yang harus dilewati, berarti sogokannya mencekik leher.

Aku bilang sih waktu itu; “Reformasi, semuanya jadi bau terasi!”

Kami sudah berada di atas kereta jurusan Purwakarta, waktu Mama bilang: “Nanti kita harus nyambung dengan bis lagi. Bagaimana, Butet bisa bertahan, kuat ya Nak?”
“Ya Ma… harus kuat!” sahutku semangat.

“Di sini kita harus waspada, ya Nak… Perhatikan barang kita, jangan meleng.”
“Siap, Ma!” sahutku kian semangat.

Kurasakan tangan-tangan Mama merengkuh bahuku dan memelukku erat-erat. Kami dapat tempat di bangku panjang yang berhadapan, bukan di kursi seperti di bis. Mama meletakkan tas Sophie Martin (juga kreditan!) berisi naskah dan baju di bagasi, sebelah kiri di bagasi kereta di atas kepalaku.

“Butet belum minum obatnya, Ma,” kataku baru ingat.
Saat itu aku dalam pengawasan dokter, karena ada flek di paru-paruku dan rematik jantung ringan. 

Sepanjang tahun itu aku dan Mama bolak-balik ke RSCM. Kami berdua berusaha keras untuk tidak menyerah, tetap bersemangat. Meskipun sering kelaparan di jalan, karena uang pemberian Papa tak pernah cukup buat beli obat dan transportasi.

Tak jarang kami harus ke suatu tempat dulu (kantor redaksi!) untuk menjajakan naskah Mama. Beruntung kalau saat itu langsung dapat honornya, berkat kebaikan hati teman-teman Mama. 

Tapi adakalanya kami pulang dengan tangan hampa. Setelah berjam-jam menunggu, dan teman Mama yang dinanti malah lagi ke luar negeri.

“Ini minum dulu obatnya atuh, Neng,” Mama menaruh beberapa pil ke telapak tanganku. Aku segera meminumnya.

“Obat batuknya, Ma,” pintaku, sebab aku merasa lebih nyaman disuapi Mama kalau minum obat cair.


Di sini, aku sungguh menyesali kemanjaanku!

Pada saat yang sama kereta berhenti di stasiun Jatinegara. Di antara hiruk-pikuk penumpang yang baru naik, pedagang asongan (juga para copet sialan!) itulah, Mama mencurahkan perhatiannya kepadaku. Menuntaskan urusan minum obat. Kayaknya cuma beberapa menit kami meleng!

Kereta kembali melaju. Mata Mama mengarah ke atas kepalaku, ke bagasi, dan. Alooow! Sepasang mata yang selalu bersemu kuning itu seketika membelalak!

“Tas kita… ke mana, ya Nak? Tas kita?” suara Mama terdengar mengambang di udara sumpek dan bau segala macam.

Mataku ikut menatap bagasi. Ya Tuhan! Tas bermerek itu sudah lenyap!
Yang teringat di benakku kala itu adalah raporku dengan angka-angka gemilang. Dan itu modalku untuk mendapatkan hadiah dari adik-adik Mama. Baju baruku, dua-duanya ada di tas itu. Waduuuh! 

Gimana nanti aku salin? Gimana sekolahku? Apa aku gak boleh sekolah lagi?
Hidup gw; balikkiiiiin! 

Kepalaku langsung nyut-nyutan, jantungku bergetaran hebat, dan mataku mendadak muteeeer. Blaaazzz!

“Ya Allah… astaghfirullah al adziiim… Jangan, Nak, jangaaan! Mama mohon jangan pingsan… Ayo, sadar Nak… Kita pasrahkan saja semuanya kepada Allah, ya Nak… Biarlah, kita harus ikhlas, harus pasrah lilahi taala, ya Cinta. Semuanya akan baik-baik saja, yakinlah itu!” samar-samar suara Mama memasuki kuping kecilku.

Aku membuka mata, ternyata separuh tubuhku berada di pangkuan Mama.
“Gimana rapor Butet?” tangisku meledak.

“Gak apa-apa, Nak, Cantik, Jelita. Nanti Mama urus ke sekolahmu. Semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama Mama, ya Nak, Cinta, Cantik, Jelita, anak yang salehah. Sekarang ikuti Mama, kita zikir ya Nak. Laa ilaha illalah…” Mama memelukku semakin erat, air matanya bercucuran, sebagian membasahi wajahku.

Ini gak biasa, men!
Kalau aku akhirnya bisa tenang, bukan karena percaya semuanya akan baik-baik saja. Tapi karena aku mendadak takut melihat kondisi Mama, air matanya yang gak biasa itu. Gimana coba kalo Mama mendadak kolaps?

Aduuuh, demi Tuhan, aku takut kehilangan Mama!
“Iya Mama, udah ya jangan nangis lagi,” kataku untuk pertama kalinya menyahuti. “Mama jangan sampe sakit. Mama harus sehat, ya. Kan kita mau lebaran sama keluarga Mama.”

“Gak kok, Nak, Sayang. Mama gak nangis,” Mama buru-buru menyusut air mata dengan ujung jilbabnya.

Untuk beberapa saat kami berpelukan erat, saling menguatkan. Rasanya bisa kudengar degup jantung Mama, mengalir perlahan, melalui dada-dada kami yang menempel.

Kemudian, kondektur datang memeriksa karcis. Mama melaporkan kehilangan barang itu. Kondektur menanggapinya dengan cuek-bebek.

Dia malah bilang: “Ya sudah, Ibu turun aja di sini. Lapor ke polisi!”
“Turun bagaimana. Di mana ini, Bekasi? Yang bener aja, Pak?” seru Mama terdengar geram dan kecewa sekali.

Lah iyalah, apa kondektur itu sudah koclak otaknya ya? Aku jadi ikut geram. Masa orang yang barusan kecopetan, dan duitnya pas-pasan, malah disuruh turun begitu saja? Mana kepeduliannya, belas kasihannya? Kulihat semua orang di sekitarku repot dengan urusan masing-masing.

Yeah, memang bener kata Mama. Ini harus kita pasrahkan saja kepada Sang Pengasih, lilahi taala. Hanya kepada-Nya kami bergantung!

Di station Purwakarka kami turun, hanya membawa kantong kresek berisi bekalku. Kulihat Mama sudah kembali tegar-perkasa, seperti yang biasa kukenal!

“Ayo, Nak, kita cari bis jurusan Bandung 
di depan sana,” ajaknya sambil menggenggam telapak tanganku kuat-kuat.

Kami menyusuri rel kereta. Siang sudah bergerak, menjelang petang. Langit di atas kepala kami mendung. Sebentar lagi pasti turun hujan. Dan benar saja, sebelum kami berhasil mencapai halte, hujan menghajar bumi dengan telak!

Heboh beberapa saat, akhirnya Mama sukses mengangkat tubuhku ke dalam sebuah bis yang melintas cepat. Allah Sang Pengasih, memberi kami bangku paling belakang. Di pojokan bangku itulah, di antara penumpang (cuek-bebek!) kami berdua kembali berpelukan, saling menguatkan.

Kudengar gumaman Mama, berdoa dan berzikir. Jadi, itulah yang ingin kuikuti, jejakmu, bundaku tercinta.

Harapan, cinta dan doa! (Adzimattinur Siregar)


Ilustrasi: Mama ditransfusi secara berkala seumur hidupnya



Sosok yang Masih Harus Kupanggil: Papa!

$
0
0

Ilustrasi: Mama dan Aku


Judul Asli: Lagi-Lagi Tentang Dia

Ia datang ke rumah siang tadi. Dengan gaya bicaranya yang khas dan kaku, ia tanya kabarku. Jauh-jauh dari Depok, dari rumah luasnya yang hanya berisikan dirinya sendiri itu.
Ketika pulang, berkali-kali ia meyakinkanku untuk kembali bersamanya.
“Kamarmu masih belum aku tempati, Tet.”

Aku tahu kita sama-sama sesak oleh airmata. Aku diam termangu. Tahu bila kubuka mulut, bisa
bobol sudah airmataku.
“Aku terus tunggu. Tunggu kau pulang,” ujarnya.

Ah, Papa. Rumah luas yang semakin kau perluas dengan seluruh dana pensiunmu demi aku itu muncul di bayangan. Siksaan rasa bersalah lagi-lagi datang mendera. Maafkan aku yang dulu sempat janjikan akan menjagamu di masa tua.

Mana aku tahu kau akan pergi tinggalkan wanita tua yang kupanggil Mama?
Mana terbesit di bayanganku, kita akan sejauh ini, padahal biasanya tiap Sabtu-Minggu, sejak punya mobil, kita berkelana entah kemana buang penat dan harta.

Mana aku tahu, kini kau justru memandangiku dengan mata merah kesepian, tubuh yang dulu tegap kini mulai merunduk ringkih dan terbatuk.
Mana aku tahu skizophreniamu akan semakin menjadi-jadi menunggangi kewarasanmu?

Kulirik sekilas tubuh tipismu yang dulu gagah, kerap memanggul aku di bahu.
Seketika aku aku rindu memasakkanmu sesuatu. Masakan sederhanaku yang seringkali asin dan tak karuan, selalu kau makan dengan lahap penuh terima kasih.

Aku rindu komunikasi terbata-batamu, karena memang kau seperti aku, serba salah kalau harus buka mulut.

Aku rindu padamu, Papa.
Maaf, hanya mampu menulis dengan uraian airmata sehabis mengantarmu ke pintu dengan gagahnya. Kadang aku merasa sungguh seperti dirimu, berwatak batu, berwajah Batak namun berhati tahu.

Ingin kupeluk kau sambil menangis. Tapi bersentuhan saja kita cuma setahun sekali kala kucium tanganmu setiap Lebaran. Ingin kuungkapkan betapa kusayang padamu, tapi ragu aku akan pedulimu.

Tercekat. Sesak dengan gumpalan perasaan yang terlalu membanjiri tenggorokan dan mataku. Ingin kubuncahkan dengan bicara tapi kita sama-sama tahu, acapkali mulutku selalu pedas dan tajam di hadapanmu.

Maka kutulis. di tempat yang kau tak mengerti: dunia maya. Kuceritakan pada mereka yang tak mengenal dan peduli padamu. Ah, apa gunanya. Tetapi setidaknya ada asa; semoga kau bisa tahu kelak sebelum terlambat. (Adzimattinur Siregar, Desember 2012)


Testimoni: Jangan Pernah Sentuh Mama, Kriminal!

$
0
0


Sejak kecil aku sudah tahu, Mama punya masalah dengan kesehatan. Pernah aku mengira, Mama itu punya penyakit kuning. Sebab sering kulihat Mama menguning. Kulitnya, matanya sampai ke kuku-kukunya. Untunglah, giginya tidak ikutan kuning.

Kasihan Mama, ya? Ops, jangan kasihani Mama. Meskipun masih banyak yang bermasalah dalam hidupnya. Mama pantang dikasihani. Kepinginnya sih disayangi dan dihargai.

Sejak kecil aku kira wajar saja loh, kalau Mama ditransfusi tiap dua bulan sekali. Aku kira semua anak juga ikutan nyokapnya kok ke rumah sakit. Melihat dia diperiksa di laborat, terus antri darah di PMI. Besoknya baru ditransfusi, sama ngantri dan belibetnya macam kemarinnya.

Dan aku kira, semua anak juga nontonin ibunya dilemparin kaca oleh bapaknya. Sampai berdarah-darah. Lengkap dengan tiap serpihannya yang menempel (sepertinya sih!) sampai sekarang di sudut matanya.

Aku kira, anak lain juga macam aku, meringkuk ketakutan setengah mati di belakang lemari. Kadang sambil mencekik leher dengan sebuah selendang, berharap mati. Terus bergumam sendiri: “Mati, mati, mati…”

Biar semua orang bisa bahagia tanpa perlu bertengkar lagi karena aku. Aku sering merasa, keributan besar terjadi karena kenakalanku.

Aku kira, semua anak juga pernah merasa macam gini: terbuang. Tidak disayang. Semua orang hidup dengan dunianya sendiri. Meninggalkanku yang sibuk mengejar mereka dengan kaki-kaki kecil ini.

Pertama kali aku kepingin sekali mati, ngilang dari muka bumi ini. Waktu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mamaku berjongkok melindungi dirinya, sementara Papa dengan liarnya menendangi tubuh Mama. Kala itu, Mama dengan susah payah merangkak menuju keluar rumah.

“Pergi sana Bang, pergilah…jangan jadi jagoan… Nanti kita ketemu di mesjid, ya Nak, pergilah,” usir Mama kepada abangku yang sempat memasang badan, menerima setiap pukulan yang akan menimpa tubuh Mama.

Tapi yang terjadi malah semakin parah!

Aku tidak terlalu ingat penyebab amuk bokapku ketika itu. Aku menyangka karena kenakalanku. Tapi aku akan selalu ingat darahnya. Tiap tetesnya. Tiap rintihan mohon ampun yang keluar dari bibir Mama di sela-sela takbirnya.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbaaar!”

Sejak itu aku membenci diriku sendiri. Karena aku tidak bisa berbuat apapun. Bahkan sekadar membela Mama yang kusayang, aduuuh, aku benciiii!

Papa tidak menyentuhku. Tidak sesering dia memukul Abang atau Mama. Kecuali ketika dia memaksaku untuk makan. Kadang dia membawa ranting bambu untuk menyabetku. 

Kalau aku tidak menghabiskan nasi plus sayur bayam (satu piring metung!) yang bikin aku trauma banget sama bayam sampai sekarang!

Kadang, dia juga menyabetku sambil membentakku kalau aku ngucapin kata-kata yang buat dia pantang disebut oleh kami, satu rumah.

Seperti; ayam, burung, onta, gajah, jerapah, unyil. 
Woaaa! Aku tidak mengerti kenapa tidak boleh diucapin!

Mama bilang, Papa sakit, ya, tapi sakit apa? Kenapa Papa begitu gampang curiga? Gampang ngamuk? Sepertinya, semua orang yang ngsajak bicara sama Mama… langsung dicurigai!

Pernah, sekali waktu Mama melakukan satu kesalahan kecil. Gara-gara mengomeliku dengan kalimat; “Iiih, nih anak, dasar kucriiit!”

Tiba-tiba Papa membanting sebuah kaca besar ke kepala Mama. Aku masih SD dan berbadan kecil. Abang selalu berpesan sebelum pergi sekolah.

“Butet harus lindungin Mama. Apapun yang terjadi, oke Dek?”

Seketika dengan tubuh cekingku merangsek maju, menghadang Papa dengan satu cara: aku menggigit kakinya yang besar. Tahu tidak sih? Aku seketika melayang ke udara; puuuung, serius terbang, meeen!

Yeah, tidak benar-benar terbang sih. Dia cuma menendangku jauh-jauh, sampai aku menghantam ujung tembok. Seluruh tubuhku (kalau rambut bisa patah, gue yakin, dia bakal ikutan) serasa patah.

Untunglah, gigitanku membuahkan hasil. Papa sibuk selama beberapa detik. Saat itulah Abang pulang sekolah, tanpa babibu lagi langsung mengambil alih. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat wajah Abang yang jail, lucu dan baik itu berubah. Geram, marah dan penuh benci!

“Jangan pernah sentuh Mama, kriminaaal!”
Abang pun menggunakan jurus taekwondonya; hiaaaaat!

Sampai sekarang aku masih belum mengerti, kenapa Abang bisa sekeren itu, ya? Terus, Abang ‘mengunci’ Papa. Sampai Papa tidak bisa bergerak. Sebagai catatan; badan Papa tuh gede banget dan kuaaaat!

Lalu satu hal superkeren yang bikin aku langsung bertekad untuk memuja Abang selamanya: Dia melempar Papa hingga terbang.

Sumpah mati!
Papa terbang dengan sekali lempar ke ruangan lain. Pokoknya jauh banget!

Kemudian, Abang mengangkut Mama yang bersimbah darah. Suer, ini bukan buku silat, men! Tapi kenyataan yang sama sekali tidak dihiperbola. Sementara aku buru-buru mengintil dengan kaki pincang-pincang.

Tahu tidak, apa yang Mama katakan beberapa jam kemudian di kamarnya?
“Ini salah Mama barangkali, ya anak-anak. Papa kalian bermasalah, lagi sakit parah, semacam depresi, paranoid. Mungkin skizoprenia? Tolong ya, anak-anak yang saleh dan salehah. Kita harus memaklumi kelakuan Papa kalian.”

Mama, Mama, ibuku tercinta; aaargggghhh! (Adzimattinur Siregar, ditulis saat umur 14 tahun)

@@@

Dibully Masa Kecil: Lawan!

$
0
0

Ilustrasi: Butet dengan Firman, suaminya



Ini ditulis oleh putriku, Adzimattinur Siregar, kelas satu SMP.

Waktu aku kecil, kehidupan sosialku tidak bagus. 
Meski sekarang juga kalau dipikir-pikir tidak berubah banyak. 
Misalnya tidak punya kendaraan pribadi seperti tetangga-tetanggaku,.
Saban hari keluyuran ke Mal. Bisa weekend bolak-balik ke Singapura. 
Umrohan dan hajian tiada jemunya, tapi maksiat tiada pula setopannya, eng ing eng!

Ada satu hal yang aku ingat dengan jelas waktu aku kecil itu. 
Bahwa aku benci anak-anak kampung, ini serius loh bukan basa-basi. 
Tapi mau bagaimana lagi. 

Takdirku jadi anak kampung. Tepatnya aku tinggal di kampung bernama Cikumpa. Sampai detik ini, aku tak tahu asbabunuzul-nya, keluargaku bisa nyasar di tengah kebon bambu, banyak kuburan kuno begitu.

Nah, itu berarti satu hal lagi: mungkin aku dikutuk hidup, percayalah!
Aku selalu dikelilingi segerombolan anak kampung. 
Lengkap dengan aksesoris abadi mereka yang tak lain dan tak bukan adalah:
seperangkat ingus andalan.

Percaya deh, aku benci banget situasi begitu!
Apalagi, waktu aku berumur sekitar tujuh tahunan.
Aku ingat jelas, mereka senang sekali mencelakaiku. 
Begitu dari jauh dilihatnya sosokku berjalan menghampiri mereka.
Breeeg!

Anak-anak kampung itu langsung mengerumuniku sambil mengejekku habis-habisan. 
Biasanya sambil ada plusnya; jenggutan di rambutku, geplakan di kepalaku. 
Tak lupa sepakan di kaki-kakiku.
Pokoknya menyakitkan dan horooor!

Lihat, mereka berjingkrak-jingkrak macam anak-anak setan main gasing. 
Dari mulut mereka berloncatan kata-kata model begini:
“Ibu loe sakit kuning! Ibu loe sakit kuning!”

“Iiih, jangan deket-deket!”
“Setan ‘kali tuh nyokapnya!”
“Kuning-kuning, tahiii… macam tahi, kecipiriiit!”

“Hiiiy, mandinya pake tahi di kaliii!”
“Bauuu!”
“Awas… awaaaassss… ada anak setan kuning lewaaat!”

Aku tak begitu ngerti apa itu tahi. Maklumlah, aku kan hidup dipingit sejak bayi. 
Jadi, walau sudah tujuh tahun, belum paham benar makna ejekan tahi itu. 
Aku terkesima dengan perbendaharaan anak-anak kampungku.

Namun yang jelas, aku paham kalau itu sama sekali tidak bagus. 
Karena mereka terus-menerus mendorongku, sampai aku nyungsep di pinggir empang,.
Tak jauh dari kali yang airnya masihlah bening dan jernih.

“Waaa… bibir gw jontoooor!” erangku tertahan.
Ajaibnya, Sodara!

Satu pun tak ada yang kasihan kepada diriku yang malang ini. 
Anak-anak itu makin heboh meneriakiku. 
Seakan-akan aku ini memang pantasnya disebut; anak kuntilanak yang belum  beranak-pinak.
Beuh!

“Penyakit kutukan!”
“Iiiih… anak kuntilanaaak!”
Naaah, dengar sendiri?

Tapi kurasa aku anak pintar, malah mauku sih dibilang jenius. 
Aku tahu kalau mereka lagi mengejek mamaku. 
Satu sosok yang paling dekat, paling kukenal, paling melindungiku kala itu selain abangku.

Cukup satu alasan itu saja, membuat diriku untuk pertama kalinya punya keberanian melawan. Aku merangsek maju. 

Dan dengan gagahnya, aku mendorong seorang anak sejenisku, berbadan bongsor, hingga di mataku seperti anak gajah duduk.

Kutahu namanya Nenk (tulisan gaulnya sih gini, meski disebutnya si Eneng!), anak paling ndableg yang pernah kukenal. 

Soalnya, tiap tahun, tiap kelas, dia selalu ngendog alias tidak bisa naik kecuali gurunya disogok. Yup, anak pegawai PLN yang superidiot inilah bos geng kampungku dulu!

Tanpa babibu lagi, aku membungkuk, menyambar sebongkah batu paling dekat dengan tanganku. 
Pssst, kalau dipikir-pikir, detik itulah kutemukan satu bakat terpendam dalam diriku; bakat preman.

Yaaah, ternyata, Sodara!
Aku salah ambil batu. Niatnya ambil yang ukuran S. 
Eh, bagaimana ya, namanya juga lagi panik kan? 
So, tanpa sengaja kuambil batu ukuran XL!
Maka, sebruuut, bletaaak, jegheeeerrr!
“Ngheeeekkk!”

Hening sejenak. Aku rasa otaknya yang lemah itu lagi menelaah apa yang sedang terjadi. Mataku melotot belo ke arah si anak gajah duduk itu. 
Dasar oon, anak itu lama sekali menyadarinya. 
Padahal, jidatnya sudah jelas-jelas berleleran darah. Ini bikin anak-anak lain berteriak histeris, malah langsung ngacir alias lari tunggang-langgang.

Dasar gerombolan pecundang! 
Nah, giliran aku dengan si Nenk berhadapan frontal. Berduaan!
“Gheeeerrrr….”

Aku menggeram-geram sambil makin menyadari, sudah kudapat seutuhnya yang namanya keberanian.

Kulihat perlahan jari-jarinya yang buntet merabai jidat jenongnya.
Syaaap, terus, dia tatap cairan merah kental, lantas, jritannya pun mengguncang kampung Cikumpa pada tengah hari bolong itu!

“Woaaaa… Bilangin Mamaaa! Huweeee!”
Giliranku bengong habis, melototi si Nenk yang meraung-raung sambil guling-gulingan di pinggir kali. Mungkin anak lain bakal ikutan mewek jika berada di posisiku. 

Tapi kehidupanku (yang cuma tujuh tahun, eniwei) mengajarkan; jangan pernah nangis di depan seorang anak yang lagi mewek. Bisa kacau-balau urusannya. 
Lagipula, aku jadi bingung.

“Kenapa sih loe sedih banget, heh, anak gajah duduk?”
Tapi cuma dalam hati saja.
“Cuma berdarah doang, kok!” tambah hati kecilku.

“Heei, tahuk kagak loe! Mama gw sering loh, berdarah-darah lebih hebat dari loe. Gara-gara dihantemin Papa gw!”
“Mama gw juga suka nenggak darah orang… Woi, keren kaaan!”

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. 
Bagaimana kalau jeritannya terdengar oleh Emak si anak gajah duduk ini? 
Ops… benar saja!
Dalam hitungan sekon mendadak saja; jleeeegh!

Di mataku itu makhluk berjenis emak-emak, pakai daster batik yang memperlihatkan bulu keteknya ke mana-mana. 

Dan gelang keroncongan di pergelangan tangannya, plus sepasang mata melotot, menyala, meraaah. Persiiiis, genderewo cerita versi Mama!

 “Diapain, Sayang?” tanyanya sambil meraih si gembrot Nenk yang makin gelosotan, sampai nyaris kecebur kali.

“Ogaaah… suakiiit… berdarah niiiih!” lengking si Nenk.
“Yeee… nih anak, siniiii!” teriak biangnya jadi geram ke sana ke mari.

Beberapa saat, makhluk yang mirip genderewo itu berjibaku menarik tubuh anaknya yang sudah tidak karuan bentuknya.

Perpaduan antara berdarah jenongnya dengan belepotan lumpur sekujur badannya.
Nah, barulah kemudian, dia menghampiriku dengan sorot mata penuh angkara.

“Dasar anak si penyakitan! Disajarin sopan santun tidak sih sama ibu loe?! Berani-beraninya anak miskin lawan orang kaya, yah, bla, bla!” Cerocosnya sampai termehek-mehek, air lsudahnya muncrat-muncrat dengan bau got empang. 

Aku memang tak tahu-menahu apa arti istilah tahi, dan bahasa kampung lainnya. Tapi jujur saja, aku sudah bisa baca sejak umur dua tahun. Camkan itu, dua tahun, Gan!

Aku sudah tahu banyak, menyimpan jutaan kata bijak dari bacaan serabutan yang pernah kulahap. Belum lagi ditambah dari perikehidupan yang meski cuma seupil begini, tapi plus keluarga yang kisuh-misuh. 

Banyak urusan gampar-menggampar, raung-meraung. Jelas saja, aku jadi terlalu cepat dewasa, kurasa.

“Hei, anak kuntilanaaak!” geramnya lagi menegaskan keangkuhannya, ehm, atau sebaliknya kedunguannya yah?
“Maaf-maaf, dengarkan dulu perkataanku, ibunda Nenk!”

Kali ini kusahut dengan gaya ngomong orang dewasa, lengkap dengan tolak pinggang segala. Dia sampai terperangah.

“Aku rasa Anda salah pengertian,” lanjutku makin merasa dewasa. Hihi.
“He, ngomong apa?”

“Anda yang seyogyanya mengajari anak tatakrama. Anda tahu, sejak tadi anak Anda terus-menerus mengompori anak-anak untuk mengejek Mama aku. Dan itu dengan kata-kata yang tidak sopan. Jujur saja, aku tidak bisa terima hal ini lagi! Sungguh, aku tidak sudi kompromi lagi… Jadi kupilih untuk… Merdekaaa!”

Dia makin bengong, sama bengongnya dengan anaknya yang kini makin kelihatan superduper idiotnya. 

Sempat-sempatnya aku mengacung-acungkan kedua kepalan tinju mungilku di atas kepalaku. Mirip tukang demo yang turun ke jalanan atau gerombolan di depan gerbang bangunan MPR/DPR di Senayan sana.

Ops, sekilas kulihat bayangan ibuku di belakang pohon bambu sana. Tapi seperti kebiasaannya, ibuku tak pernah mau ikut campur urusan anaknya, kalau sampai berhantam dengan anak-anak kampung. 

Harus diurus oleh anak itu sendiri, demikian dalihnya.
Lagipula buang-buang enerji, mendingan ngederekdek nulis dengan mesin ketik bututnya. Baik, aku pun tersemangati untuk menuntaskannya!

“Jadi, tolong, demi kenyamanan bersama,” cerocosku kembali menghadapi biangnya si Nenk.
“Yeeeh, nih bocah….”

“Lakukan sesuatu agar anak Anda tidak melakukan hal yang sama lagi. Karena mungkin, apabila terjadi lagi, saya tidak bisa menjamin. Anak Anda ini akan pulang dengan tubuh yang utuh. Nah, mohon direnungkan pidatoku yang panjang-lebar ini, ya. Terima kasih!”

Aku membalikkan tubuh dengan gaya kerenku yang habis manis kodeng dibanting itu. 
Dan aku seketika menyadari bahwa bagaimana hebatnya pengaruh lautan kata-kata. 
Ops, padahal aku salah arah, maksudku jalan yang kuambil keliru. 

Bukannya ke arah rumah malah menuju kali. 
Terbukti lamat-lamat kudengar teriakan ibuku, memanggil namaku.
“Teeet…  Siniii! Buteeet, pulaaang, Nak, Cintaaa!”

“Ah, masa bodoh amat salah arah juga,” gumamku sambil berlalu dengan gaya si Sin Chan habis menginjak hidung musuhnya.

Fheew, kurasa aku merasa puas, melihat bagaimana tampang emak si Nenk. 
Begitu kaget, begitu cengo-blonse.

Intinya, aku yakin; bahwa itu menandakan semua perkataanku terlalu keren untuk dibantah.
Wuuuakakaka… indahnya masa kecilku sejak saat itu.


@@@
           



Terima Kasih Asma Nadia: Putriku Tampil Beda

$
0
0






Ilustrasi: Butet dengan suami


Saat duduk di bangku kelas satu SMP, Butet diminta ikut bermain sinetron oleh Asma Nadia. Bukan sinetron berat, ini hanyalah serial kisah teladan berdurasi 15 menit, tapi pengantarnya Aa Gym. Kalau tak salah, skenarionya dibuat oleh Asma Nadia dan seorang temannya.
“Kalau merasa terpaksa, jangan ikutan, ya,” kataku sejak awal mewanti-wanti Butet.
“Butet mau karena keinginan sendiri kok, Ma,” ujarnya semangat sekali.
Ketika itu aku belum tahu kalau Butet diam-diam telah mengirimkan tulisan-tulisannya ke majalah Annida, dan penerbit Gema Insani. Dia melakukannya karena tak ingin mendompleng namaku di dunia kepenulisan. 
Sementara karya-karyaku sudah banyak diterbitkan di berbagai penerbit Islam. Namaku kembali berkibar setelah sepuluh tahun vakum dari dunia penerbitan. Ini pun tak lepas berkat ngelink dengan Forum Lingkar Pena.
Bila teman-temannya diantar oleh orang tua, tidak demikian Butet. Kukatakan kepada Asma Nadia bahwa aku sangat sibuk menulis, dikejar tenggat. Ketika itu aku membantunya menjadi editor untuk penerbitan FBA yang dipegangnya.
“Iya Mbak, tidak apa-apa, biar Asma saja yang mengawasi,” janji penulis fenomenal, peraih Adikarya dari Forum Lingkar Pena yang sangat produktif itu.
Aku takkan melupakan kebaikan Asma Nadia yang sering memberiku dukungan di kala diriku dalam kesulitan. Hubungan kami saat itu sangat dekat, sebab sering jumpa, mendiskusikan penyuntingan. 
Acapkali kami pun saling curhatan sebagai sesama ibu, sesama perempuan. Tidak heranlah jika Asma Nadia tahu pula, bagaimana situasi dan kondisi rumah tangga yang harus kuhadapi.
“Hhhh… duuh, Mbak, aku jadi gemes nih dengerinnya!”
“Ternyata ada lelaki model begitu, ya Mbak. Kirain cuma ada di sinetron-sinetron saja.”
“Tidak kebayang! Kalau aku harus melakoni kehidupan rumah tangga macam Mbak, aduuuh, sori saja!”
Kukatakan kepadanya bahwa bila aku masih mampu bertahan sejauh itu, semuanya demi anak-anak.
Asma akan membantahnya, berusaha meluruskan jalan pikiranku dan melontarkan pertanyaan; “Apa anak-anak suka diperlakukan begitu?”
Aku hanya tersenyum kecut, memilih untuk mengakhiri percakapan yang menjadi panas itu. Sebelum jumpa dengan Asma Nadia atau Helvy Tiana Rosa, dengan segala kenaifanku, aku berpikir bahwa para suami kebanyakan seperti bapaknya anak-anak.
Maka, aku pun terperangah tatkala melihat Mas Tomi, suami HTR, begitu santun, begitu rendah hati dan setianya, sepanjang hari menanti sang istri memimpin rapat pengurus Forum Lingkar Pena.
Aku menanti dengan gelisah di ruang tamu. Haekal sudah sejak tadi pulang kuliah, dan pamitan untuk menjemput Seli. Saat itu mereka belum sepenuhnya serumah. Haekal masih tinggal bersama kami. Seli pun tinggal bersama keluarganya di Kukusan.
Kulirik jam dinding, ini sudah lewat isya, padahal janjinya hanya sampai pukul dua siang. Sebelumnya Butet sudah dijemput pagi sekali, kebetulan ini hari Minggu. Asma Nadia tiba-tiba meneleponku, minta maaf dan mengabarkan kepulangan Butet telat dari jadwal.
“Apa sih yang membuat kamu begitu bersikeras membiarkan si Butet kerja pada teman kamu itu?” tegur bapaknya anak-anak, terdengar sinis dan menikam hati.
Aku memilih tidak menyahutinya dan bergegas masuk kamar. Kami sedang saling mendiamkan. Kemarin telah terjadi lagi kekerasan yang mengakibatkan lutut kakiku terdengar berderak, mungkin ada yang patah, entahlah. Yang jelas aku tak bisa sholat dengan benar, sebelah kakiku terpaksa harus diselunjurkan. Intinya aku tak bisa sujud dengan tumaninah, dan itu ternyata harus kulakoni selama enam bulan.
“Kaki Mama kenapa?” selidik Haekal saat kembali bersama Seli, melihat aku jalan terpincang-pincang.
“Tidak apa-apa, Bang, tidak apa-apa,” sahutku menghindar.
“Katanya, Butet syuting, ya Bu?” tanya Seli.
“Iya Neng, disajak Mbak Asma.”
“Sudah jam delapan nih, Ma, apa mau Abang jemput?” Haekal pun mulai tampak gelisah.
“Tidak usah, Bang, barusan Mbak Asma bilang lagi di jalan.”
Ini pertama kalinya kami membiarkan Butet pergi sendirian. Tapi aku percaya, putriku akan baik-baik saja. Bukankah ada saudariku yang mengawasinya?
Akhirnya, pukul sepuluh malam!
Pintu digedor dengan hebohnya dari luar. Begitu pintu dibukakan Butet langsung menghambur ke arahku, memelukku erat-erat dan meracau heboh sekali.
“Mama, dengar ya Ma! Butet sayang Mama, sayaaang banget. Jadi Mama jangan menyiksa diri lagi, ya Ma sayang. Mama harus bahagia, haruuus! 
Butet bisa kerja kok buat Mama. Kita bisa hidup mandiri. Bener ya Ma, jangan siksa lahir dan batin Mama lagi. Jangan bilang semuanya demi anak-anak, jangaaan….”
Haekal dan Seli bergabung, kami berkumpul di ruang tamu, mengerumuni Butet yang membongkar kantong belanjaannya. Itulah pertama kalinya Butet punya uang sendiri, langsung dibelanjakan makanan dan minuman di Indomaret untuk kami sekeluarga.
“Seratus ribu, Bang, jadi pemeran pembantu tuh,” celoteh Butet dengan sukacita dan bangga, meskipun kelelahan sangat menggurat di wajahnya. “Kata Mbak Asma, minggu depan Butet dapat peran tokoh utama. Ini skenarionya biar dihafalin sama Butet. Nah, katanya, honornya bisa dua kali lipat, doain ya, Mama. Butet serius sayang banget sama Mama, mmmuuuaaa!”
Malam itu, sebelum tidur, aku dan Butet sekamar, kudengar omongannya yang Asma Nadia sekali. Bersemangat, enerjik, menginspirasi, presentatif dan Tianshi banget. Hehe.
Nah, simak saja omongannya kali ini, Sodara.
“Mari kita bicara sebagai sesama wanita…”
“Mama itu sosok yang hebat, mandiri dan perkasa…”
“Jangan biarkan diri Mama menghamba terus kepada orang yang tak pernah menghargai pengabdian Mama…”
“Kata Mama demi anak-anak? Jangan pernah bilang begitu, jangan pernah mengatasnamakan anak-anak lagi…”
“Butet lebih suka Mama bahagia demi diri Mama sendiri…”
“Coba bayangkan, berapa lama kita diberi waktu oleh Tuhan? Sebentar saja, jadi nikmati saja waktu yang sedikit itu…”
“Sebagai seorang pengarang Mama ini sudah punya nama. Mama bisa melakukan apapun demi kebahagiaan sendiri…”
“Mama bisa keliling dunia dengan buku…”
“Tinggalkan segala penderitaan ini dan raih kebahagiaan Mama sendiri!”
Aku hanya mengaminkannya di dalam hati. Kubiarkan Butet terus mengoceh dengan semangat gendernya. Luar biasa, pikirku, hanya beberapa jam bersama Asma Nadia. 
Dan putriku, usianya baru sebelas tahun, gadis kecilku yang suka menggigiti kuku-kuku jarinya, telah berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Dia tampak seperti orang dewasa, penuh percaya diri, tapi ada kesan sinis di dalamnya.
Duhai, Cintaku!
Tidak, untuk sementara aku merasa tidak terganggu. Sebaliknya aku harus bersyukur memiliki saudari seperti Asma Nadia. Melalui dia putriku bisa memandang sosok ibunya lebih jelas lagi, seperti dari kacamata sesama wanita.
Beberapa saat lamanya Butet seperti menghindari ayahnya. Bahkan terkesan menjadi antipati. Ini yang membuatku merasa tak nyaman. Jadi, begitu aku merasa sudah waktunya untuk bicara serius, kusajak Butet jalan bareng. Kebetulan aku baru mendapat royalti yang lumayan besar nominalnya. 
Kami menikmati keberduaan ini sambil belanja di Mal, berujung di Pizza Hut dan kubiarkan putriku melepaskan semua uneg-unegnya.
Sambil menanti kedatangan Haekal dan Seli untuk bergabung, kami pun mulai membahas ini dan itu.
“Mama senang Butet merasa bahagia hari ini,” ujarku seraya mengelus pipi-pipinya yang chubby alias tembam seperti pipi bayi.
“Mama juga bahagia kan hari ini?”
“Tentu saja, tapi lebih bahagia lagi kalau tidak ada benci di hati kita.”
“Memangnya Mama tidak pernah punya rasa benci sama Papa?”
“Pernah sih, namanya juga manusia. Tiba-tiba dipukuli, tanpa tahu apa salah Mama, diperlakukan tak senonoh, dilecehkan. Siapa sih yang tidak jadi benci?”
“Makanya!” seru Butet. “Kenapa Mama masih bertahan saja?”
“Ada yang harus diperbaiki,” tukasku memintas omongannya. “Iya, Mama tahu, sekarang bukan demi anak-anak lagi. Kalau dijelaskan sekarang Butet pasti tidak mau terima. Tapi kelak, percayalah, Butet akan berterima kasih kepada Mama atas keputusan ini.”
“Butet tidak ngerti pikiran Mama. Sekarang apa mau Mama?”
“Kelak, kamu akan paham, tak mengapa semuanya memang berproses. Satu hal yang Mama minta darimu, jangan pernah ada benci di hatimu, itu sungguh neraka, Nak. Urusan Mama dengan Papa biarlah kami yang selesaikan, oke?”
“Ah, sudahlah, Butet tidak mau denger lagi,” tukasnya dengan bibir merengut. “Terserah bagaimana maunya Mama sajalah.”
Beberapa jenak tak ada yang berkata-kata lagi.
“Nah, itu Abang sama Teh Seli, wooooi! Siniii!” seru Butet memecah hening yang merejam di antara kami.
Sejak saat itu Butet lebih banyak menarik diri, bersikap tak peduli, jika terdengar pertengkaran di rumah. Aku pun berusaha keras menjauhkannya dari situasi macam neraka. Hingga Haekal memutuskan mengajak Seli tinggal di rumah kami.
“Abang berusaha terus melindungi Mama, tapi sampai kapan, Ma?” cetusnya suatu ketika.
Tidak kujawab sebab memang tak tahu harus bagaimana menjawabnya.

@@@

High Quality Dress for Elegant Indonesian Woman

$
0
0















more collection bisa dicek di www.facebook.com/mixmatchsociety

Bayiku Pernah Ditahan di Perinatologi

$
0
0

Ilustrasi: Bayi itu kini telah punya Balita seperti ini, alhamdulillah




Bayiku Pernah Ditahan di Perinatologi

Anno, Jakarta, 1981
Terbaring sendirian tanpa sanak saudara di tengah para ibu yang sedang menyusui bayinya, seketika aku baru menyadari satu keganjilan!
Di ruangan perawatan yang berisi enam pasien baru melahirkan itu, ternyata hanya diriku yang tidak bersama bayiku.
Ya, bayiku tidak bersamaku! Di manakah gerangan sosok merah mungil dengan tanda titik hitam di pelipis kiri itu?
“Mana bayiku, Suster? Mengapa tidak diberikan kepadaku seperti ibu-ibu lainnya?” tanyaku kepada setiap perawat yang muncul di kamar kami.
“Sabar, tenang ya Bu. Bayinya sedang dalam perawatan Dokter.”
“Apa maksudnya? Apakah dia tidak sehat?” tanyaku gemetar, mulai membayangkan hal-hal mengerikan menimpa bayiku.
Maklum, selama mengandung dirinya hampir tiap minggu ditransfusi.
“Bukan, bukan begitu. Bayi Ibu sehat-sehat saja. Hanya para Dokter sedang memeriksanya lebih teliti lagi. Ibu kan punya kelainan darah bawaan, bla, bla, bla!”
Satu hari, satu malam, tanpa makhluk yang telah kulahirkan, kuperjuangkan selama 34 minggu itu. Rasanya aku mulai gila. 
Segala macam pikiran buruk berseliweran di benakku. Jangan-jangan ini permainan keluarga suami. Jangan-jangan suami hendak memisahkan kami, ibu dan bayiku.
Jangan-jangan, oh, jangan terjadi apa-apa, Gusti Allah!
Lelaki itu, sosok berjuluk suami yang kini telah bergelar seorang bapak itu, belum muncul jua menengok istrinya ini. Jangankan mengazankan anaknya yang baru lahir. Bahkan kemungkinan ingat pun dirinya tidak kepada kami.
Aku harus berpikir waras, gumamku. Jangan sampai terpancing untuk menjadi gila, tak waras, apalagi menyerah. Tidak, jangan pernah menyerah!
Sedang apakah dirinya sekarang?
“Bapak ada saja di rumah, tidak ke mana-mana. Tapi tidak mau pergi ke sini,” lapor Mae yang setiap hari sampai dua kali menjenguk, membawakan berbagai keperluan untukku.
Dua hari, dua malam, payudaraku serasa sakit luar biasa. Bengkak, karena tidak disusukan kepada bayiku. Sepanjang malam itu aku nyaris tak bisa memejamkan mata. Sambil mengeluarkan air susu, memompanya pelan-pelan, airmataku deras bercucuran.
Sesungguhnya rasa sakit yang mendera sekujur tubuhku sama sekali tak berarti, jika dibandingkan dengan kepedihan yang meluas dan melaut. Kepedihan itu bak hendak mengubur jazadku, mengingat ketakjelasan keberadaan bayiku.
“Ini seharusnya  ASI untukmu, Anakku,” desisku dalam kepedihan yang serasa hendak melenyapkan seluruh kewarasan otakku.
Meskipun tidak bisa mendirikan shalat, aku terus berzikir dan bermunajat, memohon pertolongan langsung dari Sang Maha Pengasih.
Namun, akhirnya pada hari ketiga aku tak mampu lagi menahan diri!
“Tidak, ini sudah keterlaluan!” geramku, kuputar otak agar bisa berpikir jernih. “Aku harus pulang. Ya, harus membawa bayiku pulang serta!”
Ketika Dokter ruangan datang memeriksa pagi itu, aku sudah memutuskan untuk pulang. Meskipun menurut dokter kondisiku belum memungkinkan untuk dipulangkan. Bahkan menurutnya, aku harus dikembalikan ke ruang perawatan bagian Hematologi.
“Tidak, demi Allah, saya baik-baik saja dan merasa sehat!” kataku menahan kemarahan yang terus bergejolak liar di kepala dan dada ini.”Pokoknya, aku mau pulang hari ini, sekarang juga!”
“Kalau begitu, Ibu harus menanda tangani surat pernyataan pulang paksa.”
“Tidak masalah, sini, Dokter, akan aku tanda tangani!” ujarku tegas dan mulai geram sekali.
“Kami tidak bertanggung jawab jika ada masalah setelah berada di luar ruang perawatan. Bahkan kami tidak akan mau menerima Ibu dan bayinya untuk dirawat lagi di sini.”
Aku tidak meladeninya. Sudah kuperiksa hasil laboratorium, HB atau takaran darahku 10, karena sebelum melahirkan memang baru saja ditransfusi. Aku merasa diriku akan baik-baik saja, dan siap menjadi seorang ibu untuk bayiku!
Setelah kutanda tangani beberapa surat, kelengkapan sebagai persaratan pasien Askes pulang, muncul masalah. Mae si janda kampung Cililin sungguh buta urusan beginian. Kalau sendirian mengurusnya entah bisa entah tidak, malah mungkin saja tersesat di tengah hiruk-pikuk RSCM.
“Mana suaminya sih, Bu?” Entah untuk ke berapa kalinya perawat itu menanyaiku, bolak-balik dari ruang kerjanya ke kamar perawatanku.
Nyaris saja aku menjawab dengan jahat:”Barangkali sudah mati, ya, hatinya memang mati! Sebentar lagi juga kami akan bercerai!”
Mujurlah, Mae bantu menjawab:”Ada di rumah, mengurus orangtuanya.” Sehingga mulutku langsung bisa kuredam, tidak berkata-kata apapun.
“Lantas ini bagaimana? Siapa yang akan mengurus administrasinya?” desak perawat itu pula.
“Aku sendiri yang akan mengurusnya, Suster,” kali ini aku menjawab tanpa berpikir panjang. Sebab yang ada dalam otakku, duniaku dan keutamaan perhatianku hanyalah; bayiku!
“Bagaimana bisa? Memang sudah kuat jalan?”
“Suster, tolong bantu kami saja, ya. Minta pinjam rooster, biar Mae yang akan mendorongku ke loket Askes,” pintaku tegas.
Demikianlah akhirnya, Mae mendorongku yang duduk di atas rooster, kami menuju loket Askes di bagian belakang. Masih ada kekurangan persaratan, maka kami pun kembali ke ruangan.
Bolak-balik, wara-wiri menyusuri koridor-koridor rumah sakit sepagian itu. Ternyata lumayan menguras enerji. Peluh bercucuran di sekujur badan kami berdua.
Setelah selesai urusan administrasi, kami pun membawa selembar kertas izin pulang untuk kedua kalinya ke bagian Perinatologi.
Awalnya mereka bersikukuh tidak mau mengeluarkan bayiku begitu saja. Semua ada prosedurnya. Aku mencoba memberi pengertian. Kami tak boleh masuk. Pintunya terbuat dari besi, ini sungguh membuat perasaanku semakin tak nyaman. Segala prasangka buruk berseliweran di otakku.
Baru membayangkan anakku dijamah tangan-tangan para calon dokter saja, aduh, rasanya hampir meledak kepala ini. Apalagi jika mereka menjadikan bayiku sebagai kelinci percobaan. Awas saja!
“Seharusnya kami menyerahkan bayi ini kepada perawatnya,” kata seorang petugas.
“Para perawatnya sedang sibuk. Jadi kami langsung ke sini, heeee, haloooow!”
Detik itulah kemarahan sudah mencapai ubun-ubunku. Aku mulai menjerit-jerit histeris. Menuntut mereka menyerahkan bayiku, darah dagingku yang telah ditahan sejak aku melahirkannya tiga hari yang lalu.
“Aku minta bayiku! Kembalikan, kembalikan anakkuuu!” jeritku melolong-lolong ke seantero rumah sakit terbesar di Tanah Air itu.
Mae hanya terbengong dan menangis melihat kelakuanku. Badanku pun telah gemetar, bahkan mulai menggigil, bukan karena demam melainkan disebabkan terbakar api kemarahan.
Agaknya kelakuanku dilihat oleh seorang dokter perempuan yang melintas di kawasan itu. Ia segera masuk dan entah apa yang terjadi di dalam sana. Kurasa itu adalah ruang penelitian. 
Ya, aku baru menyadarinya, kemungkinan sekali mereka memang telah menjadikan bayiku sebagai sumber penelitian, kelinci percobaan. Hanya karena memiliki seorang ibu kelainan darah bawaan.
Baru tersadar kembali, mengapa dokter meminta kerelaanku agar menyumbangkan plasenta bayiku. Ya, ya, tentu saja itu memang dimaksudkan untuk penelitian. Dungunya diriku ini!
“Sungguh, kurang ajar!” seruku geram setengah mati.
Aku sudah bertekad, andaikan tidak dikeluarkan juga bayiku dalam tempo sepuluh menit itu, demi Allah!
“Aku akan menelepon Hanna Rambe, Aristides Katoppo, semua teman-teman jurnalis yang kukenal dengan baik. Biar mereka meliput kezaliman yang telah menimpa diriku ini!”
Seorang petugas perempuan muncul juga dari ruangan berpintu besi itu. Ia memangku bayi merah, kupandangi dengan cermat wajahnya, ada titik hitam di ujung pelipis kirinya.
“Ya, dia bayiku, anakku, buah hatiku, cintaku, benteng cahayaku,” ceracauku sambil merebut makhluk mungil yang terbalut kain hijau pupus itu secepatnya dari tangannya.
“Mari saya bantu mengganti pakaiannya dulu, ya Bu,” kata petugas perempuan itu dengan sopan.
“Tidak perlu, biarlah kami yang akan menggantinya!” ketusku, memelototinya dengan kemarahan puncak gunung Mahameru.
“Tapi kan kasihan, masa dibuka di luar begini….”
“Kalau kasihan, biarkan kain jelek ini membungkusnya untuk sementara. Berapa aku harus menggantinya dengan uang?” kataku sambil mendekap erat bayiku.
Airmata kembali membuncah, kali ini airmata bahagia karena telah berhasil memeluk bayiku, sosok mungil yang telah merajam sukma, jiwaku dalam tiga hari tiga malam terakhir.
Aku takkan pernah melepaskannya, takkan pernah, walau seandainya langit runtuh dan bumi jungkir-balik sekalipun!
“Ya, sudahlah, silakan dibawa pulang. Hati-hati saja di jalan, ya Bu. Selamat,” kata pegawai perempuan menyalamiku, kemudian bergegas berlalu dari hadapan kami.
Beberapa jenak aku masih menangisi anakku, rasanya malang nian keadaannya. Lihatlah, bahkan ia tidak mengenakan baju, hanya berbungkus kain hijau pupus yang jelek ini. Dan ayahnya pun entah bagaimana sikapnya.
“Hmm, bagaimana, Teteh?” tegur Mae, merasa kelamaan juga agaknya membiarkanku dalam situasi menyedihkan begitu.
“Oh, iya, doronglah….”
Tapi belum usai kalimatku, seorang petugas dari ruang perawatan menghampiri kami
”Roosternya tidak bisa dibawa melewati tempat ini, Mbak. Harus dikembalikan ke ruangan,” katanya bersikeras.
“Tidak bisa pinjam sampai gerbang saja, kita cari bajaj di depan sana, Bang?” pintaku.
“Harus bayar 25 ribu!”
Saat itu, 25 ribu senilai honorarium satu cerpenku, mahal sekali!
“Ya, sudah! Bawa saja rooster sialan ini!” Aku tersentak bangkit, menendang ujung rooster itu dengan geram. Buukkk!
Selanjutnya perjalanan dari RSCM menuju rumah tinggal di jalan Kalipasir itu, kami lakoni dengan bajaj. Sepanjang jalan kupeluk erat bayiku, sesekali airmata bahagia mengalir deras menuruni pipiku, sebagian membasahi wajahnya.
“Anakku, inilah dunia kita. Mulai detik ini, Mama tidak akan pernah menangis untuk hal-hal yang tidak penting!”
Aku menyusut airmata hingga kering,dan hanya meninggalkan mata sembab. Kulirik sekilas di sebelahku Mae hanya terdiam. Kurasa dia masih terkesima, mungkin juga syok berat menyaksi segala sepak terjangku seharian itu.
"Teteh mah meuni hebat, wanian pisan," demikian sesekali dari bibirnya keluar gumam pujian.
"Kamu juga bisa melakukan hal yang sama kalau berada pada posisiku, Mae," kataku tegas. Ia mengangguk-angguk, entah paham atau tidak dengan penekanan kata demi kata yang kuucapkan.
Dalam diam yang menikam, maka kubisikkan ke telinga bayiku: “Dengarlah, Anakku! Demi Allah, demi Nabiyullah! Apapun yang terjadi, Mama bersumpah, takkan pernah meninggalkan dirimu. Mari kita berjuang bersama, ya pahlawan tangguhku! Allahu Akbar!”

@@@


Viewing all 195 articles
Browse latest View live